BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Empat Kejahatan Orang Tua Terhadap Anak



Rasulullah saw. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap keturunan beliau sendiri ataupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mencium Hasan bin Ali dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh orang anak dan tidak pernah aku mencium seorang pun dari mereka.”


Rasulullah saw. segera memandang kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).


Bahkan dalam shalat pun Rasulullah saw. tidak melarang anak-anak dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu ketika Rasulullah saw. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash –anak Zainab, putri Rasulullah saw.—Beliau meletakkannya di atas bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).


Peristiwa itu bukan kejadian satu-satunya yang terekam dalam sejarah. Abdullah bin Syaddad juga meriwayatkan dari ayahnya bahwa, “Ketika waktu datang shalat Isya, Rasulullah saw. datang sambil membawa Hasan dan Husain. Beliau kemudian maju (sebagai imam) dan meletakkan cucunya. Beliau kemudian takbir untuk shalat. Ketika sujud, Beliau pun memanjangkan sujudnya. Ayahku berkata, ‘Saya kemudian mengangkat kepalaku dan melihat anak kecil itu berada di atas punggung Rasulullah saw. yang sedang bersujud. Saya kemudian sujud kembali.’ Setelah selesai shalat, orang-orang pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, saat sedang sujud di antara dua sujudmu tadi, engkau melakukannya sangat lama, sehingga kami mengira telah terjadi sebuha peristiwa besar, atau telah turun wahyu kepadamu.’ Beliau kemudian berkata, ‘Semua yang engkau katakan itu tidak terjadi, tapi cucuku sedang bersenang-senang denganku, dan aku tidak suka menghentikannya sampai dia menyelesaikan keinginannya.” (HR. An-Nasai dalam Kitab At-Thathbiq, hadits nomor 1129).


Usamah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis dalam pangkuan Rasulullah saw. “Rasulullah saw. pernah mengambil dan mendudukkanku di atas pahanya, dan meletakkan Hasan di atas pahanya yang lain, kemudian memeluk kami berdua, dan berkata, ‘Ya Allah, kasihanilah keduanya, karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.’” (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5544).


Begitulah Rasulullah saw. bersikap kepada anak-anak. Secara halus Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., adalah bentuk kejahatan kepada anak-anak. Setidak ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar kemudian memanggil putra orang tua itu dan menghardiknya atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudan anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.


Umar segera memandang orang tua itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah saw. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).


Karena itu Rasulullah saw. kerap mengganti nama seseorang yang bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah saw. memanggil Aisyah dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.


Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain adalah bentuk kejahatan orang tua kepada anaknya. Sikap ini adalah salah satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada orang tuanya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).


Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika orang tua tidak bisa memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal, tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak adalah pemacu bagi orang tua untuk lebih mencintainya dan membantunya. Rasulullah saw. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala birrihi, semoga Allah mengasihi orang tua yang membantu anaknya di atas kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)


Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak


Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi; Ada tiga doa yang dikabulkan: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa (keburukan) orang tua atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat seseorang begitu membenci anaknya. Saking bencinya, seorang ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas semua amal lisannya yang tak terkendali.


Coba simak kisah ini. Seseorang pernah mengadukan putranya kepada Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada orang itu, “Apakah engkau pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” Orang itu menjawab, “Ya.” Abdullah bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah durhaka kepada orang tuanya.



Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak

Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi orang tua kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan orang tua terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang buruk bagi pelakunya.


Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi, berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah swt. dalam bentuk umum. “Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)


Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”


Rasulullah saw. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah, hadits nomor 372).


Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari orang tua kepada anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin, tak ada yang lebih utama yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah, hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk orang tua yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.


Mochamad Bugi
Te


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/20/403/empat-kejahatan-orang-tua-terhadap-anak/#ixzz2q95kZf1D
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Comments

  • 20 PERILAKU DURHAKA ORANGTUA TERHADAP ANAK ...





    Semoga menjadi ibrah buat kita sebagai orangtua, menjadi obat sebagai penawar hati gelisah bagi anak-anak yang terlajur di cap durhaka secara sepihak oleh orang tua dan menjadi muhasabah untuk saya pribadi sebagai orang tua ...

    Intinya semua kembali ke jalan Allah, dan memaafkan itu adalah utama, kesabaran dan keihklasan menjadi pegangan dalam memperbaiki hidup dan sebisa mungkin mengajak orang tua kembali pada Allah ....

    Sebagai muslim, kita bertekad untuk menjadi orangtua yang Islamnya kaffah (sempurna). Karena itu apapun ajaran Islam yang bersangkut paut dengan hal yang tidak boleh atau dosa dilakukan oleh orangtua kepada anak, samasekali kita jauhi.

    Kita tidak boleh terperangkap pada tradisi atau penilaian masyarakat yang telah menjadi lumrah bahwa apapun yang dilakukan orang tua kepada anaknya, tidaklah ada yang dapat dianggap sebagai dosa orangtua kepada anak.

    Anggapan semacam ini membuahkan perilaku-perila ku permusuhan orangtua dengan anaknya atau sebaliknya. Untuk mencegah hal yang tidak baik inilah, kita kembalikan segala ketentuan dalam hubugan orang tua dengan anak pada sumber peraturan Allah dan Rasulnya supaya hidup kita menjadi bahagia sentosa di dunia dan di akhirat.




    20 perilaku durhaka ORANGTUA terhadap anak: ...

    1. Salah memilihkan calon ibu/ayah ...

    2. Menafkahi anak dari hasil yang haram ...



    Membina dan menumbuhkan jiwa keagamaan pada anak-anak atau manusia pada umumnya sangat berkaitan erat dengan makanan dan minuman yang masuk ke dalam rongga perutnya.

    3. Mengajak anak pada kemusrikan ...

    4. Merintangi anak beragama dengan benar ...

    Salah satu sebab orang tua merintangi anaknya untuk beragama dengan benar adalah karena orangtua tidak tahu sama sekali apa sebenarnya agama Islam yang murni, sebab selama ini dia hanya beragama Islam berdasarkan keturunan dan adat istiadat yang ditemuinya ditengah masyarakat.

    Karena itu, ketika dia mengetahui anaknya melakukan hal-hal yang selalu berlawanan dengan apa yang diketahuinya selama ini, dia merasa ditantang oleh anaknya mengenai cara dia beragama dan pengetahuannya tentang agama yang tidak benar itu.



    Ada pula orang tua yang menganggap Islam hanyalah urusan masjid dan surau, sedangkan aspek kehidupan lainnya tidak ada hubungannya dengan Islam. Menurut mereka kenikmatan dunia ini tidak dapat diraih dan direngkuh berdasarkan lapangan hidup Islam.

    5. Menelantarkan nafkah anak ...

    6. Menelantarkan pendidikan agama anak ..

    7. Menempatkan anak dilingkungan yang rusak ...

    Yang dimaksud lingkungan yang rusak secara Islam ialah lingkungan yang membuat anak jauh dari agama Islam dan berperilaku bertentangan dengan Islam.

    8. Memaksakan anak menikah dengan orang yang tidak disukai ...

    9. Merintangi anak menikah ...

    10. Memperlakukan anak tidak adil ...

    11. Membiasakan hal-hal buruk kepada anak ...

    12. Menyerahkan asuhan anak kepada non muslim ...

    13. Membebani anak dengan tugas-tugas di luar kemampuannya ..

    14. Menghilangkan hak waris anak ...

    15. Melahirkan anak diluar nikah ...

    16. Membiasakan anak boros ...

    17. Menciptakan suasana maksiat di lingkungan rumah ...

    18. Memberikan nama yang buruk kepada anak ..

    19. Tidak mengakui sebagai anaknya ..

    20. Membunuh anaknya ...

    (disari dari buku : 20 Perilaku Durhaka ORANGTUA Terhadap Anak
    Penulis : Drs. M. Thalib, Penerbit : Irsyad Baitus Salam, Bandung, 1996)

    Wallahu A'lam Bishawab .
  • GOLDEN AGE atau MASA KEEMASAN




    Apa itu golden age (masa keemasan) ?

    Golden Age atau masa keemasan, adalah �masa-masa penting anak yang tidak bisa diulang�. Beberapa pakar menyebutkan sedikit perbedaan tentang rentang waktu masa golde age, yaitu 0-2 th, 0-3 th, 0-5 th atau 0-8 th, namun semuanya sepakat bahwa awal-awal tahun pertama kehidupan anak adalah masa-masa emas mereka.Pada masa-masa ini, kemampuan otak anak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Apapun informasi yang diberikan akan berdampak bagi si anak di kemudian hari.



    Di masa-masa inilah, peran orang tua dituntut untuk bisa mendidik dan mengoptimalkan kecerdasan anak baik secara intelektual, emosional dan spriritual. Usia tersebut merupakan waktu yang ideal bagi anak untuk mempelajari berbagai macam keterampilan, membentuk kebiasaan-kebiasaan yang akan berpengaruh pada masa-masa kehidupan selanjutnya, dan memperoleh konsep-konsep dasar untuk memahami diri dan lingkungan sekitar.


    Agar masa keemasan ini termanfaatkan secara optimal, maka orangtua diharapkan dapat melakukan proses pengasuhan dan pendidikan dengan cara yang optimal pula. Selain kemampuan dan pengetahuan, orangtua juga memerlukan media pendukung untuk membantu proses tersebut.



    Berikut ini adalah tips dalam memberikan stimulasi/rangsangan anak pada masa golden age guna mengoptimalkan kecerdasan mereka:


    1. Stimulasi yang Anda berikan bisa berupa pengalaman di alam terbuka. Untuk anak-anak pengamatan mereka akan alam sangat detil. Anak-anak biasanya akan belajar banyak dengan hanya mengamati. Orang tua bisa bercerita tetang alam dan binatang. Jawablah pertanyaan anak dengan bahasa mereka yang sederhana. Dan lebih banyak ajukan pertanyaan untuk menggugah rasa ingin tahu anak.


    2. Anak juga belajar dengan mengamati dan meniru Anda. Maka sebagai orang tua Anda bisa menstimulasi mereka dengan menjadi teladan anak. Kalau Anda senang membaca, kemungkinan besar anak pun akan demikian.


    3. Jangan berikan target, tetapi hargailah anak atas usahanya. Kalau anak diberi standar-standar harus bisa membaca pada usia sekian, anak harus pandai membaca, maka anak akan mati-matian menyenangkan orang tuanya walaupun hati mereka tidak bahagia.


    4. Pujilah mereka atas usahanya. Berikan mereka penghargaan atas usaha yang telah mereka berikan dengan hal yang bermanfaat, misalnya dengan mengajak mereka jalan-jalan ke toko buku, taman pintar, water boom dan lain-lain.


    5. Berikan mainan yang bermanfaat bagi perkembangan keterampilan anak seusia mereka. Berilah mereka kasih sayang dan rasa aman sehingga mereka pun akan sanggup memberi kasih sayang pada sesamanya. Di masa golden age, jika peran orang tua membahagiakan dalam kehidupan mereka, memori ini akan terkenang selamanya dan membawa pengaruh positif di kehidupan dewasa mereka kelak.



    Buku seri Halo Balita adalah salah satu media pendukung untuk mengoptimalkan proses pendidikan dan pengasuhan pada masa keemasan balita. Cerita-cerita pada buku ini dirancang khusus untuk mendorong anak dalam membentuk sikap mandiri serta mengenal nilai moral dan spiritual. Elemen-elemen pada buku ini juga dirancang untuk membantu mengembangkan berbagai potensi balita Anda.


    �Dr. Juke R. Siregar, M.Pd.�
    (dalam Halo Balita-Panduan untuk Ayah dan Ibu)
  • pertamax..
    (y)
    keren nih.
  • Ketika Orangtua Justru Durhaka Kepada Anaknya



    Kita banyak mnemukan anak yg Ingkar kpd Orgtuanya bahkan jengkel kepada mereka jk tdk prnah sjalan dg kemauan orangtua. Jk anak tdk mengerjakan perintah, otak kita yg telah terisi oleh akumulasi ilmu pengetahuan agama sejak anak2 dulu hingga skrg mjd orangtua, mgkn lgsg mmberikan perintah kpd tangan untk memukul & mulut untuk mgucapkan kata2 makian..., celaan & umpatan. Kondisi ini perlu diwaspadai bila tindakan & ucapan dr perintah otak itu sdh turun ke hati & mjd sebuah keyakinan lalu memunculkan sebuah kesimpulan, bahwa sang anak tlh durhaka kpd orangtua. Semoga tdk trjadi pd kita.



    Anakku, mana baktimu? Statemen sprti ini sering membangun pmahaman yg tidak berimbang pd orangtua. Mereka selalu menuntut agar hak agama ini terpenuhi dan bila tidak terpenuhi selalu anak yg disalahkan.

    Memang benar, berbakti kpd orangtua adlh kewajiban bg anak & durhaka kpd orangtua adlh salah satu dosa besar yg trbesar. Tetapi jgn lupa bhwa Islam tdk melihat 1 sisi sj lalu melalaikan sisi lain. Islam jg mewajibkan bg orangtua untuk berbuat baik kpd anak2nya, & juga tdk durhaka kpd mereka.

    Seseorang prnah dtg kpd Umar bin Khoththob Radhiyallahu 'Anhu & mengadukan anaknya, “Anakku ini benar2 telah durhaka kepadaku.”

    “Apakah engkau tdk takut kepada Allah dg durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adlh hak orangtua,” kata Umar kepada sang anak.

    “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak atas orang tuanya?”

    “Benar, haknya adalah memilihkan ibu yg baik, memberi nama yg bagus, & mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran).”

    “Demi Allah, ayahku tdk memilihkan ibu yg baik. Ibuku adlh hamba sahaya jelek berkulit hitam yg dibelinya dr pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yg baik untukku. Ia menamaiku Ju’al. Dan dia jg tdk mengajarkan Al-Quran kpdku kecuali 1 ayat sj.” Ju’al adlh sjenis kumbang yg selalu bergumul pd kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yg berkulit hitam & berparas jelek atau orang yg emosional. [Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977]



    Umar menoleh ke sang ayah & berkata, “Engkau mengatakan anakmu tlh durhaka kpdmu tetapi engkau tlh durhaka kpdnya sbelum ia mendurhakaimu. Enyahlah dr hadapanku!.” [As-Samarqandi, Tahbihul Ghafilin, 130]



    Ibnul Qayyim berkata, “Siapa yg mengabaikan pendidikan yg bermanfaat untuk anaknya & membiarkannya begitu sj, maka ia tlh mlakukan `tindakan trburuk thd anaknya itu. Kerusakan anak2 itu kebanyakan bersumber dr orangtua yg membiarkan mereka & tdk mgajarkan kwajiban2 & sunnah diin ini kpd mreka. Mereka tdk mmperhatikan masalah2 agama tsb saat masih kecil, shg saat sdh besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bg orangtua mereka.” [Tuhfatul Maudud, I: 229]



    Karena itu, jgn seenaknya mencela anak. Ada banyak hak anak atas orangtuanya. Bila salah satu sisinya diabaikan, lalu anak menjadi bandel, menyimpang, & keras kepala, ada kemungkinan kita tdk memperhatikan sisi tsb...
  • Golden Age: Tak Mungkin Terulang Lagi (Serial RAJA, PEMBANTU, dan WAZIR Bagian 2)





    MuslimahZone.com – “Usia 0-8 tahun ibarat fondasi pada sebuah bangunan. Jika fondasi tersebut disusun dengan bahan-bahan yang baik dan teranyam kuat, bangunan setinggi apa pun yang ada di atasnya akan berdiri kukuh. Tak akan roboh karena gempa. Fondasi itu adalah usia anak kita 0-8 tahun. Dan bangunan itu adalah usia anak kita setelahnya.”



    Seorang konsultan pendidikan terkenal, Bapak Munif Chatib dalam bukunya Orangtuanya Manusia, memberikan gambaran percobaan yang memudahkan kita memahami betapa pesatnya perkembangan otak anak di usia dini; jika kita punya bayi berusia 0-1 tahun dan kita berikan kepadanya selembar kertas putih. Perhatikan, apa yang dia lakukan terhadap kertas tersebut? Pertama-tama dia akan meraih kertas tersebut dengan cepat (antusias). Kemuadian, mulailah dia meremas-meremas kertas tersebut.


    Begitu mendengar suara kertas, sang bayi masih belum puas, kemudian dia masukkan kertas tersebut ke dalam mulutnya. Sekarang, coba berikan kertas putih tersebut kepada anak kita yang sudah menginjak SMP atau SMA. Tentu, respon mereka akan berbeda sekali dibandingkan dengan bayi tadi. Mungkin anak tersebut akan balik bertanya, “Ini kertas, lalu apa?”




    Begitu melihat kertas atau benda yang menurut dia asing, otak seorang bayi akan melakukan eksplorasi untuk mengetahui dengan detail benda yang dipegangnya. Otak memerintahkan untuk terus discovering atau melakukan penjelajahan tentang kertas sampai kertas tersebut dimakan olehnya. Perkembangan otak, dalam hal rasa ingin tahu, sangat besar pada bayi atau anak usia dini. Bandingkan dengan anak yang sudah menginjak SMP atau SMA. Mereka sepertinya mengalami “stagnasi” berpikir tentang kertas. Percobaan tadi membuktikan bahwa perkembangan otak, dalam hal belajar, sangat besar pada anak usia dini.



    Pada anak berusia 4 tahun separuh potensi intelektualnya sudah terbentuk, sehingga jika pada usia 0-4 tahun seorang anak tidak mendapatkan rangsangan otak yang tepat, kinerja otaknya tidak akan dapat bekerja secara maksimal. Pada usia 8 tahun, kinerja otak anak akan berkembang mencapai 80% dan selanjutnya akan mencapai 100% pada usia 18 tahun. Tak salah jika usia 0-8 tahun dikatakan sebagai usia emas atau golden age.

    Maka, orangtua harus memberikan perhatian yang serius pada faktor tumbuh kembang secara fisik dan psikis pada anak usia dini. Jika orangtua gagal memberikan stimulus yang tepat, artinya hanya membangun fondasi ala kadarnya untuk buah hati tercinta, pada masa remaja dan dewasa, anak layaknya sebuah bangunan dengan fondasi yang rapuh. Jika menemukan persoalan dalam kehidupan, anak tersebut akan mudah dikalahkan oleh masalah. Dia tak akan punya semangat menyelesaikannya, juga untuk berkarya dalam kehidupannya.


    dipitydotcom-1.jpg



    dipitydotcom-1.jpg

    Kapan Usia 0 Tahun Dimulai?

    Usia 0 tahun, dimulai sejak embrio terbentuk dalam kandungan sang ibu. Lalu pada pekan pertama kehamilan, mulailah berlangsung golden age bagi si janin. Jadi, bukan dimulai sejak bayi dilahirkan.

    Kemudian, sebelum usia 4 tahun, bagian otak anak yang bernama amigdala tumbuh dan mencapai puncak perkembangannya. Sementara, bagian lain yang bernama hipokampus relatif berkembang dalam waktu yang lama. Amigdala merupakan pusat penyimpanan memori yang berkaitan dengan rasa (emosi), sedangkan hipokampus merupakan pusat rasio (kognitif).

    Munif Chatib dalam bukunya, Orangtuanya Manusia menganalogikan amigdala sebagai wadah atau piring yang terbuat dari anyaman sel-sel otak dan terbentuk oleh koneksi antarsel otak (neuron). Koneksi ini terjadi jika seseorang mendapatkan informasi atau stimulus yang berkaitan dengan emosi.

    Pada usia 4 tahun, perkembangan otak anak sudah sempurna membentuk wadah atau piring itu terbentuk, selanjutnya stimulus atau informasi yang masuk dalam otak anak kita akan disimpan oleh piring tersebut, lalu masuk ke dalam memori jangka panjang: terpatri dan tak terlupakan seumur hidup.

    Oleh karena itu, jika kita berusaha mengingat peristiwa pada saat umur 1 atau 2 tahun akan sangat sulit sekali, dan yang teringat hanyalah memori saat kita berusia TK atau usia 4 tahun keatas.

    Masa Utama Menanamkan Acuan Emosi dan Tahap Memulai Penanaman Logika

    Sebagai orangtua kita harus benar-benar berusaha memberikan pengalaman-pengalaman emosi yang baik pada anak kita dalam usia dininya. Dalam buku Saat Berharga Untuk Anak Kita karya Ustadz Muhammad Faudzil Adhim, disebutkan bahwa kita cenderung menggunakan pengalaman primordial sebagai acuan ketika kita berada pada kondisi kosong atau panik. Ketika kita tidak dalam keadaan jernih dan tenang dan dalam kondisi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya bersikap.



    Jika kita sekarang mudah melayangkan cubitan, bentakan, cacian ataupun pukulan pada balita kita, ketika kita sedang dalam kondisi emosi meluap, kosong dan tidak jernih. Akibatnya, sangat mungkin terjadi, hal itu pula yang akan anak kita lakukan kelak kepada cucu kita nanti ketika anak-anak kita menjadi orangtua. Atau mereka akan menjadi anak-anak yang keras bereaksi ketika emosi mereka sedang meluap-luap di kemudian harinya. Mereka menjadi manusia-manusia yang tak pandai mengelola emosinya.


    Boleh jadi kita memang sangat membenci sikap kita dan sangat tidak ingin memukul mereka. Tapi jika pengalaman primordial kita seperti itu, dan kita dalam kondisi tidak tahu apa yang harus kita lakukan, maka hal itulah yang akan terjadi. Na’udzubillahi mindzalik. Astaghfirullaha wa atubuilaih. Kita berlindung dari kejahatan diri-diri kita dan dari mengakibatkan seorang muslim kepada keburukan. Aamiin.

    Mungkin itulah mengapa, Rasulullah Saw, mengajarkan kepada kita untuk diam ketika marah. Untuk duduk dari berdiri, untuk berbaring dari duduk ketika kita sedang tak menguasai kejernihan akal kita. Ya, semata-mata untuk mendapatkan kendali iman dan kejernihan tindakan. Termasuk ketika membersamai tumbuh kembang balita-balita kita. Sungguh, sebaik-baik huda (petunjuk) adalah huda Muhammad Saw. Saat ini pula bagaimana spontanitas ucapan seperti mengucapkan hamdallah ketika bahagia, ber-istirja’ ketika bersedih, reflek menolong, dan kelembutan-kelembutan hati harus benar-benar kita teladankan pada mereka.



    Semoga Allah memudahkan upaya kita dalam bersungguh-sungguh memberikan rangsang emosi yang baik pada balita-balita kita, meski pada praktiknya kita berkali-kali gagal. Meski berkali-kali hati kita masih saja keruh ketika menghadapi tingkah polah anak-anak kita. Paling tidak kita harus sering-sering mengingatkan diri bahwa saat inilah, acuan-acuan emosi tentang apa itu senang, sedih, rasa iba, marah, bahagia, puas, citra diri positif dan negatif, pengalaman meredam marah, dan sikap-sikap refleks (spontanitas-spontanitas) anak kita kita tanamkan benihnya. Saat inilah teladan kita benar-benar diperlukan untuk sepanjang kehidupan anak-anak kita.


    Ya, saat inilah kecerdasan emosi anak-anak kita dibentuk. Sepintar, secerdas, dan sekreatif apaun mereka jika tak pandai mengelola perasaan dan emosinya. Apa yang akan terjadi? Terlalu berat kita sekedar untuk membayangkannya saja. Bimbing kami ya Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billah.

    Demikian pula adanya hipokampus, yakni bagian otak yang menjadi pusat rasio (kognitif). Bagian ini akan diisi dengan memori-memori sebab-akibat, logika-logika, dan tata nilai dan norma.

    Jika ketika anak kita berusia 2 tahun ia sengaja melemparkan gelas (karena rasa ingin tahunya yang besar) kemudian kaget dan menangis. Mungkin respon kita akan memarahi gelasnya, bukan anaknya. “Gelasnya nakal ya..loncat..cup cup..”. Tapi berbeda ketika yang anak kita sudah menginjak usia 4 tahun, saat mungkin ia tidak lagi menggemaskan, dan melakukan hal yang sama, yakni memecahkan gelas padahal ia tak sengaja, “Uh, gimana sih, bawa gelas aja ga bisa, lemes amat! Gelas itu mahal tahu!.”

    Padahal saat ini hipokampus harus mulai kita isi dengan logika-logika yang benar dan konsistensi sikap. Agar fondasi logika mereka kokoh dan tidak mengalami kebingungan (bias). Saat ini pula acuan norma adab dan akhlak dan konsistensi sikap kita saat melaksanakannya menjadi fondasi bagi kehidupan mereka kelak.

    Bersambung insya Allah…

    (esqiel/muslimahzone.com)
  • Golden Age: Tak Mungkin Terulang Lagi (Serial RAJA, PEMBANTU, dan WAZIR Bagian 2)





    MuslimahZone.com – “Usia 0-8 tahun ibarat fondasi pada sebuah bangunan. Jika fondasi tersebut disusun dengan bahan-bahan yang baik dan teranyam kuat, bangunan setinggi apa pun yang ada di atasnya akan berdiri kukuh. Tak akan roboh karena gempa. Fondasi itu adalah usia anak kita 0-8 tahun. Dan bangunan itu adalah usia anak kita setelahnya.”



    Seorang konsultan pendidikan terkenal, Bapak Munif Chatib dalam bukunya Orangtuanya Manusia, memberikan gambaran percobaan yang memudahkan kita memahami betapa pesatnya perkembangan otak anak di usia dini; jika kita punya bayi berusia 0-1 tahun dan kita berikan kepadanya selembar kertas putih. Perhatikan, apa yang dia lakukan terhadap kertas tersebut? Pertama-tama dia akan meraih kertas tersebut dengan cepat (antusias). Kemuadian, mulailah dia meremas-meremas kertas tersebut.


    Begitu mendengar suara kertas, sang bayi masih belum puas, kemudian dia masukkan kertas tersebut ke dalam mulutnya. Sekarang, coba berikan kertas putih tersebut kepada anak kita yang sudah menginjak SMP atau SMA. Tentu, respon mereka akan berbeda sekali dibandingkan dengan bayi tadi. Mungkin anak tersebut akan balik bertanya, “Ini kertas, lalu apa?”




    Begitu melihat kertas atau benda yang menurut dia asing, otak seorang bayi akan melakukan eksplorasi untuk mengetahui dengan detail benda yang dipegangnya. Otak memerintahkan untuk terus discovering atau melakukan penjelajahan tentang kertas sampai kertas tersebut dimakan olehnya. Perkembangan otak, dalam hal rasa ingin tahu, sangat besar pada bayi atau anak usia dini. Bandingkan dengan anak yang sudah menginjak SMP atau SMA. Mereka sepertinya mengalami “stagnasi” berpikir tentang kertas. Percobaan tadi membuktikan bahwa perkembangan otak, dalam hal belajar, sangat besar pada anak usia dini.



    Pada anak berusia 4 tahun separuh potensi intelektualnya sudah terbentuk, sehingga jika pada usia 0-4 tahun seorang anak tidak mendapatkan rangsangan otak yang tepat, kinerja otaknya tidak akan dapat bekerja secara maksimal. Pada usia 8 tahun, kinerja otak anak akan berkembang mencapai 80% dan selanjutnya akan mencapai 100% pada usia 18 tahun. Tak salah jika usia 0-8 tahun dikatakan sebagai usia emas atau golden age.

    Maka, orangtua harus memberikan perhatian yang serius pada faktor tumbuh kembang secara fisik dan psikis pada anak usia dini. Jika orangtua gagal memberikan stimulus yang tepat, artinya hanya membangun fondasi ala kadarnya untuk buah hati tercinta, pada masa remaja dan dewasa, anak layaknya sebuah bangunan dengan fondasi yang rapuh. Jika menemukan persoalan dalam kehidupan, anak tersebut akan mudah dikalahkan oleh masalah. Dia tak akan punya semangat menyelesaikannya, juga untuk berkarya dalam kehidupannya.


    dipitydotcom-1.jpg



    dipitydotcom-1.jpg

    Kapan Usia 0 Tahun Dimulai?

    Usia 0 tahun, dimulai sejak embrio terbentuk dalam kandungan sang ibu. Lalu pada pekan pertama kehamilan, mulailah berlangsung golden age bagi si janin. Jadi, bukan dimulai sejak bayi dilahirkan.

    Kemudian, sebelum usia 4 tahun, bagian otak anak yang bernama amigdala tumbuh dan mencapai puncak perkembangannya. Sementara, bagian lain yang bernama hipokampus relatif berkembang dalam waktu yang lama. Amigdala merupakan pusat penyimpanan memori yang berkaitan dengan rasa (emosi), sedangkan hipokampus merupakan pusat rasio (kognitif).

    Munif Chatib dalam bukunya, Orangtuanya Manusia menganalogikan amigdala sebagai wadah atau piring yang terbuat dari anyaman sel-sel otak dan terbentuk oleh koneksi antarsel otak (neuron). Koneksi ini terjadi jika seseorang mendapatkan informasi atau stimulus yang berkaitan dengan emosi.

    Pada usia 4 tahun, perkembangan otak anak sudah sempurna membentuk wadah atau piring itu terbentuk, selanjutnya stimulus atau informasi yang masuk dalam otak anak kita akan disimpan oleh piring tersebut, lalu masuk ke dalam memori jangka panjang: terpatri dan tak terlupakan seumur hidup.

    Oleh karena itu, jika kita berusaha mengingat peristiwa pada saat umur 1 atau 2 tahun akan sangat sulit sekali, dan yang teringat hanyalah memori saat kita berusia TK atau usia 4 tahun keatas.

    Masa Utama Menanamkan Acuan Emosi dan Tahap Memulai Penanaman Logika

    Sebagai orangtua kita harus benar-benar berusaha memberikan pengalaman-pengalaman emosi yang baik pada anak kita dalam usia dininya. Dalam buku Saat Berharga Untuk Anak Kita karya Ustadz Muhammad Faudzil Adhim, disebutkan bahwa kita cenderung menggunakan pengalaman primordial sebagai acuan ketika kita berada pada kondisi kosong atau panik. Ketika kita tidak dalam keadaan jernih dan tenang dan dalam kondisi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya bersikap.



    Jika kita sekarang mudah melayangkan cubitan, bentakan, cacian ataupun pukulan pada balita kita, ketika kita sedang dalam kondisi emosi meluap, kosong dan tidak jernih. Akibatnya, sangat mungkin terjadi, hal itu pula yang akan anak kita lakukan kelak kepada cucu kita nanti ketika anak-anak kita menjadi orangtua. Atau mereka akan menjadi anak-anak yang keras bereaksi ketika emosi mereka sedang meluap-luap di kemudian harinya. Mereka menjadi manusia-manusia yang tak pandai mengelola emosinya.


    Boleh jadi kita memang sangat membenci sikap kita dan sangat tidak ingin memukul mereka. Tapi jika pengalaman primordial kita seperti itu, dan kita dalam kondisi tidak tahu apa yang harus kita lakukan, maka hal itulah yang akan terjadi. Na’udzubillahi mindzalik. Astaghfirullaha wa atubuilaih. Kita berlindung dari kejahatan diri-diri kita dan dari mengakibatkan seorang muslim kepada keburukan. Aamiin.

    Mungkin itulah mengapa, Rasulullah Saw, mengajarkan kepada kita untuk diam ketika marah. Untuk duduk dari berdiri, untuk berbaring dari duduk ketika kita sedang tak menguasai kejernihan akal kita. Ya, semata-mata untuk mendapatkan kendali iman dan kejernihan tindakan. Termasuk ketika membersamai tumbuh kembang balita-balita kita. Sungguh, sebaik-baik huda (petunjuk) adalah huda Muhammad Saw. Saat ini pula bagaimana spontanitas ucapan seperti mengucapkan hamdallah ketika bahagia, ber-istirja’ ketika bersedih, reflek menolong, dan kelembutan-kelembutan hati harus benar-benar kita teladankan pada mereka.



    Semoga Allah memudahkan upaya kita dalam bersungguh-sungguh memberikan rangsang emosi yang baik pada balita-balita kita, meski pada praktiknya kita berkali-kali gagal. Meski berkali-kali hati kita masih saja keruh ketika menghadapi tingkah polah anak-anak kita. Paling tidak kita harus sering-sering mengingatkan diri bahwa saat inilah, acuan-acuan emosi tentang apa itu senang, sedih, rasa iba, marah, bahagia, puas, citra diri positif dan negatif, pengalaman meredam marah, dan sikap-sikap refleks (spontanitas-spontanitas) anak kita kita tanamkan benihnya. Saat inilah teladan kita benar-benar diperlukan untuk sepanjang kehidupan anak-anak kita.


    Ya, saat inilah kecerdasan emosi anak-anak kita dibentuk. Sepintar, secerdas, dan sekreatif apaun mereka jika tak pandai mengelola perasaan dan emosinya. Apa yang akan terjadi? Terlalu berat kita sekedar untuk membayangkannya saja. Bimbing kami ya Allah, laa hawla wa laa quwwata illaa billah.

    Demikian pula adanya hipokampus, yakni bagian otak yang menjadi pusat rasio (kognitif). Bagian ini akan diisi dengan memori-memori sebab-akibat, logika-logika, dan tata nilai dan norma.

    Jika ketika anak kita berusia 2 tahun ia sengaja melemparkan gelas (karena rasa ingin tahunya yang besar) kemudian kaget dan menangis. Mungkin respon kita akan memarahi gelasnya, bukan anaknya. “Gelasnya nakal ya..loncat..cup cup..”. Tapi berbeda ketika yang anak kita sudah menginjak usia 4 tahun, saat mungkin ia tidak lagi menggemaskan, dan melakukan hal yang sama, yakni memecahkan gelas padahal ia tak sengaja, “Uh, gimana sih, bawa gelas aja ga bisa, lemes amat! Gelas itu mahal tahu!.”

    Padahal saat ini hipokampus harus mulai kita isi dengan logika-logika yang benar dan konsistensi sikap. Agar fondasi logika mereka kokoh dan tidak mengalami kebingungan (bias). Saat ini pula acuan norma adab dan akhlak dan konsistensi sikap kita saat melaksanakannya menjadi fondasi bagi kehidupan mereka kelak.

    Bersambung insya Allah…

    (esqiel/muslimahzone.com)
  • Mendidik Anak di 7 Tahun Pertama: Siapakah Anak Kita?



    Mendidik Anak di 7 Tahun Pertama: Siapakah Anak Kita?
    Ilustrasi
    MuslimahZone.com Siapakah anak kita? Tentu sangat sulit menjawabnya karena banyaknya sudut pandang yang melingkupinya. Singkatnya, anak kita adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang.

    Dalam buku Orangtuanya Manusia, Bapak Munif Chatib menganalisis fase pertumbuhan dan perkembangan anak berdasarkan fase status dan fase ruang lingkup berdasarkan riwayat Rasulullah Saw.

    Fase status merupakan perkembangan anak berdasarkan riwayat Rasulullah Saw. dalam membagi tahapan kehidupan seseorang, “Dalam tujuh tahun pertama, anak adalah RAJA; tujuh tahun kedua, menjadi PEMBANTU (yang harus taat dalam menjalankan perintah); sedangkan tujuh tahun ketiga, menjadi WAZIR (menteri) yang bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya.”

    Rasulullah pun menjelaskan fase ruang lingkup sebagai, “Biarkanlah anak-anak kalian bermain pada tujuh tahun pertama, kemudian didik dan bimbinglah mereka pada tujuh tahun kedua, sedangkan pada tujuh tahun berikutnya, jadikan mereka bersama kalian dalam musyawarah dan menjalankan tugas.”

    Anak berusia 0-7 tahun adalah RAJA kecil, yang ternyata punya ruang lingkup yang khas, yakni BERMAIN. Mereka adalah RAJA yang punya kerajaan BERMAIN. Jika kita merawat seorang RAJA, pasti kita harus tetap menghormati dan melayani segala kebutuhannya. Sebagai pengasuh, kita tidak diperbolehkan membentak, memerintah, atau malah memukul RAJA, karena RAJA biasanya punya banyak hak dan ruang lingkup yang kewenangan sehingga akibatnya kita bisa saja “dipecat” atau “dihukum”. Status RAJA ini berakhir ketika mereka memasuki masa tujuh tahun berikutnya.

    Status kedua adalah PEMBANTU. Pada masa ini terjadi penurunan status yang drastis, dari RAJA turun menjadi PEMBANTU, yaitu seseorang yang harus patuh melakukan semua perintah tuannya. Pada masa ini orangtua menjadi TUAN dan anak menjadi PEMBANTU. Nah, berdasarkan fase ruang lingkup kedua dalam konsep Rasulullah Saw. status PEMBANTU ini memiliki hak dan kewenangan dalam ruang lingkup DIDIK dan BIMBING. Artinya, PENDIDIKAN dan BIMBINGAN adalah hak yang harus didapat anak pada masa 7 tahun kedua (7-14 tahun). Ada perbedaan yang jelas antara pendidikan dan bimbingan. Pendidikan lebih bermakna penanaman pengetahuan atau menanamkan isi sebuah kurikulum, sedangkan bimbingan adalah pengasuhan untuk membentuk kepribadian pada jalan yang diinginkan.

    Status ketiga adalah WAZIR, yang berarti terjadi peningkatan status kembali pada anak di tahun ketiga. WAZIR adalah jabatan terhormat yang biasanya berperan penting dalam kehidupan bernegara. Dan keluarga adalah miniatur sebuah negara. Bayangkan, jika kita punya WAZIR di rumah, tentu akan sangat membantu. Apalagi jika sang WAZIR ini memiliki ruang lingkup MUSYAWARAH dan BERSAMA MENJALANKAN TUGAS atau KERJASAMA.

    Tentunya, dalam kehidupan berkeluarga banyak masalah kompleks yang terjadi. Dalam status WAZIR< anak kita bisa selalu membantu untuk mencari jalan keluarnya. Selalu memberikan sumbangsih pikiran, dan ikhlas membantu orangtua untuk bersama-sama menghadapi dinamika dalam keluarga. Kenyataan yang tidak dipungkiri adalah terdapat siklus yang alami dalam kehidupan berkeluarga: orangtua berusia makin lanjutdan kembali pada masa seorang bayi, yang penuh ketergantungan pada pihak lain. Lalu, saat rangtua berusia lanjut anaklah yang secara alami membantu semua aktivitas orangtua dan permasalahannya.

    Orangtua di manapun tentu mengharapkan anak mereka menjadi manusia yang sukses dan berhasil saat dewasa. Artinya, kesuksesan tersebut dicapai ketika anak berada pada tahap 7 tahun ketiga. Untuk menuju kondisi ideal tersebut, tentunya orangtua harus berusaha melakukan pendekatan yang tepat pada dua tahap 7 tahun sebelumnya. Jika pada 7 tahun pertama dilewati orangtua dengan cara yang salah maka pada tujuh tahun kedua orangtua akan banyak mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan anak. Akhirnya, pada masa 7 tahun ketiga, anak tumbuh menjadi pribadi yang kehilangan kepercayaan dan moral. Semoga hal ini tidak terjadi dengan keluarga kita. Aamiin.

    Tulisan ini insya Allah bersambung dengan paparan yang lebih mendalam tentang bagaimana orangtua menjadi ‘PELAYAN’ bagi sang RAJA kecil.

    (esqiel/muslimahzone.com)
  • RAJA Kecil yang Sangat Sensitif (Serial RAJA, PEMBANTU, dan WAZIR Bagian 4)




    MuslimahZone.com – Masa-masa awal golden age adalah masa dimana bagian otak yang bernama amigdala berkembang sangat pesat dan mencapai puncak perkembangannya sebelum usia anak mencapai 4 tahun*. Amigdala merupakan pusat penyimpanan memori yang berkaitan dengan rasa (emosi). Bapak Munif Chatib dalam Orangtuanya Manusia, menggambarkan amigdala sebagai sebuah wadah piring tempat menyimpan memori yang terbentuk sempurna sebelum anak berusia 4 tahun. Ketika piring tersebut sudah terbentuk sempurna, maka memori yang terekam di dalamnya tersimpan dengan sangat baik.

    Amigdala teranyam dari sel-sel otak dan terbentuk oleh koneksi antarsel otak (neuron) yang terjalin ketika seorang batita mendapatkan stimulus atau rangsang yang berkaitan dengan emosi. Itulah mengapa anak usia dini memiliki sensitivitas yang tinggi. Mereka mudah menangis, mudah marah, mudah bertengkar, namun sangat mudah pula tertawa, tersenyum, dan berdamai dengan kawan-kawannya.

    Dalam buku Saat Berharga Untuk Anak Kita, Ustadz Muhammad Faudzil Adhim menguraikan tentang psikologi komunikasi yang menyatakan bahwa perilaku komunikasi seseorang dipengaruhi oleh pengalaman primordialnya, yakni apa yang pernah ia alami pada situasi yang kurang lebih sama dengan yang ia hadapi sekarang. Seseorang cenderung menggunakan pengalaman primordial sebagai acuan ketika kita berada pada kondisi kosong atau panik. Ketika kita tidak dalam keadaan jernih dan tenang dan dalam kondisi tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya bersikap.


    Kalau dulu orangtuanya meninabobokan dengan kipas sate saat ia rewel, ia juga cenderung akan melakukan hal yang sama bila anaknya tak kunjung mau memejamkan mata. Kalau dulu ibunya mengusap-usap lembut kepalanya ketika mengadapi rengekannya, ia pun cenderung demikian terhadap anaknya kelak. Kalau dulu orangtuanya melayangkan cubitannya saat ia menangis, ia pun cenderung melakukan hal yang sama ketika emosi sedang mendidih. Jadi, bagaimana sikap kita kini memperlakukan anak kita sangat mungkin terbawa menjadi bagaimana ia bersikap kelak.

    Hal ini semakin nyata ketika sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Hasan Ahdi, Kepala Divisi Psikiatri National Society for Care of Children terhadap 500 narapidana. Simpulan penelitian itu menyatakan bahwa penyebab utama tindak kriminal pertama anak-anak usia 12-13 tahun adalah kurangnya cinta dan kasih sayang keluarga terhadap mereka pada masa kecilnya*.

    Imam Ghazaliy dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menasihati kita para orangtua: Jangan terlalu banyak mencelanya (anak) setiap waktu, karena ia akan menganggap remeh setiap mendengar celaan saat melakukan kejelekan dan nasihat pun tidak lagi menyentuh hatinya**.

    Memaksimalkan Potensi Sensitivitas Sang RAJA Kecil

    Sensitivitas anak kita saat golden age ini sesungguhnya merupakan karunia yang tak akan terulang. Ia merupakan potensi suci yang seharusnya senantiasa kita kawal agar menjadi modal yang sangat berharga bagi mereka untuk menempuhi kehidupannya kelak. Modal itulah yang harus kita pelihara agar tak melenceng dari fitrahnya, yaitu cenderung kepada kebaikan. Semoga Allah memudahkan kita. Aamiin.

    Ada beberapa nasihat yang disampaikan oleh Bapak Munif Chatib dalam bukunya, Orangtuanya Manusia terkait dengan sensitivitas ini. Beliau mengimbau agar para orangtua membiasakan diri untuk memberikan rasa cinta dan kasih sayang sederhana kepada anak-anaknya yang berstatus RAJA, antara lain dengan cara:

    Membiasakan bersuara menyejukkan. Jangan biasakan membentak. Jika suara kita tergolong nyaring (loud), usakan berbicara tidak terlalu cepat, sebab yang penting adalah intonasi kita ketika bicara. Bisa jadi, suara kita pelan, tapi intonasinya keras sehingga membuat anak ketakutan.
    Membiasakan memeluk dan mencium anak, sebab pelukan dan ciuman bagi anak usia dini akan dirasakan sebagai selimut kelembutan bagi mereka.
    Membiasakan memberikan sebutan atau gelar yang positif jika memanggil anak. Misalkan, anak shalih, anak ganteng, si manis, dan lain-lain.


    *Orangtuanya Manusia, Munif Chatib


    @iansunda

    maksud nya?

    .
Sign In or Register to comment.