... INDAH PADA WAKTUNYA ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Indah namanya, umurnya genap
enam tahun. Kulitnya putih dengan
rambut hitam tergerai panjang.
Indah memang cantik, dan hatinya
jauh lebih cantik. Indah dibesarkan
dengan kasih sayang, dengan
kepercayaan, dan dengan teladan
yang baik dari kedua orangtuanya.
Bu Mila dan Pak Faisal memang
membesarkan Indah dengan penuh
kasih sayang namun tidak
berlebihan. Sejak kecil Indah dididik
untuk memegang teguh komitmen
yang dibuat. Janji adalah janji,
sebisa mungkin harus ditepati.
Segala sesuatu yang dimulai dengan
kebohongan akan berakhir dengan
kebohongan. Sesuatu yang dimulai
dengan kecurangan akan berakhir
dengan kegagalan. Sesuatu yang
dimulai dengan kesombongan akan
berakhir dengan kehancuran.
Sebaliknya sesuatu yang dimulai
dengan niat baik dan ketulusan akan
berakhir dengan kebahagiaan.
Hari ini Indah ulang tahun, Bu Mila
dan Pak Faisal memang tidak pernah
merayakan ulang tahun Indah
dengan pesta yang mewah. Cukup
syukuran kecil-kecilan di rumah.
Namun tidak seperti biasanya, kali
ini Indah minta hadiah. “Umi, beliin
Indah kaus kaki renda ya... punya
temen Indah baguuuss deh... ada
coraknya...”, ujar indah dengan
penuh harap, begitu halus
intonasinya sebenarnya Bu Mila tak
sanggup menolak, tapi apapun yang
terjadi, komitmen harus
dipertahankan..
“Boleh, nanti Indah ikut Umi ke
Swalayan ya, kita beli disana aja.
tapi Indah mesti janji, nggak boleh
minta apa-apa lagi.” ujar bu Mila
penuh kasih. “Makasi ya Umi, Indah
janji nggak akan minta apa-apa lagi,
kaus kaki itu sudah cukup buat
Indah.”.
Sesuai janji, sore itu Bu Mila
mengajak Indah ke Swalayan dekat
rumah. Nggak perlu waktu lama bagi
indah untuk menemukan kaus
kakinya. Tapi ceritanya jadi lain saat
Indah melihat kalung mutiara
plastik di etalase kios asesoris
kecantikan.
Kalung itu sungguh menarik,
warnanya putih mengkilap seperti
kalung mutiara sungguhan. Indah
bingung, Ia terlanjur janji tidak
akan minta apa-apa lagi. tapi kalung
itu begitu menarik baginya. Indah
tidak sanggup menahan hasrat
untuk memiliki kalung itu.
Lidahnya kelu, ia malu, tapi desakan
itu kian kuat. akhirnya dengan
terbata-bata, Indah berkata “Umi
maafin Indah ya.. Indah nggak jadi
beli kaus kaki renda, Indah mau
kalung itu. tapi kalo nggak boleh,
nggak apa-apa Indah nggak maksa,
maafin Indah ya Umi, tapi indah
mau kalungnya..” ujar Indah.
Sebenarnya Bu Mila bisa saja
membelikan keduanya sekaligus,
namun Indah tetap harus
memegang komitmen yang dibuat.
“Indah boleh beli kalungnya, tapi
kaus kakinya nggak jadi ya? Karena
harganya lebih mahal, Umi akan
potong sisanya dari tabungan Indah
minggu ini. Gimana, Indah setuju?” .
“Setuju Umi, nggak apa-apa deh
nggak pake kaus kaki renda juga
yang penting pake kalung mutiara,
hehe... makasi ya Umi... Umi baik
deh...”
Akhirnya Bu Mila membelinya dan
Indah segera memakainya. Indah
semakin terlihat cantik, wajahnya
merona ceria sekali. Kalung itu jadi
mainan kesayangan Indah, tiap hari
selalu dipakainya.
Indah sering cerita pada Bu Mila
dan Pak Faisal, betapa sayangnya Ia
pada kalung mutiaranya. Tidak
terasa sebulan telah berlalu, dan
Indah semakin tidak bisa berpisah
dengan kalung mutiaranya.
Kemanapun Indah pergi, kalung itu
selalu menempel di lehernya,
membuat Indah semakin tampak
cantik dan menggemaskan.
Malam itu seperti biasa, Pak Faisal
membacakan dongeng sebelum
Indah tidur. menjelang akhir
kisahnya, Pak Faisal mengajukan
sebuah pertanyaan pada Indah.
“Indah..., Indah sayang sama
Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah
sayaaang sama ayah, sama Umi
juga... kenapa...?” .
“Kalo Indah sayang sama Ayah...,
Kalungnya buat Ayah ya...?” . “Ya…
Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh
ambil boneka kancil punya Indah,
atau si Twingky... atau si Tweety...
tapi jangan kalung ini yah...” ujar
Indah memelas. “Ya udah... nggak
apa-apa... Ayah ngerti kok” , ujar Pak
Faisal bijak.
Esok malamnya, di akhir ceritanya,
Pak Faisal kembali mengajukan
pertanyaan yang sama pada Indah.
“Indah..., Indah sayang sama
Ayah?” . “Tentu dong yah, Indah
sayaaang sama ayah, sama umi
juga… emang kenapa…?”. “Kalo
Indah sayang sama Ayah...,
Kalungnya buat Ayah ya..?”. “Ya...
Ayah, jangan dong yah... Ayah boleh
ambil boneka beruang punya Indah,
atau si bantal kingkong kesayangan
Indah, tapi jangan kalung ini...
Indah sayaaang banget sama kalung
ini... ” ujar Indah memelas sambil
matanya barkaca-kaca.
“Ya udah... nggak apa-apa.. Ayah
ngerti kok... Indah tidurnya yang
lelap ya, tapi jangan kesiangan,
bangunnya pagi pagi ya
sayang...”ujar Pak Faisal, mencoba
mencairkan suasana.
Esok malamnya ketika Pa Faisal
masuk kamar Indah, Pa Faisal
melihat Indah menangis, tangisan
polos anak kecil yang cantik.
Siapapun yang mendengarnya, pasti
terenyuh hatinya karena Indah
memang jarang nangis.
Pak Faisal mendekat dan mengusap
lembut rambut Indah yang tergerai
panjang. Indah berbalik, hingga Pak
Faisal dapat melihat raut muka
Indah yang sedang menangis. Air
matanya menetesi pipi-pipinya yang
halus, matanya berkaca-kaca,
tangannya yang mungil
menggenggam erat kalung
mutiaranya.
Dengan terbata-bata Indah berkata,
“Ayah.. Indah sayaaanng banget
sama Ayah.. sama Umi juga.. Indah
juga sayang sama kalung ini.. tapi
Indah lebih sayang sama ayah dan
Umi… jadi… kalung ini buat ayah
aja..” ujar Indah disela-sela isak
tangisnya.
Melihat ketulusan Indah, Pak Faisal
terenyuh hatinya. Sambil tersenyum,
ia berkata “Indah… Ayah sama Umi
juga sayaang sama Indah, makasih
Indah mau ngasih kalungnya ke
Ayah. Boleh Ayah ambil kalungnya
sekarang..?”.
Dengan senyum yang tulus, Indah
mengulurkan tangannya.. sambil
tersenyum, Indah berkata “Boleh..
Indah ikhlas kok.. lagian kalung ini
nggak ada apa-apanya dibandingkan
kasih sayang ayah sama umi..” ujar
Indah dengan tulus.
Dengan perlahan sambil menatap
mata Indah, Pak Faisal mengambil
kalung itu dari tangan Indah dan
memasukkan kalung itu ke saku
celana panjangnya. Kemudian… Pak
Faisal merogoh saku kemejanya dan
mengeluarkan kotak kecil berwarna
merah dan memberikannya pada
Indah.
“Makasih Indah, Bapak bangga sama
Indah.. sebenarnya bapak mau
ngasih hadiah ini sebulan yang
lalu.. tapi sepertinya sekaranglah
saat yang tepat.. dibuka ya
hadiahnya..” Ujar Pak Faisal,
setengah berbisik.
Dengan cekatan, tangan mungil
Indah segera bergerak membuka
kotak kecil itu, muka Indah tiba-tiba
merona, berwarna merah muda,
indaaahh sekali..
ternyata kotak kecil itu
berisi…………………… “kalung mutiara
yang asli!”.
Sahabat, sedikit renungan yang
dapat kita petik dari cerita di atas,
terkadang kita terlalu terikat dengan
apa yang telah kita capai dan kita
inginkan. Entah itu berupa
kekayaan, kedudukan, pangkat,
jabatan, pasangan, atau apapun.
Kita selalu merasa berat untuk
kehilangan benda atau orang yang
sangat kita sayangi.
Seperti Indah yang demikian
sayangnya pada kalung mutiara
imitasi-nya. Namun tahukah
sahabat, seperti Pak Faisal,
sesungguhnya seperti itulah Allah
membimbing kita.
Terkadang Allah mencabut
kedudukan kita, mengambil kekayaan
kita, mengambil orang yang sangat
kita sayangi, melalui kuasanya.
Sebenarnya Allah sedang
menunggu.. Apakah kita akan
melepaskan segala kepalsuan yang
melekat pada diri kita atau tidak.
Sekali kita melepaskan kepalsuan
yang melekat, saat itu juga, Allah
akan menggantinya dengan sesuatu
yang asli, yang lebih bersinar, dan
abadi.
Sahabat, mudah2an kita dapat
mengambil sedikit pelajaran dari
kisah kalung mutiara tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, saya
dapat sms dari seorang sahabat di
Malang.
Sebuah puisi tentang kaktus dan
kupu-kupu.. tolong disimak ya..
Ketika aku meminta setangkai bunga
yang indah, Allah memberiku kaktus
berduri. Ketika aku meminta
binatang mungil nan cantik, Allah
memberiku ulat berbulu. Ketika Aku
meminta kebijaksanaan, Allah
memberiku setumpuk masalah untuk
diselesaikan. Aku sedih, protes, dan
kecewa.. betapa tidak adilnya ini.
Namun kemudian.. Kaktus itu
berbunga, indaaah sekali, berwarna-
warni. Ulat itu pun berubah menjadi
kupu-kupu yang cantik, Dan
ternyata, setumpuk masalah itupun
dapat diselesaikan.
Itulah jalan Allah, ‘INDAH PADA
WAKTUNYA”, “Allah tak memberi apa
yang kita harapkan, tapi Allah
memberi apa yang kita perlukan.
Kadang kita sedih, marah dan
kecewa. Tapi jauh diatas segalanya,
Allah sedang merencanakan yang
terindah buat kita”.
“Perjalanan hidup itu ibarat sebuah
hari, Dini hari adalah masa dimana
lembar baru tercipta, Pagi hari
adalah masa kanak-kanak dimana
mimpi digantungkan. Siang hari
adalah masa dewasa dimana mimpi
dikejar dan diraih.
Senja hari adalah masa tua dimana
mimpi dinikmati, sedangkan malam
adalah masa untuk mengakhirinya
dengan istirahat panjang.. Sahabat,
semoga hidup ini sebaik perjalanan
hari-harimu”.
Wallahu a'lam bish-shawab,
# Semoga kita dapat mengambil
pengetahuan yang bermanfaat dan
bernilai ibadah ..
Comments