Mohon maaf bila ceritanya gak bagus maklum anak baru.
Cerita ini hanya fiktif karangan penulis 100%.
Mohon kririk & sarannya.
~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~
- Sunrise
(Rasyid's Side)
Mentari telah tergelincir di ufuk barat, namun udara Ibu Kota menguapkan keringat di permukaan kulit ku, hari ini nampaknya neraka bocor ditambah pendingin udara yang perlu mainteneance. “Huft . . .” Ku hembuskan nafas berharap dapat menyejukan tubuh dan pikiran dari kepenatan tugas yang tak kunjung rampung.
'Jarum jam dinding berlalu meninggalkan Dead Line kerja Ku, 08.23 sore kertas-kertas tercecer di atas meja, hati kian semerawut di akhir pekan.' Keluh ku yang membuat udara di ruangan terasa betambah panas karena hati yang kalut.
“Udah tinggalin aja dulu Ian, Si Bos udah balik ini" Seru Pak Tony dari seberang meja. Terdengar derap langkah kaki menuruni anak tangga dengan lincah dan diakhiri dengan sosok Mas Wandi yang berdiri di koridor. “Lu kok belum siap-siap Encit?” Tanya Mas Wandi yang melihat ku masih menekuni kertas-kertas di depan layar komputer.“Iya Mas, ini juga mau diShut Down, emang yang lain sudah siap?" Ku jawab dengan enggan dan jengkel selalu dipanggilnya nama ku semaunya, Rasyid Hardiansyach menjadi 'Encit' . . .
Hari ini aku berjanji untuk ikut 'clubing' dengan rekan kantor, yang merupakan buah simalakama untuk ku. Tidak ku tepati tidak berdosa bukan untuk sebuah janji seperti ini, namun sisi liar diri ini pun jenuh terpaku oleh tumpukan kertas di hadapan ku. Dengan berat hati ku meng'iya'kan ajakan sesat ini dengan satu janji kalau aku takan meneguk setetes pun alkohol.
“Yuk cabut udah setengah sembilan nih Bos !" Ajak Mas Wandi kapada Pak Tony yang sedang mengepulkan asap keruh yang mencemari udara. Mereka melenggang keluar menuju mobil yang terparkir di seberang jalan diikuti aku yang telah memakai helm & jaket.
“Pak! Saya ikutin mobil Bapak saja yah, jadi jangan lewat jalan Toll!" Seru ku di samping mobil Avanza hitam Pak Toni, yang dibalas dengan anggukan kepala seolah enggan melewati sedetik saja menikmati pilinan tembakau yang menyumpal mulutnya. Ia mulai memacu laju kendaraannya.
. . . . .
Wajah Jakarta di kala malam menyelimuti, seolah rembulan yang bertengger di langit pudar oleh benderang gemerlap permukaan di bawahnya. Yah inilah Jakarta, kemustahilan bagi setiap anak berharap terlelap ditemani cahaya bintang.
Lamunan ku terhenti seiring laju mobil yang ku buntuti menepi menuju lahan parkir sebuah gedung berasitektur modern yang berhias cahaya lampu didominasi warna merah di depan dindingnya. Ku matikan mesin motor di lahan parkir kosong yang jauh dari lahan parkir roda empat.
Di kejauhan terlihat seseorang malambaikan tangannya ke arah ku. Kupicingkan kedua mata ku untuk memperjelas sosok diseberang sana dan mengarah ke sosok itu. Mengikuti mereka masuk ke tempat yang tak pernah ku pijak sebelumnya.
. . . . .
Lampu sorot beraneka warna dalam ruangan temaram dengan campuran kabut sisa pembakaran tembakau yang menyatu dengan aroma menyengat minuman setan.
Aku melangkah menyusuri lantai kayu yang dipadati manusia yang bersorak & menggila di bawah pengaruh musik yang berdentum sampai ke jantung dan alkohol yang telah mengacaukan syaraf motorik otak mereka.
Kami menuju lantai dua yang berupa balkon yang mengitari lantai di bawahnya. Terlihat beberapa teman kantor lainnya yang sudah memulai pesta, mungkin yang ada dalam pikiran mereka saat ini adalah cara mengerjai Si Anak Bawang. Semuanya sembilan orang termasuk aku, namun hanya aku yang memesan jus. Yah, itu perjanjiannya bukan.
"Cit, Lu cobain lah sedikit saja dosanya juga sedikit," seru salah satu dari mereka. "Hmmm . . . " Hanya itu jawaban ku yang disertai senyum kecut sebagai penolakan.
Asap rokok yang terperangkap di udara yang lembab yang memasuki paru-paru mulai membuat asthma ku kumat. Kerongkongan terasa kering segar rasanya bila ku teguk segelas jus di hadapan ku.
"Brurrrrrr . . . . . Ekhhhh, ekhhhhh . . ." Terasa sensasi kering membakar melewati kerongkongan bersama air yang ku minum kembali keluar lagi dari mulut. "Apa-apan nih !? Ahhhh . . . " Aku meracau dan menegaskan mimik gusar. Saat itu mereka menjawab hanya dengan tawa kemenangan.
"Saya ke toilet dulu Pak, Mbak !" Kata permisi dengan penekanan emosi, yang membuat mereka merasa puas. 'Udah lah gua pulang saja sendiri, rese !' Gerutuku sambil melangkah ke sudut koridor selebar satu meter.
Pencahayaan temaram dengan lampu merah menghiasi langit-langit yang terdapat tanda toilet tergantung.
Walau hanya lampu LED merah yang berkerlip sebagai penerangan namun pemandangan itu dapat tertangkap jelas dengan mata. Diujung koridor terlihat siluet tiga orang yang sedang dikuasai alkohol dan nafsu, sang wanita diantara kedua laki-laki yang mencumbunya, namun mangapa aku yang merasa malu melihat adegan seperti ini. "Mas, mbak terusin di hotel saja !" Sambil berlalu melewati pintu bertanda WC laki-laki. Sepintas dari sudut mata telihat salah satu laki-laki itu menoleh kearah ku merasa terusik.
Begitu memasuki toilet terlihat seseorang yang terduduk didepan urinoir, dengan kepala tertunduk lemas. Saat sedang berkumur tak terkira aku mendapat jackpot. Orang tadi menguras makan malamnya tepat dikaki kanan ku yang berada disebelah kirinya. Nampaknya ini tak akan berhenti saat kulihat tubuhnya mengejang menahan mual dan ku coba mebawanya ke closet.
Beberapa menit berselang saat akan meninggalkannya terdengar ringtone dari telpon genggam yang mungkin milik orang malang ini. Dalam keadaan panik ku tekan tombol jawab dan terdengar suara seorang wanita diseberang sambungan telepon.
"Assalamualaikum Den, ieu teh Bi Minah. Nyonya baru telepon tanyain Raden geus pulang atau belum. Raden teh dimana? Bibi khawatir. Nanti Bibi minta Pak Min jemput Raden nya " Seru suara seseorang berdialeg sunda yang bernama Bi Minah tanpa memberi ku kesempatan menjawab "Maaf Bi, Bibi salah orang . . . " Tak kujawab salamnya karana sedang ditempat kotor, namun jawabku diinterupsi "lah Ieu teh bener nomer hapenya Den Asel, ieu teh temen Den Asel lain ?" Potongnya "ehmmm, iyah saya Rasyid temen Asel" jawaban bodoh yang keluar karena spontanitas. "Den Rasid, Den Asel na aya ?" Tanyanya "hmmm, ada Bi lagi tidur kecapean mungkin." Jawabku bohong tak ingin membuat Bi Minah panik dan mencecar ku dengan segudang pertanyaan. "Den Rasid bisa kitu nganter Den Asel pulang," pinta Bi Minah menyudutkan ku. "Yasudah, dimana alamatnya Bi" ku iya kan permintaannya dan mengakhiri panggilan telepon.
. . . . .
Kini ku pacu motor ku membelah jalan ibukota yang tak pernah terlelap. Di belakang pundak ku terlelap entah siapa yang ku ketahui hanya panggilan Asel dan alamat yang diberikan oleh Bi Minah, Alahamdulillah aku besyukur karena alamat ini sejalan dengan arah pulang. Dengan bantuan si penjaga pintu Club aku membawanya dengan menyimpulkan sweater yang ia gunakan ke tubuhku, untuk menjaganya yang dalam keadaan tak sadar.
Udara malam menghujam dada ku yang hanya dibalut kemeja kantor, karena jaket yang ku kenakan, ke berikan pada Asel pangeran tidur ini karena ia hanya menggunakan kaus putih tanpa lengan di balik baju hangatnya. Tapi ini lebih baik dibandingkan udara pengap club malam.
Kuhentikan motor di depan pagar sebuah rumah mewah yang merupakan tujuanku, tidak terlalu sulit menemukan alamat yang dimaksud. Karena rumah ini satu-satunya rumah bergaya perlente dipemukiman sederhana. Keadaan ku yang tidak dapat turun dari motor memaksa membunyikan klakson pertanda kehadiran kami pada penghuni rumah.
Tak lama seorang wanita setengah baya keluar memperhatikan kami dan membangunkan petugas penjaga yang terlelap saat bertugas, ia mempersilakan kami masuk. 'Ini pasti Bi Minah' logika ku menerka.
"Astagfirullah, Den Asel kunaon ?" Sergahnya dalam keadaan panik, "Bi, tolong bantu saya masuk dulu nanti saya jelaskan." Dan dengan dibantu Pak Karto sang petugas keamanan kami membawa masuk Asel kedalam kamarnya, sedangkan Bi Minah mengikuti dengan mimik cemas.
. . . .
Aku terduduk di ujung pembaringan, menunggu Bi Minah. Suasana kamar yang tenang dan redup hanya diterangi cahaya rembulan malam ini yang mengintip dari jendela-jendela besar yang mengarah kebalkon. Mata ini menjadi lelah, sedikit Aku memperhatikan kesekitar yang ada. Dia masih tertidur disana. Dengan keberanian ku dekati tubuhnya yang terlelap. Wajahnya yang membelakangi sumber cahaya hanya tertangkap sebagai siluet yang membuat hati ini berdesir. Bi Minah mengagetkan ku yang sedang melamuni wajah itu, apakah ini hanya sebuah pertemuan biasa.
"Den, ieu cai haneut jeung baju ganti buat Den Asel" sambil menaruh wadah air di meja sebelah tempat tidur. "Bibi takut kalau besok Nyonya pulang lihat Den Asel minum-minuman lagi, Den Asel dimarahin ku Nyonya" jelasnya setelah kuceritakan yang sebenernya, dan memang tercium bau alkohol dari tubuhnya yang menyegat. Bi Minah meninggalkan kami berdua lagi untuk membuatkan air untuk ku ijinnya.
Dengan perlahan ku coba melepaskan kaus yang yang ia pakai. Ini menjadi awal siksaan untuk ku. Tak ku sadari, aku termenung mengamati sosok yang kini terlelap. Wajahnya yang tampan terlihat tentram dan damai, dan pahatan otot di tubuhnya mencitrakan sosok pria sejati yang membangunkan sisi gelap diri ini. 'Ada yang terpanggil di bawah sana'. Dengan segera ku basuh tubuhnya dengan air hangat menggunakan kain yang tadi disiapkan Bibi, berharap dapat mengalihkan pikiran kotor. Kini kembali aku meratap ketika ku basuh wajahnya perlahan seolah porcelen antik. 'Harapan yang salah'.
Segera kuselesaikan ujian ini dengan menanggalkan jeans biru gelap itu, dengan usaha mengekang hasrat berbuat lebih. Ku lirik jam yang bertengger manis di dinging, 'Sudah pukul satu dini hari' pikir ku. Ku tutup tubuhnya yang hanya dibungkus celana pendek selutut yang ia kenakan dengan selimut hangat yang senada dengan seprai, dan meninggalkan kamar dengan mengendap berharap langkah ku tak membangunkan Sang Pengeran Tidur. Ku telusuri potrait yang terbingkai di dinding, dan mata ini tertuju pada bingkai kokoh dibalut pijar keemasan dengan relif kontemporer.
Tergambar sebuah citra keluarga beranggotakan empat orang. 'Asel . . . !' Kenapa hati ini terpatri namanya saat kulihat sosok pemuda tampan itu berdiri di sisi kanan dengan yah pasti pria yang berdiri disampingnya ayahnya dan dua wanita anggun yang duduk manis itu ibu dan mungkin kakaknya.
Pikiran menerawang saat menelusuri anak tangga. "Den, mau kemana ? " Tanya Bi Minah menguapkan lamunan ku. "Saya pamit dulu Bi, mau pulang sudah larut malam bahkan sudah pagi." Jawab ku."Diminum heula atuh tehna." Menyuguhkan teh pada ku, mungkin kurang sopan atau tak beretiket namun karena rasa lelah dan hitung-hitung menghilangkan rasa kerongkongan yang masih terbakar atas insiden sebelumnya ku minum teh hangat itu sambil menuju lantai dasar diikuti Bibi. "Bibi lihat, sepatunya Raden teh kotor. Tah ieu pakai saja sepatu Den Asel, nanti sepatunya yang kotor masukan saja ke kantung kereseknya, " tawar Bi Minah dan menyodorkan sepasang sepatu kets berwarna coklat pucat. Aku berusaha menolak karena dalam pikiranku takut bila sang pemilik tidak memberi ijin, terlebih aku bukan lah siapa-siapa. Namun Bi Minah bersikeras agar aku menerimanya dan ku terima dengan harapan dapat mengembalikannya esok sebelum sang empunya sadar salah satu koleksi sepatunya raib.
Setelah berpamitan, ku pacu kendaraan ku membelah kesunyian malam atau lebih tepat pagi buta. Rasa kantuk mulai merayap, memaksa mengalah dengan menurunkan kecepatan konstan. Yah, asal selamat sampai tujuan.
. . . .
Comments
Hahaha . . . Iyah jauh Bro baru awal.
Thx dah mampir.
Itu subjudul'a salah blm diganti.
Thx Bro Gabriel-senpai dah mampir.
Ditunggu yah ane lanjutin.
(Axel's Side)
Shit ! Kepala gue pusing. Walau setengah sadar bahkan tidak ingat mengapa gue bisa di rumah. Terakhir ingatan gue adalah meneguk beberapa sloki di bar
.
"Bi ! Bi Minah ! Tolong ke mari Bi." Walau tenggorokan gue kering berusaha keras memanggil Bi Minah. "Bi Minah !" Sekali lagi gue panggil karena tidak ada jawaban. "Iyah Den Asel, whar happen aya naon ? Maaf Bibi lagi masak makan siang, Den." Akhirnya Bi Minah datang juga. "Si Bibi sok inggris ngerti gitu artinya." Kuledek Bi Minah yang sok pakai bahasa inggris, "Ari Aden mah Bibi cuma ikut-ikutan sinetron, da lamun artina mah nyari di Eyang Gugel pasti tau Si Eyang kan masih gurunya Ki Joko Bodo ceunah," jawab Bi Minah dengan muka paruh bayanya yang polos membuat gue geli sendiri. "Hahahah, Bibi udah sok tau salah lagi. By the way Asel mau nanya ke Bibi, tapi nanti saja Bibi lagi sibuk."
Gue coba berdiri namun kaki terasa mengambang dan hampir terjatuh. "Aduh, Aden teh mau kemana ?" Bibi langsung tolong gue yang nyaris jatuh. "Bi, bantu saya ke ruang tengah." Gue & Bi Minah menuju ruang keluarga di lantai bawah.
. . . . .
Sabtu siang, kayaknya tidak ada acara TV yang bagus semua isinya konflik murahan selebritas kampungan, berita politikus busuk, atau lawakan garing yang ada gue cuma mengganti-ganti channel stasiun TV. Sudah setengah jam Bibi di dapur. Gue bingung kenapa bisa ada di kamar. But, never mind lah. Mungkin Bibi minta Mang Karmin jemput gue semalem.
"Den, makan siang heula atuh." Ternyata Bi Minah telah selesai memasak. "Belum laper Bi." Jawab gue singkat, gak nafsu gue makan dalam kondisi seperti ini. "Oh, iyah Den. Bibi teh poho eta jaketna Den Asid geus Bibi cuci tah Bibi taruh di tempat pakaian Den Asel." Jelasnya, yang membuat gue bingung. "Asid, Asid mana maksud Bibi ?" Tanya gue, "Lah eta temen Raden yang semalam antar Den Asel." Jawab Bi Minah buat gue bingung dan sadar berarti semalem gue dianter kerumah, dan gue cek ternyata motor gue ketinggalan di bar.
Akhir minggu mending gue habisin waktu buat males-malesan gue suruh Mang Karmin sama Rizky yang ambil motor. "Ky, bokap lu mana ?" Gue panggil Rizky yang lagi nyiram tanaman, "Bapak ada Mas di kamar, mau saya panggil ?" Jawab Kiky sambil matiin air keran, "yaudah Lu sama Mang Karmin ambil motor gue di bar, Mang Karmin dah tau tempatnya. Bentar gue ambil kunci sama STNK and ticket parkirnya," gue langsung ambil kunci, STNK, sama ticket parkir bar dari kantong jeans di kamar and gue kasih ke Rizky yang masih menunggu di halaman depan dan gue kasih selembar seratus ribu. "Sekarang nih Bos," ledek Kiky sambil nyengir kuda, "Nanti lebaran monyet, yah sekarang lah lu mau motor gue tinggal plat nomer. TPL Teu Pake Lila," "Ok Bos jangan marah gitu atuh, gak apa-apa gue koloran ke bar ?" Anjrit nih anak malah bergaya kayak iklan cd "terserah kalau lu mau dikira gigolo abis kerazia Satpol PP, udah sana malah nyengir lagi lu," gue liat Kiky hanya terkekeh dan pergi ke rumah belakang. Gue rebahin badan di sofa, gak lama gue udah teirtidur.
. . . . .
"Den, Den Asel ! Bangun atuh Den !" Suara Bi Minah ngebangunin gue, sebenernya bukan suaranya yang ngeganggu tidur gue, tapi tenaganya yang hampir membuat gue jatuh dari sofa. "Hem, Ada apa sih Bi !" Jawab gue seadanya. "Eta aya Den Asid," belum puas juga goncang-gongcangin badan gue. "Hem, iya . . .," gue tidur lagi.
. . . . .
Gue terbangun karna panasnya ruang tengah. Sial ACnya belum diservis. Udah jam 5 sore tetep panas begini. Gue lari kekamar mandi dan langsung gue buka boxer, badan gue basah sama keringat. Gue mulai putar keran dan ngerasain air shower cuma buat ngademin badan gue.
Langsung gue lilitin handuk dipinggang, dan langsung ngerebahin diri gue di kasur.
Sebelum gue sempet tidur lagi gue inget kata-kata Bi Minah tadi siang pas bangunin gue. Seinget gue dia nyebut nama Asid ? Walau gak perduli tapi gue penasaran ngapain tuh orang balik lagi kesini, apa dia minta bayaran udah bawa gue balik kerumah. Sok pahlawan banget tuh orang. Gue langsung bangun dan turun mencari Bibi.
"Astagfirullah, Den ! Ari Si Aden burungna engke bisi kabur," teriak Bi Minah, dan astaga gue baru sadar cuma pakai handuk tanpa CD. Yah gue bawa slow aja, toh gue gak bakal konak karna Bi Minah. "Udah lah Bi, Bibi udah biasa liat burung Axel dari bayi," langsung aja gue to the point, "ohhh, iya Bi tadi siang Si Asid-Asid itu ngapain ke sini ?" Gue tanya Bibi. "Eta Den Asid teh mulangkeun sapatu Den Asel," jawab dia, "sepatu apaan Bi ?" Tanya gue lagi gak paham, "semalem teh sapatuna Den Asid kotor, Bibi pinjeumkeun weh sapatuna Den Asel." "Itu aja Bi, dia gak minta uang ?" Tanya gue, "uang keur naon Den ? Den Asid mah da teu ngomong keun uang ka Bibi, cuma duduk-duduk saja di samping Den Asel yang lagi tidur," jawab Bi Minah. Gue pikir dia minta imbalan, yes ok walau orang itu minta imbalan buat apa gue ambil pusing.
Gue langsung makan entah makan siang atau malam yang jelas cacing dalem perut gue udah pada demo.
. . . . .
Thx Bro Ane kejar chapter 2.
Semangat
(Rasyid's Side)
Malam minggu ini ku harap menjadi malam yang spesial, ditempat yang spesial, diwaktu yang spesial, ditemani seseorang yang spesial, dan untuk menyatakan perasaan yang spesial. 'Namun bukan karena telurnya tiga seperti martabak spesial, hehehe . . .' Sempat-sempatnya ku canda dalam hati untuk membuat pikiran lebih relaks.
Di bawah bias sinar rembulan temaran dan hanya ditemani pijar pelita yang redup sesekali menari-nari dihembus udara malam. Aku memilih sudut sebuah kafe yang memang terkenal dengan suasana manis nan romantis sebagai medan ku berjuang menyatakan genderang asmara yang telah Zizi tabuh di hati ku.
Pukul 20.00, waktu membuat janji dengan Zifana Nabilla Kusuma. Hemmm, nama dan wajahnya kembali berdenyar kasat dipandangan ku. Bulir peluh mulai membasahi kening dan telapak tangan, mungkin karena udara lembab yang membuat ku gerah atau rasa cemas untuk menyatakan perasaan yang terpendam.
"Maaf Syid, aku tidak bisa terlalu lama," terngiang lantunan suara bidadari pujaan hati dan kini ia turun kehadapan ku. "Eh, he . . . I . . . iya gak apa-apa lah," kata-kata ku terbata-bata larut dalam pesonanya, "mau pesan apa, atau aku rekomendasikan menu andalan di sini ?" Tanya ku berusaha menguasai diri saat memandangnya yang malam ini terlihat semakin cantik walau hanya dibalut cardigan coklat tua yang senada dengan hijab dengan warna lebih muda dan jeans biru tua 'begitu indah' pujiku dalam hati. "Maaf aku sudah kenyang Syid, sebelum kesini sudah makan. Kamu bilang ada yang mau kamu omongin, memang ada apa ?" Kata-katanya membuat aku semakin gugup karena merasa ia tidak banyak waktu dan memaksa ku untuk mengatakannya.
"Kalau minum, kamu gak haus Zi ? Aku pesan jus untuk kamu, yah ?" Tawar ku untuk mengulur waktu mengumpulkan kembali nyali, "sudah tidak perlu, tadi kamu bilang penting memangnya ada apa Aku sedang tidak ada waktu," kini ia menaikan nada bicaranya, mungkin aku memang harus segera mengtakannya, "Sebenarnya, I . . . Itu," seperti ada seribu pedang yang dihunuskan pada ku. "Aku, suka kamu Zi," suara ku keluar nyaris berbisik. "Maaf, kamu ngomong apa tadi?" Tanya Zifana meyakinkan, "Iya, aku suka sama Kamu." Entah keberanian dari mana yang merasuki ku mengucapkan kata-kata itu kembali dengan lantang. Saat itu tersirat mimik Zifana yang mulai berubah walau ia menundukan kepalanya, dan aku tak dapat menebak apa artinya. "Maaf Syid, aku gak bisa,"
. . . . .
Bulir peluh bercucuran dari kening ku, tubuh terasa mengambang saat kedua kaki ini menjejak tanah fisik ini mencoba bangkit namun batin menolak. Hanya setengah jam waktu tepanjang yang dapat membunuh kenangan pahit itu.
"Maaf Syid, aku gak bisa," bisik lirih Zizi, "aku pulang dulu kalau begitu," itu kalimat terakhir yang membuat jantung ini terasa membatu, pandengaran ini menjadi senyap, dan akhirnya derap langkah itu menjauhi dunia ku.
Lagi, bersama ingatan itu memang masih hangat karna baru beberapa jam lalu ku alami, namun entah berapa lama aku dapat menghapusnya bersama dengan rintikan air mata.
. . . . .
13.51, angka-angka itu terpampang di kotak kecil yang bertengger disamping pembaringan. Air mata tak dapat mendinginkan pikiran ini, air mata tak bisa mengobati hati ini. Meski kelopak mata terasa berat, namun ketakutan akan citra buruk kembali merasuki lelap ku membuat ku terjaga delapan jam sejak terakhir ia terpejam.
Hari minggu kelabu bagi ku, hanya berbaring kerjaan ku seharian. Walau lapar namun mulut dan pikiran ku terlalu kelu untuk sesuap nasi.
. . . . .
Terbaring di balik hamparan selimut yang melindungi dari dingin embun pagi perlahan menyentuh permukaan kulit yang tak terlindungi, tanpa hasrat ku tak terusik dan tidak pula merasa tentram dengan sapaan pagi di awal pekan.
Semua itu begitu nyata, bukan belati yang menghujam diri ini. Namun perih ini tak kunjung terobati, lubang ini kan tetap kosong dan terus menggerogoti. Namun pekerjaan adalah kewajiban ku menuntut profesional, dan segera bangkit dan bersiap ke kantor mungkin nanti akan membantu menghilangkan pikiran ku yang labil.
Hingga jam kerja hampir berakhir kertas, dokumen, dan file tertata rapi hanya sesekali kusentuh. Semangat ku hilang, mungkin lebih baik ijin tidak masuk kelas untuk kuliah malam ini dan langsung menghabiskan waktu sendiri di kamar kos.
"Woy, kenapa Lu ngelamun ?" Suara Pak Tony menyadarkan lamunan ku. "Kemarin main cabut aja Lu, enggak asik Lu !" Terus menimpali tanpa niat ku balas. "Roman-romannya lagi galau die Boss." Sekarang Mas Wandi yang menyadari lamunan ku. "Maka dari itu kesana lagi, coba satu sloki lah pasti plong semua pikiran Lu." Ajak Pak Tony, aku sudah malas membalas gurauan mereka dan meminta ijin keatasan untuk pulang lebih awal dengan alasan ada jadwal kuliah lebih awal semoga setelah kongkow dengan anak kampus yang caur bisa mengobati hati.
. . . .
Sore belum menjelang, pelataran kampus masih dipenuhi anak pagi yang berkutat dengan geng dan kesibukan masing-masing. Tidak ada yang ku kenal, yah wajar karena aku anak malam dan biasanya jam kelas malam baru dimulai 18.30 sedangkan jarum jam masih menunjukan pukul 16.55.
Ku susuri parkiran dan menuju gedung utama, secara garis besar kampus ini memiliki empat gedung yang berbaris ditengah jalan kampus, gedung berlantai 3 paling depan adalah ruang ADM dan ruang dosen yang tersambung dengan gedung utama dengan 5 lantai berbentuk leter U yang ditengahnya terdapat stage di depan lift dan taman kecil memanjang dengan undakan dan kolam berair mancur di tengahnya, juga sebuah kafe mungil di depan koridor penyambung. Lalu parkiran mobil di sayap kiri dan masjid disayap kanan.
Sebuah lapangan outdoor serbaguna berukuran lapangan futsal memisahkan kampus menjadi dua bagian depan dan belakang, yang bersebelahan dengan auditorium yang juga merangkap lapangan indoor untuk basket dan volley dan sebuah gym khusus mahasiswa dan atlet kampus. Sedankan bagian belakang terdapat gedung lab berlantai 5 berbentuk persegi dan taman utama yang asri di depan gedung pascasarjana berlantai 6 di akhiri lapangan parkir motor.
Dari parkiran motor kulewati kantin dan kupastikan tidak ada wajah yang ku kenal, ku berlalu dan menuju taman depan.
Ku berjalan sambil tertunduk mengutak-atik BB di tangan dan "Bughhh !!!" Sebuah pendaratan tidak sempurna dengan pantat tepos ku menyentuh aspal terlebih dahulu dan bunyi prak tanda Si BB yang amburadul jeroannya.
"Sorry Bro, gua enggak sengaja," sebuah tangan menjulur kearah ku membantu ku bangun, "Sorry juga tadi gua meleng jalannya" sambil ku ambil BB ku yang tergeletak dengan batrai dan cover termutilasi untungnya masih bisa loading setelah kupasang kembali nyawanya.
"Kalau ada apa-apa bilang sama gua walau gak bisa ganti yang baru gua tanggung jawab kok," dan kini aku baru sadar orang yang tadi kutabrak dan sekarang mengobrol dengan ku hanya memakai celana pendek seragam volley kampus dengan atasan yang disampirkan di bahunya dan ransel di bahu kirinya.
"Gua ganti baju dulu ke toilet nanti balik lagi oke!" Dia pun berlalu dengan berlari kecil, meninggal kan ku yang memuja keelokan pahatan tubuhnya dari belakang. 'Sial pikiran apa lagi ini'.
Nyamannya udara sore di bawah rimbunan pohon dengan semilir angin di tambah suara riak air kolam membuat ku semakin masuk ke dalam lamunan. "Kopi ?" Secangkir kopi disodorkan kearah ku yang kini tersadar dari alam bawah sadar dan menoleh ternyata orang tadi sudah duduk di samping ku kini telah memakai hoodie hijau kotak-kotak dipadankan jeans biru belel dan menggenggam dua cangkir kopi panas dengan kepulan asap. "Thanks, oh iyah Rasyid Hardiansyach," ku ambil cangkir plastik itu dan ku jabat tangannya memperkenalkan diri. "Panggil aja gua Satria," jawabnya memperkenalkan nama dan menjabat tangan ku, "Satria doang ? Nama yang irit," seru ku sambil tersenyum, "enggak pakai doang, Fadika Satriawan biasa dipanggil Satria masa Lu enggak pernah denger," jawabnya dengan menautkan kedua alisnya membuat gimik tak percaya yang terlihat tablo (tampang bloon). "Hahaha . . . Bisa gak muka lu gak usah dijelek-jelekin Mas Bro, sumpah gua gak tahu."
Kumasih tertawa melihat mukanya dan dia justru tersenyum, "masa lu enggak tahu gua kan atlet volley kampus, tapi muka lu manis yah kalau lagi ketawa gini," sambungnya yang membuat ku bengong dengan maksud perkataannya, "eh, maksud gua yah dari pada tadi pas nabrak gua muka lu pucet kaya curut di pojokin kucing," nih anak malah buat aku kembali tertawa, "hahaha . . . Iyah Mas Bro ini kucing garongnya yang udah buat gua pucet," kini aku jadi pusat perhatian karena tawa ku yang memecah keheningan sore, ibarat Miss Indonesia semua mata tertuju pada mu.
Namun mahasiswi-mahasiswi itu masih memperhatiakan kearah ku cukup lama, aku baru sadar ternyata mata mereka tertuju pada cowok di sampingku yang kini malah santai meneguk kopi di cangkir plastik tanpa sadar telah jadi pusat perhatian. "Woy Mas Bro, serius banget ngupi nye, noh banyak cabe-cabean yang nunggu dipetik," ku senggol lengannya untuk mencari perhatiannya, "jangan panggil mas gua sama lu seumuran kali, panggil Satria lah," pintanya namun aku berpikir nama lain untuknya, "serius jangan dimuda-mudain deh udah 25 juga. Lagian kalau manggil Satria nanti dikira fans atau chearleader lu juga lagi, gua panggil Dika aja gimana ?" "Hahaha . . . Sialan Lu gua baru jalan 21 kali, itu panggilan kecil gua tau aja lu," jawabnya sambil menyesap kembali kopi di tangannya, "yah abis badan sama muka lu boros, kalau gua baru tawaf atau sai 20 berarti dari Safa ke Marwah, terus Musdalifah ke Nazar," dan 'burrrr' Dika menyemburkan kopi panas dari hidungnya dan tersedak.
Sontak aku tertawa melihat kelakuan anak satu ini, dan menepuk pundaknya. Kami saling besendagura dan obrolan kami terus berlanjut.
. . . . .
Tertangkap pemandangan jingga katulistiwa dari celah rimbunan daun di atas kami, dan sayup-sayup seruan adhan berkumandang malampun menjelang. "Dik, gua ke masjid dulu yeh. Thanks nih kopinya," aku berdiri dan menepuk-nepuk membersihkan jeans ku. "Gua ikut lah Ian," Dika ikut bangun dari duduknya "gua kira lu lagi M Bro, Males".
Kami mulai berjalan ke koridor kampus dan lampu yang temaram mulai menerangi sisi taman, tanpa pamit Dika merangkulkan tangan kanan kekarnya ke bahu ku dan menarik tubuh ku kearah tubuhnya, "sial, badan lu bau kabel kebarkar tahu Dik, jorok lu!" Ku kibaskan lengannya, "kunyuk, habis latihan gua sudah mandi Bro." Dengan sigap Dika menyambar belakang kepala ku dan membenakan kepala ku kearah ketiaknya, sontak harum deodoran dan aroma tubuhnya bersarang di indra penciuman ku, "woy King Kong, jorok banget sih jadi manusia. Udah tuh rawa bakau lebat banget lagi" yah jelas dia hanya memakai tank top putih yang kontras dengan kulit sawo matangnya di balik hoodie hijaunya, dan ku tinju lengan atasnya untuk melepaskan kunciannya, "anjrit, bogem lu kalah sama bogem panghuni Taman Lawang," dia malah terkekeh puas penuh kemenangan setelah mengerjai ku dan berlari meninggalkan ku yang keki dan menyumpah serapah.
. . . . .
Ku pandang layar hp ku saat ada satu pesan masuk. "Mega: Syid, lu dmn ? W dpn kls sama Ani & Fai" itu isi pesan dari Mega teman sekelas ku dan terlihat angka yang menunjukan 18.13 di hp ku.
"Dik, gua duluan yeh. Anak-anak nungguin di kelas," aku pamit pada teman baru ku itu yang masih mengenakan kaus kakinya, "woy Bro, tungguin apa," pintanya namun masih sibuk dengan kaus kakinya sedangkan aku terus berlari kecil menuju kelas di lantai 3 gedung utama dengan menyusuri anak tangga.
Sesampainya di koridor lantai 3, Mega Cs sedang asik mengobrol menghadap taman, saat sampai dan menyapa sohib-sohib ku ini kulihat di taman bawah Dika yang sedang celingak-celinguk dan aku tahu siapa yang dia cari sehingga aku tersenyum.
"Heh, sarap lu ye senyum-senyum sendiri," ejek Mega, "kenape lu mau ikut nemenin gua senyum-senyum Ga ?" Ku ledek balik sohib ku satu ini, "lu gila ngajak-ngajak," balasnya dan mulai terkekeh dan memperlihatkan mukanya yang memerah saat tertawa mirip pantat Beruk, "dasar Princess Beruk maunya diajak seneng aja diajak susah gak mau," kini cercaan ku membuat cewek satu ini berhenti tertawa dan menepuk pundak ku. "Siaul Lu, eh Ni itu kan Si Satria cakepan aslinya yah," kini para wanita beralih ke obrolan Tante Arisan seputar cowok keren apa kurang keren dengan ku sohib mereka.
"Emangnya Satria itu barang Tanabang apa ada asli ada kwnya ?" Kuganggu mereka yang asik gosip, "maksudnya dibandingin lihat dia lagi tanding di TV," kilah Ani, "gue denger gosipnya dia masih single," Ani menambahkan gosip kampus murahan, "Hahaha . . . Berarti nasibnya sama dong kaya gua jomblo juga," dengan bangga ku promosi diri, "yah beda lah Syid, kalau Lu enggak laku ditolak cewek tuh namanya Jones, Jomblo Ngenes, kalau Satria laku tapi dia yang nolak tuh namanya Joker, Jomblo Keren." Perkataan Mega bagai bom atom yang meluluh lantahkan hati ku dengan disusul suara dentuman tawa mereka bertiga yang pecah "hwahwahwaha . . . " "Pa'i, lu lagi bukan bantuin gua malah ikut-ikutan lagi," rajuk ku ke Fai sohib ku yang sebelumnya diam justru ikut tertawa. "Sorry Sob, abis gua kan laku bukan jones kayak lu," hemmm, memang aku tahu ini hanya candaan dan walau itu memang benar tapi mereka cukup menghibur ku bisa tertawa bersama mereka melupakan sejenak Zizi.
. . . . .
Ieu teh sunda na palih mana?
Sunda gadungan Brow.
Maklum tumbuh di Jakarta jadi saeutik keneh Sunda na.
Thx dah mampir.
Klw ada yg mau terjemahin ke Sunda & Jawa mohon dibantu.
Brow jgn kenceng2 ngomong'a Is Acid juga manusia kali Brow.
Oke diterima saran'a Brow.
Tadinya Ane mlh bingung klw buat narasi dialog.
Jadi mending disambung, tapi saran'a gimana nih Brow.