BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Tentang Mereka...

-d'Rythem24 present-


Aku ingin berbicara tentang cinta disini. Bukan cinta yang kebanyakan para insan manusia miliki, yaitu cinta antara laki-laki dan perempuan. Sungguh bukan. Tetapi disini, aku akan membicarakan tentang cinta yang terjaring dalam dunia Homosexualitas...dan ini lebih mengarah kepada pihak kaum lelaki.

Ya. Aku akan berbicara tentang kisah cinta seorang Gay. Namun, cinta ini bukan cinta dua orang lelaki yang saling menjaga rasanya satu sama lain. Bukan juga tentang seorang lelaki yang cintanya bertepuk sebelah tangan karena pria yang dicintainya telah memiliki kekasih, bahkan Istri. Tidak juga hendak berbicara mengenai laki-laki yang mencintai sesamanya secara diam-diam. Dan bukan pula tentang laki-laki yang mencintai kekasih yang tak menganggapnya.

Lalu apa?

Aku Rendi. Dan aku ingin bercerita tentang sebuah kisah... Dimana seorang laki-laki mencintai lelakinya yang telah tiada...
Ya, ini bukan tentang aku... Tetapi Dia.

***

'Aku dimeja nomor 14'

Itulah isi sms dari Ferdi yang sampai ke ponselku, sesaat setelah aku turun dari mobil. Aku mengaktifkan alarm keamanan, kemudian mulai melangkahkan kakiku kedalam restoran...dimana Ferdi sudah menunggu aku sejak beberapa menit lalu. Tapi, dia tak sendirian begitu langkahku terhenti dimeja tempatnya berada...

“Eh, dateng juga kamu, Ren," hangat Ferdi menyambutku. Aku cuma tersenyum seraya daguku mengedik pada satu orang yang duduk disampingnya.
"Nah, aku kira kamu sendirian,..." ujarku merespon. Mendudukan diriku pada satu kursi yang tersisa dimeja ini.
"Oh, dia,..." Ferdi berdehem sambil sikunya menyenggol lengan pemuda disampingnya itu. "Kenalin,..." ucap Ferdi.
"Aku Revan. Adfian Revandra," lanjut Revan yang menyodorkan tangannya bersamaan kehadapanku. Aku pun menyambutnya.
"Aku Rendi. Temen Ferdi,..."
"Hehe... Aku tau kok. Malam ini aku diajak sama Kak Ferdi buat gabung, gak apa-apa, 'kan?" tanya Revan seraya memandangku.
"Gak apa-apalah. Temen Ferdi, berarti temenku juga."
"Berarti temen Kak Ferdi, temen aku juga..."

Dan kami bertiga pun tertawa bersama.

Tak pernah aku menyangka, kalau malam itu merupakan malam dimana aku bertemu dengan seseorang baru yang bisa amat mempengaruhi hidupku...

***

"Fer!" aku menegurnya ketika kulihat ia tengah sibuk membenahi bagasi mobilnya.
"Apa...?" tanyanya berupa gumaman.
"Pulangnya aku nebeng ya,..." pintaku. Ferdi selesai dengan bagasinya yang kemudian dia tutup.
"Emang mobilmu kemana?" tanya Ferdi.
"Tadi berangkat pake taksi. Mobil dipinjem Papa buat ngantor..." jawabku.
"Nah, kenapa pulangnya gak pake taksi lagi aja?" aku melongo mendengar respon darinya. "Sorry, Ren. Abis ini aku mau ngejemput Revan kerumahnya, sekalian mau nganter dia les. Maklum, masih SMA dia..." lanjut Ferdi menjelaskan.
"Yaaah... Kamu gitu deh...." aku tertunduk lesu.
"Gak apa-apa kan? Aku buru-buru nih,"

Dan aku pun cuma bisa memberikan anggukanku untuknya. Ck, tumben banget si Ferdi rela gak mau nolongin sohibnya gini. Sepenting apa sih Revan buat dia?

Tint!

Mobil Ferdi melaju menjauhi tempatku masih berdiri. Terpaksa deh, duit jajan harus tekor lagi.

. . .

Malam-malam sekali aku dikejutkan dengan kedatangan Ferdi kekediamanku. Wajahnya terlihat lesu dan kusut, membuat aku yang baru selesai mengerjakan tugas pun menatapnya bingung.

"Kamu kenapa, Fer? Ada masalah?" tanyaku padanya ketika kami sudah sampai ke kamarku. Ferdi bilang, dia mau menginap.
"Ah, jenuh aku dirumah, Ren... Mama tiap malem ngerentet melulu ngomongin 'Mama gak sabar mau punya cucu'. Ck. Aku stres tau gak!" jawab Ferdi sesudahnya ia membanting tubuhnya diatas ranjangku.
"Lha? Terus?" Ferdi mendelik padaku.
"Ya aku bosen, Ren. Udah lebih dari seminggu ini omongan Mama isinya itu-itu aja... Kupingku panas..."
"Maklumlah, Fer. Kamu kan anak tunggal. Sama siapa lagi Tante mau bicara gitu kalo gak sama kamu kan? Lagian, umur kamu juga udah 25. Udah lumayan mateng tuh buat nyari calon istri, terus nikah..." tuturku yang tidak aku sangka-sangka malah mendapatkan bogem pelan dari Ferdi.
"Bukannya ngehibur aku... Eh, kamu malah ikut merepet. Dasar Ibu-Ibu!" omelnya padaku.

Aku menggaruk-garuk kepalaku. Kepalang bingung terhadap sikapnya.

"Udah ah. Aku mau tidur, jangan bikin risih. Kamu tidur aja noh di sofa!" aku yang mendengar Titah dari Ferdi pun mendumel. Aku tarik bantal yang tengah jadi tumpuan kepalanya yang lalu aku pukulkan bertubi-tubi padanya.
"Seenak jidat banget kamu!! Kamu kira ini rumah siapa hah!" dan perang bantal pun terjadi antara kami. Dua lelaki yang sudah tak pantas lagi bertengkar dengan cara semacam ini...

Ferdi adalah sahabat terdekatku. Keluarga kami masing-masing pun telah saling mengenal. Cukup pintar dan on time, namun dia memiliki sifat mudah tertekan entah dalam masalah apapun yang dia hadapi. Seperti sekarang ini...
***

Aku dikejutkan oleh kehadiran sosok Revan, yang entah bagaimana bisa dia kini sudah berdiri tegap didepan ambang pintu rumahku. Aku mengernyit, tak tau mau memuntahkan kalimat apa buatnya...

Tint!

Dan kebingunganku pun buyar begitu saja. Disana, didekat gerbang rumahku ini... Ferdi melambai dari dalam mobilnya. Oh, pantas saja.

"Kak Rendi udah siap?" tanya Revan yang kembali mendapatkan perhatianku.
"Siap? Ngapain?" aku balik menanyainya.
"Kan kita bertiga mau jalan bareng, tadi Kak Ferdi bilang dia udah sms. Gak tau ya...?" dan aku pun menjawabnya dengan gelengan. Bahkan aku lupa, dimana aku menaruh ponselku setelah pagi tadi aku gunakan untuk browsing.

"Yaah, jadi gimana?" Revan berujar kecewa. Aku pun melirik penampilanku sendiri.
"Bentar deh. Kamu ke mobil aja duluan... Aku mau ngambil dompet sama jaket ya."

Mau bagaimana lagi? Daripada jenuh dirumah...

. . .

Acara jalan kali ini tak jauh beda dengan yang minggu lalu. Sekarang, kami bertiga tengah duduk tenang menunggu makanan pesanan kami datang. Tak semuanya makanan, karena Ferdi cuma memesan Ice Cappucino.

"Fer...?" gumamku memanggilnya yang duduk dihadapanku. Sedang Revan terduduk disampingnya.
"Apa?"
"Tante masih sering merepet?" tanyaku. Dan raut wajah Ferdi langsung menunjukan kepanikan.
"Jangan omongin itu disini, Ren. Plis lah... Aku bawa kamu kesini buat have fun, bukan buat ngebahas hal gak penting itu..." ucap Ferdi penuh penekanan. Revan memandang ke arah Ferdi dengan alis terangkat.
"Ngomongin apa sih?" tanyanya polos.
"Gak kok, Van. Bukan apa-apa." jawab Ferdi cepat di iringi belaiannya pada rambut tipis Revan. Sedikit menimbulkan rasa heran teruntukku.

"Kalian sejak kapan saling kenal?" Sungguh. Aku tak menyangka mulutku akan mengucapkan pertanyaan yang demikian. Revan dan Ferdi saling melempar pandangan.
"Udah dari tahun lalu kok..." jawab Ferdi santai.

Sudah selama itu? Tapi kenapa aku baru di kenalkan pada Revan sekitar minggu lalu? Biasanya, siapapun Teman Ferdi... Pastilah aku mengenalnya juga.

Aku hendak menyuarakan tanya lagi, tapi terhenti oleh kedatangan seorang Waiter yang mengantarkan pesanan kami. Dan perutku yang memang tengah sangat lapar pun, tak bisa menunda lagi untuk tak segera menyantap hidangan dihadapan mataku.

Hariku berakhir disana, tanpa bisa sedikitpun untuk aku bahas tanyakan kembali...

***

"Kak Rendi...?"

Lagi... Aku dikejutkan oleh kehadiran Revan yang entah darimana datangnya-dan sekarang tiba-tiba saja sudah berada disampingku yang sedang menilik satu persatu CD musik terbaru untukku putar di rumah.

"Lho? Revan? Disini juga? Ngapain?" pertanyaan bodoh.
"Mau nyari CD Original punya Mbak Celine, Kak. Nah, kakak?"
"Nggak tau nih. Masih liat-liat aja... Sendirian?"
"Nggak. Sama Teman sebangku. Tapi dia dibilik yang lain..." aku pun memanggut mendapati jawabannya. Sampai disini, aku tidak tau ingin berbicara soal apa lagi dengannya. Padahal baru kemarin kami bertemu.

"Kak...?" gerakan tangan Revan yang sedang memilih-milih CD berhenti sembari Ia menghadapkan diri padaku. Aku pun menoleh, satu kotak CD berada dalam genggamanku.
"Iya?"
"Kemaren itu, maksud 'Tante masih merepet' yang kakak bilang ke Kak Ferdi itu apa? Kak Ferdi lagi dirundung masalahkah?" tanya Revan dengan memasang tampang bingung dan polosnya. Aku berpikir sebentar, antara mengingat-ingat dan menyiapkan jawaban.

Haruskah aku memberitahunya? Tapi masa iya Revan gak tau? Ferdi saja cerita padaku, masa sama Revan tidak?

"Itu lho... Si Tante katanya tiap hari ngomel terus ke si Ferdi... Nyuruh Ferdi buat cepet nikah kayanya, gak sabar pengen cepet punya cucu tuh dianya. Maklum, insting seorang Ibu..." jawabku sejujurnya. Raut bingung Revan lenyap, di gantikan dengan...ekspresi yang tak dapat aku artikan.
"Kak Ferdi mau nikah...?" tanya Revan yang sepertinya tak menangkap jelas maksud jawabanku.
"Nggak. Tapi Mama dia yang ngebet banget pengen Ferdi bisa cepet ngasih cucu... Aneh ya Tante, Ferdi kan cowok... Apa iya bisa...?" Revan diam tak menanggapi candaanku. Dia menarik nafas berat, lalu mengedikan bahu.

"Makasih jawabannya, Kak...." ucapnya. "Kayanya lain kali aja ya aku nyari CD-nya lagi. Udah sore, aku mau pulang aja..." dan tanpa menunggu respon dariku, Revan sudah menggerakan langkahnya meninggalkanku. Lenyap diantara bilik-bilik rak tinggi yang menjadi tempat ratusan CD serta kaset.

Ada apa ya dengannya? Apakah kabar Ferdi direpet Tante amat sangat memukul perasaannya? Tapi, masa iya?

***

Ferdi tak menunjukan sedikit pun senyum, padahal sudah setengah hari ini aku terus berada di sampingnya.

"Kamu kesambet, Fer?" tanyaku sambil menepuk pundaknya. Ferdi menggeleng lesu seraya melepas tas gendongnya.
"Tante lagi...?" tebakku. Dan Ferdi pun memberi satu anggukan pelan.
"Aku bingung, Ren... Kok hidup gini amat ya ngerepotinnya..." gumam Ferdi seperti mengigau.

Kenapa juga ini anak satu? Ck. Ada saja yang membuat aku bingung akhir-akhir ini. Bikin repot...
"Namanya hidup, pasti ada pasang surutnya, Fer. Jangan lesu gini... Gak cuma kamu yang punya masalah serius..." ujarku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Berharap perkataanku dapat mengurangi buruk disuasana hatinya. Tapi Ferdi tak meresponku, cuma mengedik lalu menghela nafas berat.

Semoga saja dia tak terlalu berlarut-larut...

***

Aku terbangun dari tidurku begitu merasakan getaran hebat yang membuat ngilu kepalaku. Ck. Ini pasti hapeku yang aku setting dalam mode Vibration. Aku tengok jam diatas nakas...

Hah...? Jam 2? Siapa orang yang meneleponku di waktu sedini ini?

Aku pun menyelipkan tangan kananku kebawah bantal, menarik hapeku darisana. Dan nama Ferdi mengerjap dilayarnya, masih diiringi getaran dan sedikit suara 'bipp'.

"Enggh, halo, Fer... Jangan bikin waktu tidurku ke buang sia-sia cuma demi ngangkat telpon kamu,..." jawabku dengan suara berat dan ditambahi sebaris pembukaan. Tak ada suara dari seberang sana.

Apa jangan-jangan Ferdi menelpon sambil tidur?

"Ferdi? Kamu disana kan?" aku bersuara sekali lagi. Dan kali ini, aku mendengar suara sesegukan yang membuatku mulai dirundungi rasa khawatir.
"Ferdi? Fer...? Plis ngomong... Jangan bikin aku-"
"Aku takut, Ren..." itu suara pertamanya, namun sedu isakannya tak tersamarkan. Jadi Ferdi menangis? Kenapa?
"Kamu kenapa sih Fer? Cerita aja sama aku? Tap-tapi jangan nangis gitulah..." aku bangun dari posisi berbaringku. Sepertinya kantukku tak bersisa lagi.

Hening... Suara Ferdi hanya terdengar isakannya saja.

"Dia marah sama aku, Ren... Aku gak mau kehilangan dia..."

Dia siapa?

Aku baru ingin menjawab, tapi kembali di dahului oleh suara Ferdi...

"Tadi aku berantem sama Mama dan Papa. Ini udah hampir satu bulan, dan tiap hari omongan Mama pun masih itu-itu aja isinya. Aku bosan, Ren... Aku stress. Makanya aku clubing sepulang dari kampus tadi, begitu pulang aku di marahin Mama. Aku khilaf, Ren... Dan aku akhirnya ngebentak Mama... Tapi Papa justru mukulin aku, dia bilang aku anak gak tau di untung. Dan dia bakal nyariin aku calon istri secepatnya, supaya aku nggak jadi anak yang makin salah kaprah..." Perjelas Ferdi panjang lebar. Dan aku pun cukup mengerti sekarang, pantaslah jika dia pun sampai menangis. Sedewasa apapun seseorang, bila sudah berhadapan dengan Orang Tua...pastilah akan sedih akhirnya. Aku beruntung Orang Tuaku tidak sekeras Orang Tua Ferdi.

Aku menghela nafas pelan, "Terus sekarang gimana keadaan kamu?"
"Aku takut, Ren. Aku gak mau menikah sama siapa-siapa..." suara Ferdi semakin parau.
"Kamu dimana sekarang?"
"Aku ada didalam kamar. Ngunciin diri disini... Aku muak sama Papa dan Mama. Aku gak suka cara mereka-"
"Ferdi! Jangan bilang gitu! Gimana pun yang namanya Orang Tua tuh ya tetep Orang Tua, kamu gak boleh ngumpat begitu..." tegasku menasehatinya.
"Bisakah kamu berpihak sama aku, Ren?"
"Hah?"
"Jangan jadi kaya Mama, Papa dan Revan. Aku berharap ada yang bisa ngerti keadaanku sekarang... Aku udah capek. Serba salah rasanya..."
"Fer...? Kamu jangan ngelantur deh. Mending sekarang-"
"Aku gak tau harus ngapain lagi... Ak...ras..."
"Ha-halo?"

Tutt! Tutt!

Panggilannya terputus. Secepat mungkin, aku berusaha menelepon balik nomor Ferdi. Tapi...

'Maaf. Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.'

Ck. Sial.

Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Seandainya Ferdi bukanlah siapa-siapa bagiku, aku tidak akan merasa serunyam ini. Mana aku juga bingung... Tapi dia membawa-bawa 'Dia' yang tidak aku ketahui siapa, dan juga Revan yang entah apa maksudnya.

Jangan sampai Ferdi bertindak terlalu jauh... Setahuku dia tak pernah coba pergi keluar rumah apalagi clubing hingga tengah malam, tapi tadi...? Masalahnya semakin kelut.

. . .

"Tumben kamu telat bangun, Ren. Begadang...?" tanya Mama sesaat setelah aku terduduk dimeja makan, menemaninya yang hanya duduk sendirian. Papa pasti sudah berangkat ngantor.
"Nggak, Ma. Jam 2 tadi aku kebang-eh, di bangunin getaran hape. Ferdi nelpon..." jawabku sembari mulai membalikan piring. Mama pun sigap, langsung menyadukan nasi, lalu lauknya ke piringku.

"Malam banget nelponnya... Apa dia ada masalah?"
"Gitu deh, Ma..."
"Lho? Apa memangnya?"
"Intinya, Tante Wijaya merepet terus sama Ferdi, supaya dia mau cepet nikah. Nah, Tante Wijaya ngomongin hal itu tiap hari sampe si Ferdi bosen dan pulang malem. Mereka berantem, terus Ferdi kena Bogem si Om..." perjelasku yang membuat Mama terkesiap.
"Kok sampe segitunya?" nada Mama mulai melemah.
"Gak tau deh, Ma. Rendi juga bingung banget... Kasian Ferdi." mendadak, nafsu makanku pun tidak bersisa lagi. Dan bisa aku rasakan, belaian tangan Mama pada helai rambutku.
"Kamu coba cari tau, temeni dia terus yaa... Mama yakin, kamu adalah salah satu orang yang sedang Ferdi butuhkan disaat begini..." aku memberikan Mama anggukan pelan.

Aku pasti akan membantunya, semampuku....

***
Berulang kali...

Berulang kali aku coba menghubungi nomor ponsel Ferdi, tapi yang aku tuju tak kunjung aktif. Menengok kekediamannya, tetapi gerbang rumahnya terkunci rapat. Aku tanyai para tetangga, semua orang memberi gelengan.

Arrggh! Kenapa masalahnya jadi makin rumit dan membingungkan?

"Ferdi... Kamu kemana sih?" gumamku sembari menggaruk kepalaku kuat-kuat saking stresnya. Kemudian ponsel dalam genggamanku berdering, tanpa melihat layar terlebih dulu, segera saja aku angkat panggilan yang masuk itu.

"Halo? Apa ini Ferdi?" tanyaku keburu menyahut.
"E-eh, bukan... Ini Revan, Kak..." seketika, harapanku pun pupus begitu mendengar jawabannya.
"Oh, Revan... Ada apa? Kok kamu tau nomorku?"
"Aku mau kita ketemuan. Bisa...?"

. . .

Revan kelihatan berantakan. Matanya yang awal-awal dulu tampak berbinar bening, kini di sertai lingkar hitam disekitarnya. Matanya pun merah, dengan bibir dan hidung yang terlihat merah juga pucat.

Apa yang terjadi...? Aku tak sanggup bertanya.

"Emm, ka-kamu sakit, Van?" tanyaku, coba memecah keheningan semenjak aku mendudukan diri disampingnya. Kami saat ini berada di Restoran tempat kami pertama bertemu dulu.
Revan menggeleng, tapi raut wajahnya tak bisa membohongiku.
"Kamu kenapa? Apa ini ada... Hubungannya sama Ferdi?" meski konyol, tapi tak tau mengapa, aku justru melontarkan pertanyaan itu. Revan sedikit tercengang, menatapku tak percaya tanpa mengerjap.
"A-apakah Kak Rendi...udah tau?" tanyanya terdengar gelagapan.
"Emm, tau apa?" aku balik bertanya. Dan tatapan kagetnya tak bersisa lagi, kembali Revan memberiku gelengan.
"Apa Kak Ferdi gak ada ngasih kabar ke Kakak...?" tanyanya seperti suara igauan. Aku menghela nafas. Berarti, tak cuma aku yang kebingungan karenanya sepertinya.
"Nggak ada, Van. Aku juga gak tau gimana keadaan dia sekarang. Padahal ini udah 3 hari sejak terakhir kali dia nelpon aku..." tuturku menjawab pertanyaannya. Dan selama 3 hari itu pula, hatiku dirundungi perasaan tak enak dan bimbang.

"Aku takut..." itu suara Revan. Dan, Ya Tuhan... Dia menangis. "3 hari ini aku ketakutan. Aku takut Kak Ferdi kenapa-napa. Aku... Aku..."

Aku sudah tak mendengarnya lagi. Aku tidak tau harus merespon apa dan bagaimana untuknya. Selanjutnya, yang aku rasakan hanya rasa khawatirku untuk Ferdi, makin rumit dan tak menentu.

Tuhan... Tolong lindungi Sahabatku.

"Ayo... Kita ke rumah Ferdi sekarang!" gagasku yang ditanggapi oleh kerjapan bingung dari Revan. Tapi akhirnya, dia mengangguk patuh.

. . .

Aku menghela nafas cukup lega begitu mendapati gerbang kediaman Om Wijaya terbuka lebar. Bahkan aku bisa melihat, mobil Avanza hitam miliknya terparkir...dengan Tante dan Om yang kelihatan tengah menurunkan barang-barang. Aku menatap Revan, setelahnya memberi anggukan yang menandakan bila kami harus turun sekarang.

"Lho? Rendi? Revan?!" seru Tante, terdengar jelas nada bingung dari suaranya. Dan rupanya, dia juga sudah tak asing dengan rupa Revan.
"Met sore, Tante..." sapa aku dan Revan hampir bersamaan.
"Kak Ferdi ada...?" tanya Revan langsung tanpa basa-basi.
"Eh? Memangnya dia nggak sama kalian?" tanya Tante Wijaya balik yang aku berikan gelengan mantap.
"Udah 3 hari dia gak ada kabar, Tante. Apa Ferdi baik-baik aja?" jawabku yang semata-mata membuat Tante menatap penuh heran pada Om.
"Tapi selama 3 hari ini, Om dan Tante pun gak ada di rumah... Ini kami baru pulang dari luar kota..." perjelas Tante lirih. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Ferdi gak ikut sama kami, dan ketika pulang keadaan rumah pun masih sama. Gak ada perubahan... Mungkin aja dia pun pergi keluar rumah." tuturnya menambahkan.
"Tapi nomor ponselnya gak aktif, Tante..." ujarku.
"Maka dari itu kami pulang cepat, Ren. Telpon rumah pun gak ada yang ngangkat. Kami khawatirnya dia ngeluyur gak jelas kaya beberapa hari kemarin... Anak itu keterlaluan. Untunglah kepergian kami sudah membuahkan hasil..." kata Om menimpali. Aku dan Revan mengernyit bersamaan.
"Hasil apa Om?"
"Kami sudah menemukan calon tepat untuk Ferdi jadikan istri..." itu suara Tante yang tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.

Ah, jadi begitu... Tapi, apakah Ferdi siap mendengar kabar ini? Juga, Om dan Tante sepertinya menutup rapat sekali tentang pertengkaran mereka yang lalu dengan Ferdi. Apa ini tandanya, masalah ini amat serius?

"Revan, Rendi... Ayo masuk dulu." ajak Tante sesaat setelah pintu berhasil terbuka. Aku mengangguk pelan, mulai melangkahkan kakiku menaiki undakan kecil menuju teras luas rumah Ferdi. Tapi sebelum masuk ke dalam, aku menoleh terlebih dahulu ke arah Revan...yang saat ini terlihat diam tercenung. Matanya memerah dan kelihatan shock. Ada apa lagi dengannya?

"Rendi! Papa!" itu teriakan Tante dari dalam rumah. Suaranya terdengar panik dan memekik. Cepat-cepat, aku pun melarikan diri ke dalam. Mendapati Tante yang berdiri diujung tangga, dengan mimik wajah cemas.

"Ada apa, Ma?" tanya Om Wijaya yang sudah menyusulku masuk.
"Kamar Ferdi kekunci, Pa. Kemungkinan selama 3 hari ini dia tetap di rumah..." lalu Tante menunjukan sepasang sepatu Reebok abu-abu kesayangan Ferdi. "Liat, sepatu ini pun masih ada di depan pintu kamarnya. Mama yakin, Ferdi gak kemana-mana selama 3 hari ini..." imbuh Tante penuh keyakinan. Dan tanpa meminta izin dulu pada mereka, aku segera menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju kamar Ferdi yang berada dilantai atas.

Selama kakiku menginjak tangga lantai ini, makin dekat tujuanku, perasaan khawatirku pun semakin memuncak. Apa yang terjadi pada Ferdi selama 3 hari ini? Kenapa dia tak pergi kemana-mana? Dan ada apa dengannya sebenarnya?

"Ferdi...?!" aku berseru sambil mulai mengetuk pintu. "Kamu di dalem kan? Ini Rendi. Tolong bukain pintu!" aku menaik-turunkan gagang pintu, tapi pintu memang dikunci. Aku pun mengetuknya sekali lagi, kali ini lebih keras dan terburu.
"Ferdi?! Tolong buka pintunya, Fer. Jangan ngurung diri terus di dalam..." tetap tak ada jawaban. Aku mengusap wajahku sendiri...kalut. Melirik satu Pot bunga mainan yang berada tak jauh dari daun pintu kamar Ferdi. Aku menelan ludahku sebelum memantapkan diri untuk mengambilnya.

Ferdi begitu mempercayai aku. Bahkan setahuku yang memang sudah beberapa kali memanfaatkan ini... Ya, benar. Ada kunci kamar cadangannya dibawah busa bunga-bunga ini. Tanpa mau membuang waktu lebih lama, segera saja aku masukan kunci itu ke dalam lubangnya. Aku tidak peduli bagaimana reaksi Ferdi nanti... Yang aku inginkan saat ini, hanyalah tau keadaannya.

"Ferdi... Kamu ken.... Hah!" aku terkesiap hebat ditempatku. Tanganku yang masih menyentuh gagang pintu menegang seketika. Panas ditubuhku seakan naik begitu saja, tetapi jiwaku justru terasa menggigil. Aku tak bisa mengingat apapun saat ini...kali ini... Tapi Ferdi... Dia...

"Ferdi..." lirihku hampir tak bersuara. Sedangkan orang yang kini aku tatap, tubuhnya telah terbaring kaku diatas lantai kamarnya. Kulit muka hingga tubuhnya sudah membiru, dengan mata yang terkatup rapat dan penuh lebam luka dibeberapa bagian tubuhnya.

Aku berjalan tanpa merasakan pijak langkahku menghampirinya. Dan begitu aroma menyengat tak sedap tercium dari tubuhnya, barulah aku sadar... Ferdi sudah tak bernyawa lagi. Tubuhku bergetar seketika, dan tak tau sedari kapan...saat ini pipiku telah basah.

"Astaga!! Fe-Ferdi...? Papa! Ferdi Pa!! Ferdi!!" itu suara Tante yang menjerit histeris. Bahkan keberadaannya tak aku sadari sama sekali.

"Pa! Papa! Tolong! Rendi, Tolong!" selanjutnya, aku kembali tersadar dari atmosfir penuh keterkejutan ini. Aku lihat ke belakang, disana Tante Wijaya terlihat tengah kewalahan menangani tubuh Om yang terlihat mengejang dengan satu tangan yang ia letakan didepan dadanya.

Ya Tuhan...

Baru saja aku menumpukan lututku disamping tubuh Om Wijaya. Laju cepat seseorang beserta suara isakannya mengejutkanku lagi... Itu Revan.

"Kak Ferdi! Bangun, Kak! Kak Ferdi! Bangun!"

Dan saat itulah segala suasana yang aku tengah jalani berputar cepat, dengan aku yang hanya melambat di pertengahannya. Semua tragedi ini... Amat sangat terpatri jelas dalam memoriku...

Ferdi bunuh diri. Dan aku merupakan orang pertama yang melihat juga menemukan jasadnya. Mengingat bagaimana histeris dan juga paniknya Tante, mendapati Putra tunggalnya terbujur kaku tak bernyawa yang justru membuat Suaminya terkena serangan jantung. Lalu tak bisa aku hilangkan, betapa sedih dan juga terpukulnya Revan yang tak hentinya menangis sambil mengguncang tubuh Ferdi. Jeritannya hingga tangis pilunya...

Itu semua... Tak terlupakan sama sekali.


Lalu hari ini...

Hari dimana, sudah genap 2 tahun sejak kejadian itu berlalu... Aku masihlah Rendi. Seorang pemuda biasa yang menjalani hari-harinya dengan rutinitas biasa pula. Namun, dia tak lagi memiliki sahabat. Karena semenjak sahabatku Ferdi tak ada, lintas kehidupanku pun banyak berubah. Tentunya dengan beberapa dorongan keadaan yang amat mendesak aku...yang saat itu masih bersama mereka dalam tempat kejadian perkara.

Om Wijaya sampai hari ini masih tak dapat beralih dari atas kursi rodanya, dan disampingnya... Tante juga hampir tak dapat bisa menahan perih dimatanya. Putra mereka telah tiada, dan kini... Sang Suami justru struk. Yang menyebabkannya tak berdaya, saking shocknya akan apa yang dulu disaksikannya. Aku yakin, lebih dari itu... Pasti Om Wijaya merasa amat bersalah. Sebab perihal ini, pastilah ada hubungannya dengan pertengkarannya dan Ferdi sebelum dia memutuskan pergi, meninggalkan Ferdi yang akhirnya meregang nyawanya dengan menenggak racun...beberapa jam setelah itu.

Hasil otopsi mengatakan, jikalau nyawa Ferdi telah hilang 2 hari jauh sebelum aku datang. Dan kasus ini, memanglah Bunuh diri. Ini tak pernah terpikirkan olehku sama sekali, bahwasannya... Ferdi memang telah teramat depresi dan juga sakit.

Masih sering aku berpikir, Tidakkah Ferdi kasihan terhadap kami?
Padaku... Sahabatnya yang selama belasan tahun ini sudah menjalani banyak harinya bersama. Sedih, senang, runyam, damai yang kadang diwarnai selisih banding. Pada Om dan Tante yang adalah orang tuanya, mereka yang sejak Ia masih bayi telah berusaha mendidik dan menyayanginya setulus hati walau pada akhirnya pertengkaran terjadi, dan membuat Ia menamatkan riwayatnya. Lalu, Revan...

Aku masih mengenalnya. Bahkan setiap hari, aku selalu ada disisinya. Saat ini pun, dia ada disampingku... Duduk diam bersila diatas ranjang sambil mengusap dan mengajak satu bingkai fotonya berbicara. Jika boleh aku berkata, kondisinya lah yang paling memprihatinkan...terlepas dari Om Wijaya yang terdiagnosa Struk, dan Tante Wijaya yang mengalami shock berat. Lebih dari itu, Revan pun mengalami guncangan hebat. Guncangan yang tercipta dari penyaksiannya langsung pada kekasihnya...

2 hari setelah kasus bunuh diri Ferdi, aku dimintai tolong oleh Tante untuk membawa barang-barang Ferdi yang aku suka. Bukan tanpa alasan dia mengatakan itu, Tante lebih dari tau apa-apa saja yang sering aku gunakan sebagai respon buat Ferdi kala ia memamerkan apa saja yang menjadi miliknya. Tapi ketika aku sudah mulai menginjakan kakiku kedalam kamarnya, aku tak mengambil apapun darisana melainkan sibuk mencari ponselnya yang aku temukan dibawah ranjang...tak jauh dari tempat dimana jasadnya terbaring tempo hari.

Ponsel Ferdi tak mati sama sekali, hanya modenya saja yang dijadikan offline. Tanpa mau repot-repot, segera saja aku menekan kuat-kuat tombol pagar yang menjadikan mode offline berubah menjadi general.

Berselang beberapa detik setelahnya, ponsel dalam genggamanku dibanjiri puluhan pesan masuk...yang membuat aku kewalahan untuk memeriksanya.

Namun, ada satu nama dan satu pesannya yang membuat aku mengetahui segala kejanggalan yang aku rasa...

From: Revan.
Aku cinta sama Kak Ferdi. Aku sayang kakak... Tapi aku ikhlas kalaupun kakak bisa bahagia sama pilihan Orang tua kakak. Asalkan itu yang terbaik...


Disanalah awal aku mengetahui hubungan Mereka. Dan dapat aku simpulkan, kekhawatiran Revan dan rasa takut Ferdi saat itu dikarenakan mereka yang memang saling mencintai... Cinta yang juga saling meruntuhkan jiwa mereka.

Ini tentang Dia... Revan yang tetap mencintai Ferdi meskipun yang dicintainya telah lama pergi. Menjerit, mengkhayal dan meyakini kemustahilan tentang Ferdi yang masih hidup bersamanya. Berulang kali bahkan ia di pergoki hampir meregang nyawa, tetapi terselamatkan sampai ia berakhir ditempat ini...

Tak ada sanak saudara, kerabat dan keluarganya yang mau menampungnya. Mengakui pun seakan tak sudi, kecuali aku...

'Temen Kak Ferdi, berarti temenku juga...'

Masih dapat aku ingat kalimat itu. Ya, Revan temanku...maka dari itu aku harus tetap membantunya semampuku. Semenjak Ferdi tak ada, keadaannya tak kunjung membaik. Dimasa sekarang pun, tak ada kemajuan berarti yang ia tunjukan.

Aku hanya bisa diam memperhatikannya sedekat ini... Tak pernah berani menyela apalagi menimpali tiap ucapan katanya. Revan... Sudah kehilangan jati dirinya...

Tok tok tok

"Maaf, pak. Jam besuk hari ini sudah berakhir. Anda bisa datang lagi besok..."

Aku benci bila salah satu perawat telah menyampaikan pesan itu padaku. Ck, aku masih ingin menemaninya...

Dengan berberat hati, aku bangun dari dudukku dikursi kayu ini. Menatap Revan sendu, lalu menghela nafas lesu.

"Revan...?" panggilku. Dan ia pun mendongak. Mengerjap bingung padaku lalu tersenyum.
"Kak Rendi pulang dulu yaa... Kakak besok pasti datang lagi kesini bu-"
"Bawa Ferdi ya kemari...?" potongnya penuh harap. Dan aku tak bisa membantah permintaannya.

Tak pernah sekalipun aku tak meng'Iya'kannya. Tetapi Ferdi yang kubawa, hanyalah seperkian banyak bingkai berparaskan sosok wajahnya... Sahabatku yang dicintainya. Kenyataan bila ia telah tiada, tak pernah Revan indahkan hingga kini...

Aku berjalan pelan menyusuri koridor tempat ini. Tempat penuh kehisterisan dari mereka yang juga tak jauh beda dari Revan. Tempat berakhirnya, yang dengan teganya keluarga Revan jadikan jalan keluar atas ketak-sadaran diri putranya.

Aku sudah berada dimobilku sekarang. Menatap bangunan Rumah sakit Jiwa ini dari bawah sini. Berharap, sesegera mungkin aku tak akan pernah lagi mengisi buku tamu cuma tuk menemuinya... Orang yang sama yang tak kunjung sembuh disini. Namun, apa daya... Segala upaya, tak ada yang dapat membantu. Tak ada yang mendukung apalagi menyetujuiku.

Yang aku mau hanya satu, segala apa yang telah aku usahakan berakhir indah pada waktunya. Dan semoga, segala keputusanku tak sia-sia.

"Sampe besok, Van."

Mesin mobil mulai aku jalankan, kemudian aku pun melaju meninggalkan tempat ini. Tempat yang setiap harinya, walau hanya beberapa detik harus selalu bisa aku sempat datangi dan kunjungi. Buat menemani sepinya yang telah kehilangan lelakinya...

Sahabatku.

=THE END=

Comments

Sign In or Register to comment.