It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
emang km dah sembuh
mmm ohh kaya nuna @elsa gitu maksudna
PAHLAWAN, AKU MAU JADI ORANG
YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI
JALAN.”
Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap
kenaikan kelas, anak perempuanku
selalu mendapat ranking ke-23.
Lambat laun ia dijuluki dengan
panggilan nomor ini. Sebagai
orangtua, kami merasa panggilan ini
kurang enak didengar, namun
anehnya anak kami tidak merasa
keberatan dengan panggilan ini.
Pada sebuah acara keluarga besar,
kami berkumpul bersama di sebuah
restoran. Topik pembicaraan semua
orang adalah tentang jagoan mereka
masing-masing. Anak-anak ditanya
apa cita-cita mereka kalau sudah
besar? Ada yang menjawab jadi
dokter, pilot, arsitek bahkan presiden.
Semua orangpun bertepuk tangan.
Anak perempuan kami terlihat sangat
sibuk membantu anak kecil lainnya
makan. Semua orang mendadak
teringat kalau hanya dia yang belum
mengutarakan cita-citanya. Didesak
orang banyak, akhirnya dia
menjawab:..... "Saat aku dewasa, cita-
citaku yang pertama adalah menjadi
seorang guru TK, memandu anak-anak
menyanyi, menari lalu bermain-main".
Demi menunjukkan kesopanan, semua
orang tetap memberikan pujian,
kemudian menanyakan apa cita-
citanya yang kedua. Diapun
menjawab: “Saya ingin menjadi
seorang ibu, mengenakan kain celemek
bergambar Doraemon dan memasak di
dapur, kemudian membacakan cerita
untuk anak-anakku dan membawa
mereka ke teras rumah untuk melihat
bintang”. Semua sanak keluarga saling
pandang tanpa tahu harus berkata
apa. Raut muka suamiku menjadi
canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah,
suamiku mengeluhkan ke padaku,
apakah aku akan membiarkan anak
perempuan kami kelak hanya menjadi
seorang guru TK?
Anak kami sangat penurut, dia tidak
lagi membaca komik, tidak lagi
membuat origami, tidak lagi banyak
bermain. Bagai seekor burung kecil
yang kelelahan, dia ikut les belajar
sambung menyambung, buku pelajaran
dan buku latihan dikerjakan terus
tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh
kecilnya tidak bisa bertahan lagi
terserang flu berat dan radang
paru-paru. Akan tetapi hasil ujian
semesternya membuat kami tidak tahu
mau tertawa atau menangis, tetap
saja rangking 23.
Kami memang sangat sayang pada
anak kami ini, namun kami sungguh
tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman
sekantor mengajak pergi rekreasi
bersama. Semua orang membawa serta
keluarga mereka. Sepanjang
perjalanan penuh dengan tawa, ada
anak yang bernyanyi, ada juga yang
memperagakan kebolehannya. Anak
kami tidak punya keahlian khusus,
hanya terus bertepuk tangan dengan
sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk
mengawasi bahan makanan. Merapikan
kembali kotak makanan yang terlihat
sedikit miring, mengetatkan tutup
botol yang longgar atau mengelap
wadah sayuran yang meluap ke luar.
Dia sibuk sekali bagaikan seorang
pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan, ada satu kejadian tak
terduga. Dua orang anak lelaki teman
kami, satunya si jenius matematika,
satunya lagi ahli bahasa Inggris
berebut sebuah kue. Tiada seorang
pun yang mau melepaskannya, juga
tidak mau saling membaginya. Para
orang tua membujuk mereka, namun
tak berhasil. Terakhir anak kamilah
yang berhasil melerainya dengan
merayu mereka untuk berdamai.
Ketika pulang, jalanan macet. Anak-
anak mulai terlihat gelisah. Anakku
membuat guyonan dan terus membuat
orang-orang semobil tertawa tanpa
henti. Tangannya juga tidak pernah
berhenti, dia mengguntingkan
berbagai bentuk binatang kecil dari
kotak bekas tempat makanan. Sampai
ketika turun dari mobil bus, setiap
orang mendapatkan guntingan kertas
hewan shio-nya masing-masing.
Mereka terlihat begitu gembira.
Selepas ujian semester, aku menerima
telpon dari wali kelas anakku.
Pertama-tama mendapatkan kabar
kalau rangking sekolah anakku tetap
23. Namun dia mengatakan ada satu
hal aneh yang terjadi. Hal yang
pertama kali ditemukannya selama
lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam
ujian bahasa ada sebuah soal
tambahan, yaitu SIAPA TEMAN
SEKELAS YANG PALING KAMU
KAGUMI & APA ALASANNYA.
Semua teman sekelasnya menuliskan
nama : ANAKKU!
Mereka bilang karena anakku sangat
senang membantu orang, selalu
memberi semangat, selalu menghibur,
selalu enak diajak berteman, dan
banyak lagi.
Si wali kelas memberi pujian: “Anak
ibu ini kalau bertingkah laku terhadap
orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, “Suatu
saat kamu akan jadi pahlawan”.
Anakku yang sedang merajut
selendang leher tiba2 menjawab “Bu
guru pernah mengatakan sebuah
pepatah, ketika pahlawan lewat, harus
ada orang yang bertepuk tangan di
tepi jalan.”
“IBU, …..AKU TIDAK MAU JADI
PAHLAWAN, …. AKU MAU JADI
ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI
TEPI JALAN.”
Aku terkejut mendengarnya. Dalam
hatiku pun terasa hangat seketika.
Seketika hatiku tergugah oleh anak
perempuanku. Di dunia ini banyak
orang yang bercita-cita ingin
menjadi seorang pahlawan. Namun
Anakku memilih untuk menjadi orang
yang tidak terlihat. Seperti akar
sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi
ialah yang mengokohkan.
Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup
dengan bahagia, jika tidak ada rasa
bersalah dalam hatinya, MENGAPA
ANAK2 KITA TIDAK BOLEH MENJADI
SEORANG BIASA YANG BERHATI
BAIK & JUJUR…