SATU
Hari-hari melelahkan itu kembali. Setelah bersantai-santai dengan liburan kenaikan kelas, kini aku harus kembali ke kegiatanku sebelumnya. Ya, sekolah!
Terlebih saat mengetahui diriku masuk ke dalam jurusan Ipa. Padahal aku telah mengisi hak angket pemilihan jurusan Ips. Tapi malah aku masuk ke dalam jurusan Ipa. Dan yang paling menyebalkan, tak bisa berpindah jurusan kecuali ada seseorang dari jurusan ips yang ingin bertukar jurusan denganku. Sangat tidak adil! Huh. Terlebih aku cukup kurang dalam hal hitung-hitungan. Walapun nilai Ipa-ku tak begitu buruk. Semuanya diatas rata-rata, mungkin itu alasan mereka memasukkanku ke jurusan Ipa.
Bagaimana aku tidak kesal? Hampir seluruh teman sekelasku saat kelas 10 masuk kedalam jurusan IPS, dan hanya beberapa orang saja yang masuk ke IPA. Itu yang membuatku harus beradaptasi dengan kelas baru. Dengan teman baru.
Sesampainya dirumah, aku menaruh sepedaku lalu bergegas masuk ke kamar. Bersepda untuk pulang pergi kesekolah itu hal menarik juga menyehatkan. Itu juga karena rumahku tak begitu jauh dari sekolah.
Aku melihat diriku di depan kaca. Dalam cermin itu, aku bisa melihat diriku; Lian Adrian, seorang remaja berumur 16 tahun. Berkulit tidak terlalu putih dengan mata sipitnya. Aku bukan orang yang populer disekolah. Aku dikenal orang yang pendiam di kalangan sekolah bahkan sombong. Tapi menurutku, aku tidak begitu pendiam, hanya saja aku tidak pandai bergaul. Jika saja mereka telah akrab denganku, aku akan lebih terbuka pada mereka. Malah mereka menyebutku pecinta lingkungan karena aku suka tumbuhan dan selalu bersepeda. Lagipula aku tidak masalah denga hal itu. Satu hal lagi yang masih kupertanyakan.
Akhir-akhir ini aku merasa tertarik untuk mencari seseorang yang telah menyelamatkanku. Seseorang yang telah menghembuskan lembut nafasnya melalui bibirku. Tapi yang membuatku bingung, hingga sekarang aku masih belum tahu siapa orang itu sebenarnya. Yang kuingat hanyalah sosok dengan seragam sekolah sepertiku, yang menghembuskan nafasnya lembut di bibirku beberpa kali, hingga aku bisa merasakan udara yang sama lagi dengannya.
Daripada memikirkan hal itu, masih banyak hal yang harus ku pikirkan selain dentuman manis dalam dadaku ini seperti sekolah, impian.. Ketika pada akhirnya aku memutuskan menghapus warna-warna aneh yang ia bawa dalam kehidupanku, aku mulai belajar
untuk menikmati rasa sakit yang menjalari hatiku.
***
"Bu, beneran rumah ini akan disewakan?" ujarku.
"Iya, kakak-kakakmu sudah jarang pulang kerumah. Daripada lantai atas ngga ada penghuninya. Mendingan disewakan. Lagian uangnya bisa untuk nambah uang jajan kamu," jelas Ibu sambil masih fokus memasak sesuatu.
Aku hanya menggerutu pelan. Rumah kami memang mempunyai 6 kamar. Tadinya kamar-kamar itu dihuni oleh 3 kakakku. Yang pertama, sudah berkeluarga. Yang kedua dan ketiga sedang menyelesaikan kuliahnya diluar kota. Tentunya mereka jarang pulang. Bisa dihitung kehadiran mereka dirumah ini dalam setahun.
"Memang berapa orang yang akan tinggal?" tanyaku lagi.
"4 orang."
"4 orang? Kita hanya memiliki 2 kamar mandi. Lagipula.. Aku tidak mau harus berebut kamar mandi ketika mau berangkat sekolah," gerutuku.
"Kau akan terbiasa dengan hal itu," ujarnya sambil meniriskan sayur ke dalam mangkuk lalu membawanya keatas meja makan. "Oh iya, besok sore mereka akan pindah kesini. Bersikap ramahlah, Nak."
"Huh," gumamku kesal lalu beranjak dari dapur menuju kamarku.
***
"Lian!" ujar Yoshi dari bangku didepanku. Dia adalah teman kecilku. Orang yang sangat dekat denganku selain keluargaku.
"Ya?" balasku.
"Hari ini main yuk!" ajaknya sambil beranjak dari bangkunya menuju tempat dudukku.
Aku menggeleng pelan. "Ada sesuatu dirumahku hari ini, dan aku nggak boleh keluar dulu."
"Apaan? Lagi ada masalah dirumahmu?" ujarnya pelan.
"Entahlah. Rumahku akan disewakan. Akan ada 4 orang yang tinggal dirumahku," ujarku sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
"Bagus dong kalau gitu, bakal jadi rame rumahmu. Aku juga bisa kali ikutan?" ujarnya sambil mentertawaiku.
Aku melotot kearahnya dan dia semakin tertawa akan hal itu. "Beneran, Yosh!"
"Iya aku tau. Semoga yang tinggal dirumahmu orangnya ramah terus rame, jadi kamu ngga bakal sering-sering bosen lagi."
"Kuharap begitu," aku menghela nafasku.
"Tadi sih, kiraiin aku.. Kamu sedang memikirkannya lagi? Orang yang ditakdirkan untukmu?" ujar Yoshi.
"Kenapa?"
"Maksudku udah bertemu seseorang yang menyelamatkanmu?" tanya dengan suara pelan.
Aku menggelengkan kepalaku. "Sejak kejadian dikolam berenang waktu itu aku belum juga menemukan orangnya."
"Aneh! Masa saat dia memberimu nafas buatan tak ada orang yang melihat," ujar Yoshi.
"Entah, tapi itukan udah sore bener. Banyak yang sudah pulang. Dan aku nggak bisa lihat siapa-siapa disitu, semuanya buram, yang didepanku adalah seseorang dengan baju seragam sepertiku. Saat aku sadar yang kulihat hanya beberapa keluarga yang sudah selesai berenang dan bersiap untuk pulang," jelasku.
"Lagian beritamu hampir tenggelam di kolam berenang tidak menyebar? Dan orang yang menyelamatkanmu tidak pernah menghubungimu atau setidaknya menanyakan kabar jika memang dia satu sekolah dengan kita," tukasnya. “Apa kamu sungguh akan menemukannya? Kamu bahkan tak melihatnya sama sekali kan?” ujarnya dengan nada menyindir.
“Hmm, mungkin. Tapi aku melihat bibirnya, masih mengingat jelas perasaan itu,” ujarku sambil tersenyum simpul.
“Daripada memikirkan hal itu.. Apa yang akan kamu lakukan jika sampai tahun ke 3 nanti kamu tak menemukannya?”
"Entahlah, lagian aku nggak mau mikrin itu terus," ujarku sambil tersenyum getir lalu beranjak sambil membawa tasku keluar dari kelas, saat aku sadari semua orang dikelas sudah pada pulang kecuali aku dan Yoshi.
"Yan, tunggu! Aku kerumahmu ya!" teriaknya.
"Terserah! Kau bawa sepeda kan?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Kita main pes lagi ya," ujarnya sambil tertawa.
"Hei! Tolong lemparkan bolanya kesini!" ujar seseorang dari kejauhan.
Aku menoleh kearahnya. Dia...
"Cepat!" teriaknya.
Aku menendang bola itu seenaknya tanpa fokus. Akhirnya bolanya tak tepat sasaran. Dia tertawa akan hal itu.
"Kamu gimana sih! Nendang gitu aja susah!" ujar Yoshi yang membuat lamunanku buyar seketika.
"Eh," gumamku bingung lalu mempercepat langkahku.
***
Sesampainya dirumah aku langsung disambut dengan kedatangan 3 orang asing yang kuyakini adalah orang yang akan tinggal dirumahku.
"Nah, ini Lian anak Ibu yang ke 4. Anak ibu cowok semua, 3 lainnya udah pada minggat," ujar Ibuku sambil tertawa.
"Lian," gumamku pelan, memperkenalkan diriku pada 3 orang di depanku.
"Hmm, cakep ya, Lian," ujar seorang perempuan cantik yang mungkin seumuran denganku. "Aku, Sasa. Panggil aja Mbak Sasa."
"Hah? Mbak? Emang umur berapa?" tanyaku.
"Haha, jangan tanya umur deh. Aku temen SMA kakak keduamu, Fahri," jawabnya sambil terkekeh. Aku terkejut mendengar pernyataanya. Seorang perempuan dengan wajah 17 tahun tapi ternyata 6 tahun lebih tua dariku.
"Nah, ini temen Mbak magang di kantor deket sini juga."
"Ades, panggil aja Kak Ades," ujarnya sambil tersenyum.
"Kalo ini pasti kamu kenal kan, Yan. Dia kakak kelas kamu" ujar Ibu.
Aku menggeleng pelan, melihat seorang yang berseragam SMA dengan bet khas sekolahku.
"Kamu ngpain aja sih, Yan, disekolah? Masa satu sekolah bisa ngga kenal gitu," ujar Ibu kaget.
Aku menundukkan kepalaku sambil tersenyum masam.
"Andra," ujarnya dingin. Aku menyipitkan mataku, saat kulihat dia memandangku begitu aneh.
"Nanti juga akan ada 1 orang lagi yang bakal tinggal disini, dia kelas 11 juga sama sepertimu. Kebangetan kamu, Yan, kalau tidak mengenal dia," ujar Ibu.
Aku mengerutkan dahi. Kok jadi aku yang salah? Batinku.
"Lian!" ujar Yoshi dari luar rumahku. Sedari tadi aku lupa membawanya masuk.
"Eh, iya, Yosh! Masuk aja yok," ajakku lalu membawanya menuju kamarku dan membiarkan pintunya tetap terbuka.
***
KRING!! KRING! Alarm HP-ku berdering untuk yang kesekian kalinya. Kulirik sekilas jam yang tertera di HPku. Masih jam 6 lewat 5.
Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya.
BRAK!!
Kurasakan tubuhku menabrak sesuatu yang sukses membuatku nyaris terkena serangan jantung.
“Oh, maaf,” gumamnya pelan sambil menggosokkan handuk di rambutnya.
"Kamu? Kenapa bisa disini?!" ujarku sambil mengacak-acak rambutku.
Dia tertawa melihatku. “Ibumu belum menceritakan kalau aku akan tinggal disini?”
Aku menelan ludahku. Bagaimana ini bisa terjadi, Tuhan, batinku. Kulanjutkan langkah kakiku menuju kamar mandi.
"HEI!!" teriakku kesal saat mendapati seseorang di kamar mandi dengan mataku. "Kalau lagi didalam, lain kali pintunya ditutup!"
"Eh, maaf. Tadi udah kebelet bener," ujar Kak Ades dari dalam.
Aku mengerang kesal. Kenapa kejadian seperti itu yang harus kulihat pertama kali setelah aku bangun. Benar-benar sesuatu-_-.
Comments
mohon maaf kalo jelek ya
mensen yah \(o ̄∇ ̄o)/
nice ide dude, hanya gara2 bibir to? simple n roarrrr kata katy peri.
cm entah aku yg lg galau atau gimana, jelasin dikin saja, itu orang2 knp berimigrasi ke rumahnya lian? apa lian punya kontrakan?
jawab ya,
tq.
bisa kayak gitu ya? baru tau... pasti segan banget itu ya.
DUA
“Aku sudah tau akan jadi seperti ini.. aku ngga mau hidup seperi diasrama,” gumamku pelan sambil terus melangkah menuju sekolahku. Tadinya aku berniat membawa sepeda tapi karena bannya kempes, jadi kuurungkan niatku.
“Lian!” teriak 2 orang tak jauh dari belakangku.
Aku menolehnya.
“Ayo berangkat bersama!” ujar seseorang yang menabrakku tadi pagi, bersemangat.
“Kita bahkan bukana teman,” gumamku pelan.
“Hmm?” dia mengangkat sebelah alisnya. “Aku, Nino. Dari kelas IPA 1.”
Aku tersenyum kearahnya.
“Bukankah kita tinggal bersama?” ujar Andra lagi.
“Ehm.. jangan membuat orang lain salah paham,” tukasku.
Aku bahkan bisa melihat tatapan aneh orang-orang yang berada di dekat kami. “Siapa dia?” “Kenapa mereka bisa berangkat bersama?” “Apakah mereka ada hubungan keluarga?” “Sulit dipercaya.”
Kalimat-kalimat seperti itu yang kudengar dari beberapa orang disekitarku. Mungkin aneh bagi mereka, seorang cowo sepertiku yang jarang terlihat bersama orang lain disekolah kecuali dengan Yoshi, berjalan bersama orang lain sepagi ini, dan orang lain itu adalah orang-orang yang terlalu bersinar disekolahku. Aku sempat mendengar beberapa kali nama mereka disebut dalam percakapan teman-temanku di kelas.
“Aku pergi deluan ya,” ujarku lalu mempercepat langkahku meninggalkan mereka.
***
“Hei! Kesini sebentar!” ujarku saat melihat Nino berjalan di koridor kelasku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Hmm, tolong untuk saat ini jangan beri tahu orang lain dulu kalau kalian tinggal dirumahku,” ujarnya.
“Kau merasa risih akan hal itu?” tanyanya menyelidik.
“Bukan begitu.. ehm.. aku hanya malas harus ditanya-tanya hal mengenai kalian berdua. Kau tahukan bagaimana fans-fansmu?” ujarku sambil tertawa.
“Uh.. tidak paham,” ujarnya sambil tertawa juga.
“Pokoknya ikuti saja ya,” ujarku.
“Aku nggak paham. Tapi jika itu maumu.. baiklah,” ucapnya sambil berlalu.
Ah, untunglah dia bersikap begitu. Dan juga teman sekelaskupun belum ada yang tahu. Jika mereka tahu, aku bakal di interogasi setiap hari, hanya untuk menjawab pertanyaan para gadis di kelasku tentang apa yang dilakukan kedua pria itu.
***
Kali ini aku pulang lebih awal lagi, karena baru beberapa hari sekolah ini kembali aktif setelah liburan kenaikan kelas. Lagipula aku tak ingin berlama-lama di sekolah.
Setibanya dirumah aku langsung menuju kulkas tanpa melepas sepatu dahulu, lalu mengambil sebotol air mineral. Tapi aku tak menemukan gelas yang selalu kupakai untuk minum. Gelas berharga pemberian seseorang bergambar domba khas Aries.
“Ibu gelasku dimana?” teriaku sambil masih tetap mencarinya di lemari tempat Ibu biasa menyimpannya setelah dicuci.
“Disekitar situ,” teriak Ibu dari dalam.
Aku terkejut ketika mendengar suara benda yang terbuat dari kaca terjatuh. Aku langsung berjalan menuju sumber suara itu.
“HAA? Gelas.. ku,” ujarku kaget mendapati gelas yang kucari barusan sudah dalam kondisi terbelah dua.
“Maaf.. maaf, aku tak sengaja menjatuhkannya,” ujar Nino merasa bersalah.
“Ini gelas yang selalu kupakai,” ujarku pelan.
“Apakah sangat berharga?”
“Pemberian seseorang,” ujarku tersenyum getir.
“Apa yang terjadi?” ujar Mbak Sasa sambil menghampiri kami.
“Eh.. itu.. itu eskrim yang kubuat,” ujarku saat melihat dia menjilatnya beberapa kali.
“Ini sangat enak! Aku melihatnya dikulkas,” pujinya.
“Padahal aku membuatnya semalam karena ingin memakannya setelah menyelesaikan semua tugas-tugasku seharian,” jelasku kesal lalu pergi meninggalkan mereka menuju kamarku. Tempat yang paling aman buatku di rumah ini.
Sudah bisa kutebak, semuanya akan menjadi seperti ini. Bukannya merasa lebih nyaman karena akan banyak orang dirumah, tapi sebaliknya, semuanya berjalan tidak semesetinya lagi.
***
Makan malam kali ini tak seperti biasanya. Semuanya diam, meskipun ada 8 orang disini, duduk melingkar di meja makan. Tapi seperti berada diruangan masing-masing.
Aku masih menikmati makan malamku, meski tak begitu semangat. Tadinya aku malas untuk keluar dari kamar malam ini. Tapi, ibu memaksaku keluar bahkan memarahiku.
“Ehm,” Ayah berdehem. “Kalian semua tidak perlu sungkan seperti ini,” ujarnya.
“Iya kan? Lagi pula Lian tidak marah, kan?” paksa Ibu, dengan matanya yang melotot ke arahku.
“Ini semua salah Ibu. Egois. Memutuskan rumah kita di sewakan, meski aku tak meyetujuinya,” ucapku. “Kenapa aku harus tinggal dengan orang yang tak kukenal?!” emosiku mulai naik.
“Lian..” ucap Ibu.
“Apa ini karena Ibu mau aku menjadi seperti dulu? Berteman lagi dengan banyak orang?”
“LIAN!” bentak Ayah. Aku langsung beranjak dari tempat dudukku menuju kamar.
“Lian! Aku pinjam sepedamu sebentar ya,” ujar Nino. Aku menghela nafas. Bisa-bisanya dia tidak bisa membaca situasi. Apa dia bodoh?
“Terserah, kau bisa pinjam semua barangku tanpa sepengetahuanku!” ujarku kesal.
Dadaku mulai terasa sesak. Mataku mulai merah, siap menurunkan air mata. Aku mengumpat beberapa kali. Kututup pintu kamarku, lalu duduk didepannya.
Aku menenggelamkan wajahku pada telapak tangan. Mencoba menenangkan diriku. Aku masih bisa mendengar mereka membicarakanku di luar.
“Maafkan, Lian. Dia memang seperti itu. Sejak kejadian 4 tahun lalu yang yang membuatnya taruma, dia sulit sekali beradaptasi dengan orang-orang baru di sekelilingnya. Ibu tak tega melihatnya begitu terus, makanya saat orang tua kalian menghubungi Ibu untuk mengizinkan kalian tinggal disini, Ibu langsung menyetujuinya. Ibu pikir dengan kehadiran kalian disini, Lian akan berubah menjadi lebih terbuka. Karena semua itu berawal dari lingkungan terdekat dia. Yaitu rumahnya sendiri,” jelas Ibu.
“Saya mengerti kok, Bu. Lian masih remaja, wajar kalau dia begitu. Kami tidak merasa tersinggung, kok,” ujar suara seorang perempuan dengan ramah.
Penjelasan Ibu mengingatkanku dengan kejadian yang tak ingin ku ingat lagi. Aku memutar otakku. Mengingat-ingat apa yang barusan kulalukan. Sebuah tindakan yang sangat kekanakan, simpulku.
Tapi aku juga belum berani keluar dari kamar saat ini dan meminta maaf pada mereka. Aku menghela nafasku lalu kembali membenamkan wajahku di telapak tanganku. Aku pun memjamkan mataku dan mengistirahatkan badanku karena kantuk tanpa merubah posisi dudukku.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat terbangun dari tidurku selama beberapa menit, entah karena merasa tak nyaman dengan posisi ini atau karena mendengar seseorang mengetok pintu rumahku beberapa kali.
Aku bangkit dari dudukku dan merenggangkan otot-ototku yang kaku lalu keluar dari kamarku.
“Siapa?” ujarku saat berniat membuka pintu rumahku. Aku harus memastikan bahwa yang mengetok pintu rumahku adalah manusia dan orang yang tidak mempunyai niat jahat.
“Nino,” ujarnya dari luar.
Kubuka pintunya yang terkunci dan mempersilhakannya untuk masuk. “Lain kali, jangan keluar malem-malem gini,” ujarku lalu berbalik melangkah menuju kamarku lagi.
“Tu.. Tunggu..” ujarnya terbata-bata, menghentikan langkahku. Aku berbalik menghadapnya. Kuperhatikan wajahnya yang menerutku lebih manis dari bintang iklan minuman isotonik yang kulihat di tv beberapa waktu lalu, namun terlihat maskulin juga, dengan badanya yang tinggi dan berisi. Diwajahnya terdapat tetesan keringat sebutir jagung yang mulai jatuh dari sekitar dahinya.
“Ini,” ujar Nino sambil memberikanku sesuatu yang terbungkus dengan plastik supermarket lalu melangkah keluar rumahku lalu merebahkan dirinya di lantai teras sambil masih mengatur nafasnya.
Kubuka plastiknya dan yang kudapatkan adalah sebuah gelas yang sama dengan gelasku. Gelas bergambarkan domba.
Aku berjalan kearahnya dengan bingung.
“Aku mengambilnya dari rumah,” ujarnya dengan nafas yang kurang teratur.
“Bukankah rumahmu jauh dari sini?” tanyaku hati-hati.
Dia tersenyum. “Sepedamu lumaya juga,” ujarnya sambil tertawa. “Itu gelas dari pemberian seseorang juga?”
“Kau Aries juga?”
Dia menggeleng pelan. “Gelas itu tak pernah terpakai. Gelas pemberian ayahku yang lupa aku lahir di bulan apa,” ujarnya sambil tersenyum getir.
“Maaf,” ucapku, tak tahu harus berkata apa.
“Kau jadi lebih baikkan?”
Aku tak menjawabnya, hanya mengamatinya dari atas. Dia bangkit, lalu duduk menyandar di dinding.
“Kau benar,” kataku pelan.
“Syukurlah,” balasnya sambil memamerkan barisan gigi putihnya.
“Aku tahu saat ini pasti sangat sulit harus tinggal bersama orang asing,” ujarnya lagi.
“Kejadian itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas hingga sekarang. Saat dimana aku dikunci di ruang kelas yang sudah tak terpakai seharian setelah dia memukuliku. Yang membuat takut adalah bukan karena aku dipukuli dan dikurung seharian. Tapi karena kepercayaanku dikhianati oleh orang yang sangat aku percayai, sahabatku sejak aku masih berada di taman kanak-kanak yang melakukannya. Hanya karena dia salah paham terhadapku. Dia menuduhku menyebarkan berita bahwa dia adalah anak dari seorang istri simpanan,” jelasku.
Kuusap beberapa kali dadaku yang mulai terasa sesak. Entah kenapa perasaanku selalu begitu ketika aku mencoba mengingatnya. “Maaf, aku hanya belum terbiasa. Lagi...”
“Sama-sama. Tapi tempat ini sangat membantuku. Bukankah rumah ini sangat nyaman?” ujarnya sambil menghirup udara malam dan menghembuskannya beberapa detik kemudian.
Aku melihat ke sekeliling rumahku. Rumah yang tak begitu besar, tetapi dengan halaman yang cukup luas. Banyak pohon dan sayuran organik yang di tanam Ayahku disini.
Aku tertawa mendengarnya.
“Rasanya seperti aku sudah lama tinggal disini,” gumamnya sambil menutup mata.
“Eh, hidungmu?” ujarku keget, melihat cairan bewarna merah keluar dari hidungnya. Aku langsung mendekatkan tanganku ke wajahnya. Menghapus darahnya dengan jemariku dengan spontan.
“Bibirnya..” gumamku dalam hati.
“Lian.. terimakasih,” ujarnya kikuk.
“Tentu..”
Bagaimana kalau.. dia adalah orangnya..
***
“Ayah!” ujarku saat melihatnya sedang mencabut rumput yang sudah meninggi di halaman rumahku. “Selamat pagi!”
“Pagi, Yan! Udah sarapan belum?” tanyanya.
“Udah.. Yah, aku minta maaf soal kemarin. Aku juga sudah minta maaf dengan Ibu. Maafin aku, kalau aku juga egois,” ujarku pelan sambil menunduk, tak berani menatapnya.
Ayah tersenyum sambil mengangguk, lalu menepuk pundakku beberapa kali.
“Selamat pagi!” ujar seseorang dari depan pagar rumahku.
“Eh, Viny,” kataku agak kaget. Ada hal apa yang membuat dia kesini pagi-pagi sekali? Pikirku.
“Hmm, apa Nino ada?” tanyanya.
Eh, bagaimana dia bisa tahu kalau Nino tinggal disini. “Nino?”
“Viny!” ujar Nino yang baru keluar dari pintu rumahku.
“Mau berangkat bareng?” tanya Viny pada Nino.
Aku menoleh pada Nino. Merasa bingung dengan kejadian saat ini.
“Viny. Dia pacarku,” ucapnya.
“Pacar?.....” Aku berhenti bernafas untuk beberapa detik.
Tuhan sedang menyiksaku.
@ularuskasurius iya, dulu ada yg pernah sewa dirumahku, tinggal dlm rumah juga. tpi mrk bukan org yg bener" asing juga, orang rumah udah ada yang kenal, hehe
makasih
makasih