BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Miracles in December [ONESHOOT]

edited December 2013 in BoyzStories
Miracles in December
Tamma

Kenangan itu …
Sebuah kenangan yang datang dari masa dua tahun lalu.
Kenangan tentang sebuah ambisi dan keegoisan, yang memaksaku untuk duduk di sofa yang hangat ini, sendirian.


***

“I’m struggling to find you who I cannot see
I’m struggling to find you who I cannot hear
I see things that I couldn’t see before
I hear things that I couldn’t hear before
After you left me, I have grown a power that I didn’t have before…”
Miracles in December—EXO

***
«134

Comments

  • edited December 2013
    Jakarta, Indonesia
    23 Desember 2013

    Sampai detik ini, aku masih bermimpi, benda putih dan berkilau—yang disebut salju—itu dapat menyambangi Indonesia dan terjun dengan lebatnya hingga menutupi seluruh atap rumah dan jalanan di negara beriklim tropis ini. Sehingga, aku bisa bermain perang-perangan bola salju dengan teman-temanku, membuat sebuah patung Santa Claus berukuran besar, atau mungkin hanya berbaring di atas dinginnya hamparan salju itu. Sayangnya, hal tersebut sangat tidak mungkin untuk bisa terjadi. Yah, kecuali, dua hal.

    Hal pertama, aku harus beranjak dari sofa hangat dan nyaman di rumahku ini terlebih dahulu, lalu pergi keluar rumah dan menerjang hujan lebat, setelah itu mampir ke atrium mall WTC Serpong yang ada di Tangerang Selatan. Yap, di atrium mall itu terdapat salju berjatuhan. Hebat, bukan? Hanya saja, salju yang berjatuhan tersebut palsu dan imitasi, tidak ada sensasi membahagiakan sedikit pun saat benda putih kasar itu menyentuh kulitku.

    Dan… hal kedua, yaitu hal yang terakhir sekaligus hal yang paling ekstrim yang mungkin terjadi. Aku pernah mendengar hal ini dari guru geografiku saat aku masih duduk di kelas satu SMA. Menurut beliau, salju bisa saja turun dan berjatuhan dari atas langit Indonesia. Tapi, seluruh masyarakat Indonesia harus bersabar sedikit. Bersabar menunggu sebuah gempa tektonik berkekuatan 12 SR (Skala Richter) menggoyangkan lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia selama sepuluh menit penuh, sehingga Indonesia berpindah tempat makin ke utara atau mungkin makin ke selatan.

    Hal buruknya adalah, gempa teknonik sebesar 12 SR tidak akan pernah tercatat di seluruh seismograf yang ada di seluruh dunia. Karena, planet bumi tercinta kita ini, tidak akan pernah bisa mengeluarkan tenaga dan energi sebesar itu. Lagi pula, gempa tektonik sebesar 12 SR dapat membelah Pulau Jawa menjadi dua belah bagian! O-oh, lebih baik salju tidak turun saja di Indonesia, jika hal mengerikan itu terjadi. Tidak, aku mohon.

    Yah, memang begitulah hidup. Dalam hidup, jika seseorang memiliki sebuah keinginan yang agak tidak mungkin untuk dilakukan, akan ada satu buah resiko—atau lebih—yang harus dia jalani untuk menggapai keinginannya itu. Yang namanya resiko, baik itu resiko kecil ataupun resiko besar sekalipun, minimal akan ada sebuah hal yang harus dikorbankan. Ya, dikorbankan. Harus.

    “Susunya diminum dulu, Tora. Keburu dingin nanti,” kata mama dari dalam dapur, yang sepertinya sedang sibuk menyiapkan kue kecil untuk menyambut Hari Natal lusa nanti.

    Perkataan mama membuatku tersadar akan lamunan konyolku tentang kedatangan salju. “Iya, Ma…” sahutku dengan nada yang agak tinggi agar beliau dapat mendengar suaraku yang terkalahkan dengan suara hujan deras di luar sana.

    Aku segera mengambil susu cokelatku dari meja—yang ternyata masih hangat—dan menangkupnya dengan kedua telapak tanganku. Membiarkan suhu hangat yang dikeluarkan susu tersebut merambat menembus ke kulitku, dan setidaknya, mengembalikan suhu tanganku yang kedinginan akibat hujan deras yang masih turun di luar sana sejak sore hari.

    Aku mengamati asap putih yang merangkak naik dari dalam susu cokelat itu dan menerpa wajahku lalu menghangatkannya. Lama-kelamaan, rasa kantuk menyerangku, berbarengan dengan datangnya sebuah kenangan yang menerjang setiap sel neuron dalam syarafku.

    Kenangan itu… Sebuah kenangan yang datang dari masa dua tahun lalu. Kenangan tentang sebuah ambisi dan keegoisan. Ambisi dan keegoisan yang memaksaku untuk duduk di sofa hangat ini, sendirian. Sambil tak bosan menatap wajah Kevin—salah satu pemain pada film Home Alone—di layar televisiku.

    ***
  • edited December 2013
    Desember, 2010
    “Udah beres kebaktiannya?” tanya Akmal.

    “Udah,” jawabku sambil tersenyum kecil lalu duduk di sebelahnya. “Udah berapa lama nunggu aku?” tanyaku sambil mengeratkan jaket hijau tebalku, tidak membiarkan sedikitpun rasa dingin yang mengambang di sekitarku menusuk-nusuk rusukku sendiri.

    “Sekitar…” Akmal melihat jam tangan yang melekat di tangan kanannya sekilas lalu mata hitamnya memandangku. “Satu jam.”

    Aku tersenyum kecut lalu balas memandang mata hitamnya itu. “Maafin aku, ya…” ucapku tulus. “Kamu duduk di bangku taman ini selama itu cuma buat nunggu aku beres kebaktian. Dulu waktu takbiran, aku gak nunggu kamu beres takbiran, tuh. Aku malah diem, nonton di rumah.” Aku membuka bungkus permen cokelat yang kupegang dari tadi dan membuang bungkusnya ke sembarang tempat. Setelah itu, aku memasukan permen cokelat yang kubuka itu ke dalam mulut Akmal.

    Akmal menyesap permen yang kumasukan ke dalam mulutnya setelah sebelumnya menjilat jariku lalu tertawa pendek. “Ya iyalah. Aku kan waktu takbiran kemarin mudik ke Malang.” Oh, iya. Aku lupa. “Buat apa juga kamu nunggu aku takbiran?” Pandangannya berubah geli menatapku. “Kamu bahkan setiap hari, lima kali sehari, nungguin aku selesai shalat.”

    Aku lagi-lagi tersenyum, hanya saja sekarang aku tersenyum kikuk. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling taman yang ada di depan gereja yang tadi kugunakan keluargaku untuk kebaktian. Mengamati setiap keanehan yang mungkin bisa kujadikan bahan obrolanku dengan Akmal, sekaligus mengisi malam Natal-ku yang terasa biasa saja seperti tahun lalu. Yah, hanya saja, malam Natal tahun ini ada Akmal yang duduk di sampingku.

    Namun, pandanganku terhenti saat aku melihat seorang anak kecil bermain dengan sterofoam yang dipotong-potong menjadi bulatan kecil-kecil lalu menerbangkan semua benda itu ke udara dan menimpa tubuhnya kembali. Aku tersenyum kecil. Seperti… salju?

    “Kamu jadi ngambil beasiswa kamu di Jerman, Mal?” tanyaku saat teringat negara bermusim salju itu tiba-tiba. Aku menatapnya lagi. Sejujurnya aku ingin Akmal menjawab pertanyaanku dengan jawaban tidak, tapi…

    “Sayangnya, aku ngambil beasiswa itu.” Pandangannya tiba-tiba berubah sedih dan sendu. “Aku berangkat Januari nanti.”

    Aku memanyunkan bibirku. Aku tidak ingin menghalangi Akmal pergi ke Jerman mengambil beasiswa kuliahnya itu, sebenarnya. Aku sama sekali tidak apa-apa mengenai hal itu. Itu haknya. Itu keinginannya. Tapi, tetap saja, ada sedikit rasa tidak rela di ujung hatiku. Bukankah itu berarti… Natal tahun depan aku akan duduk di bangku taman ini lagi, sendirian?

    “Jangan sedih, Tor-Tor. Jika kamu rindu aku, kamu bisa e-mail aku kapan aja kamu mau. Aku janji bakal balas e-mail-mu itu.” Tangannya terulur ke puncak kepalaku lalu menepuk-nepuknya pelan. Nyaman.

    Tubuhnya tiba-tiba bergerak kecil dan membelakangiku seolah sedang menghalangiku untuk melihat sesuatu. Tapi, aku dapat melihat tangannya memegang sebuah kotak kardus berbungkus kertas kado berwarna senada dengan warna jaketku—warna hijau—dengan pita merah membaluti kotak itu. Kado Natal? “Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkannya kepadaku. “Merry Christmas…”

    Aku tersenyum lebar dan menerima kado yang diberikan Akmal. “Makasih, ya…” Aku awalnya ingin membuka kado yang diberikan olehnya, tapi urung ketika Akmal menahan tanganku.

    “Jangan dibuka sekarang, nanti aja di rumah…”

    Aku mengulurkan tanganku, hanya saja aku mengulurkannya ke pinggang Akmal, bermaksud memeluknya. “Sekali lagi makasih, ya…” Akmal membalas pelukanku dan mendekapku lebih erat, memberikan sedikit kehangatan dari tubuhnya agar tersalur kepadaku. “Aku pasti bakal kangen kamu.”

    Akmal menepuk-nepuk punggungku dan menyurukkan kepalanya ke bahuku. “Aku juga,” gumamnya pelan.

    Aku mengirup wangi rambut hitamnya, meresapi dan mengingat-ingatnya ke dalam memori otakku. Ujung mataku tertuju kepada anak kecil yang sampai sekarang masih bermain dengan sterofoam-nya dengan riang gembira. “Aku pengen… liat salju yang asli…”

    “Aku janji bakal bawa kamu ke Jerman buat liat salju asli—”

    Kami sama-sama langsung terdiam setelah mendengarkan perkataannya. Tapi, setelah itu, kami tiba-tiba tersentak dari pelukan kami, lalu saling memandang dengan senyuman lebar, seolah menyadari sesuatu. “Gimana kalau Natal tahun depan aku liburan ke Jerman, nyusul kamu?” usulku dengan semangat.

    “Ide bagus!” sahutnya dengan semangat pula.

    Aku memindahkan bola mataku ke kiri atas, berpikir. “Aku harus nabung banyak, nih… Harus nahan laper nanti di sekolah…” ujarku sambil merenung.

    Akmal merangkul bahuku dengan erat, mengagetkanku. “Tenang, nanti Akmal tambahin dikit dari tabunganku, deh…”

    Aku tersenyum lebar. “Beneran?” tanyaku yang dijawab dengan anggukan pelan. “Wah, Akmal baik banget. Makasih, ya…” Aku mengecup pipinya.

    Bukannya senang dikecup di pipinya, Akmal malah cemberut, tiba-tiba. “Kenapa?” tanyaku dengan panik.

    Mata hitamnya menatapku lagi. Aku melihat dia menggigit bibir bawahnya yang terlihat merah dan… tebal? Oh, aku tahu. Dasar Akmal mesum!

    “Cium di bibir…” rengeknya yang langsung kubalas dengan toyoran di kepalanya.

    Tetapi, pada akhirnya, aku membiarkannya ketika ia mendekatkan wajahnya dan memajukan bibirnya sehingga menyentuh bibirku dengan lembut. Aku juga membiarkannya ketika ia melumat dan menyesap bibirku, bergantian antara bagian atas dan bawah. Tapi aku tidak tinggal diam ketika dia menggigit bibirku, meski gigitannya pelan. Aku langsung menghukumnya dengan membalas menggigit bibirnya.

    Setelah kedua belah bibirnya membuka, aku segera menerobosnya dengan lidahku. Lidahku kegirangan bermain-main dalam lidahnya, menjelajahi setiap sudut dalam rongga mulutnya. Perutku kegelian, serasa ada banyak kupu-kupu yang baru selesai ber-metamorfosis mengepak-ngepakan sayap barunya di dalam rongga perutku.

    Setelah itu, kami melepaskan ciuman kami dan bergegas pulang ke rumahku, dan… kalian tahu sendiri kelanjutannya, bukan? Yap, kami berdua menghabiskan sisa-sisa malam Natal yang terasa sangat dingin menusuk ini dengan… dengan… kehangatan.

    ***
  • edited December 2013
    Berlin, Jerman
    Desember, 2011

    Aku duduk di sebuah kursi kosong sambil menyandarkan punggungku di sandaran kursi dan meluruskan kakiku yang terasa sangat kaku sekali. Aku memejamkan mataku sejenak, meresapi setiap rasa lelah dan pegal yang dikeluarkan oleh setiap sel dalam tubuhku akibat otot-ototku yang dipaksa terus-terusan berkontraksi selama seharian penuh.

    Telingaku terasa sangat berat setelah turun dari burung besi yang bertuliskan ‘Emirates’ di badannya tadi, ditambah lagi dengan riuhnya suasana Bandara Internasional Schönefeld yang berada di ibukota negara Jerman ini. Apalagi suasana perjalanan dari Jakarta yang benar-benar membuatku muak. Aku harus transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur selama enam jam, dan setelah itu transit di Dubai selama empat jam penuh. Untungnya, begitu aku tiba di negara yang berbendera hitam-merah-kuning ini, petugas imigrasi tidak menahanku terlalu lama di bagian administrasi.

    Aku juga harus menahan emosiku ketika naik pesawat. Karena, saat aku naik pesawat Jakarta—Kuala Lumpur aku duduk bersebelahan dengan seorang anak kecil berumur enam tahun, dan saat aku naik pesawat dari Dubai—Berlin aku duduk bersebelahan dengan seorang kakek bule berumur lebih dari setengah abad. Hebatnya, kedua orang yang tak kukenal itu mabuk perjalanan, dan harus memuntahkan isi lambungnya dipangkuanku. Alhasil, aku membawa dua buah oleh-oleh celana jeans cantik dari dalam pesawat.

    Oh, ada satu hal lagi yang membuatku kesal. Ketika aku mengaktifkan ponselku—setelah sebelumnya membeli O2 simcard seharga 16€ begitu turun dari pesawat, aku mendapat kabar dari Akmal bahwa ia enggan menjemputku di bandara. Bukan enggan, sih, tapi tidak bisa. Pacarku itu memang tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Humbolt dengan jurusan fisika yang dipilihnya. Kegiatan kemahasiswaannya membuatnya jadi orang super-sibuk.

    “Hallo… Tor-Tor?”

    “Jemput aku, please…”

    “Aku kan udah bilang sibuk, Yang. Kamu ke apartemenku aja sendiri. Kamu tahu jalannya, kan? Tinggal naik kereta bandara, terus lanjutin naik kereta cepat, udah gitu naik U-Bahn—”

    “Ya, ya, ya… aku tau, aku tau. Tapi, aku capek… capek banget! Pasti aku bakal jetlag-nya lama banget. Terus, bukannya hari ini kita bakal langsung ke Gerbang Brandenburg, ya? Ah, besoknya kita juga bakalan jalan-jalan ke Kunfurstendamm sama Berlin TV Tower, kan? Ayolah, aku cuma dua hari di sini…”

    “Ya, udah. Kamu tunggu di sana…”

    “Cepetan, dingin banget di sini… Aku juga udah kangen kamu, banget.”

    “Aku juga kangen kamu. Ya, udah. Bye-bye, Tor-Tor. Kiss dulu…”

    “Ya, ya, ya, cuppp… udah tuh!”

    Aku tersenyum kecil setelah panggilan terputus. Menyadari betapa bodohnya percakapan terakhir kami tadi. Aku memasukan ponselku ke dalam jaket tebalku dan merapatkannya karena suhu di Jerman saat ini benar-benar dingin. Termometer ruangan yang kulihat di tengah-tengah bandara, menunjukan suhu sebesar 18℃. Benar-benar dingin. Sayangnya, aku masih belum bisa melihat salju yang turun dari langit.

    Padahal, selain untuk menemui Akmal, alasanku menginjakkan kaki di kota yang memiliki walikota seorang gay—yap, walikota Berlin saat ini, Klaus Woweirit, adalah seorang gay—ini adalah untuk melihat salju berjatuhan. Yah, semoga saja, esok atau lusa aku bisa melihat salju itu, bersama Akmal.

    Aku masih duduk di kursi bandara sambil mengunyah makanan ringan yang dibekalkan mama untukku. Mataku berkeliaran memandangi banyak orang yang berbeda suku dan ras sedang terburu-buru pergi ke rumahnya masing-masing, menghindari badai dingin yang mendera. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ponselku yang berdering. Akmal? Apa dia sampai secepat ini?

    “Allô?”

    Aku terkejut begitu mendengar suara laki-laki berlogat Perancis yang berbicara di ujung telepon. Aku mengerutkan keningku sebentar, mengingat-ingat bahasa Perancis yang kupelajari saat kelas dua SMA, lalu bertanya, “Vous savez qui?” [Siapa Anda?]

    “Oh. Pardonnez-moi, s’il vous plâit. Je m’appelle Christelle.” [Oh. Saya mohon maafkan saya. Nama saya Christelle.]

    “C’est pas grâve…. English, please?” [Tidak apa-apa. Bahasa Inggris, kumohon?]

    “Oh, yes. No problem…”

    Aku mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut pria berlogat Perancis itu. Aku mengangguk sesekali. Tidak… tidak mungkin. Mataku tiba-tiba kehilangan pandangannya, mengabur dan kosong. Tanganku yang menggenggam ponsel bergetar kuat. Jantungku terasa lepas dari penyangganya lalu jatuh berdebam ke lantai bandara. Apalagi ketika telingaku mendengar kata-kata: Akmal, traffic accidents, dan… dead.

    ***

    Facebook: fb.com/justtamma
  • edited December 2013
    Jakarta, Indonesia
    24 Desember 2013

    Kilauan cahaya matahari menyapaku ketika aku membuka mataku secara perlahan-lahan. Aku mengernyit merasakan suhu dingin yang amat sangat menusuk-nusuk pori-pori kulitku. Aku menarik selimutku yang tadinya berada di pinggangku semakin ke atas, ke arah dadaku. Apa aku demam? Tanganku bergerak menuju keningku dan merabanya, mencoba mengecek suhunya secara kasar. Keningku dingin, tidak panas. Aneh.

    Mataku beralih melihat laptopku di atas nakas yang masih dalam mode stand-by dengan modem masih tercolok di salah satu port USB-nya. Aku ingat, kemarin malam, setelah aku meminum habis susu cokelatku dan mematikan televisi, dari ruang tengah, aku beranjak menuju kamarku. Aku tiba-tiba teringat dengan Akmal. Teringat semua kata-katanya, suaranya.

    “Aku berangkat Januari nanti.”

    “Jangan sedih, Tor-Tor. Jika kamu rindu aku, kamu bisa e-mail aku kapan aja kamu mau. Aku janji bakal balas e-mail-mu itu.”

    “Aku janji bakal bawa kamu ke Jerman buat liat salju asli—”

    “Cium di bibir…”

    “Hallo… Tor-Tor?”

    “Aku juga kangen kamu. Ya, udah. Bye-bye, Tor-Tor. Kiss dulu…”

    Saat itu, saat aku mengingat semua kata-katanya, aku langsung berniat mengirimkan e-mail pada Akmal. Silakan tertawakan aku. Aku memang bodoh. Aku mengirimkan e-mail kepada orang yang sudah mati. Sudah tahu tidak akan dibalas, aku malah masih bersikukuh.

    Namun, begitulah aku jika aku sudah tidak sanggup menahan rasa rindu yang membuncah dari dadaku. Aku, dengan gilanya mengirim sebuah e-mail yang isinya masih sama dengan e-mail-ku sebulan lalu, atau semua e-mail-ku selama dua tahun terakhir ini. Isinya cuma tiga hal: pernyataan cinta, permohonan maaf dan keinginanku melihat salju bersamanya. Seperti e-mail-ku yang kemarin malam kukirim…

    To: [email protected]
    Cc: -
    Subject: Tor-Tor masih gak bisa liat salju

    Allô!

    Assalamualaikum, Pak Ustad… ;)

    Bagaimana kabarmu? Baik, kan? Pasti, dong? Aku bakal selalu mendoakanmu sehat, di mana pun kamu berada sekarang.

    Oh, iya. Aku kangen banget sama kamu. Malam ini adalah malam Natal dan nanti malam aku bakal kebaktian sama mama dan papa. Yah, pasti aku bakal duduk sendirian lagi di bangku taman itu. Oh, atau mungkin… aku bakalan duduk sama cowok cakep nanti.

    Haha, jangan ngambek gitu dong. Tenang, dia masih anak SD, kok. Kamu ingat Reno? Masa gak inget sih? Itu… anak yang dulu main-mainan salju-saljuan pas di kita lagi duduk di taman. Nah, inget, kan? Dia jadi cakep banget loh sekarang, ngalahin kecakepan kamu, hehe. Eh, eh, maaf, jadi salah fokus gini. XD

    Tenang, aku bukan pedofil, aku gak akan cinta sama Reno. Aku bakal cinta terus sama kamu, Akmal. Sampai kapan pun. Sampai aku udah gak bisa sebut nama kamu lagi. Sampai saatnya salju bisa turun di Indonesia. Aku bakal terus sayang kamu, cinta kamu, rindu kamu…

    Hm, kalau waktu itu aku gak maksa kamu buat jemput aku, mungkin kita masih bisa baringan bareng di sofa rumahku. Mungkin kita bisa tukeran kado Natal kayak dulu. Mungkin kita bisa… mungkin… mungkin…

    Sorry, Mal. Aku orangnya egois banget. Harusnya aku tahan rasa capekku waktu itu. Harusnya aku dengerin kata-kata kamu waktu nyuruh aku buat pergi ke apartemen kamu, sendiri. Harusnya aku… harusnya… harusnya…

    Aku pingin banget nebus kesalahan aku waktu itu. Aku pengen ke Jerman lagi. Aku pengen ngeliat Brandenburger Tor, Kunfürstendamm, sama Berlin TV Tower. Aku pengen nemuin kamu… Aku pengen liat salju… aku pengen liat salju sama kamu! Sampai detik ini, pertanyaanku cuma satu: kapan?

    Ya, udah, ya. Merry Christmas and Happy Newyear!
    Yours,
    Tor-Tor.

    Saat ini aku sedang menyalakan laptopku kembali, membaca e-mail yang kuketik kemarin malam. Aku tersenyum kecil. Betapa bodoh dan kekanak-kanakannya aku hingga melakukan perbuatan tak berguna itu. Tiba-tiba senyuman tipisku luntur dari bibirku ketika melihat sebuah e-mail yang tiba-tiba masuk… Astaga! Itu… itu… e-mail dari Akmal!

    Aku memelototkan mataku melihat sekali lagi siapa pengirim e-mail itu. Memang benar, pengirim e-mail itu adalah Akmal—terbukti dari nama e-mail-nya, [email protected]. Tanpa terasa jariku yang menekan trackpad bergetar kuat, lalu merambat ke seluruh tubuhku yang ikut menggigil. Otakku serasa beku. Tidak mungkin.

    Aku mendiamkan laptopku selama beberapa menit. Setelah itu, aku berpikir, mungkin e-mail itu adalah spam. Ya, pasti itu spam. Apa aku bodoh? Orang mati? Mengirim e-mail? Sinting! Apa aku benar-benar rindu pada Akmal, ya, hingga aku jadi gila seperti ini?

    Aku membuka e-mail itu, memastikan apakah e-mail itu spam atau bukan. Ya, pastilah itu spa—eh, astaga!

    From: [email protected]
    Subject: Kado Natal untukmu

    Hai, Tora… ^^

    Aku baik. Aku juga sehat. Terima kasih karena sudah selalu mendoakanku selama ini. Bagaimana kabarmu? Aku tahu, pasti kamu sehat saat ini. Iya, kan?

    Oh, iya. Terima kasih juga karena masih mencintaiku, menyayangiku dan merindukanku. Aku juga masih mencintaimu, menyayangimu dan merindukanmu hingga detik ini. Dan… maafkan aku karena aku tak ada di sisimu sampai selama ini.

    Tentang peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu, akan lebih baik kalau kamu bisa melupakannya. Peristiwa itu jelas bukan salahmu. Peristiwa itu jelas salahku. Kamu tak perlu menyiksa dirimu lebih lama lagi. Aku bodoh. Aku yang bodoh mengebut di jalanan, saking tak sabarnya ingin bertemu denganmu. Aku yang bodoh membiarkanmu sendirian, yang notabene masih kelas satu SMA dan pasti mengalami jetlag, pergi ke apartemenku di kota yang tidak memiliki seorang pun yang kamu kenal—yah, kecuali aku dan Walikota Klaus Woweirit, kau mengenalnya dari internet. Aku juga yang bodoh tidak menjemputmu yang pasti benar-benar merindukanmu. Aku yang bodoh tidak sempat membawamu melihat Brandenburger Tor, Kunfürstendamm, dan Berlin TV Tower. Yang paling penting adalah: aku yang bodoh tidak sempat memperlihatkanmu salju, benda yang benar-benar ingin kaulihat.

    Bukankah malam ini adalah malam Natal? Merry Christmas, ya…—duh, kalau ayahku tahu aku mengucapkan ini padamu, pasti beliau akan segera memenggal kepalaku. Satu lagi. Aku marah padamu. Siapa Reno? Jangan dekat-dekat lagi dengannya! Aku tahu, aku tahu kamu bukan pedofil. Tapi bukankah cinta tidak memandang hal apa pun? Cinta tak memandang jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, bentuk tubuh, bahkan… usia. Jadi, sampaikan pada Reno, jangan harap ia bisa duduk denganmu malam ini, karena malam ini aku akan duduk bersamamu lagi di bangku taman yang ada di depan gereja itu.

    That’s All,
    Akmal.

    NB: Aku punya hadiah Natal untukmu, coba beranjak dari selimutmu sekarang dan tengoklah keluar jendela!


    Aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tanganku dan mengacak-acaknya. Sambil merasakan suhunya yang masih terasa normal sejak tadi. Apa aku terkena gangguan jiwa? Aku pasti sedang stres saat ini. E-mail yang sedang kulihat ini pasti hanya halusinasiku. Ya, pasti.

    Aku perlahan-lahan membuka tangkupan wajahku saat telingaku mendengar suara riang banyak anak kecil di luar sana. Aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Aku melangkahkan kakiku menuju jendela dan membuka tirai berwarna biru tua yang menutupinya.

    Aku terheran-heran saat melihat kacaku yang tertutupi oleh embun yang tebal dan sangat banyak. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamarku. Aku sekarang masih berada di dalam kamarku. Tapi, kenapa kaca jendela ini berembun banyak?

    Jari-jariku beranjak menyentuh jendela kamarku. Dingin. Aku mengangkat sikutku lalu menempelkannya pada kaca jendela dan menghapus embun yang menghalangi dengan membentuk bulatan, meski tidak sempurna.

    Mataku melebar ketika melihat hamparan salju menutupi halaman rumahku. Mataku jadi berbinar saat melihat salju berjatuhan dari udara. Mataku serasa ingin copot dari rongganya saat aku melihat Akmal, berdiri di halaman rumahku sambil melambaikan tangannya padaku. Ia memasang senyum lebar kepadaku, yang kubalas dengan senyum yang tak kalah lebar. Ia berteriak padaku, tapi aku tak dapat mendengarnya dari sini. Tapi, jika melihat pergerakan mulutnya, aku tahu, kalau dia sedang meneriakkan, “Merry Christmas, Tor-Tor!”

    Miracles in December, maybe?

    —FIN—
  • edited December 2013
    Kalian liat salju, gak, pagi ini di luar rumah? Kalau aku sih liat. Beneran, deh. Aku liat salju... eh, kue salju, maksudnya. *garing*

    Wuaaa… akhirnya beres juga nulis ini. Maafin aku, ya, kalau bahasa yang kugunakan kurang enak untuk dibaca. Maafin juga karena ceritanya bergenre fiksi fantasi. Pasti banyak yang protes gara-gara permasalahan genre ini. Apalagi dengan typo yang jumlahnya bejibun itu. Terima kasih telah membaca karyaku ini hingga selesai. Saya hanya ingin meminta komentar, kritik, dan sarannya, ya...

    Oh, iya. Merry Christmas and Happy Newyear for you guys! Terutama untuk Yos, Lian, Kekev, dan Karina. Semoga kita bisa berteman hingga selamanya, meski kita ini beda agama—agamaku Islam, kok. Beneran, deh. Eh, makasih juga buat kado gelang merah yang Yos kasih buatku… Yang paling penting juga makasih buat Karina yang kasih liat aku MV Miracles in Desember-nya EXO, yang udah menginspirasi aku buat bikin FF ini…

    Oh, jangan lupa buat download lagu Miracles in December-nya EXO, sekalian sama MV-nya, ya… Mereka imut-imut, loh, di MV itu…

    *ambil-selimut* *seduh-cokelat-panas* *gigit-J.Co* *kabuuurrr*
  • Udah nebak pasti terinspirasi dari exo miracles in december :D tapi masih agak bingung tbtb akmal kok idup lagi ._.
  • @DItyadrew2 hihi, itu cuma halusinasi si Tora doang. XD
  • :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'( :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'( :'(нΰά˚°º:'(нΰά˚°º:'(
  • wah, Ts-nya suka exo juga? Kenalin Chen exo-m!hehehe :D
  • Bagus ceritanya dan sedih secara bersamaan, nah loh gimana tuh? huh pokoknya kalo uda ada yg mati-mati macam ini jadi lgsung lemes deh, aseedih :'(
    good story Tamma! ^^
  • @aura aku suka EXO, apalagi lagu-lagunya. Tapi aku bukan Exotic. Yeah, fanbase-ku tetep aff(x)tion!
  • edited December 2013
    Deleted
  • @WinteRose makasih udah nyempetin baca. Loh, kok jadi pada sedih, sih? Itu kan Akmal-nya idup lagi. Meski cuma halusinasi-nya Tora. XD
  • Langsung galau baca cerita ini.. Sedih bgt :'(. Ditunggu ceritanya yg lain, moga bisa happy ending. Hehhe
  • nice story :-*
Sign In or Register to comment.