It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Cieeeeee XD
Yes I know 8->
Kecupan itu terasa begitu hangat saat usai hujan seperti ini, sehangat dekapan eratnya yang seakan takkan lepas dihantam waktu. Cuaca begitu dingin pagi itu, tentu saja kota telah diguyur hujan deras dari siang kemarin tanpa sedikitpun jeda untuk memberi kesempatan pada matahari demi menampakkan wujudnya. Barulah subuh tadi ia berhenti namun tetap meninggalkan mendung menggantung di langit dan gerimis untuk menemani pagi hari itu.
Pemuda dalam pelukan sedikit menggigil saat angin berhembus agak kencang hingga helaian rambutnya pun ikut terbang tak beraturan. Sepasang tangan kokoh menarik lebih tinggi selimut untuk menutupi tubuh keduanya yang sedang bersantai di sebuah kursi malas pada balkon sebuah villa.
“Mau pindah kedalam saja?”
“........”
“Ian, kamu sudah mulai menggigil”
Tawaran itu dijawab dengan gelengan pelan namun tegas.
“Aku masih mau disini Gun, pemandangan diluar sana sangat indah setelah hujan”
Mata Gugun ikut melihat ke arah pandangan Ian. “Ya, memang sangat indah. Sayang kita tidak bisa jalan-jalan” terdengar jelas nada kesal dalam kalimat Gugun, bahkan dia mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit menggerutu.
Ian terkekeh kecil, lalu mendongak agar bisa menemukan tatapan hangat kekasihnya “Ini sudah jauh dari cukup Gun, jangan terlalu memaksakan diri seperti itu”
“Tapi...”
“Satu-satunya hal yang membuatku senang dan bahagia adalah bisa bersamamu”
Kalimat itu disambut dengan tatapan kagum sebelum akhirnya mendapat penghargaan berupa ciuman yang dalam dan menggairahkan.
Hujan masih setia menetes dari langit hanya saja, tetesannya sudah tidak sederas tadi siang. Jalanan tampak lengang, lampu-lampu kota telah dinyalakan untuk sedikit mengusir kegelapan malam. Hawa dingin diluar sana, Ian bisa merasakannya dibalik kaca jendela restoran berukuran besar yang sedang dia bersihkan. Dingin menusuk.
Butiran air hujan yang menempel pada kaca bagian luar seolah mengajaknya bercengkrama hingga Ian begitu menikmati memandangi butiran air yang tak terhitung jumlahnya itu.
Mereka telah berbicara tanpa kata, membawa Ian bersama mereka ketempat yang jauh dimasa lalu. Saat dimana udara dingin seperti diluar sana berhasil membuat tubuh Ian menggigil dan tangan kokoh itu merengkuhnya. Butiran itu juga seakan mengingatkan bahwa mereka ada disana, menjadi saksi, saat peristiwa bahagia itu berlangsung.
Senyum Ian merekah diantara matanya yang berkaca-kaca. Sedangkan hatinya telah lebih dulu melompat kegirangan menyambut rindu yang kembali hadir membuncah didadanya.
Ian menyerah, dia membiarkan tubuhnya bergerak perlahan hingga keningnya menyentuh jendela kaca. Seolah memberi persetujuan pada butiran air diluar sana untuk membawanya kembali lebih jauh lagi pada setiap memori indah yang dia alami dimasa lalu. Untuk kali ini Ian tidak akan menolak, dia akan menikmati setiap potongan memori yang disajikan untuknya. Karena dengan begitu sedikit dari rasa rindu yang dia rasakan mungkin akan terobati.
Begitu damai, seakan segala sakit itu tidak pernah ada. Hanya ada bahagia, bahagia yang selalu dia idamkan untuk terus ada dan hidup bersama detak jantungnya.
Klik!
Ian tersadar dan segera menarik diri dari mimpi masa lalu, yang sempat menawarkan kebahagian semu padanya, saat tiba-tiba lampu dinyalakan oleh seseorang padahal Ian sengaja membiarkan ruangan itu dalam keadaan remang-remang.
“Ian? Masih disini? Kukira kau sudah pulang”
Terang saja Toni heran plus kaget, karena rekan Ian yang lain telah pulang sejak tadi. Dan dia pikir Ian juga sudah pulang bersama yang lainnya setelah menyelesaikan pekerjaannya membersihkan kaca. Ditambah lagi keadannya remang-remang seperti tidak ada orang.
“Belum mas, aku siap-siap sekarang”
“Ya udah buruan, aku tunggu disini”
Sebagai kepala chef, Toni diberi tanggung jawab khusus untuk memegang kunci restoran. Dia harus datang paling cepat dan pulang paling terlambat setiap harinya. Dan jika ternyata masih ada pelayan seperti sekarang, dia terpaksa menunda kepulangannya dan menunggu karena tanggung jawab mengunci pintu ada padanya. Pak Rudi sendiri belum mempertimbangkan untuk memberikan kunci dupliat kepada masing-masing pelayan. Kepercayannya belum sejauh itu. Lagipula jika mengingat seperti apa pemilik restoran yang sebenarnya, pak Rudi sudah semestinya mengambil tindakan demikian.
“Maaf mas, jadi nunggu aku akhirnya!”
Ian datang terburu-buru dari dalam restoran setelah berganti pakaian, tak ingin membuat kepala chefnya menunggu lebih lama lagi.
“Tidak masalah!” Katanya santai seraya mengunci pintu. “Ayo pulang!” Ajaknya.
Meraka lantas berjalan beriringan menuju jalan raya untuk menunggu trasportasi, dan hujan telah benar-benar berhenti kala itu.
Ian melipat tangan didada untuk melawan hawa dingin yang menerpa, tidak seperti Toni yang kelihatannya baik-baik saja dengan tubuh tegapnya menghadapi cuaca seperti ini.
“Sedang apa kau tadi didepan jendela gelap-gelapan?”
“Huh?” Jelas Ian dibuat terkejut oleh pertanyaan Toni. Dia tidak menyangka jika itu yang akan menjadi pembuka percakapan mereka sambil menunggu trasportasi. Dan jangan bilang Toni melihat adegan menempelkan kening kejendela yang pasti sangat memalukan tadi.
“La-lagi...cuma lagi ngeliatin hujan kok mas”
Toni tersenyum ramah menatap jalan raya.
“Kenangan masa lalu, huh?”
Sekali lagi Ian tersentak kaget dan tawa Toni seketika pecah.
“Jadi tebakanku benar?”
Ian tidak menjawab, untuk apa? Toni sudah tahu jawabannya. Pasti dia melihat adegan dijendela tadi.
“Kau masih betah bekerja direstoran kan?” Toni bertanya random begitu untuk mengalihkan percakapan karena sebelumnya dia melihat gerak-gerik tidak nyaman yang ditunjukan Ian terhadap godaannya. Akan tetapi yang ditanya malah menunjukkan raut kebingungan lalu menjawab kaku.
“Ya, tentu saja”
Toni kembali memperlihatkan senyum ramahnya yang sangat jarang dia perlihatkan jika sedang bekerja. Orang ini akan menjadi orang lain jika sudah berada didapur.
“Bagus, jangan sampai masalah membuatmu kian terpuruk”
Toni semakin memamerkan senyumannnya menghadapi wajah Ian yang juga semakin kebingungan.
“Etahlah, tapi sepetinya kau sedang melewati masa yang sangat sulit” Katanya lagi.
Ian menatap Toni yang juga balik menatapnya.
“Atau itu cuma dugaanku saja?”
“........”
Sekali lagi tawa Toni pecah mendapati Ian yang justru malah tercengang kehilangan kata-kata seperti orang yang tertangkap basah. “Tidak perlu melihatku sampai seperti itu Ian” Katanya diantara tawa yang masih menggema.
“Apapun yang sedang kau alami, seberat apapun itu semua pasti ada akhir. Dan orang bilang selalu ada pelangi setelah badai, ya kan?. Ah! Taxiku sudah datang, aku duluan!” Toni mengakhiri kalimatnya dengan menepuk pelan bahu Ian. Dan sebelum Ian sempat bertanya mengapa Toni bicara begitu, si kepala chef sudah berada dalam taksinya yang segera melaju menembus dinginnya malam.
Ian mencoba mencerna setiap kata yang Toni ucapkan padanya, memang cukup mengejutkan, tapi semua yang diucapkan Toni tadi adalah benar. Hanya saja bagaimana Toni bisa tahu tentang Ian yang tengah melewati masa sulit belakangan ini? Apa Toni punya indra keenam? Dan seingat Ian dia tidak pernah berhubungan dekat denga Toni sampai pria itu bisa menebak begitu tepat mengenai Ian. Bahkan ini juga kali pertama bagi Ian pulang bersama pria itu.
Aneh!
Itulah kata yang melintas dibenak Ian mengingat peristiwa tadi. Namun beberapa kalimat Toni yang seperti nasihat itu, tak bisa Ian abaikan begitu saja. Semenyedihkan itukah Ian terlihat selama ini? Sampai Toni yang sebelumnya belum pernah dekat dengannya saja ikut memberinya nasihat juga dukungan.
Ian lalu merogoh kedalam saku celananya mengeluarkan sebuah yang Dewa berikan padanya tadi pagi.
-Flashback-
Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk kesekian kalinya, dan si pemilik apartemen yang sudah terlanjur dibuat kesal berjalan mendekati pintu dengan wajah masam.
“Kau telat!” Bentaknya segera setelah pintu terbuka.
“Maaf pak, saya...”
“Simpan alasanmu dan cepat siapkan sarapan untukku!”
“Baik pak!”
Tak ada bantahan lagi dari Ian, yang dia lakukan adalah segera mengikuti Dewa menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk orang itu. Sebelum memulai pekerjaannya Ian sempat melihat bagaimana kasarnya Dewa ketika menarik sebuah kursi untuk duduk, dan hal itu membuat Ian menarik nafas panjang.
Entah apa yang ada dipikiran orang satu itu hingga memberi Ian tugas baru yaitu menyiapkan sarapan untuknya setiap pagi tanpa libur. Dan itu berlaku sejak hari kedua setelah kejadian dimana Ian tertidur dan terbangun diranjang Dewa. Tak ada yang tahu maksud Dewa melakukan itu, kecuali dia sendiri, namun yang pasti Ian dibuat benar-benar kerepotan karenanya.
Mulai sekarang dia harus berangkat lebih pagi dari biasanya dikarenakan tugas tambahan itu. Jika tidak dia tidak akan bisa mengejar agar tiba tepat waktu direstoran. Ian tidak memberitahu pak Rudi mengenai hal ini dan dia berencana untuk tidak akan memberitahu beliau. Meskipun mungkin, jika Ian memilih bercerita, pak Rudi akan memahami hal tersebut mengingat beliau paham betul dengan tabiat Dewa. Tapi tetap saja, Ian merasa akan lebih baik jika dia tidak memberitahu. Ini seolah menjadi urusan dia pribadi dengan boss besar.
Hanya saja ada satu yang Ian agak herankan namun menjadi sisi positif tersendiri, beberapa hari terakhir Dewa tidak lagi mengatai Ian suka menggoda atau hal sejenisnya. Bahkan dia juga tidak lagi mengungkit masalah Ian yang tertidur dikamarnya. Bukannya apa, cuma jika mengingat sifat Dewa bukan tidak mungkin dia mengungkit hal itu terus menerus tanpa henti.
Kembali pada Ian, selama menyiapkan sarapan yang diminta Dewa, Ian bisa merasakan kalau orang itu mengawasinya dengan tatapan yang ia sangat yakin tidaklah lebih ramah dari yang pertama kali dia tunjukkan saat membuka pintu. Hanya Ian saja yang bersikap sok tenang padahal kenyataannya dia amat tidak tenang bekerja dalam situasi seperti sekarang.
Tidak hanya Ian, orang lain sekalipun akan merasa hal yang sama. Siapa juga yang tahan bekerja ditemani tatapan yang seakan siap mengoyak dan mencabik tubuh mangsa.
Dua potong sandwich, segelas susu juga sepiring salad buah tersaji di atas meja yang tidak butuh waktu lama segera menyisakan piring dan gelasnya saja. Alis Ian sampai naik sebelah sangking tercengangnya, tidak percaya jika Dewa sedang melakukan rutinitas sarapan karena, dia justru terlihat seperti orang kelaparan sedang makan.
Kemudian seperti yang sering dia lakukan, Dewa lantas pergi tanpa sepatah kata pun apalagi ucapan terimakasih. Ian bergegas mencuci piring dan membereskan segala sesuatunya supaya Dewa tidak meneriakinya seperti saat hari pertama dia melakukan tugas ini. Saat itu Dewa berteriak-teriak didepan pintu menyuruh Ian bergegas karena dia harus segera kekantor dan pintu hendak dia kunci sementara pada waktu bersamaan dia juga ingin Ian membersihkan dapurnya tanpa ada sedikitpun kotoran disana. Namun saat dia sedang memburu pekerjaannya, suara benda jatuh diatas meja makan membuatnya berpaling.
“Simpan kuncinya, jadi besok kau tidak perlu mengedor pintu apartemenku seperti tadi dan pastikan kau tidak terlambat!”
Dewa bicara dengan raut wajah datar khasnya menekan penuh kata ‘tidak terlambat’
“Baik pak!”
Dan seperti biasa juga hanya itu jawaban dari Ian. Entah kapan pria ini bisa mengatakan tidak pada orang lain, tidak perlu banyak cukup sekali saja, cukup sekali. Namun sepertinya butuh waktu yang lama dan usaha keras untuk bisa melakukan hal tersebut sebab, ini tentang Ian bukan orang lain.
Meski telah memiliki kunci apartemen Dewa yang berarti dia tidak perlu memburu pekerjaannya lagi, Ian tetap memilih bergegas. Dia tidak mau Dewa justru punya alasan lain untuk memojokkannya sebab berlama-lama didalam apartemen padahal, dia sendiri yang memberikan kunci itu pada Ian.
Sebagaimana dia juga tidak mau menyibukkan diri untuk berpikir mengapa Dewa melakukan hal itu. Hal yang menurut Ian sangat aneh untuk dilakukan dan sepertinya dilakukan tanpa berpikir dua kali sama seperti, ketika dia menyuruh Ian menyiapkan sarapan untuknya.
Tidakkah dia menaruh curiga jika Ian bisa saja menyalahgunakan kunci tersebut? Tentu saja tidak, karena dia punya cukup kekuatan untuk mematahkan setiap inci tulang Ian jika sampai itu terjadi. Dan satu lagi yang meyakinkan Ian untuk tidak perlu memikirkan hal tersebut adalah kenyataan bahwa Dewa memiliki sifat yang tidak tertebak.
Bergegas dari apartemen Dewa, Ian masih sempat melihat mobil pria itu melaju menjauhi gedung apartemen. Dia sendiri mengikuti jejak Dewa dengan langkah lebar karena waktu yang dia miliki untuk tidak terlambat sampai kerestoran semakin menipis. Beruntung Ian bisa segera menemukan transportasi sehingga hal yang lebih buruk tidak perlu menimpanya.
-End flashback-
Ian menatap kunci ditangannya dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua kepahitan ini akan berakhir dan dia pasti bisa melewatinya. Yang perlu dia lakukan sekarang adalah pulang lalu menistirahatkan tubuh lelahnya supaya bisa bangun cepat esok hari karena Dewa sudah pernah memperingatkannya untuk tidak terlambat.
Dan keesokan harinya Ian melakukan sesuai perintah, dia tiba lebih pagi bahkan sedikit lebih pagi dari pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja yang menjadi kendala Ian justru kehilangan keberanian didepan pintu apartemen Dewa. Kunci itu sudah dipegangnya tapi dia ragu untuk memasukkannya kedalam lubang kunci dan membuka pintu tersebut. Menari dipikirannya kemungkinan Dewa telah berubah pikiran lagi dan itu membuat nyalinya ciut. Akan tetapi bayangan kemarahan Dewa jika Ian tidak segera masuk justru lebih menyeramkan. Tidak ada pilihan lain, Ian memang harus masuk.
Klik!
Kunci memutar dengan luwes hingga menimbulkan bunyi pertanda telah terbuka. Perlahan Ian menekan gagang pintu sampai pintu itu terbuka. Takut-takut Ian memasukkan sedikit kepalanya, mengintip.
“Permisi!”
Tak ada jawaban.
Ian pun memberanikan diri untuk masuk. “Permisi!” Sapa Ian ulang. Masih belum ada jawaban, ‘kemana Dewa, apa dia sudah berangkat?’ Ian bertanya-tanya sendiri sambil berjalan masuk menuju dapur. Berangkat atau belumnya Dewa dia memilih tetap menyiapkan sarapan daripada menerima resiko jika tidak melakukannya.
Ian mengeluarkan beberapa bahan dari dalam kulkas, masih belum terpikir akan membuat apa hari ini. Saat sedang memutar otak memikirkan menu yang akan dimasak, suara pintu kamar Dewa terbuka. Dalih terlihat rapi dengan kemeja dan jasnya, Dewa ternyata malah baru bangun tidur. Wajah mengantuk itu, rambut yang masih acak-acakan, bahkan dia berjalan setengah memejamkan mata, ‘Dewa? Benarkah itu Dewa’ batin Ian tidak percaya. Yang diperhatikan malah dengan cuek menarik kursi dan duduk sambil mengusap muka diikuti usapan menyisir rambut asal.
“Aku haus, masih ada susu?” Tanya Dewa parau.
Ian segera membuka kulkas untuk mengecek, “Masih, masih ada separuh”
Ian lalu mengeluarkan sekotak susu segar yang tinggal separuh itu. Ian baru saja hendak mengambil gelas saat tiba-tiba tangan Dewa telah berada disana untuk mengambil gelas yang sama. Entah kapan orang itu berada disana, Ian benar-benar tidak menyadarinya. Posisi Dewa sangat mendesak, mengapit Ian hingga tak ada jarak diantara mereka, lalu dengan gerakan memeluk dari belakang Dewa menjangkau susu ditangan Ian.
Walaupun hanya sekilas, Tapi Ian bisa dengan jelas merasakan gesekan hidung Dewa di pipinya. Dan aroma itu, menyeruak memanjakan indra penciuman Ian dengan mesra. Parfum yang entah kapan Dewa semprotkan itu masih menyisakan aroma yang begitu halus dan menenangkan.
Untuk beberapa detik lamanya tubuh Ian tak dapat bergerak, kaku. Bahkan Ian sampai tidak sadar bahwa Dewa telah kembali duduk dikursinya sambil menikmati segelas susu.
“Aku mau sarapan daging asap dan telur juga sedikit kentang”
“Huh? I-iya, akan saya siapkan” Jawab Ian dintara degupan jantungnya yang menggila. ‘Apa yang baru saja terjadi?’ Batinnya.
Nyaris semua orang akan bereaksi demikian jika mengalami hal serupa. Terlepas dari ada atau tidaknya rasa ketertarikan, jika dihadapkan pada keintiman seperti tadi hati mana yang tidak akan melompat tak karuan?
Menunggu Ian menyiapkan sarapan untuknya, Dewa melakukannya dalam diam. Dia kelihatan tidak bersemangat, bahkan tidak bersemangat walau untuk sekedar memberi Ian tatapan membunuhnya. Tidur hanya satu setengan jam setelah pulang hampir subuh sudah semestinya membawa Dewa pada kondisi seperti itu. Sulit melakukan pekerjaan lain jika mata saja tak mampu dibuka.
Ian yang sibuk dengan pekerjaannya tak mau sekalipun menoleh hingga harus mendapati tatapan membunuh Dewa yang mungkin sedang mengawasinya. Belum lagi kejadian tadi yang masih setia mengganggu Ian, dia tidak tahu harus bersikap seperti apa jika tiba-tiba Dewa mengungkit hal itu meski tadi dia terlihat santai saja.
Ian hanya tidak tahu padahal yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan Dewa telah kembali terlelap dikursinya dengan posisi tangan kiri menompang kepala. Ian baru tahu saat dia seudah selesai dengan masakannya dan masih dengan gugup berbalik menghadap Dewa untuk melapor bahwa sarapan telah siap.
“Pak, sarapan anda sudah si...ap”
Yang diberi laporan tidak bisa menjawab karena setengah dari kesadarannya telah berada dialam mimpi. Ian mendekat perlahan dengan tatapan tidak percaya, ‘Jika dia masih mengantuk kanapa dia bangun?’ pikir Ian bingung. Dan dia bersumpah tidak akan berani mengganggu orang itu tidur.
Tidur bertompang tangan bukanlah ide bagus, atau mungkin Dewa yang terlalu mengantuk karena perlahan tompangannya melemah hingga pelan tapi pasti kepala Dewa terjatuh, pada saat itulah pria itu terkejut dan segera membuka mata.
“Sudah selesai?” Tanya Dewa mengucek mata yang masih sulit untuk dibuka, dia lantas mengulurkan tangan meminta piring di tangan Ian. Ian menyerahkannya. Dan Dewa pun menyantap sarapannya dengan khidmat dengan mata yang sesekali terpejam.
Ian hanya memandang takjub atau lebih tepatnya tak habis pikir dengan pemandangan yang sedang disajikan untuknya. Entah bisa dikatakan beruntung atau tidak, sepertinya hari Ian ini benar-benar diberi kesempatan untuk melihat sisi lain dari seorang Dewa. sejak orang itu bangun hingga sekarang belum sekalipun dia mengeluarkan kata-kata ataupun aura dinginya yang menusuk. Mungkinkah rasa kantuknya yang menjadi alasan? Sebab biasanya Dewa akan tetap setia dengan wajah dinginnya meski Ian telah melakukan sesuai yang dia perintahkan.
“Aku selesai” Ujarnya begitu dia menghabiskan sisa susu dalam gelas sementara piringnya telah kosong lebih dulu.
Ian sudah hendak piring dan gelas tersebut namun dia kalah cepat dengan Dewa yang segera membawa piringnya ke pencucian. Dan hal yang langka kembali terjadi saat Dewa dengan tenangnya mengambil spons cuci piring dan menghidupkan kran.
“Biar saya saja pak!” Tahan Ian cepat.
Dewa menoleh, “Oke!”
Ian mengambil alih spons tersebut dan segera mencuci piring sebelum Dewa melakukan hal yang lebih aneh lagi, setidaknya menurutnya.
“Aku diruang televisi, tolong bawakan kopi untukku setelah kau selesai dengan itu!”
“Baik pak!”
Ada apa dengan cara bicaranya hari ini pikir Ian, dan terlebih lagi baru saja dia bilang ‘Tolong?!’ Dia mengawali perintahnya dengan kata tolong yang berarti dia tidak sedang memerintah melaikan meminta bantuan. Atau jika pun itu tetap dikatakan perintah, maka itu adalah perintah yang diutarakan dengan sopan.
Ian seakan tidak sedang berada diapartemen Dewa dan orang yang dia hadapi saat ini adalah orang lain yang tidak dia kenal. Dan bukannya senang Ian justru malah gugup menghadapi situasi seperti ini. Dia takut jika ini berlanjut maka semakin buruk kemungkinan yang menimpanya nanti.
Secangkir kopi dengan sedikit asap yang masih mengepul dibawa Ian ketempat Dewa berada. Dari jauh Ian sudah bisa mendengan suara televisi yang menyala dan Dewa duduk menghadap televisi dengan mata terpejam. Dia tertidur kembali sambil memeluk bantal sofa. Dan entah mengapa itu justru terlihat manis dimata Ian, begitu polos, seperti anak kecil. Siapa sangka jika dalam keadaan terjaga dia akan berubah jadi orang dingin dan kasar.
Ian meletakkan cangkir kopi dimeja yang berada tepat di depan Dewa, dan bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Membangunkan Dewa? tentu saja tidak, dia sudah bersumpah tidak akan berani melakukannya. Karena itu, tanpa rasa manusiawi Ian memutuskan untuk meninggalkan Dewa begitu saja pada posisi tidur seperti itu. Sebenarnya masih terlalu pagi untuk pergi kerestoran, namun itu bukan masalah bagi Ian sebab ada banyak pekerjaan yang harus dia lakukan disana, lagi pula keberadaannya disini sudah tidak dibutuhkan lagi.
Ian keluar dan tak lupa mengunci pintu apartemen sebelum benar-benar pergi, ada sedikit keraguan sebenarnya untuk pergi dan semakin jauh dia melangkah keraguan itu kian kuat terasa. Lalu tanpa Ian sadari dia telah kembali ke apartemen Dewa, dan sebelum dia tahu bagaimana dia melakukannya dia telah berada disisi Dewa yang masih tertidur dengan posisi semula. Untuk beberapa detik lamanya Ian hanya berdiri mematung sambil sesekali menarik nafas dalam. Sampai akhirnya dia yakin telah siap, dia pun menggoyangkan tubuh terlelap Dewa.
“Pak!”
“......” Tak ada jawaban.
“Pak!” Panggil Dewa lagi.
“Hmm?!”
Dewa membuka mata menatap bingung pada Ian.
“Kalau anda masih mengantuk sebaiknya tidur didalam saja” Ujar Ian takut.
Dewa mengusap wajahnya pelan dan mengangguk pelan.
“Ya!” Katanya singkat.
Dewa sudah berdiri saat dia melihat kopi diatas meja.
“Kopiku?” Tanyanya.
“Iya, itu kopi yang anda minta tadi” Balas Ian.
Dewa segera duduk kembali dan meraih cangkir kopinya, menyesapnya pelan-pelan hingga hanya tersisa sedikit saja didasar cangkir. Ian hanya memperhatikan dalam diam, hatinya masih diliputi kengerian akan amukan Dewa yang bisa terjadi kapan saja.
Tapi yang ditakuti justru dengan tenang bangkit dari sofa dan berjalan terhuyung menuju kamarnya. Baru bebarap langkah berjalan Dewa berhenti sambil mengusap keningnya. Reflek Ian segera menghampiri dan bertanya “Kenapa pak?”. Saat itulah Dewa mengalungkan tangannya pada pundak Ian yang jelas sangat mudah dia lakukan mengingat tubuhnya yang lebih tinggi.
“Kepalaku pusing tiba-tiba, bantu aku kekamar” Ujarnya memejam mata seolah menahan sakit.
Tak ada waktu untuk tertegun lebih lama bagi Ian, dia segera membawa tubuh jangkung Dewa kekamarnya. Disana tubuh itu dibaringkan, diatas peraduan yang membuat Ian gelisah jika mengingat dirinya pernah terlelap disana.
“Ada yang anda butuhkan pak?”
“Hmm? Ponselku!”
“Ponsel?”
“Ada disana”
Ian melihat arah telunjuk Dewa yang tertuju pada sebuah meja tak jauh dari tempat tidur, poselnya tergeletak manis disana. Ian lalu mengambil ponsel tersebut dan menyerahkannya pada Dewa. Orang itu segera menyentuh beberapa digit angka dan menghubungi seseorang.
“Halo aku masuk siang hari ini”
“........”
“Baik”
Dewa lalu beralih pada Ian sementara tangannya menyimpan ponsel yang baru dipakai tepat disebelahnya.
“Kau boleh pergi sekarang” Ujar Dewa pelan sambil mencari posisi yang pas untuk tidur.
Tak ada sedikitpun nada mengusir dari kalimatnya dan meski itu pilihan kata yang dia ucapkan namun yang terdengar justru seperti sebuah anjuran.
“Baik, kalau begitu saya permisi pak”
“Hmm!!!”
Begitulah pagi itu berlalu. Tak ada tatapan dingin mengintimidasi, sikap angkuh penuh amarah ataupun kata-kata ejekan yang menusuk. Semua berjalan diluar perkiraan dan tidak pernah diduga bisa terjadi. Dan tanpa bisa ditahan Ian mengulum sebuah senyuman, setidaknya hari ini dia terlepas dari tekanan yang biasa Dewa berikan.
Rutinitas direstoran berjalan seperti biasa, beruntungnya hari itu tidak terlalu ramai sehingga Ian dan rekan-rekannya bisa sedikit bersantai bahkan mengobrol disela bekerja. Selain beberapa orang yang berjaga didepan, beberapa orang sedang berkumpul dibelakang untuk mengganggu Toni. Si kepala chef itu, pagi-pagi tadi, telah mendapat kado sebuah jam tangan mahal dari orang yang tidak dikenal. Kado tersebut pertama kali diterima oleh Bimo yang kebetulan sedang membersihkan area depan. Orang yang mengantar kado mengatakan tidak tahu-menahu siapa orang yang mengirim itu, seseorang hanya meminta bantuannya dan dia melakukan sesuai permintaan orang tersebut dan tak mau ambil pusing tentang siapa orang yang meminta bantuan padanya.
Sempat heboh akibat Reza yang mencurigai kado tersebut berisi hal-hal buruk. Dan kehebohan itu semakin heboh saat dengan berani Bimo membukanya dan mengeluarkan sebuah jam tangan mewah. Toni tidak banyak bereaksi, dia hanya memperhatikan benda itu dengan seksama lalu memakainya.
Sontak saja yang melihat bersiul ria, sebab tindakan Toni seakan menjelaskan bahwa dia mengenal dan bahkan bisa jadi memiliki hubungan dengan si pengagum rahasia. Namun Toni sendiri berdalih, tindakannya semata karena dia tidak mau mengecewakan si pengirim yang sudah berbaik hati mengiriminya hadiah.
“Kayaknya efek hadiah jam tangan besar banget ya? Mas Toni masaknya semangat euy!” Goda reza, padahal tadi dia yang paling parno saat pembukaan kado tapi sekarang malah yang paling gencar menggoda Toni.
“Aku juga mau ah, dapat hadiah dari pengagum rahasia apalagi yang mahal kayak gitu”
Yang digoda hanya menanggapi dengan santai.
“Kau akan mendapatkannya jadi sekarang kerja yang benar” Ujar Toni dengan gaya khasnya dalam mendisiplinkan anak buah.
Reza mengerucutkan bibir menahan senyum, namun dia tidak membantah untuk meneruskan pekerjaannya. Begitu pula dengan Ian dia hanya tersenyum sambil geleng-geleng sementara tangannya terus menata sayuran yang baru saja dia cuci, sampai seseorang datang memanggilnya.
“Ian, ada yang mau bertemu?”
“Denganku?”
“Ya, denganmu”
“Siapa?” Tanya Ian dengan kening mengerut.
Andi hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Ian menoleh pada Toni.
“Tidak masalah, restoran sedang sepi” Ujarnya memberi izin Ian untuk bertemu orang itu.
Dengan rasa penasaran Ian menuju meja yang disebutkan Andi, tempat orang yang mencarinya sedang menunggu. Dan disana, orang yang selalu Ian rindukan sedang duduk dengan raut wajah yang menunjukkan jika dia sedang gelisah.
Langkah Ian seketika terhenti begitu tahu siapa orang itu. Seperti terpanggil, mata Gugun segera bertemu dengan mata Ian yang kini terpaku memandangnya. Gugun lantas serta merta berdiri, bingung harus bersikap bagaimana, apakah dia harus tersenyum atau biasa saja. Bibirnya mengulas sebuah senyum namun matanya tidak. Dan semakin Ian mendekat, dia tahu bahwa mata orang yang dipujanya itu berkaca-kaca.
Suasana canggung tak bisa dielakkan, baik Ian maupun Gugun tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Akan lain jadinya jika mereka masih bersama dimana setiap percakapan mereka akan mengalir begitu saja, dan apapun pembicaraan itu pastilah terasa menyenangkan. Tidak akan ada yang namanya kecanggungan seperti saat ini.
“Bagaimana kabarmu?” Ucap mereka bersamaan. Mereka lantas saling tertegun dan terdiam salah tingkah menunggu jawaban.
Namun yang ada malah kesunyian yang menjawab pertanyaan mereka.
“Aku baik!” Ujar Ian akhirnya memilih menjawab pertama.
“Kamu?”
“Aku juga baik”
Ian mengulas senyum terbaiknya dan kesunyian itu kembali melingkupi mereka. Sungguh menyiksa. Baik Ian ataupun Gugun masih belum tahu harus bicara apa. Belum lagi debaran didada Ian yang dengan sekuat tenaga berusaha ia redam.
Terdengar menyedihkan, tapi Ian ingin sekali berhamburan kepelukan Gugun lalu menumpahkan semua kerinduannya selama ini. Keinginan yang jelas tidak mungkin dia lakukan, bukan hanya karena status mereka tapi juga karena tempat mereka bertemu sekarang.
Ian menarik nafas dalam dan membuang pandangannya kearah lain.
“Mama sakit, beliau ingin bertemu denganmu”
Mau tak mau Ian menolehkan kepalanya mendengar ucapan Gugun.
“......”
“Sebelum kembali ke rumah, selama seminggu dirawat dirumah sakit, mama terus bertanya tentangmu. Beliau... sudah tahu tentang kita”
“......”
“Sekarang mama masih melakukan rawat jalan, dan semalam kondisinya kembali melemah. Beliau kembali bertanya tentangmu, sepertinya beliau benar-benar ingin bertemu denganmu. Apa kamu mau datang membesukknya? sebentar saja!”
“......”
“......”
“.......”
“Ian, katakan sesuatu”
Ian menarik nafas dalam menahan diri dari mengatakan ‘aku ingin memelukmu’ untuk menuruti permintaan Gugu agar ia mengatakn sesuatu.
“Baik! Aku akan datang.”
“Huh? Oh... Aku akan pulang lagi besok pagi, jika kamu tidak keberatan kamu bisa ikut bersamaku”
Ian tampak diam berpikir beberapa saat sebulumnya akhirnya mengangguk setuju.
“Dimana aku harus menjemputmu?” Tanya Gugun antusias.
“Tidak perlu, kita bertemu direstoran saja”
Jelas Ian tidak mau jika Gugun tahu tempat tinggalnya sekarang maka dari itu akan lebih baik jika mereka bertemu direstoran.
“Tapi aku berencana berangkat subuh, kamu tidak masalah dengan itu?”
“Ya, kalau begitu aku akan menunggu didepan jalan”
Gugun mengerutkan kening tidak percaya, “Kamu akan menunggu didepan jalan pada subuh buta?”
“Ya, aku akan menunggumu disana” Ian menegaskan kalimatnya untuk meyakinkan.
Gugun mengangkat kedua alisnya dan tidak bisa berkata untuk beberapa saat. Namun ia akhirnya menyetujui saran Ian.
Mereka kembali terdiam seolah pembahasan mereka hanyalah tentang ibu Gugun dan itu telah berakhir saat mereka menemukan kesepakatan.
Ian memilih menunduk diam diantara kekakuan yang tak henti menyerang mereka, sementara Gugun malah menggunakan kesempatan itu untuk menelusuri setiap lekuk wajah mantan kekasihnya. Setelah menghabiskan sekian tahun bersama, Gugun sadar betul ada yang berubah dari Ian. Dia lebih kurus sekarang, dan wajah itu seperti kehilangan sinarnya. Bahkan senyuman yang tak pernah pergi dari wajahnya sekalipun tak bisa menutupi bahwa wajah itu telah meredup. Dan baru Gugun sadari sekarang bahwa sinar itu telah mulai menghilang jauh sebelum mereka memutuskan untuk berpisah.
Menunduk bukan berarti Ian tidak tahu jika dia sedang diperhatikan. Dari pada lebih lama lagi dalam ketidaknyamanan, Ian pun memutuskan untuk pergi.
“Jika tidak ada yang dibicarakan lagi sebaiknya aku kembali bekerja” Pamit Ian buru-buru seraya bangkit dari duduknya.
“Huh? Oh.. ya, baik. Silahkan!” Jawab Gugun agak tidak siap dengan perkataan Ian.
“Ian!” Panggil Gugun sebelum Ian benar-benar pergi,
“Terimakasih!”
Ian memberikan anggukan ‘Tidak masalah’ sambil tersenyum.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, jalanan masih sangat sepi sehingga Gugun bisa menyetir dengan sangat leluasa. Seperti yang mereka rencanakan, subuh buta mereka berangkat menuju rumah orang tua Gugun yang ada diluar kota setelah sebelumnya Gugun menjemput Ian. Gugun tak henti-hentinya melirik pada Ian yang duduk diam melihat keluar jendela. Tangannya masih mendekap tubuhnya sendiri, sama seperti saat Gugun menjemputnya tadi di halte. Disana, Ian menunggunya dengan tangan terlipat didada menahan dinginnya udara subuh.
“Masih dingin?”
Ian menoleh lalu menggeleng pelan.
“Kalau kamu masih mengantuk, kamu boleh berbaring dulu, nanti kubangunkan kalau sudah sampai”
Ian tersenyum kecil, “Tidak apa-apa Gun, santai saja”
Sesuatu melesak kedalam dada Gugun mendengar panggilan itu. ‘Gun’ merupakan panggilan kecil untuk namanya yang biasa diucapkan oleh siapa saja, namun dengan suara dan cara khas Ian melakukannya mampu membuat dada Gugun bergetar. Tanpa bisa dicegah, Gugun pun menolehkan kepalanya untuk melihat Ian, sayangnya yang dilihat telah kembali memalingkan wajahnya melihat pemandangan gelap berkabut diluar jendela.
Mobil masih terus melaju membelah kegelapan subuh yang berkabut, tak ada lagi percakapan antara mereka bahkan sampai mobil yang dikemudikan Gugun telah memasuki kota kelahirannya, mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Pesona fajar menyingsing ikut terlewatkan begitu saja padahal jika mereka mau, mereka bisa menikmati semua panorama alam itu dengan sepuasnya saat mobil yang mereka kendarai melewati persawahan dengan pagar bukit nan hijau dikejauhan. Siapa tahu, dengan begitu kecanggungan diantara mereka bisa sedikit ternetralisir. Namun apa mau dikata, ketidakberanian dan kesedihan telah membangun tembok penghalang yang amat kokoh diantara mereka. Sehingga usaha Gugun yang sempat beberapa kali terlihat ingin berkomunikasi pun tak banyak membantu.
Mobil berhenti disebuah rumah berpekarangan luas dan
rimbun. Rumah itu masih sama dengan terakhir kali Ian melihatnya, asri dan teduh. Selalu ingin berlama-lama jika sudah berada disana. Jam menunjukkan pukul 08.10 menit, itu yang Ian tahu saat matanya sempat melirik sekilas jam ditangannya sebelum turun dari mobil.
“Ayo masuk!”
Ian mengangguk kaku, perasaannya mendadak tidak enak. Bukankah Gugun bilang orang tuanya sudah tahu tentang mereka, jika memang demikian, kemungkinan besar Ian tidak bisa berharap jika sambutan yang akan dia terima masih sama seperti dulu. Hal itulah yang menggusarkan Ian. Masih diterimakah dia disini?
Gugun mempersilakah Ian masuk ke kamar yang Ian ketahui sebagai kamar orang tua Gugun. Wanita paruh baya yang dikatakan Gugun sedang sakit tengah berbaring dengan mata terpejam.
“Ma...”
“........”
“Ma... Ian disini. Dia datang untuk mama!”
Mata itu segera terbuka dengan perlahan. Seperti sensor dia pun mencari sasaran sosok yang namanya baru saja disebutkan. Ian mencoba menampilkan senyum terbaiknya diantara degupan jantung yang menggila. Dan betapa kecewanya Ian hingga ia pun semakin gugup saat orang yang disenyuminya hanya menatapnya datar. Sulit untuk menjelaskan tatapan itu, tapi entah mengapa Ian malah mengartikannya sebagai kekecewaan. Kekecewaan yang amat besar terutama padanya.
“Ian duduklah!”
Kata-kata Gugun semakin memperburuk keadaan Ian karena mengikuti perkataan Gugun berarti harus mendekat pada orang itu. Orang yang telah dia kecewakan. Dan yang lebih buruk, Gugun ternyata meninggalkan Ian sendiri disana tepat setelah mempersilakannya untuk duduk. Dia bahkan tidak pamit, hanya berlalu begitu saja kearah pintu dan menutupnya dari luar.
Sudah tidak ada jalan keluar bagi Ian. Setidaknyaman apapun dia sekarang dia tetap harus kesana, memberi penjelasan pada orang itu terlepas beliau mau menerimanya atau tidak.
“Ma...” Panggil Ian pelan setelah berhasil mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa pada dirinya, dan sebagian dari keberanian itu ia gunakan untuk menyentuh tangan keriput orang yang masih setia menatapnya datar tersebut.
Susah payah Ian mengisi paru-parunya dengan udara saat menyadari tidak adanya perubahan pada tatapan itu.
“Bagaimana kabar mama?” Sekali lagi Ian menggunakan keberaniannya, kali ini dengan berharap ada peruntungan.
“Baik, kamu sendiri?”
Mata Ian sedikit berbinar mendengar jawaban itu, yah setidaknya beliau masih mau menjawab pertanyaannya.
“Aku baik”
Tangan keriput itu melepaskan diri dari genggaman Ian dan beralih menyentuh wajah pemuda yang sebenarnya sangat ia rindukan. Tapi apa yang dia ketahui telah terjadi diantara putranya dan pemuda tersebut membuatnya bingung harus bersikap seperti apa. Kecewa? Jelas, namun tetap saja dia tidak berhak ikut campur dan itu adalah hal yang paling membuatnya kecewa.
“Benarkah? Tapi sepertinya tidak!”
Ian tersenyum dan menggenggam tangan sosok yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri, dan sosok itu juga yang memberinya izin agar memanggilnya dengan sebutan ‘mama’.
“Jika memang seberat itu, seharusnya kalian tidak melakukannya”
Ian tertegun, dia tahu betul kemana arah pembicaraan ini. Seketika itu pula dia menciut, sisa keberanian yang dia miliki seolah lenyap tak bersisa. Ian menundukkan kepala menghindari tatapan mama yang seakan bisa melihat kedalam dirinya.
“Untuk apa kalian memperjuangkan sesuatu yang kalian katakan cinta jika pada akhirnya kalian memilih berpisah?” Akhirnya kalimat itu terucap juga. Sudah sangat lama wanita itu menunggu untuk bisa mengatakannya, bahkan kalimat itu telah terangkai jauh sebelum restunya. “Jika hanya pada sebatas ini kemampuan kalian menjaga yang kalian yakini benar, sebaiknya kalian tidak melakukannya sejak awal”
Bagai dihantam benda keras berukuran sangat besar hingga tubuh Ian pun luluh lantak karenanya. Hanya dengan kalimat-kalimat itu Ian telah berhasil dicabik menjadi kepingan-kepingan kecil. Setiap kalimat yang mama ucapkan menyeret Ian pada kenyataan pahit akan kegagalannya. Kenyataan yang sangat berbanding terbalik dengan harapan dan apa yang pernah dia yakini dulu.
Mata Ian memanas, berputar kembali memori ketidakmampuannya mempertahankan hubungannya dengan Gugun. Padahal dia pernah begitu percaya akan mampu menjalani itu semua, dia pernah begitu percaya ceritanya akan berbeda dari kebanyakan orang, dan dia pernah begitu percaya bahwa semua akan berjalan sesuai harapan.
“Itu hal yang lumrah, perpisahan bisa terjadi pada siapapun” Bela Ian akhirnya.
Mama tersenyum kecut, “Kamu sedang ingin membuat pembelaan?” Suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat tersebut.
Ian diam tak berkutik, mendapati dirinya tertangkap sedang membuat pembelaan.
“Dulu kalian begitu yakin dan berusaha keras mendapatkan restu, lalu kami pun menebalkan muka dengan ucapan orang sementara kalian membangun benteng pertahanan untuk melawan dunia. Lantas kemudian, setelah dengan susah payah kalain memperjuangkannya bahkan sampai berlutut dikakiku, kalian memilih berpisah? Aku tidak tau harus senang atau tidak, jika kubilang senang tentu, anakku akhirnya berpisah dari pria, tapi aku harus menelan pahit kesenangan itu karena dia berpisah demi pria lain. ”
Seakan ada api yang berkobar mengiringi setiap untaian kata yang keluar dari mulut mama. Beliau mengungkapkan dengan jelas kekecawaan yang beliau rasakan melalui kalimat-kalimat tadi. Bahkan sangking kecewanya beliau menggunakan ‘aku’ saat bicara.
“Maaf!”
“Aku berharap anak-anakku berbeda dari mereka yang diluar sana”
“........”
“Aku berpikir putraku telah jatuh pada tangan yang tepat sehingga dia tidak sama sepeti yang lain”
“.........”
“.........”
“Maaf!”
Ian tidak tahu harus berkata apa lagi. Saat ini hanya maaf yang menjadi mantra baginya.
“Kenapa kalian tidak berusaha menjaganya?” Kejar mama masih sulit menerima apa yang terjadi.
“Kami sudah mencobanya, tapi akan sangat berat bagi kami kalau tetap bersama. Dan akhirnya aku gagal. Aku gagal menjaga anak mama!”
Sekuat tenaga Ian berusaha menahan agar tidak terisak hingga suara dan tubuhnya bergetar sementara air mata sudah lebih dulu berjatuhan tanpa bisa dia tahan.
“Lihatlah dirimu! Bagaimana bisa mama percaya kalau kamu baik-baik saja?”
Sapuan lembut pada pipi Ian justru membuat tangisnya pecah, saat itu pulalah mama menarik Ian dalam pelukannya. Beliau menyerah saat melihat air mata Ian, beliau melembut dan menggunakan kembali kata ‘mama’ untuk menyebut dirinya sendiri.
“Maaf... dia sudah menyakitimu! Dia sudah sangat menyakitimu.” Bisik sang bunda dengan tulus bersamaan dengan jatuhnya butiran bening air matanya.
Di balik pintu, Gugun bersandar lemas pada dinding karena kakinya tiba-tiba tak lagi mampu menopang tubuh kekarnya. Dia merasa begitu sesak dan sakit, tapi mengapa dia merasa demikian? Bukankah ini yang dia pilih dan ini yang dia inginkan, bersama kekasih baru dan meninggalkan Ian.
Tak jauh dari Gugun berada, sang ayah pun sama nelangsanya. Tapi, beliau lebih memilih diam sebagai tindakan bijak untuk saat ini.
Mama tertidur dengan pulas setelah acara menangis bersama Ian. Sekarang wajahnya jauh lebih tenang, tidak tegang sperti pertama kali Ian datang. Seakan ada beban yang telah terpindahkan dari pundaknya ketempat lain hingga wajah datar tadi telah berganti dengan wajah tenang dan damai, Ian bisa merasakan hal itu. Bahkan saat matanya terpejam sekalipun, beliau seakan tersenyum.
Ian dengan setia menemani mama tidur tanpa sekejap pun melepaskan genggaman tangan mereka. Dia terlalu bahagia saat ini sehingga tidak mau beranjak hingga bahagia itu pun pergi.
“Ian!”
Ian menoleh pada asal suara.
“Pa!”
Dengan sigap Ian bangun dan menghampiri ayah Gugun yang belum sempat dia sapa bahkan sejak ia datang tadi. Dan kalau Ian ingat-ingat Ian memang tidak melihat beliau sejak datang tadi. Begitu tiba Gugun telah langsung membawanya ke kamar dan papa tidak disana saat itu.
Papa tersenyum ramah sebelum akhirnya memeluk dan menepuk pelan kepala Ia. Hal yang tak pernah lupa dia lakukan setiap kali mereka bertemu, menepuk pelan kepala merupakan bentuk kasih sayangnya pada Ian.
Ketika pelukan itu berakhir ada sedikit kecanggungan yang mengganggu Ian, namun tidak halnya dengan papa yang masih tersenyum ramah dan bersahabat, sama seperti dulu.
Mengetahui akan kecanggungan yang dirasakan Ian, maka dengan lembut beliau menepuk pelan beberapa kali pipi Ian untuk menenangkannya. Melalui tepukan itu beliau berusaha menyampaikan bahwa Ian tidak perlu merasa canggung.
“Makanlah dulu! Kamu belum sarapan kan?”
Ian tidak menjawab, memang benar dia belum sarapan tapi entah mengapa dia merasa berat meninggalkan kamar orang tua Gugun, berat meninggalkan mama yang baru saja menunjukkan perubahan sikapnya dari datar menjadi lebih bersahabat. Keberatannya Ian tunjukkan dengan menoleh pada mama yang terbaring.
Seakan tau pikiran Ian, Papa segera berkata “Tidak apa-apa, mamamu sudah tidur. Pergilah sarapan, biar papa yang jaga”
Papa pun membimbing Ian untuk keluar menuju dapur, disana Gugun sudah menunggu mereka keluar.
“Ajak Ian sarapan sekarang” Perintah papa pada Gugun yang dijawab Gugun dengan anggukan.
“Ayo Ian, kemarilah!”
Ian tidak membantah dan mengikuti saja langkah Gugun menuju dapur sementara papa kembali ke kamarnya.
Sampai di dapur semua sudah di persiapkan dengan rapi, ada rasa haru merayap dalam dada Ian ternyata dia masih diterima disana tidak terkecuali mama. Apapun yang beliau katakan dan tunjukkan diawal semata karena dorongan kekecewaannya tapi jauh dalam hatinya beliau masih menerima Ian. Terbukti dari pelukannya yang justru menenangkan Ian ketimbang menenangkan dirinya sendiri.
“silahkan duduk!”
“Ya!”
Tak ada percakapan selama beberapa menit kedepan, mereka hanya menikmati sarapan masing-masing karena, Gugun sendiri juga belum sarapan sebenarnya. Rasa penasaran dan takut lebih mendorongnya untuk menguping apa yang mamanya bicarakan dengan Ian. Dan walaupun sebetulnya dia sudah menebak, dia tidak pernah berpikir jika percakapan itu akan berlangsung seperti tadi. Bahkan orangtunya sekalipu telah kecewa padanya. Begitu pikir Gugun yang berhasil membuatnya sulit bernafas.
“Apa yang mama katakan tadi?” Gatal rasanya mulut Gugun jika tidak bertanya sesuatu yang sudah ia tahu jawabannya.
Ian mengangkat sedikit wajahnya dan tersenyum “Sesuatu
yang sudah kita duga”
Hening!
“Jangan dimasukkan ke hati!”
“Huh?”
“Apa yang mama katakan padamu, jangan dimasukkan kehati!”
“..........” Ian menatap penuh makna pada Gugun.
“Apapun itu, mama tidak bermaksud melukaimu. Karena setiap yang dia katakan padamu sebenarnya bukan tertuju untukmu, tapi untukku. Cuma mama tidak mengatakannya langsung karena beliau tidak mau bicara denganku”
“........”
Sudah tak ada yang peduli dengan sarapan yang sedang
mereka santap. Separuh dari sarapan malang yang tersisa terabaikan begitu saja. Baik Ian maupun Gugun seakan lupa bahwa masih ada rezeki Tuhan yang harus mereka habiskan sebagai bentuk syukur meraka kepadaNya. Namun apa yang sedang mereka bahas sepertinya telah mengambil penuh perhatian mereka sehingga mereka pun tidak sempat memikirkan hal lain. Seperti itulah jika sudah berurusan dengan yang namanya ‘perasaan’.
“Mama tidak kecewa padamu Ian, tapi padaku. Karena itu... jangan dimasukkan kehati!”
Ian menunduk dengan senyuman lemah dibibir yang dulu sering Gugun bilang dengan sebutan ‘ranum’.
“Tidak ada yang perlu kumasukkan kedalam hati Gun...” Ian berkata pelan masih dalam posisi menunduk dengan wajah masih dihiasi senyum lemah. “...sebab, semua itu benar. Dan tidak sepenuhnya tertuju padamu, aku juga ambil bagian, aku juga salah”
“Ku mohon Ian, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri!” Gugun setengah berseru, ada kegusaran yang tersampaikan dari seruannya. Nafasnya juga tiba-tiba saja tak beraturan, dan dia tidak berani berlama-lama lama menatap Ian dengan sorot mata yang menunjukkan dengan jelas kalau dia... terluka.
“Jangan membuat semuanya lebih sulit”
Ian tercekat, bahkan senyum lemah dibibirnya memudar dan hilang. Dia memaknai lain ucapan Gugun yang berefek sakit pada dirinya sendiri.
“Maaf... aku tidak pernah bisa membuat sesuatu menjadi lebih baik!”
Tangan Gugun bergetar menyadari Ian telah salah mengartikan ucapannya , dia ingin membantah ‘Bukan itu maksudku, bukan itu! Maksudku adalah jangan membuat semuanya lebih sulit, untuk mu’. Tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Gugun ketika dia menemukan wajah sendu Ian yang dengan perlahan kembali menyantap sarapannya.
‘Aku melukainya, aku kembali melukainya’ rapal hati Gugun berulangkali.
Setelah sarapan Ian kembali ke kamar mama dan mengobrol bersama papa di sana. Papa beberapa kali menyuruh Ian istirahat tapi dia menolak dengan alasan ingin menemani mama. Padahal papa tahu betul bukan itu alasan sebenarnya, yang sebenarnya adalah Ian sedang menghindari Gugun karena itu papa memilih keluar dan mempersilahkan Ian beristirahat disamping mama. Dan hal itu berhasil membuat Ian tersipu, mana mungkin diusianya yang sekarang dia berbaring di kamar orang tua, disebelah mama, terlebih mereka bukan orang tua kandungnya.
Saat jam makan siang tiba Ian mengambil alih urusan makan siang mama, dari menyiapkan, menyuapi beliau hingga meminumkan beliau obat semua Ian lakukan sendiri. Dari situ jelas terlihat aura ketegangan diantara mereka telah mencair, menurut Ian mama telah kembali seperti mama yang dulu, hangat, lembut dan sorot matanya penuh dengan kasih sayang.
Mama sedang bercerita tentang betapa bosan dan inginnya dia bertemu Ian ketika berada dirumah sakit ketika Gugun muncul membawa dua gelas minuman yang kemudian Ian tahu ternyata sirup pepaya. Bukannya sirup rasa pepaya tapi pepaya serut yang diberi sirup, minuman favorit keluarga itu termasuk Ian, hanya saja Ian lebih suka jika sirup diganti dengan jeruk nipis dan sedikit gula. Rasanya lebih segar, begitu menurut Ian.
Gugun meletakkan nampan yang dia bawa di meja dekat ranjang, mengambil satu gelas untuk diserahkan pada mama dan lainnya untuk Ian.
“Yang ini untukmu” kata Gugun.
Ian menerima gelas berukuran sedang tersebut dan mengucapkan terima kasih. Sementara mama langsung menyeruput minumannnya perlahan. Dari sikap yang beliau tunjukkan Gugun membenarkan perkataannya, mama tidak mau bicara dengannya. Ada yang meremas dada Ian menyaksikan hal itu, ‘Tidak seharusnya seperti ini’ Pikir Ian. Tapi mau bagaimana, Ian pun tidak punya cara dan cukup keberanian untuk membahas masalah ini. Dia sendiri baru saja membenahi hubungannya, sangat tidak baik jika dia bergerak secepat itu membahas masalah mama dan Gugun. Karenanya untuk saat ini dia memilih diam.
Ian lalu mengikuti mama menikmati minuman ditangannya. Begitu tegukan pertama melewati tenggorokannya, Ian tak kuasa tak memandang kearah pintu dimana orang yang mengantar minuman tersebut baru saja berlalu. Rasa dari minuman itu begitu pas di lidah Ian, Gugun... masih tahu persis seleranya.
---
Hari itu Ian mengabiskan sehari penuh di rumah Gugun itu karena mama yang meminta ian untuk tinggal lebih lama bahkan beliau meminta Ian menginap. Namun dengan alasan akan bekerja besok, dan memang seperti itu kenyatannya, Ian menolak halus permintaan mama.
“Dari awal dan sampai kapan pun Ian anak mama!” Begitu pesan mama saat Ian hendak pamit. Dalam pelukan hangatnya mama menenangkan Ian dari kegusaran yang mungkin sempat dia rasakan.
“Makasih ma!” Ian balas memeluk ama erat. “Tapi...”
Mama melepaskan pelukannya untuk menatap Ian, “Tapi?”
Ian menggeleng, “Ian juga sama, selamanya mama akan jadi mam Ian. Tak ada yang beda dari Ian untuk keluarga ini. Seperti halnya mama yang tidak membedakan kami, aku dan Gugun”
Mama memandang Ian lekat dan tersenyum paham. “Jangan khawatir! Setelah hari ini, setelah mama bertemu kamu semua akan kembali seperti semula”
Ada perasaan lega dalam dada Ian mendengar ucapan mama. Dalam pembicaraan ambigu mereka, Ian tahu mama mengatakan akan kembali bicara dengan Gugun. ‘Semua akan kembali seperti semula’.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam saat Ian meninggalkan rumah Gugun. Seperti sebelumnya Gugun menawarkan untuk mengantar Ian tapi dengan semampunya Ian menolak. Gugun akhirnya menurunkan Ian di mini market atas permintaan Ian sendiri.
“Ian, terima kasih untuk hari ini” Ucap Gugun tulus sebelum Ian benar-benar keluar dari mobil.
“Sama-sama!”
Mobil kemudian melaju dibawah cahaya lampu perkotaan meninggalkan Ian yang berjalan berlawanan arah untuk pulang.
_____________________________________________________________
Okehh...
Maaf aku masih belum berani mention, takutnya malah mengganggu. Makasih untuk yang masih mau baca cerita ini.
aku tidak tau bagaimana dengan kalian tapi saat menulis part ini aku ditemanani dua lagu bollywood (heheh buka aib) 'do pal' dan 'tum hi ho'. jujur aku gak tau apa arti itu lagu cuma alunannya pas banget untuk suasana part ini. hehehe.... abaikan kata-kataku barusan.
well, tidak cukup baik tapi selamat membaca dan semoga kalian suka.
(Mohon kritik dan sarannya, kasih tau kalau ada typo)
ditunggu updatenya