Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta. Untuk beberapa orang yang mendengar, mungkin nama Tara adalah nama yang feminism. Bukan, Tara bukan perempuan. Ia bergender laki-laki. Ia masih berambut spike dengan warna kecoklatan dan bayangan facial hair yang mulai muncul. Ia masih memakai kemeja brwarna abu-abu terang, pantalon berwarna abu-abu dan blazer warna senada. Ia memakai dasi berwarna hitam yang terbuat dari sutera – aku tahu, karena aku menilik mereknya.
Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta. Ibunya berasal dari Mojokerto, itulah mengapa nama Wilwatikta terselip dinamanya. Dan ayahnya adalah seorang pengusaha. Berkantor di sebuah menara di bilangan Sudirman, dan bertempat tinggal di kawasan Pakubuwono. Ya, Tara juga tinggal disitu. Bersama kedua orangtuanya dan satu orang adiknya. Namanya Sita, Agni Sita Saraswati. Itu yang dia ceritakan semalam, diatas ranjang kami – tepatnya ranjangku, diatas kasur spring bed ala kadarnya dari pemilik kos dan diatas sprei polos berwarna hijau gelap yang sudah bernoda.
Namaku Ditya, Aditya Pradana. Dan aku bertemu dengan Tara di sebuah tempat yang mungkin tidak semua orang peduli. Tempat yang setiap harinya mungkin kamu lalui, atau kamu pandang ketika busmu berhenti menurunkan penumpang di halte yang berada diseberangnya. Atau tempat yang sekolahmu akan kunjungi tapi berganti menjadi Ancol atau Dufan. Aku bertemu dengan Tara di Museum Nasional, dihadapan arca Pradnyaparamita. Arca perwujudan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang kemudian bersuamikan Ken Arok dari sejarah Singhasari. Arca yang anggun, arca yang feminism, arca yang teduh – selain tatapan teduh Dewi Kwan Im dan juga Siddharta Gautama. Dingin, kuat dan kharismatik.
“Pradnyaparamita.”, ucapnya sambil memandang wajah arca.
“Ya, aku tahu. Aku tahu arca ini Pradnyaparamita.”
“Aku Wilwatikta.”, ucapnya sambil berdiri mematung.
“Jadi kamu adalah masa depan dari jaman arca ini?”
“Kamu?”, tanyanya sambil menghadapku.
“Bukan siapa-siapa. Hanya ingin tahu seperti apa Museum Nasional itu.”
Aku pergi meninggalkannya, berjalan menuju beberapa koleksi arca lagi. Aku berhenti didepan arca Bhairawa. Arca yang mewujudkan Raja Adityawarman dalam wujud ugra. Digambarkan dengan berdiri diatas orang kerdil dan juga tengkorak,arca ini menggambarkan perwujudan Siva dan Buddha.
“Aditya?”, tanyanya. Dia mengikutiku.
Aku menoleh padanya. “Apakah kamu tersesat?”, tanyaku sambil mengerutkan dahi.
“Apa yang membuatmu kesini?”
“Aku hanya ingin tahu speerti apa Museum Nasional itu.”
“Kamu hanya mengulang jawabanmu.”
“Aku menyukai sejarah kerajaan Hindu-Buddha.”
“Jadi kamu tahu namaku?”
“Wilwatikta? Apa kamu Mahesa?”
“Aku Tara.”
“Jadi? Aku harus panggil kamu apa?”
“Tara.”
Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta. Ia mengurangi kecepatan mobil dan memutar kemudinya. Aku hanya diam sambil menatap arah luar. Ia hanya berkata, “Kita makan.” Dan hingga kini dia tidak mengeluarkan suara apapun. Begitupun aku. Setiabudi dan Senopati tidaklah berjarak dihari Minggu ini. Berbeda dengan semalam, ia begitu aktif bercerita. Dan juga kecupan dan desahan hangat yang masih terasa hingga saat ini. Erangan dan rintihan yang masih membisik di telinga.
Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta. Ia hanya memesan Roasted Chicken Salad dan sebotol Evian. Sementara ia memesankan Sirloin Steak dan segelas Burgundy untukku. Aku hanya terdiam ketika pelayan menaruh makanan didepanku. Ya, aku tahu ini steak terenak disini. Dan siapa yang tidak bisa menolak Burgundy?
Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sakunya. Aku memperhatikan kotak itu. Ketika kotak itu dibuka, aku tahu itu apa. B.Zero 1 berwarna silver. Aku tahu cincin ini dari majalah dikantorku. Ia menyodorkan cincin itu kepadaku, meraih tanganku dan pop! Jariku yang lain pasti akan iri dengan si manis ini. Ia tersenyum.
“Pradnyaparamita. Arca yang halus dan indah. Wilwatikta, apakah kamu masih disini?”, aku merenung menatap wajah arca yang teduh dan damai.
“Ini Pradnyaparamita. Iya, namanya sama dengan nenek ya?”, ucap seorang ayah kepada anak perempuan yang masih menggunakan seragam sekolah dasar.
Aku menoleh kearah suara yang muncul. Namanya Tara, Tara Mahesa Wilwatikta.
--oo--
Comments
lanjut !!!
masih mencoba memahami.. Tp aku suka sama unsur sejarah yg muncul disini..
Kalau memang sdh tamat, apakah Sosok si ayah itu adl si Tara yg sdh punya anak dan bertemu lg dgn ditya?
Cc: @bitter_ballen
Ada jg kekurangan seh tp kayaknya ketutup oleh tata bahasanya. .
Bahasa yg dipake mungkin memerlukan pembacanya untuk mikir,bkn cerita yg mudah utk dipahami. .
Tp sayangnya ini cerpen.
Uda lama gw pengen belajar bikin yang beginian. . .
oww ini penulisnya. .keren
walo rada susah dipahami. .
Dan cuma dlm satu jam aja udah menghasilkan yg sekeren ini mmm. . .
Diam tampa kata . . .
Rangkaian kata"nya itu loh. .bagus bgt. .
Bnyak penulis bagus menghasilkan karya populer tp sedikit penulis menghasilkan karya berkualitas. .
Salam karya bro @bitter_ballen