Pak Harto “piye kabare? (isih) penak jamanku to?”
Aneh juga melihat rakyat zaman sekarang merindukan pemimpin yang dahulu mereka paksa untuk turun setelah 32 tahun berkuasa. Mungkin yang namanya cinta baru terasa jika kehilangan juga berlaku pada rakyak kecil alias wong cilik. Tengok saja, dari sekian banyak stiker Pak Harto yang tertempel, pasti lebih banyak terdapat pada angkutan tua, mulai dari mobil tua, pick up tua, angkot tua dan pokoknya yang tua tua. Bagian belakang dari kendaraan itu pasti terdapat wajah familiar dengan senyum khas, mengangkat jempol dan ada tulisan “ PIYE KABARE? (ISIH) PENAK JAMANKU TO?”. Ah romantisme masa lalu……
Lalu sebenarnya apa sih sebenarnya maksud dari munculnya stiker stiker tersebut? Dikutip dari
http://www.solopos.com/2013/05/21/gagasan-rindu-kepada-pak-harto-408471 tulisan dari Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya dan Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret, “Menurut Sigmund Freud, seorang ahli jiwa awal abad ke-20, fenomena seperti itu secara kejiwaan adalah sebuah id di antara ego dan superego. Orang melakukan sebuah tindakan karena di alam bawah sadar menginginkan kembalinya keromantisan yang menyebabkan seseorang (masyarakat) merasa happy.
Fenomena maraknya stiker bergambar Pak Harto tersebut bagi sebagian masyarakat menjadi simbol protes sosial. Masyarakat protes dengan membuat komparasi antarperiode kekuasaan yang notabene belum tentu kekuasaan pada masa lalu itu juga enak. Tetapi, simbol-simbol protes itu semakin mendapat tempat di hati masyarakat tatkala logika-logika kondisi berbangsa dan bernegara secara kontemporer semakin resisten. Dari hari ke hari resistensi sosial terhadap politik semakin jelas dengan semakin banyaknya warga yang memilih menjadi bagian dari golongan putih (golput)—tak menggunakan hak pilih–pada setiap pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Ketika di setiap pemilihan gubernur atau pilgub (mungkin termasuk Pilgub Jawa Tengah) angka golputnya tinggi, sudah pasti ada resistensi yang tinggi dan hal ini tidak dapat dianggap sebuah masa yang enak jika dibandingkan pada zaman Pak Harto dulu. Konstruksi pemikiran masyarakat yang gandrung Pak Harto dengan memasang gambar berwujud stiker tersebut jelas logika yang berbalik dengan suatu keadaan di era sekarang.
Pada masa Pak Harto soal pilgub tidak serumit saat ini. Pilgub zaman Pak Harto dulu amat sederhana, tidak seperti sekarang ketika setiap pemilihan kepala daerah penuh dengan trik, intrik dan kepalsuan. Hasil pemilihan kepala daerah saat sekarang di samping menghabiskan energi juga kemudian malah melahirkan raja-raja kecil yang merasa lebih berkuasa daripada presiden. Mungkin tingginya angka golput di setiap pilgub di seluruh provinsi di Indonesia menjadi logika pembenar bahwa zaman Pak Harto dulu lebih enak.
Bagi masayarakat yang gandrung masa Pak Harto juga merekonstruksi fakta bahwa tata hubungan bermasyarakat dan berbangsa lebih enak dulu daripada sekarang. Dalam kurun waktu 20 tahun pemerintahan Pak Harto (1978-1998), jarang terjadi keributan antarsuku, antargeng, antarpreman apalagi antarkampung, tawuran pelajar, pembakaran masjid, sampai soal teroris.
Premanisme, anarkisme, brutalisme pada zaman Pak Harto jelas ”digebug” (istilah yang dipakai Pak Harto dulu) dan diproses sekalipun dilakukan secara tertutup. Sedangkan tindakan vigilante (pembangkangan sipil) pasti ditangani secara represif. Pada masa Pak Harto juga ada korupsi. Tetapi, mungkin dipaksa bungkam atau entah sebab yang lain. Yang jelas, korupsi tidak vulgar, tidak terjadi secara masif dan bergerombolan seperti saat ini.
Zaman sekarang justru menjadi lebih enak bagi koruptor karena sekalipun tertangkap tangan masih bisa dengan enak tersenyum dan melambaikan tangan. Vonis pidananya amat ringan, bahkan dengan berbagai dalil koruptor bisa bebas atau setidaknya tidak tidur di penjara. Banyak kaum muda seusia Gayus H Tambunan yang lihai bermain jurus-jurus korupsi. Ukuran enak di zaman Pak Harto tentu soal ekonomi dan kebutuhan sandang. Harga dan bahan-bahan kebutuhan pokok relatif aman, terjamin dan terkendali.
Meskipun penghasilan rata-rata pada masa Pak Harto masih kecil, namun dibandingkan dengan harga-harga masih terjangkau. Kondisi itu terbalik dengan sekarang. Meskipun gaji dan penghasilan rata-rata sudah naik, ternyata lebih besar lagi kenaikan harga-harga sehingga daya beli rupiah terhadap kebutuhan pokok menjadi lemah.
Pada zaman Pak Harto posisi Indonesia dalam soal hubungan dalam kawasan regional maupun internasional disegani kawan dan lawan. Indonesia saat itu memiliki politisi dan negarawan ulung yang dikenang sepanjang masa oleh kawan dan lawan baik di dalam maupun luar negeri. Tidak seperti sekarang, negara menghadapi ancaman seperatisme dalam negeri dan pelecehan oleh negara tetangga.
Jadi, ketika di masyarakat saat ini muncul kerinduan kepada Pak Harto melalui gambar stiker atau di meda sosial, itu sebenarnya bentuk sindiran yang di dalamnya ada protes terhadap rezim kontemporer yang berkuasa. Ini tidak dapat disalahkan dan kalau semakin hari kondisi bangsa dan negara semakin menuju negara gagal, kerinduan itu akan semakin besar dan Pak Harto dengan segala kelebihan dan kekuranganya pada zamannya akan ”hidup kembali”.
Nah merasa mendapat sedikit pencerahan? Intinya dalam sejarah, siklus kekuasaa dan kemakmuran suatu Negara adalah 100 tahun, setiap 100 tahun, tahap perjuangan,pembangunan, kemunduran dan kehancuran berulang setiap 25 tahun. Di Indonesia, yang belum 100 tahun mengalami kemerdekaan, sama saja, Orde Lama (saya lebih suka menyebutnya sebagai masa pemerintahan Soekarno, karena penyebutan Orde ini hanya akal akalan pemerintahan selanjutnya) bias dianggap sebagai masa perjuangan. 20an tahun itu sudah cukup bagi kita berjuang dan meraba arah perjuangan kita.
Sementara 32 tahun Soeharto, itu sudah mencakup dua masa, masa pembangunan dan kemunduran. 20 tahun pertama pembangunan berlandaskan hutang memang cukup membuat Indonesia ini semakin terlihat wah , apalagi bagi rakyat kecil. Kesalahan elementer adalah seperti dimana kekuasaan itu memabukkan, sesuatu yang sudah digenggam dan tak ikhlas dilepaskan begitu saja, maka masa selanjutnya, kemunduran mulai dirasakan. Tahun 1990 an mungkin menjadi sebuah titik balik. Perlahan namun pasti kemerosotan ekonomi bias dirasakan. Namun lagi lagi, rakyat kecil tertipu dengan segala sesuatu yang dianggap murah.
Reformasi adalah masa 20 tahun keempat sampai sekarang. Ini fase kehancuran, wajar saja dengan keadaan sekarang ini. Meskipun namanya saja reformasi, keadaannya hanya berubah sedikit. Berubah namanya saja, berubah sistemnya, tetapi tidak memudahkan. Pertarungan politik boleh saja berlangsung keras, bahkan seperti yang kita alami ketika aksi reformasi 1998, hingga menelan korban jiwa yang cukup banyak. Tentu, dalam kondisi negara yang terancam gagal orang mencari alternatif-alternatif pencerahan. Salah satunya adalah kemunculan kembali kecenderungan keromantisan terhadap masa lampau yang mungkin dirasakan lebih enak dibandingkan dengan masa kini.
Jadi menurut anda, enakan mana?
Comments
[img][/img]
tapi coba deh bandingkan zaman pak harto sama zaman sekarang... dulu kita bisa swasembada beras, pendidikan murah, apa apa murah. cuma beliau ini nepotisme nya yg parah bangettt...
kalau ditanya jujur memang enakan jaman pak harto. gak munafik gw.
yg gw gak suka itu sistem pilkada dan pemilu legislatif, mereka keluaruang bermilyar2.. tentunya pas kepilih pada ngebut pengen balikin modal.. ya jadinya ya korupsi terus.. gw setuju jaman dulu gubernur dan DPR itu dipilih sama intern partai dan gubernur cukup DPR yg ambil voting gak harus rakyat lagi. gak DPR wakil rakyat, kalau gubernur juga dipilih rtakyat berarti DPR bukan wakil rakyat lagi.
Tapi kelebihan dari zamannya pak harto keamanan dan kestabilan politik lebih baik dari zaman sekarang yg semrawut
NOVEMBER
2013
Mulutmu. Bajingan !
http://blog.imanbrotoseno.com/?cat=10
Tiba tiba saja ucapan ‘ Bajingan ‘ dari sang Wagub Ahok memenuhi time line dan pemberitaan beberapa hari lalu. Banyak orang mengutuk kenapa ucapan itu keluar dari mulut Ahok. Walau itu ditujukan kepada murid murid SMA yang melakukan tindakan kriminil membajak bus kota. Ada politikus partai kuning yang membela bahwa anak anak itu harus diberi kesempatan. Tidak selayaknya dihukum. Anak anak nakal ya tetap anak anak kita yang harus dibina.
Mungkin kegeraman Ahok sudah mencapai ubun ubun. Kenakalan anak anak sudah melewati batas, sehingga terlontar kalimat ‘ bajingan ‘. Problemnya karena diucapkan di ruang publik. Banyak yang tersinggung dan merasa tidak layak. Apakah benar ?
Saya teringat kisah Gubernur Ali Sadikin dahulu. Suatu pagi Bang Ali membaca koran pagi yang memuat berita seorang anak SMA di wilayah Rawasari yang memukul gurunya, karena tidak naik kelas. Serta merta Bang Ali naik pitam, dan datang ke sekolah itu dan berseru ” Saya jadi backing para guru. Guru tidak usah takut jika ada murid atau orang tua nodong pistol “. Ia meneruskan ” Saya punya 70.000 senapan. Jangan takut. Laporkan kalau ada yg mengancam. Ini konsesus saya dengan Kadapol. Mengerti ? “
Bang Ali Berteriak ” Hanya orang tua yang GOBLOK yang tak tahu diri yang membela anak anaknya yang tak benar ” Para wartawan dan masyarakat semua kaget dengan intonasi ‘Goblog ‘ yang keluar dari mulut Bang Ali.
Tapi Bang Ali tak perduli dan menegaskan bahwa setiap siswa yang melanggar hukum akan ditindak. Sejak lahirnya lembaga POMG – Persatuan Orang tua Murid dan Guru.
Tapi mungkin ini juga bukan sekali Bang Ali memaki. Sudah menjadi kebiasaannya menyemprot dengan kata kata. “ Sontoloyo ‘, “ Memang jalan nenek moyangmu ? “ atau bahkan menempeleng supir yang mengendarai truknya sembarang di jalan raya.
Kalau kita tarik lebih jauh lagi. Walikota Jakarta yang pertama, Suwiryo juga pernah marah marah di depan publik. Kali ini dia berkata pada reporter harian ‘ Merdeka ‘ yang ditujukan kepada pemimpin pemimpin yang mengungsi di Jogjakarta agar jangan sok tahu. Karena tidak tahu situasi sehari sehari yang dihadapi orang orang Republik yang bertahan di Jakarta menghadapi NICA.
Jadi sebenarnya tidak ada yang aneh, bagi Gubernur atau pemimpin Jakarta yang temperamental. Saya tidak tahu tentang Foke. Konon dia galak dan pemarah. Jadi buat apa omongan Ahok dimasukan ke hati ? Sepanjang itu bertujuan baik dan membawa efek jera. Kenapa tidak. Tapi memang repot kalau ukuran orang baik dilihat dari tingkat kesopanan atau kepatutan.
Saya sendiri tidak masalah dengan kalimat itu. Wong, di film kadang kala sutradara atau produser memaki crew dengan ucapan kasar. “ Kerja pakai otak ! “, “ Makan pasir lu “. “ Kont**l”. Setahu saja tidak ada yang sakit hati. Tapi entahlah, mungkin juga mereka sudah bebal.
Sebenarnya kita tak perlu repot repot menerjemahkan sikap bahasa seperti ini. Budaya kita juga tak jauh jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa yang dianggap kasar. Coba dengar arek arek Jawa Timur memaki, “Jancuk “ dalam percakapan sehari hari. Sementara di Solo atau Jogja, kerap memaki “ Asu “ – anjing. Belum lagi perbendaharaan bahasa lokal Betawi seperti “ Pale lu bau menyan “. Jadi tidak usah cepat tersinggung. Temukan saja arti yang tersirat di balik kalimat itu.
Posted by iman under: BERBANGSA; POLITIK .
“ dan sejarah akan menulis disana, diantara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Akhirnya kembali menjadi satu kuli diantara bangsa bangsa – kembali menjadi een natie van koelies, en een kolie onder de naties. “
( Soekarno – Tahun Vivere Pericoloso – 1964 )
Apa yang kita lihat baru baru ini, drama panggung wakil rakyat di DPR menunjukan memang benar sebagai bangsa kuli. Seperti di pasar, para kuli kuli panggul saling berebutan. Juga di parlemen. Saling ejek, dorong dorongan, mencaci, berteriak. Semua tanpa martabat.
Kalau sudah begini apa yang diharapkan dari mereka sebagai representasi rakyatnya.
Ditengah persidangan ada mencoba membacakan puisi segala. Oh My God, apakah orang itu mencoba seperti Nyoto yang ditengah perdebatannya dengan Natsir – dalam sidang konstituante tahun 50 an – sempat menyelipkan puisi. Namun masih indah dan kontekstual. Karena Nyoto seorang penyair. Hiruk pikuk sidang masa itu tetap elegan dan bermartabat.
Hari ini saya makan siang dengan aktor Alex Komang, dan kami berbicara tentang betapa memalukan seniman atau artis yang duduk di dewan. Mereka berceloteh sama dengan politikus lainnya. Tidak bermutu. Sambil setengah mengejek Alex mengatakan, tentu lain kalau yang duduk seniman kaliber Rendra yang kita tahu integritasnya dan bahkan bisa menyelipkan puisinya dalam persidangan secara elok.
Pun. Kita tidak bisa protes tentang kualitas anggota dewan, karena kita yang memilihnya. Para golongan putih yang angkanya hampir mencapai 40 % dari calon pemilih juga hanya bisa menggerutu. Memilih salah tidak memilih juga salah, karena akhirnya – hanya kiasan – hanya koeli yang memilih koeli.
Tanpa merendahkan mereka yang sudah ikut memilih wakilnya, kenyataannya para wakil rakyat ini memang benar benar memalukan.
Ini adalah konsekuensi dalam sistem politik demokratis, dimana kekuatan partai didasarkan pada kepopuleran partai dimata orang banyak, khususnya pemimpin partai itu. Lihat saja, struktur masyarakat Indonesia yang sebagian besar tingkat pendidikannya rendah dan berbasis agraris, masih melihat kepada karisma pemimpin partai. Bukan kepada program kerja. Selain itu vote getter partai seperti artis atau orang orang popular bisa membuat bias pada akhirnya. Mereka tidak bodoh, tetapi cukup pintar untuk bisa memahami dinamika rakyat.
Ada beberapa kenalan artis yang saya sering bekerja sama, sehingga saya hanya terkekeh kekeh dalam hati ketika melihat mereka duduk di dewan. Lha selama proses syuting saja mentalnya minta dilayani di nomor satukan, bagaimana bisa kini harus merubah mental menjadi pelayan rakyat.
Sekali lagi Alex tidak salah, ketika mencibirnya.
Setelah sekian lama anggota legislatif menjadi bayang bayang eksekutif selama masa orde baru, kini mereka sadar telah menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan. Bisa seenaknya memanggil menteri, menjadi raja ketika berkunjung ke daerah. Juga berpikir bisa menentukan hitam putihnya negeri ini.
Baru baru ini saya bertemu seorang teman yang menjadi anggota fraksi di sebuah hotel. Teman waktu jaman jahiliyah dan masa kelam. Pendidikannya hanya SMA, dan membeli ijasah sarjana dari perguruan tinggi tidak jelas. Dia bisa masuk partai, setelah mengkoordinir cap jempol darah wilayah Jakarta untuk seorang pemimpin partai.
Kini dengan gayanya yang parlente, memakai jas dan pin emas didadanya. Ia tampak sedang berbicang bincang dengan koleganya. Agak canggung dia, mungkin dia ingat masih punya hutang kepada saya sejumlah uang yang tidak pernah dibayarnya. Padahal saya sendiri sudah melupakannya.
“ biasalah kami lagi rapat untuk memikirkan negeri ini “. Ia menyapa sambil buru buru pergi.
Manusia memang berubah, juga ketika mereka menjadi anggota dewan. Tak heran Sok Hok Gie pernah mengirimkan bedak kepada teman temannya yang duduk di parlemen agar mereka tetap cantik di muka penguasa.
Secara menyedihkan, ia mengatakan pada akhirnya orang yang tadi idealis akan tergilas dan masuk ke dalam sistem itu.
Ini bukan hanya dia, masih banyak anggota yang entah dari mana sim salabim tiba tiba duduk dengan jas parlentenya. Seolah menjadi pembawa suara rakyat.
Tiba tiba mata saya terasa berkunang kunang membayangkan masih lama 4 tahun lagi kita melihat wakil wakil kita seperti Burisrawa tertawa tawa di panggung ketoprak. Tak perduli apakah penonton suka atau tidak. Walau kita berteriak ‘ huuuuuuuuuuu ‘ mereka tetap pura pura tidak mendengar. Tidak ada sistem yang memungkinkan partai partai merombak total komposisi anggotanya di dewan. Jadi kita sebagai rakyat dipersilahkan menelan saja apa yang dihidangkan.
Kualitas negeri ini ditentukan dengan kualitas wakil rakyatnya. Saya kok pesimis reformasi yang telah digulirkan sejak 1998 akan berjalan sia sia. Bagaimana tidak, jika kita hanya memiliki kualitas koeli di gedung parlemen.
foto : detik.com
@young_dentist
masi percaya ama wakil rakyat?
gila aja;
mereka gmpg bgt dibeli;
dan posisi nya di sana utk korupsi dan kumpulin materi...
terus juga utk mempertahankan kedudukan dan hegemoni;
gk heran capres nya yg muncul itu2 aja;
mega; wiranto; dan seluruh anak2 nya..
sistem pilkada dan pemilu legislatif kyk nya proyek mega nya amin rais dan ryaas rasyid;
goal nya liberalisasi penuh;
pdhl rakyat cuma butuh hidup layak dan cukup;
bukan kenceng2 an bacot model rike pitaloka dan temen2 nya di dpr..
kesalahan terbesar suharto adlh dia tdk mempersiapkan suksesi dan kroni2 nya yg itu2 aja..
@Wpeee
Tiga Boss Besar media massa sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu Presiden 2014, yaitu Aburizal Bakrie (Tv One, Viva News), Surya Paloh (Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post) dan Hary Tanoe (MNC TV, RCTI, Global Tv, Koran Sindo). Iklan-iklan politik mereka pun telah berseliweran di media-media massa milik mereka sendiri. Oleh karena itu, sangat penting dan wajib hukumnya bagi kita untuk menelusuri bagaimana perjalanan rantai keuntungan iklan politik yang melibatkan sosok mereka.
Saya bukanlah praktisi periklanan. Namun, saya yakin, jika logika awam yang saya bangun dalam memahami bagaimana aliran keuntungan iklan politik ini akan mendekati benar. Logikanya seperti ini: Pertama, media massa baik cetak maupun elektronik menentukan tarif iklan sesuai dengan rating acara di waktu tertentu, dan sesuai dengan durasi iklan. Kedua, pengiklan (dalam hal ini boss media massa yang menjadi politisi), membayar sejumlah uang yang telah dibudgetkan dari anggaran partai untuk penayangan iklan ini. Ketiga, pihak media membayar pajak atas iklan tersebut kepada pemerintah. Keempat, keuntungan dari iklan masuk ke kas media massa kepunyaan politisi tadi.
Dari logika yang saya bangun tadi, dengan sangat gamblang kita bisa melihat, bahwa pada akhirnya, keuntungan iklan politik pun tetap masuk ke kantong politisi pemilik media massa. Dengan begini, mereka tentu bisa saja “main lepas” dan “nothing to lose” –dalam arti negatif- ketika menjalani kegiatan politiknya. Dalam artian, mereka bisa saja tidak begitu peduli dengan motif pengabdian bagi bangsa dan negara dalam berpolitik, karena mereka tidak akan rugi banyak secara finansial. Saya sendiri berpandangan bahwa para pemilik media massa yang bermain politik ini seperti ingin mengamankan bisnisnya saja. Denga cara seperti ini, uang mereka pun tetap berputar-putar di sirkuit bisnisnya sendiri, termasuk biaya politik yang mereka keluarkan dari gocek pribadi.
Persoalan yang juga muncul kemudian, pernahkah kita bertanya dari mana anggaran partai politik berasal? Dari beberapa website partai yang saya kunjungi, saya dapat melihat bahwa partai politik juga menampung donasi dari masyarakat. Inilah mengapa saya sebut di judul ada semacam Moral Hazard, yaitu kondisi di mana resiko perbuatan seseorang justru ditanggung oleh orang lain.
Dalam hal ini, para petinggi parpol yang juga pemilik media massa tidak akan menanggung banyak beban biaya politik, karena uang beriklannya hanya berputar di sirkuit bisnis miliknya. Justru masyarakat yang bisa ikut dirugikan, karena pada akhirnya uang yang mereka berikan untuk menyokong partai justru masuk ke kantong petinggi partai pemilik media massa dengan cara yang legal dan mengatasnamakan demokrasi. Dan jika pada akhirnya partai politik ini kalah, uang masyarakat lenyap, aspirasi diacuhkan, dan petinggi partainya tetap saja kaya-raya, masyarakat pun tak dapat menuntut apa-apa.
Dengan adanya indikasi seperti ini, sebaiknya pemerintah membuat peraturan yang tidak membolehkan seorang pemilik media massa yang juga menjadi politisi untuk beriklan politik di media massa miliknya sendiri. Jika ia beriklan di media massa lain tidak masalah. Karena terjadi perputaran uang yang relatif lebih luas di situ.
Atau jika ingin yang lebih ekstrem, sebaiknya pemerintah membuat peraturan di mana seluruh keuntungan iklan politik yang melibatkan pemilik media massa diserahkan kepada pemerintah. Jika ini terlalu ekstrem, pemerintah bisa membuat pajak khusus yang lebih besar bagi pemilik media massa yang berikklan politk di media massa miliknya sendiri.
Dengan begini, para politisi yang saya maksudkan tidak akan seenaknya beriklan politik. Iklan politik ini bagi sebagian masyarakat juga sangat mengganggu, karena hadir hampir setiap saat, dan hampir di semua stasiun televisi. Apalagi iklan politik ini amat mahal. Seorang politisi mungkin bisa menghabiskan hampir 1 milyar rupiah /hari untuk iklan politiknya. Andai saja uang tersebut digunakan untuk hal lain yang langsung mengena ke masyarakat, tentu lebih bermanfaat. Dan perlu juga diingat bahwa frekuensi dimiliki oleh negara. Oleh karena itu, ia harus digunakan untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Dibaca : 490 kali
Penulis : Ferdiansyah Rivai
Yang paling gampang saja dah. Kebanyakan dosa2 korupsi sekarang itu dilakukan oleh partai golkar yang merupakan bentukan suharto... belum juga masalah kroni2 suharto yang masoh bertahan hingga sekarang menyusup ke pemerintahan
Contoh yang lain..., seorang profesor dan guru besar UI menyarakan bahwa produk perundang-undangan yang dikeluarkan dijaman suharto yang masih berlaku sampai sekarang .. 80% dibuat untuk melindungi praktek korupsi dan kroni2nya...
Belum menyingung kontrak pemerintah jangka panjang 20-30tahun dari jaman suharto yang masih berlaku sampai sekarang dan diperpanjang...
Beginilah klo reformasi cuman setengah-setengah...
#hanya berniat meluruskan