BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Bukan Sekedar Cinta

1747577798097

Comments

  • Loved both of em
  • Baru baca, langsung suka sama ceritanya @VeneNara
    saat baca di awal langsung mewek, di tambah baca gimana sabarnya ian menghadapi kisah cinta :/ moga dewa bisa bikin ian jatuh cinta...
    Dan ts-nya juga masih mau ngelanjutin ceritanya sampe tamat, biar gak gantung -_-
    mention juga ya kalau update...
  • Lnjut
    Kren crita ny
    Msing" krakter pnya kpribadian trsendiri yg mnarik
  • Pertama buka BF..karena nyari lanjutan cerita ini..yg di post di CDP oleh org lain..ampe skrang blum di lanjut jg...kmana ea penulis nya..
  • Sabar. Kata kkk itu entar agi
  • Kapan lanjutannya_??
  • edited December 2015
    Yang keberatan dimention harap melapor ya... semoga mentionan ini tidak mengganggu notif kalian!


    @3ll0 @exomale @cute_inuyasha @Tsu_no_YanYan @Adi_Suseno10 @Tsunami @d_cetya @4ndh0 @Wita @DoniPerdana @Lonely_Guy @balaka @centraltio @JNong @dafaZartin @Kaka_el @Unprince @ragahwijayah_ @adamx @phanthek @Bun @Rika1006 @Valdi_Ananda23 @amir_tagung @AbdulFoo @josiii @toptoptop @rioz @BN @josiii @AgataDimas



    Part X



    Saat semua terasa mulai membaik, itu justru awal dari masalah baru.






    “Sudah siap?” Tanya Dewa

    Ian mengangguk mantap menjawab iya pertanyaan Dewa. Senyumnya merekah penuh semangat.

    Sigh!

    Dewa menghembuskan nafas untuk kesekian kali. Harus dia akui kalau Ian adalah orang yang keras kepala, bahkan menurutnya sangat keras kepala. Perdebatan kecil terjadi diantara mereka tadi malam. Ian berenca bekerja dengan kondisinya yang baru satu minggu lalu mengalami kecelakaan.

    Bukan lagi terkejut, Saat mendengar baris demi baris kata yang meluncur dari bibir Ian, Dewa ingin meledak rasanya. Dia menentang keras keinginan Ian tapi sendu pada wajah itu membuat pertahanannya hancur.


    -Flashback-

    “Sebosan itu kah berada disini?” Tanya Dewa lemah saat Ian mengutarakan alasannya ingin segera kembali bekerja.

    “Bukan, bukan begitu” Bantah Ian cepat. Dia merasa tidak enak hati mendengar pertanyaan Dewa. Bosan yang Ian maksud jelas berbeda dengan bosan yang dimaksud oleh Dewa.

    “Lalu?”

    “........” Lidah Ian kelu. ‘Apa yang harus ku jawab?’
    Dewa menunggu tidak sabar.

    “Aku hanya.. hanya ingin bekerja”

    “Tapi kamu masih sakit Ian” Tuntut Dewa putus asa. Kedua tangannya meremas gemas bahu Ian.

    Ian hanya membalasnya dengan tatapan memohon.

    “Jangan hanya menatapku”

    “Sa-saya merasa sudah cukup sehat untuk bekerja”

    “Tapi...”

    “Tolong” Pinta Ian penuh harap.

    Dewa sudah ingin menyahut tapi mendadak bibirnya terkatup rapat. Tatapan Ian membungkamnya.

    -End flashback-



    Dan disinilah mereka sekarang. Berada di dalam mobil yang melaju membelah jalanan pagi menuju restoran. Dewa kalah dalam perdebatan semalam. Ian akhirnya dibolehkan bekerja tapi dengan setumpuk syarat.

    Ian sendiri hampir tidak percaya bisa melakukannya. Sebelum ini dia tidak pernah seperti itu. Bersama Gugun dia tidak pernah sempat melawan meski dengan cara halus sekalipun. Gugun selalu punya cara untuk membungkan Ian tanpa harus melewati perdebatan terlebih dahulu. Ini benar-benar pertama kali bagi Ian, dengan seorang Dewa pula.

    Yah, memang sikap Dewa sudah jauh lebih hangat sekarang. Berbeda sekali dengan saat pertama mereka bertemu. Dan Ian sendiri juga memutuskan untuk lebih mengenal Dewa. Karena itu dia perlu melakukan banyak komunikasi tapi, melawan sungguh tidak pernah ada dalam rencana. Semua terjadi begitu saja. Semakin Dewa melarang, semakin Ia bersikeras dengan keinginannya. Dia seperti sedang mencoba metode ‘Pertahankan pendapatmu jika kau benar’.

    Mobil menepi di depan restoran. Tangan Ian terhenti dari aktivitas melepas sabuk pengaman saat Dewa menggenggam tangannya.

    “Ingat apa yang ku bilang? Kabari aku kalau ada apa-apa dan jangan pulang sebelum ku jemput”
    Ian termangu sebentar menatap raut wajah Dewa yang terlihat khawatir. Dia pun tersenyum untuk menenangkan lalu mengangguk patuh. “Baik”

    Bagaimana pula Ian tidak ingat kalau sepanjang perjalanan tadi itu saja yang dirapal Dewa.

    “Tidak lupa sesuatu?”

    Lagi-lagi tangan Ian terhenti sewaktu dia membuka pintu mobil. Ian berpikir sesaat dan menggeleng ragu.

    “Sepertinya tidak. Saya sudah bawa semua” Ian reflek mengecek bawaannya. “Ya sudah semua” Jawab Ian lagi.

    Dewa diam.

    Ian bingung mengartikan raut wajah Dewa yang kali ini.

    “Anda ketinggalan sesuatu?” Tanya Ian ragu. Dia masih belum bisa menangkap maksud Dewa yang sudah jelas memberi kode.
    Dewa mamandang tidak percaya lalu memalingkan wajah duduk menghadap lurus ke arah kemudi.

    “Tidak ada.” Jawabnya kecewa.

    “Oh” Ian semakin bingung. Pikirannya benar-benar tumpul. Sama sekali tidak peka.

    “Kenapa masih memanggil ku dengan sebutan anda? Aku rasa kita sudah bicarakan masalah itu dengan jelas”

    Mata Ian membulat. Dia mulai diserang rasa gugup. Dan jantungnya dengan sangat baik menambah kecepatan detak tanpa diminta.

    Benar, mereka sudah sepakat untuk menggunakan aku kamu saat berkomunikasi. Tapi Ian juga bilang dia butuh sedikit waktu penyesuaian untuk menggunakan kata ganti tersebut. Lidah Ian sudah terlanjur nyaman menggunakan saya-anda ketika mereka berkomunikasi.

    “Saya... belum terbiasa” Kata Ian gugup.

    “Sebaiknya biasakan”

    Mata mereka bertemu. Dewa masih kecewa dengan ketidakpekaan Ian, terlihat dari sorot matanya.

    “Dan aku tidak suka kamu masih memakai kata ‘saya’. Sedikit santai tidak masalahkan? Jangan terlalu kaku”

    Jangan terlalu kaku? Apa Dewa lupa kalau dia hampir tidak pernah bicara santai? Bahasa yang dia pakai sehari-hari itu bahasa formal yang tidak ada santainya sama sekali.

    “Akan saya eh, maksudnya... akan... aku coba” Kata Ian nyaris berbisik saat mendekati ujung kalimat.

    “Oke” Jawab Dewa setelah diam beberapa saat sambil memandang wajah Ian. “Kalau begitu kita tes sekarang”

    “Tes?” Kening Ian berkerut sempurna.

    “Iya tes” Dewa mengangguk mantap. Wajahnya mendadak semangat. Raut kecewa itu menghilang entah kemana. Sementara Ian, dia menatap balik Dewa dengan horror.

    “Ucapkan satu kalimat dengan kata ganti ‘kamu’ untukku!”

    Alis Ian terangkat tinggi. “Harus sekarang?” Tanya Ian tidak percaya.

    “Ya” Tegas Dewa mantap. Matanya berbinar menunggu kalimat Ian.

    Ian mengalihkan pandangannya dari Dewa. Dia diam cukup lama hingga akhirnya berkata agak kaku “A-aku mau masuk sekarang dan... sebaiknya kamu juga segera berangkat ke kantor biar nggak telat”

    Tiga hal sekaligus Ian penuhi dalam satu kalimat panjangnya. Menggunakan ‘aku’, ‘kamu’, dan bicara tidak terlalu kaku. Setidaknya tidak sekaku Dewa yang sama sekali tidak sadar akan sifatnya.

    Dewa hampir tidak berkedip. Ucapan Ian membuatnya ingin tersenyum, tersenyum bahagia pastinya. Tapi jika dia tersenyum, Ian bisa mengira kalau Dewa sedang mengoloknya. Karena itu Dewa menahan sekuat tenaga agar senyum bahagianya tidak merekah menghancurkan suasana.

    “Oke, itu cukup. Lebih dari cukup untuk mengganti sesuatu yang kamu lupakan”
    Ian menatap Dewa sekilas. Dia masih belum punya gambaran apa yang Dewa maksud ‘sesuatu yang dia lupakan’.

    “Kalau begitu sampai nanti” Pamit Ian segera turun dari mobil sebelum jantungnya melompat keluar tubuh.

    Dari dalam mobil Dewa memperhatikan Ian yang berjalan pelan ke dalam restoran. Senyum di wajahnya akhirnya merekah. Sampai mobilnya telah jauh meninggalkan restoran, senyum itu tak juga hilang dari bibirnya.

    --



    ‘Apa yang aku lupakan?’ Ian bertanya penasaran pada diri sendiri.
    Hingga akhirnya dia mulai menyadari apa maksud Dewa. Wajah Ian merona tanpa bisa dicegah. Jantung kembali berpacu.

    ‘Jadi maksudnya...’

    Dia mengumpat dalam hati begitu tahu apa yang dimaksud Dewa.

    Tapi kalau dipikir-pikir lebih bagus malah dia tidak tahu. Jadi dia tidak perlu melakukan yang Dewa maksud itu. Akan sangat canggung bagi Ian untuk melakukannya. Lagi pula, belum ada kata khusus yang mengikat mereka dalam sebuah hubungan setelah ciuman itu. Hanya interaksi mereka yang menjadi lebih dekat, lebih intim. Seolah apapun kata itu bukanlah hal penting dalam hubungan mereka. Namun tetap saja, bagi Ian hubungan ini terasa mengambang. Karena itu, untuk sekarang, selain mengenal lebih satu sama lain dia tidak ingin terlalu jauh bertindak.

    Di ruang ganti Ian bertemu Toni. Chef pemilik senyum ramah itu sedang duduk diam sambil memegang ponsel.

    “Pagi mas” Sapa Ian.

    “Pagi... Ian?” Seru Toni pelan “Sedang apa kau disini?”

    “Aku masuk kerja mulai hari ini” Jawab Ian kalem.

    “Kerja? Kau kan masih... Tunggu apa Dewa tau?”

    Ian mengengguk mengiyakan. “Tau, barusan aku diantar”

    Toni mengerutkan kening bingung. “Oke, tapi... kau yakin mau bekerja sekarang? Bagaimana dengan kondisimu?” Toni sendiri terlihat ragu saat bertanya, lalu bagaimana Ian bisa seyakin itu untuk masuk kerja?

    “Aku sudah jauh lebih sehat dan sanggup bekerja lagi” Kata Ian yakin.

    Toni dia beberapa lama. Dia jelas tidak percaya begitu saja pada ucapan Ian. Tapi apa boleh buat. “Baiklah” Jawab Toni setelah diam lama. “Tapi pastikan kau berhenti jika tidak sanggup. Aku yakin kondisi belum sebaik yanag kau katakan”

    “Pasti”

    Seharian itu Ian hanya mencatat pesanan dan melakukan pekerjaan ringan lainnya. Dia sama sekali tidak diizinkan melakukan pekerjaan berat. Mereka takut jika Ian memaksa kerja berat yang ada malah runyam. Dia sudah dua kali menumpahkan minuman ke pelanggan. Dan akan sangat baik kalau tidak terjadi sampai tiga kali, apalagi sampai empat kali, lima kali, dan dia akan dipecat jika terjadi lebih dari enam kali. Lalu piring-piring itu, piring-piring bisa berakhir ke tong sampah kalau tangan sakit Ian yang tidak bertenaga memaksa menyentuhnya. Lantai itu juga, bisa-bisa orang yang lewat jatuh tergelincir karena dipel tidak bersih, masih licin bersabun. Tangan Ian tidak cukup kuat untuk mengayun dan memeras kain pel itu.

    Ian memutar bola mata saat teman-temannya merutuki Ian dengan alasan yang tidak masuk akal tersebut.

    Seorang pelajar masuk kedalam restoran. Ian yang melihatnya segera menghampiri. Ditilik dari manapun semua orang bisa tahu dalam sekali lihat kalau pelajar itu berasal dari keluarga berada. Bahkan mendung diwajahnya sekalipun tidak bisa menutupi aura elit yang dia bawa.

    “Mau pesan apa?” Tanya Ian ramah.

    Dia dia membolak-balik menu yang diserahkan Ian. semenit kemudian dia mengangkat wajahnya dan dengan ragu berkata. “ Bisa saya pesan langsung menunya dari chef Toni?”

    Ian mengangkat alis tinggi. Ini aneh, bahakan tidak pernah terjadi sebelumnya, setidaknya selama dia bekerja disana. Memesan langsung dari chef?

    “Kenapa tidak pesan melalui saya saja?” Bujuk Ian.

    “Tolong” Pinta pelajar itu memelas. Senyum memohonnya membuat Ian tidak bisa menolak permintaan itu.

    “Baik, tunggu sebentar” Kata Ian menyerah. Dengan sedikit bingung diwajahnya dia menjumpai Toni di dapur.

    Setelah memanggil Toni Ian kembali menyapa pelanggan lain yang baru saja datang. Tapi sial, matanya tidak bisa diajak kerjasama agar tidak mengintip ke arah Toni dan pelajar itu. Si pelajar terlihat canggung. Dia berusaha tersenyum meski sorot matanya tidak demikian. Ada kesedihan dalam pancaran matanya.

    Dua puluh menit kemudian si pelajar duduk seorang diri menatap tidak semangat menu pesanan yang diantar langsung oleh Toni tadi.

    Ian sudah hendak menyapa tapi urung saat melihat tangan itu mulai bergerak, menyuapkan suapan demi suapan kedalam mulutnya dengan tangan gemetar. Ian sebenarnya tidak mau memikirkan hal ini tapi otaknya bekerja sendiri. Entah mendapat petunjuk dari mana, tapi Ian mempunyai feeling kuat kalau pelajar itulah si pengagum rahasia yang selama ini membuat meraka penasaran.

    Ian cukup terkejut dengan feelingnya sendiri. Bukan kenyataan si pengagum rahasia ternyata seorang pelajar seperti tebakan Reza - yang berarti dia masih remaja - yang membuat Ian terkejut. Tapi kenyataan bahwa si pengagum rahasia ternyata adalah seorang pria.

    Seorang pria.

    Bahkan untuk orang seperti Ian kenyataan itu cukup mengejutkan.
    Tapi itu hanya feeling Ian, belum tentu dia benar. Jadi secepatnya Ian mengabaikan apa yang dia lihat dan kembali bekerja.




    “Masih belum datang?” Tanya Toni tiba-tiba datang dari dalam keremangan. Restoran sudah tutup sejak sejam lalu. Lampu-lampu sudah dimatikan. Hanya lampu dekat meja Ian duduk yang menyala.

    Seperti yang diperintahkan Dewa sebelum berpisah tadi, Ian tidak pulang dan menunggu orang itu datang menjemputnya.

    “Belum” Jawab Ian singkat.

    “Dia tidak bilang mau jemput jam berapa?” Tanya Toni lagi.

    “Tidak”

    “Kau sudah menghubunginya?”

    “.......” Ian diam. Sebuah gelengan menjawab pertanyaan terakhir Toni.

    Darimana Ian bisa punya keberanian menghubungi Dewa lebih dulu? Tahap pendekatan mereka belum membawa Ian pada keberanian tingkat itu.

    “Oke, biar aku yang hubungi”

    Toni segera meraih ponselnya. Tidak lama kemudian dia sudah tersambung dan bicara dengan Dewa. Tampak sangat akrab. Bahkan beberapa kali Toni terdengar seperti sedang menasehati Dewa karena membuat Ian menunggu.

    “Sepertinya dia akan telat” Kata Toni segera setelah dia mengakhiri panggilan tersebut.

    “Kalau begitu aku tunggu di luar saja”

    Ian bergegas bangkit dari kursi hendak pergi

    “Untuk apa menunggu diluar?”

    “Bukannya mas Toni harus mengunci pintu restoran?” Tanya Ian balik.

    Toni tersenyum. “Tidak masalah aku akan menemanimu sampai dia datang. Lagi pula kau ingin aku meninggalkanmu sendirian dengan kondisi begitu diluar sana? Terimakasih atas sarannya, tapi tidak. Dewa bisa membunuhku”

    “Kenapa bisa begitu?” Tanya Ian ragu-ragu. Toni membuatnya kaget berkata demikian jadi bukan masalah kan kalau sekarang Ian bertanya?

    “Karena dia orang yang begitu. Dia tidak akan membiarkan aku hidup jika sampai menelantarkan pacaranya”

    Ian bersemu dengan menawan, lalu berkata canggung “Kami... kami tidak dalam hubungan seperti itu”

    “Huh? Masih belum?” Toni diam sebentar kemudian berkata. “Ini aneh. Biasanya kalau dia sudah seserius ini dia tidak akan tinggal diam. Kecuali dia memang berniat bermain-main dari awal. Ups” Toni melirik Ian berlagak kecoplosan bicara padahal dia sengaja melakukannya.

    Wajah Ian yang tadinya sudah merona dengan indah tiba-tiba berubah aneh “Main-main?” Tanyanya tidak nyaman.

    Toni malah tersenyum manis menanggapi reaksi Ian. “Dewa bukan orang yang percaya cinta Ian. Dia tidak percaya pada kata itu”

    Deg!


    Apa?


    Apa yang baru saja Ian dengar?


    Dewa buka orang yang percaya pada cinta?


    Lantas, permintaan menjadi kekasih itu? dan ciuman itu?

    Ian merasakan dadanya panas dan sesak. Sakit. Sesuatu telah dengan berhasil menyayat hatinya tanpa ampun.

    “Semoga kau bisa mengerti hal itu” Lanjut Toni

    Ian nyaris tidak bisa mendengar apa yang Toni ucapkan selanjutnya. Telinganya seperti tuli tiba-tiba.


    Jika benar demikian, apa pula yang sudah Ian lakukan?


    Memutuskan membuka hati untuk orang yang tidak percaya pada cinta?


    Ini jauh lebih buruk dari dikhianati.


    “Karena dia sendiri hampir tidak pernah menerima hal itu dalam hidupnya.”


    Tunggu! Apa yang barusan Toni bilang?


    Apa maksudnya itu?

    Fokus Ian sedikit demi sedikit kembali. Dia berhenti membuat monolog.

    “Sejauh yang ku tau dia hanya 2 kali jatuh cinta dalam artian dia benar-benar jatuh cinta. Tapi sayangnya dia tidak beruntung. Yang pertama, diaditinggal setelah dua minggu pacaran dan yang kedua dia ditolak mentah-mentah. Dan parahnya saat kedua hal itu terjadi dia masih dalam masa sulit” Toni menerawang.

    Ian mengerutkan kening bingung. Fokusnya benar-benar sudah kembali sekarang. Dia bisa menangkap kata-kata Toni dengan sangat baik tapi sayang, dia gagal untuk paham.

    “Setelah semua itu kau bisa menebak jadi apa Dewa setelahnya. Dia tidak pernah serius dengan sebuah hubungan. Ada yang menarik mendekat pasti langsung dia sikat. Tidak peduli itu pria atau wanita, begitu bosan, dia tinggalkan semuanya begitu saja”


    Ditinggalkan begitu saja setelah bosan?


    Sekali lagi dada Ian seperti di sayat.

    “Dia sudah terlanjur tumbuh menjadi pribadi yang keras, bahkan terlalu keras untuk sekedar percaya pada cinta” Lanjut Toni tanpa terlalu memperdulikan reaksi Ian.

    Ian mencoba melihat wajah Toni. Aneh, saat Toni mengatakan Dewa angkuh yang muncul pada wajahnya adalah raut khawatir dan kasihan.

    “Terlalu banyak hal yang terjadi hingga membentuknya menjadi pribadi yang sekarang” Toni diam sebentar sebelum melanjutkan “Orang tuanya meninggal saat dia masih berusia sepuluh tahun. Lalu hartanya diperebutkan oleh banyak pihak. Dia kehilangan semuanya. Orang tuaku dan orang tua Marisa mempertahankan sekuat tenaga apa yang menjadi hak Dewa. Tapi tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Rumah dan perusahaan beralih tangan dalam sekejap. Dia sampai harus tinggal di rumah Marisa dan besar disana. Barulah saat dia beranjak dewasa dia memperjuangkan kembali milik orang tuanya. Tapi aku justru tidak ada untuk membantunya saat itu. Aku harus menyelesaikan study ku di luar negri. Aku tau dia tidak sendiri, ada Marisa dan orang tua kami bersamanya. Namun tetap saja, aku juga ingin ikut andil dan mendampinginya. Bahkan bekerja disini tidak akan bisa membayar ketidakhadiranku saat dia membutuhkanku untuk berjuang bersamanya”

    Toni menghela nafas berat.

    “Aku bukannya tidak bisa membayangkan bagaimana sikap Dewa dimasa depan setelah apa yang dia lewati. Aku hanya... merindukan adik kecilku yang dulu”

    “Adik kecil?”

    Untuk pertama kalinya Ian berkomentar setelah kalimat panjang Toni berhenti.

    “Orang tua kami saudara kandung. Diantara kami bertiga aku yang paling tua, lalu Marisa dan terakhir Dewa. jadi dia adik kecil kami” Toni terkekeh kecil saat memorinya bernostalgia.

    Ian mematung mencerna setiap kalimat Toni. Ada banyak hal yang dia tidak bisa paham tapi mulutnya kaku untuk bertanya.

    “Ian, Dewa itu orang yang tidak percaya pada cinta. Tapi dia pernah jatuh cinta. Dia hanya tidak pernah dicintai balik. Dia tidak tau bagaimana rasanya dicintai. Sementara kami, kami tidak mampu memberikan cinta yang dia butuhkan agar dia paham bagaimana rasanya dicintai” Toni kembali fokus pada cerita awalnya.

    “Tapi, seberapapun tidak percayanya dia terhadap cinta aku bisa menebak kalau saat ini dia justru sedang terperosok kedalamnya. Aku tidak tau apa alasannya masih diam seperti sekarang. Trauma masa lalu kah atau merasa belum siap? Aku sungguh tidak tau” Toni menggeleng untuk menegaskan kalimatnya. “Aku hanya tau kalau saat ini dia sedang jatuh cinta” Tambahnya.

    Deg!

    Tubuh Ian seakan kaku. Tidak tahu menggamarkan seperti apa debaran yang dia rasakan sekarang. Ian tidak tahu apakah dia harus senang atau justru sebaliknya. Semua ini sangat membingungkan, dan justru mulai membuatnya bimbang.

    “Kenapa mas Toni menceritakan semua ini padaku?”

    “Supaya kau tidak terkejut dan supaya kau tau dengan siapa kau berurusan sekarang. Dia serius dia tidak akan berhenti mengejarmu kecuali kau yang dengan jelas mendepaknya.” Toni tersenyum bercanda. “Akan sangat berat untuk mengerti orang seperti dia, tapi itu tidak berarti orang-orang tidak bisa memahaminya. Percayalah!”

    Dua puluh menit kemudian percakapan itu masih berlanjut. Dan saat Dewa sudah sampai Ian seperti ditarik oleh magnet seukuran manusia untuk mendekat. Tidak ada yang bisa menahan langkahnya, tidak juga si pelajar tadi siang datang lagi menemui Toni dengan wajah pias bak remaja patah hati.

    -



    “Ada apa Ian? Kamu terus memperhatikanku dengan tatapan itu sejak kita kembali dari restoran. Ada masalah?” Tanya Dewa tidak tahan.

    Selama perjalan pulang dan saat makan malam Ian terus menatap Dewa penuh makna. Awalnya Dewa cukup tersipu dengan tingkah Ian tersebut tapi lama kelamaan dia jengah juga. Karena tidak tahan dia akhirnya bertanya juga apa yang terjadi.

    “Kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja! Jangan cuma diam melihatku seperti itu” Tuntut Dewa.

    Ian tidak bisa menjawab. Kebingungannya menyedot habis kosa kata dalam kepalanya. Tidak ada yang tersisa yang bisa dia ucapkan untuk menjawab pertanyaan Dewa.

    “Ian?” Dewa mulai jengkel karena khawatir.

    Mata Ian masih saja menatap lurus kedalam mata Dewa.

    ‘Perasaan apa ini?”

    ‘Apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini?’


    “Hey!” Dewa menyentuh dan mengusap lembut pipi Ian. “Kamu tidak apa-apa?”

    Ian menggeleng. Menggenggam kuat tangan Dewa yang ada di pipinya. Dan sebelum sempat Dewa berkata lagi Ian sudah berhamburan ke dalam pelukan Dewa. Dia berharap semua kebingungan dan bimbang itu pergi dan hatinya bisa segera tenang. Tapi bukannya tenang Ian justru semakin bimbang. Dadanya bergemuruh hebat. Detak jantungnya berlomba dengan detak jantung Dewa.

    “Ian?” Panggil Dewa. Dia masih sedikit terkejut dengan tindakan Ian yang tiba-tiba. Dan lebih parah, kekhawatirannya semakin menjadi.

    “Boleh kan?”

    “Apa?” Tanya Dewa.

    “Boleh kan aku memelukmu? Sebentar saja”

    Dewa diam tidak menjawab tapi tangannya dengan pasti menarik tubuh Ian lebih merapat ke tubuhnya. Mendekap lebih erat Ian dalam rengkuhan dua lengan kokohnya. Dia semakin yakin ada sesuatu dengan Ian, dan apapun itu, dia harus mencari tahu.

    Hingga menjelang waktu tidur Ian tidak bisa terlelap. Dia masih diliputi rasa bimbang. Parahnya dia tidak bisa mengenyahkan pikiran yang membuatnya bimbang itu meski dengan mengingat perkataan Toni bahwa Dewa benar-benar jatuh cinta padanya.
    Itu kan baru kata Toni.

    Bisa jadi Dewa tidak demikian.

    Toni hanya menebak tentang perasaan Dewa

    Tapi yang itu... dia bukan cuma menebak tapi melihat. Karena itu dia tahu.

    ‘Ditinggalkan begitu saja..’

    Ian ingin berteriak setiap kali kalimat itu melintas dikepalanya.

    Dia bahkan belum memulai apapun. Tapi sepertinya... dia sudah lebih dulu menyiapkan akhir untuk cerita mereka. Dan sikap Dewa yang kerap kali cuek seolah mendukung apa yang Ian bimbangkan saat ini.

    Kalau saja bisa dia ingin menarik persetujuannya.

    Sendiri akan jauh labih baik dari pada mencoba menjalin hubungan yang sudah bisa ditebak ujungnya seperti apa.

    Tapi kenapa membayangkan menarik persetujuan bisa sesakit ini?



    ~

    “Ian” Panggil suara itu syahdu.

    “Gun?” Suara Ian bergetar. Entah mengapa dia begitu ketakutan. Sorot matanya menunjukkan jelas ketakutan itu. Dan air mata yang meggatung di pelupuk matanya mengatakan kalau dia tidak bisa menanggung ketakutan itu seorang diri.

    “Kenapa?” Tayanya khawatir.

    “Aku tidak tau”

    Tangan kekar itu segera merengkuh tubuh ringkih Ian. “Tidak apa-apa, jangan takut aku disini”


    Aneh!


    Kenapa?


    Kenapa dekapan itu tidak mampu menenangkannya? Dekapan itu tidak mampu mengusir ketakutannya. Dan yang lebih aneh, kenapa dekapan ini terasa berbeda?

    Ini bukan dekapan yang biasanya. Yang biasanya pasti sudah mengusir jauh ketakutan Ian. Tapi ini...

    ~



    “Sudah bangun? Selamat pagi!”

    Senyum Dewa menyambut Ian membuka mata. Ketika kesadaran Ian telah sepenuhnya terkumpul dia baru tahu kalau Dewa sedang mendekapnya.

    ‘Sejak kapan dia disini?’

    Ini kan kamar Ian.

    Semalam, setelah berhasil membuat Dewa ikut bingung dan khawatir dengan tingkahnya Ian pergi menuju kamarnya sendiri. Mereka memang tidak tidur sekamar. Lagi pula bukan tidur satu ranjang yang membuat mereka lebih mengenal satu sama lain. Komunikasi yang melakukannya. Hal yang Ian lupa saat ini.

    “Jam berapa ini?” Tanya Ian untuk mengalihkan ketidaknyamanan yang kembali menyerang hatinya karena melihat Dewa.

    “Jam 5 pagi”

    “Oh” Jawab Ian singkat.

    “Kamu mengigau beberapa kali. Mimpi buruk?”

    Ian tidak langsung menjawab. Dia malah memberi tatapan tadi malam untuk Dewa.

    Dewa tersenyum kecut.

    “Bisa berhenti melihatku begitu?”

    “Maaf”

    “Kamu tidak melakukan apapun jadi jangan minta maaf”

    “........”

    “........”

    “Masih tidak mau bicara apa yang mengganggumu? Kamu mengigau beberapa kali semalam” Dewa mengulangi lagi kata mengigau.

    “........”

    “Hey” Panggil Dewa pelan. Suaranya terdengar mendayu di telinga Ian. Mengalirkan rasa hangat yang menenangkan, hingga untuk sesaat Ian bisa lupa dengan apa yang membimbangkan hatinya. “Katakan! Apapun itu akan aku dengarkan”

    Ian seperti keluar dari lubang gelap dan pengap. Udara segar yang dia butuhkan namun sulit dia dapatkan beberapa waktu lalu sekarang menyelimutinya. Sesuatu yang menghimpitnya sirna. Dia merasa tempatnya begitu lapang. Bebas.

    ‘Benar, aku harus bicara’ Batinnya bersemangat. ‘Tapi bagaimana memulainya?’

    “Aku...”

    Tidak ada lagi kesan ragu saat dia mengucapkan kata aku. Kalaupun ada yang membuat Ian ragu sekarang, itu karena kalimat lanjutan setelah ‘aku’ tadi.

    “Ya?” Dewa menunggu.

    “Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari mas Toni. Tentang masa lalumu”

    Dewa diam sebentar membuat Ian gusar. Apakah Dewa akan marah karena Ian tahu masa lalunya? Tapi dia sendiri yang menyuruh Ian bicara. Dan Ian melakukannya.

    “Jadi itu yang membuatmu terus menatapku? Membuatku khawatir?”

    Ian mengangguk. Tapi tunggu, Ian membuat Dewa khawatir? Kenapa? Bukankah seharusnya Ian yang merasa demikian? Ian yang seharusnya khawatir. Khawatir ditinggalkan begitu saja setelah bosan.

    “Aku tidak tau kalau masa laluku bisa membuatmu seperti ini” Kata Dewa kemudian. “Kamu tau lebih cepat dari yang aku harapkan” Lanjutnya jujur. Dewa punya rencana memberitahu Ian tentang dirinya tapi tidak dalam waktu dekat. Dia yakin Ian akan terkejut dengan masa lalunya dan itu benar. “Dan karena kamu sudah tau, sekarang katakan! Dari semua cerita Toni apa yang mengganggumu?”

    “Benar kamu tidak percaya cinta?” Tanya Ian setelah dia cukup lama. Padahal Toni sudah menjelaskannya pada Ian. sekalipun Dewa bukan orang yang percaya cinta tapi dia bukan orang yang tidak pernah jatuh cinta. Bahkan dia sedang mengalaminya sekarang. Dan Ian tidak perlu penjelasan lebih rinci untuk tahu siapa orang yang dimaksud.

    “.........”

    “.........”

    “Toni bilang begitu?”

    Ian mengangguk samar.

    “.........”

    “.........”

    “Benar” Jawab Dewa tegas.

    Ian beku. Jawaban yang paling tidak ingin dia dengar keluar juga dari mulut Dewa.

    Sekarang apa?

    Apa yang harus dia lakukan?

    Dewa sudah dengan jelas mengiyakan tidak percaya pada hal yang sebaliknya Ian begitu percayai. Tapi, dia sendiri yang meminta Ian untuk jadi kekasinya. Kenapa jadi begini?

    Ian masih tidak bisa menerima jawaban yang sudah lebih dulu dia tau dari Toni.

    Dewa mencoba meraih dagu Ian, menuntun agar wajahnya menengadah sehingga kedua mata itu bisa menatap mataya.

    “Aku tidak percaya kata itu Ian, sama sekali tidak percaya. Aku hanya percaya pada apa yang aku rasakan”

    “.......”

    “Aku lebih percaya pada perasaanku sendiri. Perasaan bahagia saat aku bersamamu. Perasaan tenang saat kamu didekatku. Perasaan lega melihatmu kembali sehat. Juga perasaan damai saat memelukmu seperti sekarang.” Dewa diam sebentar mengamati mata Ian yang berbinar indah namun menyiratkan kebimbangan. “Atau perasaan kesal saat kamu mengabaikanku, perasaan marah saat kamu memikirkan hal selain aku, dan perasaan getir... saat aku sadar kalau aku tidak tau apa-apa tentangmu, sementara dia... dia tau banyak”

    Ian tidak bisa menjawab. Dadanya sesak. Namun ini bukan sesak yang menyakitkan sebelumnya. Ini sesak yang menyenangkan. Bait demi bait kata menyulut hati Ian untuk kembali menumbuhkan rasa percayanya pada keputusan yang sudah dia ambil. Nada cemburu Dewa yang terdengar jelas diakhir kalimat menyentaknya dari mimpi buruk. Ada secuil harapan dan keyakinan dalam hatinya.

    “Ada lagi yang mengganggumu?”

    Dewa bukanlah orang yang suka menjelaskan panjang lebar jika itu berkaitan dengan perasaan. Dia cepat kehabisan kata kalau menyangkut hal itu. Makanya dia lebih memilih bertanya hal selanjutnya.

    Pertanyaan Dewa memberi peluang besar bagi Ian untuk bertanya hal kedua yang tidak kalah mengganggunya saat ini. Tapi dia ragu.

    “Katakan Ian! Sekalipun itu akan sangat tidak enak untuk didengar, katakan! Supaya aku tau apa yang mengganggumu” Bujuk Dewa meyakinkan Ian sebab dia melihat keraguan di wajah orang yang tengah didekapnya itu.

    “Apa kamu tipe yang mudah bosan?”

    “Maksudmu?”

    Ian gelagapan untuk menjawab. Dia harus mengumpulkan segenap keberanian untuk memperjelas pertanyaannya.

    “Aku dengar kamu suka meninggalkan begitu saja orang-orang dimasa lalumu setelah merasa bosan”

    ‘Semoga dia tidak tersinggung’ Batin Ian takut.

    Dewa tidak segera menjawab. Dia ingin melihat terlebih dahulu wajah Ian.

    “Aku tidak percaya Toni bercerita sedetil itu”

    “Maaf”

    “Berhenti minta maaf”

    “........”

    “Tidak ada yang kutinggalkan setelah bosan. Karena memang tidak ada sesuatu diantara kami”

    “........” Ian mendengarkan dengan seksama. Tak mau terlewatkan satu kata pun. Tapi dia tidak merasa cukup dengan jawaban itu.

    “Satu dua datang dan aku menerimanya, lalu mereka tidak tahan dengan sikapku akhirnya mereka pergi. Kebanyakan justru hanya ingin bersenang-senang dan aku tidak punya alasan untuk berlama-dengan orang seperti itu. Kamu keberatan dengan masa lalu seperti itu?”

    “Seharsnya tidak, tapi...”

    “Tapi kamu keberatan”

    “Bukan...”

    Sanggahan Ian yang begitu cepat sama sekali tidak menolongnya. Dewa tersenyum perih. “Tidak masalah, itu hak mu.”

    “Maaf”

    Dewa menggeram gemas “Kamu tidak mendengarkanku ya? Berhenti minta maaf!”

    “........”

    “........”

    “Tapi aku juga punya hak untuk mempertahankan apa yang aku inginkan, ya kan?”

    Ian bertanya bingung apa maksud Dewa dengan tatapan matanya.

    “Mempertahankanmu agar kita bisa bersama”

    Tidak bisa Ian bendung senyum simpul diwajahnya. Ada lega menyambangi setelah dia bicara. Kebimbangannya berangsur hilang nyaris tak bersisa.

    “Aku tidak percaya kita membahas malah ini di atas ranjang jam 5 pagi” Mereka terkekeh. Lebih tepatnya Dewa yang terkekeh Ian hanya tersenyum.

    “Mulai sekarang bicarakan apapun yang ingin kamu bicarakan denganku. Jangan memendamnya sendiri” Dewa memperingatkan.

    Lalu sebuah kecupan mendarat di kening Ian sebelum Dewa keluar menuju kamarnya sendiri. Ian juga bangun tidak berapa lama setelah itu. Dan dia akhirnya ingat telah melupakan sesuatu dari kemarin. Dia buru-buru meraih ponsel yang ada di atas nakas lalu mengeceknya. Tidak ada pesan dan panggilan apapun dari orang itu. Ian merasa sedikit aneh. Tidak biasanya begitu. Biasanya jika Ian tidak segera memberi kabar maka orang itu yang akan menghubunginya lebih dulu. Tapi ini?

    Ian menimang apa sebaiknya dia menghubungi saja orang itu? Tapi ini masih terlalu pagi. Bagaimana kalau orang itu belum bangun meski itu sangat tidak mungkin. Sebab yang Ian tahu orang itu selalu bangun cepat setiap paginya. Cuma kalau mengingat kesopanan sebaiknya emang tidak. Ian akhirnya memutuskan mengirim pesan singkat saja yang menyatakan kalau dia minta maaf lupa mengabari kemarin dan dia sudah jauh lebij baik.

    Sampai Ian sudah selesai jam istirahat belum juga ada balasan dari orang itu. Ian mencoba menghubngi beberapa kali tapi tidak ada yang menjawab. Tak pelak Ian mulai khawatir. Selanjutnya setiap satu jam sekali dia menghubungi nomor orang itu. Hasilnya tetap nihil, tidak ada yang menjawab.

    Ian was-was bukan kepalang. Dia nyaris tidak bisa konsentrasi pada pekerjaan. Beruntung dia hanya melakukan pekerjaan ringan saja seperti kemarin. Kalau tidak, bisa-bisa dia diomeli karena tidak bekerja dengan fokus.

    Pukul tujuh lewat Ian kembali menghubungi nomor tadi, seperti mencoba peruntungan dia berdoa semoga ada yang menjawab telpon darinya.

    “Halo!”

    ‘Tersambung’ Pekik Ian senang. Tapi kenapa bukan orang itu yang menjawab. Ini kan suara...

    “Gun?”

    “Ya!”

    “Mama mana?”

    “.........”

    “Halo?”

    “Mama di rumah sakit”

    Jleb!

    “Apa? Mama...” Suara Ian bergetar.

    “Kesehatan mama sedikit drop beberapa hari lalu dan semalam pingsan. Jadi papa bawa mama ke rumah sakit”

    Beberapa hari lalu?

    “Sejak kapan kondisi mama drop?” Tanya mau kepastian karena di punya firasat ini berhubungan dengan dia.

    “........”

    “Gun?” Kejar Ian.

    “Aku tidak tau”

    “Jangan bohong. Ini ada kaitannya denganku kan?” Nafas Ian memburu.

    “.........”

    “Mama sakit gara-gara kelelahan menjagaku di rumah sakit, benarkan? Mama...”

    “Ian” Sela Gugun pelan tapi cukup untuk membuat Ian berhenti bicara. “Mama sudah jauh lebih baik sekarang. jangan khawatir”

    “Kenapa kamu tidak bilang sama aku kalau mama sakit?”

    “Mama melarang karna kamu sendiri juga sedang sakit. Dan kupikir... kamu mungkin tidak mau bicara denganku”

    “Apa maksudmu?”

    “Bukan apa-apa. Sudah dulu aku harus kembali ke rumah sakit untuk mengantar barang-barang ini”

    Tut

    Sambungan telpon diputuskan sepihak.

    Ian dia tidak bergerak untuk beberapa saat.

    ‘Mama sakit?’

    Tanpa menunggu lagi Ian segera menuju ruangan pak Rudi. Setelah memperoleh izin pulang lebih cepat dia segera berganti pakaian, berlari terseok ke jalanan untuk mencari transportasi apa saja yang bisa membawanya menuju kota kelahiran Gugun. Pada saat itu Ian telah lupa total pada pesan Dewa yang memintanya untuk menunggu.







    Hai Nara datang lagi dengan cerita menye tidak jelas.


    Maaf (maaf lagi maaf lagi) sudah buat kalian ingin lempar sandal (kalau tidak mau disebut yang lebih kejam lagi) karena lama menunggu. Tapi jangan khawatir, beberapa part lagi cerita ini akan ketumu ending. So, kalian bisa mengucapkan selamat tinggal pada cerita dan penulis menyebalkan ini. Hahaha
    Kali ini lebih sedikit. Kayaknya saya memang tidak bakat di romatis. Bakanya bikin orang menderita. Hohoho.....


    Okeh, segitu aja cuap-cuapnya biar kalian nggak greget pengen lempar saya pakai sandal (kalau tidak mau disebut yang lebih kejam lagi)



    Yoooo....Salam Nara!


    Note: 1. Makasih buat yang sering inbox saya untuk ngingetin apdetan. (Bikin saya kocar kacir jadinya, hahaha)
    2. Banyak typo=tidak diperiksa lagi sebelum update
  • Q pertamma. Yeay
  • asyik dlnjut lg. dtunggu terus ya updatenya. udh ga sabar pingin ending. thank udh update lg. finally
  • Selamat anda menjadi yang pertama @josiii

    @rioz lama2 bikin bosan ya?
    Tenang tenang, bakalan segera ending kok.
  • Aku gak dimention
    Ok.
  • Waduh, ketinggalan ya... maaf
    Aku catat dulu eeh namanya di lappy
    Sekali lagi maaf @boyszki
  • edited December 2015
    -
  • Mention juga donk ka
  • lagi2 dewa dilupakan,,,arrgghh,,,ian bego deh,,,diperjalanan kan bisa sms atau nelpon,bukanya diem bengong kek orang bego.huhh
Sign In or Register to comment.