Kembali Ke Jogja (Lagi) 20 Oktober 2012
Panda POV
Barang-barang sudah aku kemasi, sudah saatnya aku pergi meninggalkan kota kelahiranku, Blitar. Sebenarnya cukup berat untuk pergi meninggalkan kota ini. Baru saja aku berbahagia melihat kakak pertamaku wisuda. Kerja keras yang ia lakukan selama ini tidak sia-sia. Selain itu momen kali ini juga tidak akan pernah aku lupakan karena jarang sekali keluarga kami bisa
berkumpul bersama-sama.
Kuambil foto berbingkai hitam dari meja kecil di samping tempat tidurku, kumasukkan dalam tas. Tergambar aku, pandakku, kakakku dan pacarnya. Kubawa sebagai pelepas rinduku di Bandung sana. Jika kuliah dan kegiatan cukup padat, aku kira aku hanya akan pulang ketika
kakakku menikah nanti, kira-kira di penghujung akhir tahun ini.
“Panda, mau berangkat nggak?”Ibuku memanggil dari ruang tamu.
“Iya nyah, baru packing.” Jawabku.
Sudah saatnya aku pergi, aku melihat jam tanganku. Aku segera masuk mobil, bapakku sudah bersiap mengemudikan mobil kijang tuanya. Kami segera pergi ke agen bis di Jalan Kenari, tempat biasa aku membeli tiket bis. Dari jendela mobil kulihat hamparan sawah-sawah menguning, gunung-gunung berdiri kokoh dari jauh sana. Aku menghela napasku dalam-dalam. Mengingat gunung, aku tiba-tiba terbayang dengan seseorang yang pernah sangat dekat denganku dulu, Beaver. Mengingatnya menimbulkan kontradiksi rasa, benci dan rindu. Entahlah, kenapa bisa begitu. Tetapi sedingin rasa benciku, aku tidak bisa menampik kerinduanku kepadanya. Aku menekuk lututku dan menyandarkan kakiku di dashboard mobil. Kucolokkan flashdisk di mp3 mobil, kuputar lagu-lagu hits popular yang saat ini digandrungi anak muda. Bapakku nampak diam mendengar lagu yang aku putar. Aku tak tahu apakah dia menikmati lagu yang aku putar, aku tak peduli.
Semilir angin masuk melalui jendela mobil, rasanya segar sekali berbeda dengan udara Bandung
yang sudah penuh dengan polusi kendaraan. Aku menghela nafas panjang-panjang. Tidak bisa kutampik keingananku untuk pergi ke Jogja, hanya mampir saja. Tetapi bagaimana caranya? Dua hari lagi aku harus berangkat kuliah, jatah ijinku sudah aku habiskan minggu ini di Blitar. Lagipula aku tidak yakin orang tuaku akan mengijinkanku untuk pergi ke Jogja. Sudahlah. Lagu Katon Bagaskara yang terputar, Yogyakarta, membuatku semakin resah saja. Aku tak punya rencana kali ini, hanya keajaiban yang bisa membuatku pergi ke Jogja. Dari jendela mobil aku melihat beberapa bis berjejer rapi, aku telah sampai di agen bis. Kubuka pintu mobil, kujejakkan kakiku ketanah yang terasa basah karena hujan tadi malam. Bapak-ibuku menyusulku pergi menuju konter agen penjual bis.
Tidak seperti naik pesawat, penjaga agen bis tidak seramah mereka. Mungkin karena terlalu banyak bergaul dengan supir dan kondektur bis. Logat tegas dan singkatnya benar-benar mirip, sangat efisien sebenarnya. Agen bis menunjukkan kuota bis yang terpampang di bawah kaca mejanya. Kuota bis ke Bandung hampir habis terjual, bersisa kursi di dekat pintu masuk depan saja. Tempat duduk yang sangat tidak menyenangkan, karena orang akan lalu-lalang masuk keluar dari pintu itu.
“Walah le penuh banget bisnya, tumben.”
“Iya e nyah, cuma dapet di deket pintu.” Tiba-tiba terbesit sebuah alasan untuk pergi ke Jogja.
“Ya gimana lagi le, sedapatnya aja ya.” Ibu mengeluarkan dompet untuk membeli tiket.
“Bentar nyah, aku mau cek bis ke Jogja.”
“Lho kok ke Jogja, kamu mau kuliah di mana to?”
“Aku nggak kuat kalo duduk di deket pintu. Nant i naik bis ke Jogja, transit aja terus ke Bandung.” Aku memberi alasan sejadinya.
“Kok kamu ini aneh-aneh aja to le?” Ibu mengerutkan wajahnya.
“Plis nyah, plis. Ya..?” Aku memegang tangan ibuku sambil tersenyum lebar kepadanya.
“Ya terserah kamu aja, tapi langsung ke Bandung. Jangan main-main, kamu udah sering bolos kuliah. Percuma bayar mahal-mahal kalo kamu nggak rajin kuliahnya.”
“Iya.” Jawabku mantab.
Ibu segera membelikanku tiket ke Jogja. Aku memeluk bapak dan ibuku sebelum aku pergi.
Akhirnya harus pergi juga, aku akan sangat merindukan mereka. Sekarang aku duduk di kursi bis menuju Jogja, tidak ada rencana sama sekali. Ternyata jika kita ingin sesuatu, selalu ada jalan untuk meraihnya. Kali ini keajaiban yang datang membukakan jalan.
Aku merogoh handphone-ku di saku celana, aku membuka daftar kontak mencari sebuah nama
“Beaver”. Pikiranku berhenti sejenak. Aku berpikir apakah aku harus memberi tahu kedatanganku atau tidak. Aku tidak yakin apakah aku siap menemui dia. Bertemu dengannya mungkin bisa menjadi hal yang menyenangkan, tetapi juga bisa sebaliknya. Masih ada noktah benci dihatiku. Aku tak bisa memungkirinya.
Aku melihat keluar jendela, bis sudah memasuki jalanan hutan di Daerah Ngawi. Perjalanan ke
Jogja masih panjang. Lama aku berpikir tentang apa yang akan aku lakukan di Jogja. Jika aku ingin keliling Jogja, aku harus menghubungi teman-temanku di sana. Tetapi mengingat ini masih masa liburan kuliah, aku tidak yakin teman-temanku berada di Jogja. Aku tidak memiliki banyak
waktu, aku harus memberitahu kedatanganku ke Jogja malam ini kepada Beaver. Kutulis pesan
sederhana untuknya, semoga ia bisa menemuiku malam ini. Setidaknya aku memiliki kejelasan
di Jogja, setidaknya.
***
Matahari baru saja terbenam, aku melihat orang sekitarku terlelap tenang. Perjalanan Blitar-Jogja
memang cukup jauh, tetapi rasanya berlalu sangat cepat. Aku membuka handphone-ku, nama
Beaver terlihat di bawah ikon sms. Seperti biasa dia bertanya ini-itu. Aku sangat malas menjawab semua pertanyaannya jadi kubalas singkat saja. Aku mematikan handphoneku karena baterainya hampir habis. Aku berjanji akan menghubungi setibanya aku di Jogja. Jalanan malam cukup ramai, baru sadar kalau malam ini adalah malam minggu. Aku harus sedikit bersabar dengan ramainya kendaraan yang memenuhi jalanan kota. Lalu-lalang kendaraan, lampu kota, cukup menyenangkan, sisi-sisi manusiawi kota yang bisu. Tugu oval yang atasnya berdiri patung garuda gagah kulihat dari jendela kaca. Tak terasa aku telah melewati Bandara Adi Sutjipto. Aku segera mengirim pesan ke Beaver, mengabarkan kedatanganku.
Bis berhenti tepat di bawah jembatan Layang Janti. Hujan turun rintik, banyak sekali orang yang
sudah berada di sana, aku kira mereka adalah penjemput. Aku turun dari bis membawa dua tasku, tas ransel dan tas selempang, cukup repot sebenarnya. Tetapi aku tidak punya pilihan, banyak barang-barang yang harus aku bawa ke Bandung, termasuk oleh-oleh untuk teman temanku disana.
Aku duduk di depan Circle K. Orang-orang duduk ramai-ramai di sekelilingku beralasakan ubin.
Kutengok kanan-kiri melihat sekitar, namun Beaver belum juga terlihat. Mungkin dia datang terlambat karena jalanan cukup padat malam ini. Aku mengambil headset dari tasku dan mencolokkannya ke handhphone-ku. Kuputar lagu-lagu kesukaanku sebagai pengusir sepi. Baru beberapa lagu terputar, telepon masuk berdering.
Telepon dari Beaver.
“Halo..” Kujawab datar.
“Aku disebelah selatan.” Aku melihat nya melambaikan tangan.
“Oke.”
Akhirnya aku melihatnya kembali setelah sekian lama. Aku berjalan menghampirinya. Dari kejauhan dia tidak jauh berbeda. Memakai jaket warna hitam dengan setelan celana jeans warna
hitam, sangat klise baginya. Tetapi dia agak gemuk saat ini, pipinya terlihat lebih bulat. Dia menyapa dan menyalamiku, tetapi aku menolak ketika dia ingin memelukku. Aku melihat raut muka kecewa yang sempat terbesit darinya. Dia memulai perbincangan seperti biasa, untunglah karena aku tidak harus memikirkan bahan pembicaraan. Aku jawab seadanya, bukan berarti tidak tahu atau enggan membalas. Tetapi aku kini ditengah konflik batin. Rasa aneh yang membuncah, tidak tahu antara senang atau segan.
Pertemuan (Kembali) 20 Oktober 2012
Beaver POV
Hari Sabtu kira-kira pukul dua siang aku sampai di rumah. Aku lempar tas selempangku ke sofa
di ruang tamu lalu pergi naik ke kamarku. Aku menjatuhkan tubuhku keatas kasur dan menutup
mataku rapat-rapat. Pikiranku kalut,bayang-bayang masa lalu tiba-tiba saja mencuat. Aku mencoba meraih handphone yang ada di saku celanaku. Aku membuka inbox, terlihat jelas pesan teratas yang aku terima siang ini, pesan singkat dari Panda. Bagaikan seperti mimpi, aku sempat tidak percaya. Aku membaca kembali pesan singkat yang ia kirimkan siang ini.
“Nnt i mlm sibuk ga?”
Pesan singkat yang memiliki banyak arti bagiku. Ada keraguan bercampur dengan ketakutan ketika aku ingin membalas pesan itu. Aku menampar diriku sendiri, mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri bahwa itu hanyalah pertanyaan sederhana saja. Kenapa aku sampai
berpikir serumit itu? Biarlah yang lalu berlalu dimasa lalu. Tak perlu diseret-seret ke masa kini.
Tak lama setelah aku membalas pesan singkatnya. Panda mengatakan bahwa ia akan datang ke
Jogja malam ini dari kota kelahirannya, Blitar. Kali ini, aku tak bisa menampik kerisauanku. Tanda tanya besar akan kedatangannya ke kota yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Pukul sembilan malam hujan gerimis rintik, aku bersiap untuk menjemput Panda di bawah Jembatan Janti. Aku ambil jaket parasitku yang tergantung di belakang pintu, dari dalam rumah aku bisa membayangkan dinginnya udara malam ini. Aku membuka pintu garasi dan mengeluarkan motorku. Tanpa pikir panjang aku melaju ke Janti. Aku tiba di depan Circle K Janti yang dipenuhi dengan orang-orang yang menunggu kedatangan bis. Dari kerumunan aku melihat Panda dengan jaket merah dan setelan celana jeans, ia tidak melihat kedatanganku. Aku melihat kanan-kiri bermaksud untuk memarkir motorku, tetapi sudah tidak ada tempat lagi. Aku mengambil handphone-ku dan menelpon Panda. Dia melihat ke arahku, tatapan datar. Apa guna senyumku kalau dia membalas dengan datar begitu sesalku dalam hati. Dia berjalan kearahku dengan dua tas yang dibawanya, ia terlihat sangat ribet dengan barang bawaannya.
“Apa kabar bung?”
“Baik, ayo pergi!”
“Pergi kemana?”
“Anterin aku beli tiket bis ke Bandung.”
“Mau beli di mana, ini udah malam lho.”
“Giwangan lah.”
“Udah tutuplah jam segini. Emang Circle-K yang buka 24 jam. Bis malam kearah barat itu
biasanya udah habis jam 9-an, coba lihat jam mu sekarang.” Aku mencoba untuk
meyakinkannya. Dia hanya diam saja menatap kosong.
“Terus mau kemana sekarang?” Tanyaku.
“Aku lapar belum makan, kita makan dulu aja ya.” Jawabnya ketus.
Dia segera merebut kendalimotorku. Kami melaju ke arah timur, setahuku sedikit susah untuk mencari tampat makan, tetapi sudahlah dia memang punya kebiasaan seperti itu. Kami berputar-putar ke arah arah bandara, lalu ke utara menyusuri selokan. Berkali-kali aku menanyakan apa yang diinginkannya, ia hanya menjawa ingin jalan-jalan saja. Dia tidak banyak berubah. Aku kira kedatangannya di Jogja adalah rencana dadakannya. Aku menepuk perutnya, menegur kenikmatannya bernostalgia dengan suasana malam Jogja. Aku menyarankan untuk pergi ke KFC Sudirman. Dia mengiyakan tanpa banyak argumentasi. Tidak seperti biasanya dia menurut, aku kira dia memang sudah tidak punya ide di mana dia akan mengisi perutnya.
Suasana KFC Sudirman cukup lengang, kami duduk di pojok timur luar restoran. Segera Panda
membuka bungkus nasi dan melahapnya cepat-cepat. Aku memperhatikan dirinya dengan seksama, dia lebih dandy. Kulit wajahnya bersih kuning langsat, kacamata yang ia kenak membuatnya lebih intelek. Senang sekali bisa duduk bersamanya malam ini. Aku tersenyum tersenyum sendiri membayangkan masa satu tahun yang lalu.
“Apa yang kau lihat?” Bentaknya.
“Nggak lihat apa-apa.”
“Kamu nggak makan?”
“Enggak aku minum aja, tadi udah makan dirumah.” Aku mengambil brandy dari tasku, lalu
mencampurkannya dengan jus jeruk yang aku beli.
“Kamu masih minum to?”
“Ya, kalo malam-malam aja. Biar hangat badannya. Kamu mau?” Aku mengulurkan botol
brandy kepadanya.
“Aku udah nggak lagi, nggak bisa lebih tepatnya.”
“Kenapa?”
“Kamu ini kaya nggak tahu aku aja. Masalah kesehatanl ah.” Dia melepas pandangannya jauh ke
jalanan, tak menatapku. Aku tak tahu bagaimana meresponnya.
“Terus rencanamu malam ini gimana?”
“Tinggal aja di sini nggak apa-apa.”
“Lha nanti mau tidur di mana? Mau pulang ke Bandung kapan?”
“Udah nggak usah dipikir, kamu pulang aja.”
“Mau istirahat di rumahku?”
“Terserah deh.” Jawabnya datar.
“Ya udah setelah kamu makan kita pulang.” Aku kembali meneguk brandy-ku.
“Eh sekarang kamu punya banyak teman binan ya?”
“Ya lumayan, kita sering main kesini kalo malam. Tapi nggak tahu agak sepi malam ini.”
“Masih suka main dengan Dimas?”Aku semakin tahu kemana arah percakapannya.Ia mencoba
menelisik kehidupanku saat ini.
“Udah lama nggak ketemu, ada apa?”
“Nggak apa-apa, kamu semakin bebas saja sekarang.”
“Malah bagus kan kalo bebas?”
“Ya sudah!”
Ia memutus pembicaraan dengan dua kata singkat, terkesan pasrah atau apatis. Aku tidak tahu kemana ia berpihak. Raut mukanya datar-datar saja seperti biasa, aku sama sekali tak bisa menebak perasaannya. Kami segera meninggalkan KFC setelah ia selesai makan. Malam berlalu dengan cepat, lalu lalang kendaraan berangsur sepi. Lampu-lampu kota menyala redup mesra. Jika diingat, aku dan Panda sering berkendara menikmati malam Jogja ketika dia masih kuliah di UGM. Tak banyak berbincang hanya berkendara menikmati malam. Betapa bahagianya waktu itu. Aku kalungkan tanganku di perutnya, dia hanya terdiam. Aku tak berani lebih dari itu, mengingat aku bukan siapa-siapanya lagi. Aku memang bukan siapa-siapanya dari dulu, kami hanya dua orang yang saling bertautan hatinya.
Setibanya di rumah, kami langsung menuju kamarku. Aku mempersilahkan dirinya untuk beristirahat, menganggap rumahku layaknya rumahnya sendiri. Aku berbaring di sisi kasur, menghadap tembok bisu. Aku mencoba untuk memejamkan mata tetapi terbangun kembali. Aku melihat Panda terduduk diam di sisi kasur, tidak ingin berbaring.
“Kok nggak tidur?” Tanyaku setengah sadar.
“Keluar yuk, aku pengen jalan-jalan.”
“Ini udah malam, mau kemana lagi. Tadi aku tanya mau kemana bingung. Udah sampe rumah
mau keluar.”
“Ah..nggak tahu. Aku nggak bakal bisa tidur.”
“Sini, ngapain duduk disitu.” Aku mengajaknya berbaring di sisiku. Dia terdiam, lalu aku
menyeret tangannya.
“Tidurlah. Kau besok pulang ke Bandung kan?” Bujukku. Kami akhirnya terdiam membenamkan diri dalam malam. Menunggu esok yang segera menyingsing lalu kusambut mentari dengan hati terbuka layaknya aku menyambut kedatanganmu malam ini.
***
Suara Adzan berkumandang mendahului si ayam berkokok, aku terbangun dan membalikkan badanku menghadap Panda. Dia terlihat masih tertidur lelap. Aku duduk melongok ke raut mukanya. Wajah belahan jiwaku dulu, muka tulus dan jujur. Aku kembali merebahkan tubuhku
disampingnya. Aku mendekatkan tubuhku kepadanya dan mencoba memeluknya. Hangat dan
damai rasanya, rasa yang sama seperti dulu.
Panda mengenggam tanganku, sepertinya ia merasakan pelukanku. Aku semakin erat memeluknya.
“Aku bukan Gay lagi!” Panda mencoba melepaskan pelukanku darinya.
“Maksudnya?” Aku membalikkan tubuh Panda menghadapku.
“Kamu nggak denger? Aku bukan gay lagi.”
“Kenapa?”
“Aku sudah balikan sama Vita, itu kenapa aku kesini.”
“Kamu serius atau bercanda.” Tanyaku ragu. Aku menindih tubuhnya dengan tubuhku mencoba
melihat raut mukanya. Tetapi ia segera menutup kedua matanya dengan tangannya.
“Iya aku serius. Aku ingin memilih jalan hidup yang lebih baik. Seharusnya kamu pun seperti
itu.”
“Aku cukup bahagia menjadi seorang gay, kenapa aku harus berubah?”
“Kamu nggak ingat orang tua, Fani dan teman-temanmu. Coba pikirkan mereka sedikit saja, aku
tahu kamu punya pilihan untuk berubah. Memilih hidup yang lebih baik, lihat dirimu saat ini.
Perokok, peminum, bergaul dengan kawan-kawanmu yang hedon itu.”
“Panda, aku nggak mau menderita gara-gara aku ingin menjadi seperti orang lain. Aku cukup
bahagia. Memang aku perokok dan peminum, tapi itu bukan karena aku gay. Aku berteman
dengan mereka karena aku ingin berteman dengan mereka.”
“Terserahlah!”
Aku mendekatkan wajahku kepadanya, mendengar desah nafasnya. Aku menyingkirkan tangannya yang menutup matanya lalu mencium kening dan bibirnya. Kami saling memandang
entah berapa lama.
“Kamu masih sayang denganku?”
Aku menunggu jawaban darinya, tetapi dia hanya diam. Aku bergeser menyamping
menghadapnya. Aku sapukan tanganku di mukanya, meraba wajahnya yang bimbang. Kami tak
saling berbincang lagi, hanya pelukan erat. Pelukan yang sama, pelukan yang merindukan. Aku
berharap mentari tak muncul pagi ini.
Perpisahan 21 November 2012
Beaver POV
Mentari samar-samar bersinar di minggu pagi ini. Awan terlihat mendung tipis, udara pagi ini terasa cukup dingin. Aku baru saja selesai mandi, aku mengusap rambutku yang masih basah di
depan cermin. Memang benar kata Panda jika aku sedikit berubah, aku tambah gemuk saat ini,
gumamku dalam hati. Aku melongok ke kamarku, Panda terlihat sudah siap untuk pergi. Aku memberikan salam dan senyum pagi kepadanya, tetapi dia masih datar-datar saja. Tidak sedikit pun berubah sejak kemarin malam aku bertemu dengannya.
“Ayo berangkat.” Ajaknya.
“Semua sudah siap, cek barang-barangmu jangan sampe ada yang tertinggal.”
“Udah semua. Aku bukan anak kecil lagi.”
“Iya, masa udah segede itu masih aku anggap anak kecil sih.” Aku mengajak bercanda.
“Ayo berangkat, nanti aku terlambat..”
Aku segera mengambil jaketku yang tergantung di balik pintu lalu mengeluarkan motor dari garasi. Kami akan menuju stasiun tugu, mengejar Lodaya Pagi yang berangkat sekitar pukul 9 pagi. Akhirnya tibalah pada perpisahan, tiket ke Bandung sudah ditangannya. Ia segera masuk
kedalam peron kereta. Teralis besi menghalangiku untuk bersamanya di detik-detik keberangkatannya. Aku cukup sedih, namun tak bisa berucap satu kata pun untuk mengungkapkannya. Dari kerumunan aku melihatnya berbalik memandangku, aku tersenyum kecil kepadanya. Ia berjalan mendekati teralis yang menghalangi, aku pun maju menghampirinya. Ia menjulurkan tangannya mengenggam tanganku dengan erat.
“Baik-baiklah di Jogja, kamu punya pilihan hidup lebih baik jika kamu mau.”
Aku memandang matanya yang berkaca-kaca. Ingin kusampaikan kata-kata, tetapi aku tak kuasa
Menyampaikannya. Bunyi lonceng keberangkatan dipukul nyaring, Panda segera melepas tanganku. Ia berlalu menuju kereta dengan cepat. Aku kehilangan dirinya di dalam kerumunan. Sekali lagi kehilangan dirinya.
Isi Hati 21 Oktober 2012
Panda POV
Aku memasuki gerbong kereta yang dijejali oleh penumpang, agak susah mencari tempat dudukku yang terletak di tengah gerbong. Dua tas yang aku bawa cukup menyusahkan untuk berjalan diantara lalu-lalang orang-orang. Aku bersyukur bisa duduk di dekat jendela, setidaknya aku bisa menikmati pemandangan menuju Bandung.
Kereta bergerak perlahan diiringi dengan bunyi lonceng yang dipukul keras-keras. Akhirnya tiba
juga, pergi ke Bandung, menjalani rutinitas seperti biasanya. Hamparan padi, rumah-rumah pinggiran, berlalu saling bergantian. Hari itu cukup cerah, aku cukup terhibur dengan hal-hal yang aku lihat melalui jendela kereta. Aku mengambil headset yang ada di tas kecil lalu mencolokkannya di handphone. Kuputar lagu-lagu yang ada di sana secara acak. Aku kira aku bisa membunuh waktu delapan jam di kereta dengan cepat.
“Mau permen mas?” Seorang bapak paruh baya menjulurkan segenggam permen kepadaku.
“Terima kasih pak." Jawabku dengan senyum.
"Turun di mana mas?" Tanya bapak itu.
"Saya turun di Kiaracondong pak. Kalo bapak turun di mana?" Aku menyambung pembicaraan.
"Bapak turun di stasiun kota, nak. Bapak lihat kamu kelihatan muram, sedang mikir apa?" Bapak
itu menunjukkan simpatinya.
"Nggak ada apa-apa kok, pak."
"Nggak usah malu-malu sama bapak, lagi mikirin pacarnya ya? Dia kamu tinggal di mana?"
Seolah dia mampu membaca pikiranku, pertanyaan bapak itu cukup menyentakku.
"Hahaha....Bapak bisa saja. Lagi mikir tugas kuliah yang menumpuk dan biaya kuliah yang
menumpuk, pak. Lama-lama stress kalo begini terus."
"Gitu ya nak, bapak kira masalah lain." Dia tersenyum kecil.
"Apapun masalahnya nak, coba tidak hanya dipikir melalui emosi, tetapi juga sisi rasional. Kadang kita gelisah ketika takut atau berharap. Itu wajar, tetapi kita tidak boleh berlebihan, kita
harus memakai sisi rasional kita. Masalah apapun pasti ada solusinya, nak." Bapak itu menambahkan dengan yakin.
"Benar juga pak." Aku mengamini bapak itu, aku kira dia ada benarnya juga. Aku terlanjur membawa perasaanku sehingga tidak berani untuk jujur.
Aku kembali menatap jendela kereta, tak terasa kereta sudah mendekati Tasikmalaya. Sebentar lagi aku akan segera sampai di Bandung. Dulu aku tidak pernah berkeinginan apapun kepada Beaver. Aku tidak pernah menanam apa-apa, tetapi benih itu tersemai begitu saja. Layaknya alang-alang yang tumbuh di taman kehidupan. Aku sama sekali tak bisa menolak cinta yang tumbuh liar di hatiku. Entahlah.
Kehidupan 21 Oktober 2012
Beaver POV
Terik matahari menyengat hebat, aku tak kuasa menahan panasnya. Setiba di rumah aku segera
menuju dapur, mengambil gelas di rak lemari. Ku tengok jendela belakang rumah dengan segelas
air digenggamanku. Anjing-anjing dengan riangnya bermain, tak peduli cuaca panas. Anjing yang paling besar bernama Benjamin, dia adalah anjing kesukaan Panda. Jika dia di jogja, ia tak pernah lupa bermain dengannya. Melihat mereka bermain sungguh membahagiakan. Aku menaiki tangga kamar atas. Aku hidupkan kipas angin yang berdiri di sisi kamar tidur. Kubuka bajuku, tubuhku licin karena peluh yang keluar. Aku telentang sepanjang kasur, menikmati semilir angin. Kupejamkan mata, menghela napas perlahan. Sunyi sekali, kosong…
***
Aku melihat diriku di dalam ruang kosong tanpa batas, semua terlihat redup. Lama-lama ruang
itu seolah bergerak, dari kejauhan aku melihat sosok yang terlihat samar. Aku pergi menghampirinya, ia nampak tidak begitu asing bagiku. Ketika aku mendekatinya, ia berjalan pergi menjauh, seolah-olah berusaha untuk menghindariku. Ia membuka sebuah pintu di mana lorong-lorong panjang membentang. Aku terus mengikutinya, mencoba ingin tahu siapakah dia gerangan. Ia kadang menoleh kebelakang, memberi tanda bahwa aku harus mengikutinya. Aku berlari kecil berusaha mengejarnya. Ia kembali masuk ke pintu-pintu yang tak tahu kemana arahnya. Sepertinya aku berada di sebuah labirin. Aku mempercepat lariku hingga aku menemukannya berhenti disebuah lorong panjang di mana hanya ada satu pintu diujungnya.
“Hi...” Sapaku. Tetapi dia hanya terdiam saja menatap pintu diujung lorong. Dari tatapannya kulihat sebuah harap yang terselimut air mata yang tertahan.
“Apa yang kau cari di sini?” Aku bertanya sambil terengah-engah. Aku menatapnya kembali, dia
sepertinya tidak merespon pertanyaanku. Aku mendekatinya lebih dekat. Tiba-tiba dia menoleh
kearahku. Menatapku dengan samar.
“Kamu sudah siap?” Tanyanya.
“Siap untuk apa?” Tanyaku balik.
“Harapan, kenyataan dan kehidupan. Kau ada diantaranya.” Jawabnya singkat.
“Aku tak tahu maksudmu!” Aku mengekspresikan kebingunganku.
“Harapan, Kenyataan dan kehidupan.” Sekali lagi dia mengulang. Aku menggelengkan kepalaku,
tanda bahwa aku masih tidak mengerti.
“HARAPAN, KENYATAAN, KEHIDUPAN!” Dia menegaskan.
“What??” Aku mengernyitkan dahiku.
Dia memegang tangaku dengan erat dan secara ajaib aku sudah sampai diujung lorong di mana
pintu tepat di depanku.
“Kamu sudah siap?” Tanyanya kembali.
Aku mencoba untuk menyelami kata-katanya. Entah apa yang dimaksud tentang harapan, kenyataan dan kehidupan. Aku mencoba untuk merenung dalam, memahami arti dan kaitannya. Aku menatap pintu itu, berharap pintu itu memberikan clue atas teka-teki. Harapan adalah sesuatu yang ingin aku capai. Kenyataan adalah hal yang benar-benar terjadi disekelilingku. Kehidupan? Apa berpikir dalam. Apa bedanya dengan kenyataan?
“Aku berada diantaranya.” Bisikku, mencoba untuk memahami.
Aku menoleh kearahnya “Aku siap, aku ingin menjemput kehidupanku.”
Dia segera membuka pintu, cahaya silau menyengat dimataku. Perlahan ketika mataku mulai beradaptasi, aku melihat sebuah gambaran. Ruangan kecil dengan cahaya remang warna kuning, sebuah meja bulat dari kaca. Berdiri sebuah botol black label masih tersegel rapat. Kulihat seseorang yang tak asing bagiku datang membawa dua gelas. Dia meletakklan dua gelas itu diatas meja. Dia adalah Panda, tidak salah lagi.
“Es nya ada nggak?” Dia bertanya entah kepada siapa. Satu orang lagi muncul, dia adalah aku
yang membawa ember kecil tempat es.
“Mau berapa es nya?” Tanyanya.
“Kasih aja tiga.” Dia menjatuhkan bongkahan balok es kecil kedalam gelas. Panda membuka botol
dan segera menuangkan minuman kedalam gelas.
“Cukup?” tanyanya.
“Cheerrs!” Mereka mengangkat gelasnya masing-masing.
Air mataku hampir terjatuh melihat gambaran itu. Jika diingat, kejadian itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Itu adalah malam ketika hati terjatuh ikhlas, malam di mana harapan tersulut indah.
Laki-laki asing yang baru aku temui merangkul pundakku. Seolah dia ingin akrab denganku. Dalam hati aku bertanya, kenapa gambaran itu yang muncul.
“Itulah harapan.” Katanya santai.
Dia mengajakku berjalan melewati gambaran itu. Berjalan menuju sebuah pintu di ruang lain dalam rumah itu.
“Kali ini kamu harus benar-benar siap.” Matanya menatap tajam
. Aku memegang gagang daun
pintu. Perlahan-lahan aku mengumpulkan keyakinanku. Kubuka pintu itu pelan-pelan. Aku masuk kesebuah ruangan besar di sana ada sofa tertata rapi, disampingya ada sebuah komputer dan televisi yang cukup besar. Seorang ibu sedang asyik memegang remote, menggonta-ganti channel televisi yang terlihat menjenuhkan. Si bapak lesehan menyandar pintu sambil mengulum rokoknya. Dia terlihat saat menikmati rokok dan angin yang berhembus semilir. Seorang perempuan asik tertawa tipis ketika dia berbincang dengan seseorang yang sangat berbeda. Rambutnya coklat pirang kulitnya putih kemerahan. Lagi-lagi aku melihat diriku sendiri duduk di sofa bersama Panda. Suasananya yang hangat dan ramah, siapa yang tak ingin berada di
sana.
Tetapi bagiku gambaran itu adalah sebuah tusukan bagi pelita harapan yang tersulut tak sengaja.
Jika harapan itu aku biarkan bebas, aku tidak yakin kehangatan ruang keluarga ini masih akan
tetap terjaga. Air mataku tak mampu aku tahan lagi, perlahan air mata jatuh kepipiku. Siapa yang tega merobohkan ketentraman ruangan ini. Apalagi aku masih ingat apa jelas-jelas akan harapannya sebelum kami saling jatuh hati. Sebuah percakapan di sofa hijau dirumah mungilku. Dia telah bersumpah akan membahagiakan kedua orang tuanya. Apapun caranya. Aku mengamini hal itu
sampai detik ini. Satu hal alasannya aku melihat sosok manusia besar didalamnya.
“Aku kira cukup, aku tahu maksudnya.” Kataku pada laki-laki asing disebelahku.
“Kamu yakin?” Tanyanya ragu.
“Aku sendirilah yang tahu arti dari semua ini.” Tegasku.
“Kalo begitu, taka da lagi yang menghalangimu untuk pergi menuju pintu selanjutnya.” Dia
menunjuk sebuah pintu di sisi ruang keluarga.
“Tapi kali ini kamu harus pergi sendiri.” Dari raut mukanya terpancar senyum lega.
“Walau aku tak mengenalmu, tetapi terima kasih atas semua hal yang kau tunjukkan kepadaku. Sepertinya aku harus pergi ke pintu itu. Tak ada jalan lain untuk menemukan jawaban yang sedang aku cari selain pergi ke pintu itu kan.” Aku menatapnya yakin.
“Well, kamu harus cari tahu.” Seolah dia tak yakin.
“Terima kasih banyak, sekali lagi.” Aku memeluknya, sebagai tanda perpisahan.
Aku berjalan menuju pintu yang laki-laki asing itu tunjukkan. Aku mencoba untuk mengosongkan pikiranku, tidak ingin membayangkan apa yang ada didalam ruangan itu. Kupegang gagang pintu kuat-kuat dan kubuku pintu itu perlahan.
***
Adzan ashar berkumandang masuk melalui jendela ventilasi di lantai dua kamarku,
membangunkanku tenang. Aku membuka mataku, kukedipkan berkali-kali untuk menyesuaikan
diri. Aku meraih handphoneku yang tergeletak di sampingku. Jam digitalnya menunjukkan pukul
3.30 sore.
Aku bangkit dari tidurku dan berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Semilir angin
perlahan menghembus, memberikan kesejukan.
“Jadi inilah kehidupan itu….”
Comments
Panda POV
Barang-barang sudah aku kemasi, sudah saatnya aku pergi meninggalkan kota kelahiranku, Blitar. Sebenarnya cukup berat untuk pergi meninggalkan kota ini. Baru saja aku berbahagia melihat kakak pertamaku wisuda. Kerja keras yang ia lakukan selama ini tidak sia-sia. Selain itu momen kali ini juga tidak akan pernah aku lupakan karena jarang sekali keluarga kami bisa
berkumpul bersama-sama.
Kuambil foto berbingkai hitam dari meja kecil di samping tempat tidurku, kumasukkan dalam tas. Tergambar aku, pandakku, kakakku dan pacarnya. Kubawa sebagai pelepas rinduku di Bandung sana. Jika kuliah dan kegiatan cukup padat, aku kira aku hanya akan pulang ketika
kakakku menikah nanti, kira-kira di penghujung akhir tahun ini.
“Panda, mau berangkat nggak?”Ibuku memanggil dari ruang tamu.
“Iya nyah, baru packing.” Jawabku.
Sudah saatnya aku pergi, aku melihat jam tanganku. Aku segera masuk mobil, bapakku sudah bersiap mengemudikan mobil kijang tuanya. Kami segera pergi ke agen bis di Jalan Kenari, tempat biasa aku membeli tiket bis. Dari jendela mobil kulihat hamparan sawah-sawah menguning, gunung-gunung berdiri kokoh dari jauh sana. Aku menghela napasku dalam-dalam. Mengingat gunung, aku tiba-tiba terbayang dengan seseorang yang pernah sangat dekat denganku dulu, Beaver. Mengingatnya menimbulkan kontradiksi rasa, benci dan rindu. Entahlah, kenapa bisa begitu. Tetapi sedingin rasa benciku, aku tidak bisa menampik kerinduanku kepadanya. Aku menekuk lututku dan menyandarkan kakiku di dashboard mobil. Kucolokkan flashdisk di mp3 mobil, kuputar lagu-lagu hits popular yang saat ini digandrungi anak muda. Bapakku nampak diam mendengar lagu yang aku putar. Aku tak tahu apakah dia menikmati lagu yang aku putar, aku tak peduli.
Semilir angin masuk melalui jendela mobil, rasanya segar sekali berbeda dengan udara Bandung
yang sudah penuh dengan polusi kendaraan. Aku menghela nafas panjang-panjang. Tidak bisa kutampik keingananku untuk pergi ke Jogja, hanya mampir saja. Tetapi bagaimana caranya? Dua hari lagi aku harus berangkat kuliah, jatah ijinku sudah aku habiskan minggu ini di Blitar. Lagipula aku tidak yakin orang tuaku akan mengijinkanku untuk pergi ke Jogja. Sudahlah. Lagu Katon Bagaskara yang terputar, Yogyakarta, membuatku semakin resah saja. Aku tak punya rencana kali ini, hanya keajaiban yang bisa membuatku pergi ke Jogja. Dari jendela mobil aku melihat beberapa bis berjejer rapi, aku telah sampai di agen bis. Kubuka pintu mobil, kujejakkan kakiku ketanah yang terasa basah karena hujan tadi malam. Bapak-ibuku menyusulku pergi menuju konter agen penjual bis.
Tidak seperti naik pesawat, penjaga agen bis tidak seramah mereka. Mungkin karena terlalu banyak bergaul dengan supir dan kondektur bis. Logat tegas dan singkatnya benar-benar mirip, sangat efisien sebenarnya. Agen bis menunjukkan kuota bis yang terpampang di bawah kaca mejanya. Kuota bis ke Bandung hampir habis terjual, bersisa kursi di dekat pintu masuk depan saja. Tempat duduk yang sangat tidak menyenangkan, karena orang akan lalu-lalang masuk keluar dari pintu itu.
“Walah le penuh banget bisnya, tumben.”
“Iya e nyah, cuma dapet di deket pintu.” Tiba-tiba terbesit sebuah alasan untuk pergi ke Jogja.
“Ya gimana lagi le, sedapatnya aja ya.” Ibu mengeluarkan dompet untuk membeli tiket.
“Bentar nyah, aku mau cek bis ke Jogja.”
“Lho kok ke Jogja, kamu mau kuliah di mana to?”
“Aku nggak kuat kalo duduk di deket pintu. Nant i naik bis ke Jogja, transit aja terus ke Bandung.” Aku memberi alasan sejadinya.
“Kok kamu ini aneh-aneh aja to le?” Ibu mengerutkan wajahnya.
“Plis nyah, plis. Ya..?” Aku memegang tangan ibuku sambil tersenyum lebar kepadanya.
“Ya terserah kamu aja, tapi langsung ke Bandung. Jangan main-main, kamu udah sering bolos kuliah. Percuma bayar mahal-mahal kalo kamu nggak rajin kuliahnya.”
“Iya.” Jawabku mantab.
Ibu segera membelikanku tiket ke Jogja. Aku memeluk bapak dan ibuku sebelum aku pergi.
Akhirnya harus pergi juga, aku akan sangat merindukan mereka. Sekarang aku duduk di kursi bis menuju Jogja, tidak ada rencana sama sekali. Ternyata jika kita ingin sesuatu, selalu ada jalan untuk meraihnya. Kali ini keajaiban yang datang membukakan jalan.
Aku merogoh handphone-ku di saku celana, aku membuka daftar kontak mencari sebuah nama
“Beaver”. Pikiranku berhenti sejenak. Aku berpikir apakah aku harus memberi tahu kedatanganku atau tidak. Aku tidak yakin apakah aku siap menemui dia. Bertemu dengannya mungkin bisa menjadi hal yang menyenangkan, tetapi juga bisa sebaliknya. Masih ada noktah benci dihatiku. Aku tak bisa memungkirinya.
Aku melihat keluar jendela, bis sudah memasuki jalanan hutan di Daerah Ngawi. Perjalanan ke
Jogja masih panjang. Lama aku berpikir tentang apa yang akan aku lakukan di Jogja. Jika aku ingin keliling Jogja, aku harus menghubungi teman-temanku di sana. Tetapi mengingat ini masih masa liburan kuliah, aku tidak yakin teman-temanku berada di Jogja. Aku tidak memiliki banyak
waktu, aku harus memberitahu kedatanganku ke Jogja malam ini kepada Beaver. Kutulis pesan
sederhana untuknya, semoga ia bisa menemuiku malam ini. Setidaknya aku memiliki kejelasan
di Jogja, setidaknya.
***
Matahari baru saja terbenam, aku melihat orang sekitarku terlelap tenang. Perjalanan Blitar-Jogja
memang cukup jauh, tetapi rasanya berlalu sangat cepat. Aku membuka handphone-ku, nama
Beaver terlihat di bawah ikon sms. Seperti biasa dia bertanya ini-itu. Aku sangat malas menjawab semua pertanyaannya jadi kubalas singkat saja. Aku mematikan handphoneku karena baterainya hampir habis. Aku berjanji akan menghubungi setibanya aku di Jogja. Jalanan malam cukup ramai, baru sadar kalau malam ini adalah malam minggu. Aku harus sedikit bersabar dengan ramainya kendaraan yang memenuhi jalanan kota. Lalu-lalang kendaraan, lampu kota, cukup menyenangkan, sisi-sisi manusiawi kota yang bisu. Tugu oval yang atasnya berdiri patung garuda gagah kulihat dari jendela kaca. Tak terasa aku telah melewati Bandara Adi Sutjipto. Aku segera mengirim pesan ke Beaver, mengabarkan kedatanganku.
Bis berhenti tepat di bawah jembatan Layang Janti. Hujan turun rintik, banyak sekali orang yang
sudah berada di sana, aku kira mereka adalah penjemput. Aku turun dari bis membawa dua tasku, tas ransel dan tas selempang, cukup repot sebenarnya. Tetapi aku tidak punya pilihan, banyak barang-barang yang harus aku bawa ke Bandung, termasuk oleh-oleh untuk teman temanku disana.
Aku duduk di depan Circle K. Orang-orang duduk ramai-ramai di sekelilingku beralasakan ubin.
Kutengok kanan-kiri melihat sekitar, namun Beaver belum juga terlihat. Mungkin dia datang terlambat karena jalanan cukup padat malam ini. Aku mengambil headset dari tasku dan mencolokkannya ke handhphone-ku. Kuputar lagu-lagu kesukaanku sebagai pengusir sepi. Baru beberapa lagu terputar, telepon masuk berdering.
Telepon dari Beaver.
“Halo..” Kujawab datar.
“Aku disebelah selatan.” Aku melihat nya melambaikan tangan.
“Oke.”
Akhirnya aku melihatnya kembali setelah sekian lama. Aku berjalan menghampirinya. Dari kejauhan dia tidak jauh berbeda. Memakai jaket warna hitam dengan setelan celana jeans warna
hitam, sangat klise baginya. Tetapi dia agak gemuk saat ini, pipinya terlihat lebih bulat. Dia menyapa dan menyalamiku, tetapi aku menolak ketika dia ingin memelukku. Aku melihat raut muka kecewa yang sempat terbesit darinya. Dia memulai perbincangan seperti biasa, untunglah karena aku tidak harus memikirkan bahan pembicaraan. Aku jawab seadanya, bukan berarti tidak tahu atau enggan membalas. Tetapi aku kini ditengah konflik batin. Rasa aneh yang membuncah, tidak tahu antara senang atau segan.
Pertemuan (Kembali) 20 Oktober 2012
Beaver POV
Hari Sabtu kira-kira pukul dua siang aku sampai di rumah. Aku lempar tas selempangku ke sofa
di ruang tamu lalu pergi naik ke kamarku. Aku menjatuhkan tubuhku keatas kasur dan menutup
mataku rapat-rapat. Pikiranku kalut,bayang-bayang masa lalu tiba-tiba saja mencuat. Aku mencoba meraih handphone yang ada di saku celanaku. Aku membuka inbox, terlihat jelas pesan teratas yang aku terima siang ini, pesan singkat dari Panda. Bagaikan seperti mimpi, aku sempat tidak percaya. Aku membaca kembali pesan singkat yang ia kirimkan siang ini.
“Nnt i mlm sibuk ga?”
Pesan singkat yang memiliki banyak arti bagiku. Ada keraguan bercampur dengan ketakutan ketika aku ingin membalas pesan itu. Aku menampar diriku sendiri, mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri bahwa itu hanyalah pertanyaan sederhana saja. Kenapa aku sampai
berpikir serumit itu? Biarlah yang lalu berlalu dimasa lalu. Tak perlu diseret-seret ke masa kini.
Tak lama setelah aku membalas pesan singkatnya. Panda mengatakan bahwa ia akan datang ke
Jogja malam ini dari kota kelahirannya, Blitar. Kali ini, aku tak bisa menampik kerisauanku. Tanda tanya besar akan kedatangannya ke kota yang sudah cukup lama ia tinggalkan. Pukul sembilan malam hujan gerimis rintik, aku bersiap untuk menjemput Panda di bawah Jembatan Janti. Aku ambil jaket parasitku yang tergantung di belakang pintu, dari dalam rumah aku bisa membayangkan dinginnya udara malam ini. Aku membuka pintu garasi dan mengeluarkan motorku. Tanpa pikir panjang aku melaju ke Janti. Aku tiba di depan Circle K Janti yang dipenuhi dengan orang-orang yang menunggu kedatangan bis. Dari kerumunan aku melihat Panda dengan jaket merah dan setelan celana jeans, ia tidak melihat kedatanganku. Aku melihat kanan-kiri bermaksud untuk memarkir motorku, tetapi sudah tidak ada tempat lagi. Aku mengambil handphone-ku dan menelpon Panda. Dia melihat ke arahku, tatapan datar. Apa guna senyumku kalau dia membalas dengan datar begitu sesalku dalam hati. Dia berjalan kearahku dengan dua tas yang dibawanya, ia terlihat sangat ribet dengan barang bawaannya.
“Apa kabar bung?”
“Baik, ayo pergi!”
“Pergi kemana?”
“Anterin aku beli tiket bis ke Bandung.”
“Mau beli di mana, ini udah malam lho.”
“Giwangan lah.”
“Udah tutuplah jam segini. Emang Circle-K yang buka 24 jam. Bis malam kearah barat itu
biasanya udah habis jam 9-an, coba lihat jam mu sekarang.” Aku mencoba untuk
meyakinkannya. Dia hanya diam saja menatap kosong.
“Terus mau kemana sekarang?” Tanyaku.
“Aku lapar belum makan, kita makan dulu aja ya.” Jawabnya ketus.
Dia segera merebut kendalimotorku. Kami melaju ke arah timur, setahuku sedikit susah untuk mencari tampat makan, tetapi sudahlah dia memang punya kebiasaan seperti itu. Kami berputar-putar ke arah arah bandara, lalu ke utara menyusuri selokan. Berkali-kali aku menanyakan apa yang diinginkannya, ia hanya menjawa ingin jalan-jalan saja. Dia tidak banyak berubah. Aku kira kedatangannya di Jogja adalah rencana dadakannya. Aku menepuk perutnya, menegur kenikmatannya bernostalgia dengan suasana malam Jogja. Aku menyarankan untuk pergi ke KFC Sudirman. Dia mengiyakan tanpa banyak argumentasi. Tidak seperti biasanya dia menurut, aku kira dia memang sudah tidak punya ide di mana dia akan mengisi perutnya.
Suasana KFC Sudirman cukup lengang, kami duduk di pojok timur luar restoran. Segera Panda
membuka bungkus nasi dan melahapnya cepat-cepat. Aku memperhatikan dirinya dengan seksama, dia lebih dandy. Kulit wajahnya bersih kuning langsat, kacamata yang ia kenak membuatnya lebih intelek. Senang sekali bisa duduk bersamanya malam ini. Aku tersenyum tersenyum sendiri membayangkan masa satu tahun yang lalu.
“Apa yang kau lihat?” Bentaknya.
“Nggak lihat apa-apa.”
“Kamu nggak makan?”
“Enggak aku minum aja, tadi udah makan dirumah.” Aku mengambil brandy dari tasku, lalu
mencampurkannya dengan jus jeruk yang aku beli.
“Kamu masih minum to?”
“Ya, kalo malam-malam aja. Biar hangat badannya. Kamu mau?” Aku mengulurkan botol
brandy kepadanya.
“Aku udah nggak lagi, nggak bisa lebih tepatnya.”
“Kenapa?”
“Kamu ini kaya nggak tahu aku aja. Masalah kesehatanl ah.” Dia melepas pandangannya jauh ke
jalanan, tak menatapku. Aku tak tahu bagaimana meresponnya.
“Terus rencanamu malam ini gimana?”
“Tinggal aja di sini nggak apa-apa.”
“Lha nanti mau tidur di mana? Mau pulang ke Bandung kapan?”
“Udah nggak usah dipikir, kamu pulang aja.”
“Mau istirahat di rumahku?”
“Terserah deh.” Jawabnya datar.
“Ya udah setelah kamu makan kita pulang.” Aku kembali meneguk brandy-ku.
“Eh sekarang kamu punya banyak teman binan ya?”
“Ya lumayan, kita sering main kesini kalo malam. Tapi nggak tahu agak sepi malam ini.”
“Masih suka main dengan Dimas?”Aku semakin tahu kemana arah percakapannya.Ia mencoba
menelisik kehidupanku saat ini.
“Udah lama nggak ketemu, ada apa?”
“Nggak apa-apa, kamu semakin bebas saja sekarang.”
“Malah bagus kan kalo bebas?”
“Ya sudah!”
Ia memutus pembicaraan dengan dua kata singkat, terkesan pasrah atau apatis. Aku tidak tahu kemana ia berpihak. Raut mukanya datar-datar saja seperti biasa, aku sama sekali tak bisa menebak perasaannya. Kami segera meninggalkan KFC setelah ia selesai makan. Malam berlalu dengan cepat, lalu lalang kendaraan berangsur sepi. Lampu-lampu kota menyala redup mesra. Jika diingat, aku dan Panda sering berkendara menikmati malam Jogja ketika dia masih kuliah di UGM. Tak banyak berbincang hanya berkendara menikmati malam. Betapa bahagianya waktu itu. Aku kalungkan tanganku di perutnya, dia hanya terdiam. Aku tak berani lebih dari itu, mengingat aku bukan siapa-siapanya lagi. Aku memang bukan siapa-siapanya dari dulu, kami hanya dua orang yang saling bertautan hatinya.
Setibanya di rumah, kami langsung menuju kamarku. Aku mempersilahkan dirinya untuk beristirahat, menganggap rumahku layaknya rumahnya sendiri. Aku berbaring di sisi kasur, menghadap tembok bisu. Aku mencoba untuk memejamkan mata tetapi terbangun kembali. Aku melihat Panda terduduk diam di sisi kasur, tidak ingin berbaring.
“Kok nggak tidur?” Tanyaku setengah sadar.
“Keluar yuk, aku pengen jalan-jalan.”
“Ini udah malam, mau kemana lagi. Tadi aku tanya mau kemana bingung. Udah sampe rumah
mau keluar.”
“Ah..nggak tahu. Aku nggak bakal bisa tidur.”
“Sini, ngapain duduk disitu.” Aku mengajaknya berbaring di sisiku. Dia terdiam, lalu aku
menyeret tangannya.
“Tidurlah. Kau besok pulang ke Bandung kan?” Bujukku. Kami akhirnya terdiam membenamkan diri dalam malam. Menunggu esok yang segera menyingsing lalu kusambut mentari dengan hati terbuka layaknya aku menyambut kedatanganmu malam ini.
***
Suara Adzan berkumandang mendahului si ayam berkokok, aku terbangun dan membalikkan badanku menghadap Panda. Dia terlihat masih tertidur lelap. Aku duduk melongok ke raut mukanya. Wajah belahan jiwaku dulu, muka tulus dan jujur. Aku kembali merebahkan tubuhku
disampingnya. Aku mendekatkan tubuhku kepadanya dan mencoba memeluknya. Hangat dan
damai rasanya, rasa yang sama seperti dulu.
Panda mengenggam tanganku, sepertinya ia merasakan pelukanku. Aku semakin erat memeluknya.
“Aku bukan Gay lagi!” Panda mencoba melepaskan pelukanku darinya.
“Maksudnya?” Aku membalikkan tubuh Panda menghadapku.
“Kamu nggak denger? Aku bukan gay lagi.”
“Kenapa?”
“Aku sudah balikan sama Vita, itu kenapa aku kesini.”
“Kamu serius atau bercanda.” Tanyaku ragu. Aku menindih tubuhnya dengan tubuhku mencoba
melihat raut mukanya. Tetapi ia segera menutup kedua matanya dengan tangannya.
“Iya aku serius. Aku ingin memilih jalan hidup yang lebih baik. Seharusnya kamu pun seperti
itu.”
“Aku cukup bahagia menjadi seorang gay, kenapa aku harus berubah?”
“Kamu nggak ingat orang tua, Fani dan teman-temanmu. Coba pikirkan mereka sedikit saja, aku
tahu kamu punya pilihan untuk berubah. Memilih hidup yang lebih baik, lihat dirimu saat ini.
Perokok, peminum, bergaul dengan kawan-kawanmu yang hedon itu.”
“Panda, aku nggak mau menderita gara-gara aku ingin menjadi seperti orang lain. Aku cukup
bahagia. Memang aku perokok dan peminum, tapi itu bukan karena aku gay. Aku berteman
dengan mereka karena aku ingin berteman dengan mereka.”
“Terserahlah!”
Aku mendekatkan wajahku kepadanya, mendengar desah nafasnya. Aku menyingkirkan tangannya yang menutup matanya lalu mencium kening dan bibirnya. Kami saling memandang
entah berapa lama.
“Kamu masih sayang denganku?”
Aku menunggu jawaban darinya, tetapi dia hanya diam. Aku bergeser menyamping
menghadapnya. Aku sapukan tanganku di mukanya, meraba wajahnya yang bimbang. Kami tak
saling berbincang lagi, hanya pelukan erat. Pelukan yang sama, pelukan yang merindukan. Aku
berharap mentari tak muncul pagi ini.
Perpisahan 21 November 2012
Beaver POV
Mentari samar-samar bersinar di minggu pagi ini. Awan terlihat mendung tipis, udara pagi ini terasa cukup dingin. Aku baru saja selesai mandi, aku mengusap rambutku yang masih basah di
depan cermin. Memang benar kata Panda jika aku sedikit berubah, aku tambah gemuk saat ini,
gumamku dalam hati. Aku melongok ke kamarku, Panda terlihat sudah siap untuk pergi. Aku memberikan salam dan senyum pagi kepadanya, tetapi dia masih datar-datar saja. Tidak sedikit pun berubah sejak kemarin malam aku bertemu dengannya.
“Ayo berangkat.” Ajaknya.
“Semua sudah siap, cek barang-barangmu jangan sampe ada yang tertinggal.”
“Udah semua. Aku bukan anak kecil lagi.”
“Iya, masa udah segede itu masih aku anggap anak kecil sih.” Aku mengajak bercanda.
“Ayo berangkat, nanti aku terlambat..”
Aku segera mengambil jaketku yang tergantung di balik pintu lalu mengeluarkan motor dari garasi. Kami akan menuju stasiun tugu, mengejar Lodaya Pagi yang berangkat sekitar pukul 9 pagi. Akhirnya tibalah pada perpisahan, tiket ke Bandung sudah ditangannya. Ia segera masuk
kedalam peron kereta. Teralis besi menghalangiku untuk bersamanya di detik-detik keberangkatannya. Aku cukup sedih, namun tak bisa berucap satu kata pun untuk mengungkapkannya. Dari kerumunan aku melihatnya berbalik memandangku, aku tersenyum kecil kepadanya. Ia berjalan mendekati teralis yang menghalangi, aku pun maju menghampirinya. Ia menjulurkan tangannya mengenggam tanganku dengan erat.
“Baik-baiklah di Jogja, kamu punya pilihan hidup lebih baik jika kamu mau.”
Aku memandang matanya yang berkaca-kaca. Ingin kusampaikan kata-kata, tetapi aku tak kuasa
Menyampaikannya. Bunyi lonceng keberangkatan dipukul nyaring, Panda segera melepas tanganku. Ia berlalu menuju kereta dengan cepat. Aku kehilangan dirinya di dalam kerumunan. Sekali lagi kehilangan dirinya.
Isi Hati 21 Oktober 2012
Panda POV
Aku memasuki gerbong kereta yang dijejali oleh penumpang, agak susah mencari tempat dudukku yang terletak di tengah gerbong. Dua tas yang aku bawa cukup menyusahkan untuk berjalan diantara lalu-lalang orang-orang. Aku bersyukur bisa duduk di dekat jendela, setidaknya aku bisa menikmati pemandangan menuju Bandung.
Kereta bergerak perlahan diiringi dengan bunyi lonceng yang dipukul keras-keras. Akhirnya tiba
juga, pergi ke Bandung, menjalani rutinitas seperti biasanya. Hamparan padi, rumah-rumah pinggiran, berlalu saling bergantian. Hari itu cukup cerah, aku cukup terhibur dengan hal-hal yang aku lihat melalui jendela kereta. Aku mengambil headset yang ada di tas kecil lalu mencolokkannya di handphone. Kuputar lagu-lagu yang ada di sana secara acak. Aku kira aku bisa membunuh waktu delapan jam di kereta dengan cepat.
“Mau permen mas?” Seorang bapak paruh baya menjulurkan segenggam permen kepadaku.
“Terima kasih pak." Jawabku dengan senyum.
"Turun di mana mas?" Tanya bapak itu.
"Saya turun di Kiaracondong pak. Kalo bapak turun di mana?" Aku menyambung pembicaraan.
"Bapak turun di stasiun kota, nak. Bapak lihat kamu kelihatan muram, sedang mikir apa?" Bapak
itu menunjukkan simpatinya.
"Nggak ada apa-apa kok, pak."
"Nggak usah malu-malu sama bapak, lagi mikirin pacarnya ya? Dia kamu tinggal di mana?"
Seolah dia mampu membaca pikiranku, pertanyaan bapak itu cukup menyentakku.
"Hahaha....Bapak bisa saja. Lagi mikir tugas kuliah yang menumpuk dan biaya kuliah yang
menumpuk, pak. Lama-lama stress kalo begini terus."
"Gitu ya nak, bapak kira masalah lain." Dia tersenyum kecil.
"Apapun masalahnya nak, coba tidak hanya dipikir melalui emosi, tetapi juga sisi rasional. Kadang kita gelisah ketika takut atau berharap. Itu wajar, tetapi kita tidak boleh berlebihan, kita
harus memakai sisi rasional kita. Masalah apapun pasti ada solusinya, nak." Bapak itu menambahkan dengan yakin.
"Benar juga pak." Aku mengamini bapak itu, aku kira dia ada benarnya juga. Aku terlanjur membawa perasaanku sehingga tidak berani untuk jujur.
Aku kembali menatap jendela kereta, tak terasa kereta sudah mendekati Tasikmalaya. Sebentar lagi aku akan segera sampai di Bandung. Dulu aku tidak pernah berkeinginan apapun kepada Beaver. Aku tidak pernah menanam apa-apa, tetapi benih itu tersemai begitu saja. Layaknya alang-alang yang tumbuh di taman kehidupan. Aku sama sekali tak bisa menolak cinta yang tumbuh liar di hatiku. Entahlah.
Kehidupan 21 Oktober 2012
Beaver POV
Terik matahari menyengat hebat, aku tak kuasa menahan panasnya. Setiba di rumah aku segera
menuju dapur, mengambil gelas di rak lemari. Ku tengok jendela belakang rumah dengan segelas
air digenggamanku. Anjing-anjing dengan riangnya bermain, tak peduli cuaca panas. Anjing yang paling besar bernama Benjamin, dia adalah anjing kesukaan Panda. Jika dia di jogja, ia tak pernah lupa bermain dengannya. Melihat mereka bermain sungguh membahagiakan. Aku menaiki tangga kamar atas. Aku hidupkan kipas angin yang berdiri di sisi kamar tidur. Kubuka bajuku, tubuhku licin karena peluh yang keluar. Aku telentang sepanjang kasur, menikmati semilir angin. Kupejamkan mata, menghela napas perlahan. Sunyi sekali, kosong…
***
Aku melihat diriku di dalam ruang kosong tanpa batas, semua terlihat redup. Lama-lama ruang
itu seolah bergerak, dari kejauhan aku melihat sosok yang terlihat samar. Aku pergi menghampirinya, ia nampak tidak begitu asing bagiku. Ketika aku mendekatinya, ia berjalan pergi menjauh, seolah-olah berusaha untuk menghindariku. Ia membuka sebuah pintu di mana lorong-lorong panjang membentang. Aku terus mengikutinya, mencoba ingin tahu siapakah dia gerangan. Ia kadang menoleh kebelakang, memberi tanda bahwa aku harus mengikutinya. Aku berlari kecil berusaha mengejarnya. Ia kembali masuk ke pintu-pintu yang tak tahu kemana arahnya. Sepertinya aku berada di sebuah labirin. Aku mempercepat lariku hingga aku menemukannya berhenti disebuah lorong panjang di mana hanya ada satu pintu diujungnya.
“Hi...” Sapaku. Tetapi dia hanya terdiam saja menatap pintu diujung lorong. Dari tatapannya kulihat sebuah harap yang terselimut air mata yang tertahan.
“Apa yang kau cari di sini?” Aku bertanya sambil terengah-engah. Aku menatapnya kembali, dia
sepertinya tidak merespon pertanyaanku. Aku mendekatinya lebih dekat. Tiba-tiba dia menoleh
kearahku. Menatapku dengan samar.
“Kamu sudah siap?” Tanyanya.
“Siap untuk apa?” Tanyaku balik.
“Harapan, kenyataan dan kehidupan. Kau ada diantaranya.” Jawabnya singkat.
“Aku tak tahu maksudmu!” Aku mengekspresikan kebingunganku.
“Harapan, Kenyataan dan kehidupan.” Sekali lagi dia mengulang. Aku menggelengkan kepalaku,
tanda bahwa aku masih tidak mengerti.
“HARAPAN, KENYATAAN, KEHIDUPAN!” Dia menegaskan.
“What??” Aku mengernyitkan dahiku.
Dia memegang tangaku dengan erat dan secara ajaib aku sudah sampai diujung lorong di mana
pintu tepat di depanku.
“Kamu sudah siap?” Tanyanya kembali.
Aku mencoba untuk menyelami kata-katanya. Entah apa yang dimaksud tentang harapan, kenyataan dan kehidupan. Aku mencoba untuk merenung dalam, memahami arti dan kaitannya. Aku menatap pintu itu, berharap pintu itu memberikan clue atas teka-teki. Harapan adalah sesuatu yang ingin aku capai. Kenyataan adalah hal yang benar-benar terjadi disekelilingku. Kehidupan? Apa berpikir dalam. Apa bedanya dengan kenyataan?
“Aku berada diantaranya.” Bisikku, mencoba untuk memahami.
Aku menoleh kearahnya “Aku siap, aku ingin menjemput kehidupanku.”
Dia segera membuka pintu, cahaya silau menyengat dimataku. Perlahan ketika mataku mulai beradaptasi, aku melihat sebuah gambaran. Ruangan kecil dengan cahaya remang warna kuning, sebuah meja bulat dari kaca. Berdiri sebuah botol black label masih tersegel rapat. Kulihat seseorang yang tak asing bagiku datang membawa dua gelas. Dia meletakklan dua gelas itu diatas meja. Dia adalah Panda, tidak salah lagi.
“Es nya ada nggak?” Dia bertanya entah kepada siapa. Satu orang lagi muncul, dia adalah aku
yang membawa ember kecil tempat es.
“Mau berapa es nya?” Tanyanya.
“Kasih aja tiga.” Dia menjatuhkan bongkahan balok es kecil kedalam gelas. Panda membuka botol
dan segera menuangkan minuman kedalam gelas.
“Cukup?” tanyanya.
“Cheerrs!” Mereka mengangkat gelasnya masing-masing.
Air mataku hampir terjatuh melihat gambaran itu. Jika diingat, kejadian itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Itu adalah malam ketika hati terjatuh ikhlas, malam di mana harapan tersulut indah.
Laki-laki asing yang baru aku temui merangkul pundakku. Seolah dia ingin akrab denganku. Dalam hati aku bertanya, kenapa gambaran itu yang muncul.
“Itulah harapan.” Katanya santai.
Dia mengajakku berjalan melewati gambaran itu. Berjalan menuju sebuah pintu di ruang lain dalam rumah itu.
“Kali ini kamu harus benar-benar siap.” Matanya menatap tajam
. Aku memegang gagang daun
pintu. Perlahan-lahan aku mengumpulkan keyakinanku. Kubuka pintu itu pelan-pelan. Aku masuk kesebuah ruangan besar di sana ada sofa tertata rapi, disampingya ada sebuah komputer dan televisi yang cukup besar. Seorang ibu sedang asyik memegang remote, menggonta-ganti channel televisi yang terlihat menjenuhkan. Si bapak lesehan menyandar pintu sambil mengulum rokoknya. Dia terlihat saat menikmati rokok dan angin yang berhembus semilir. Seorang perempuan asik tertawa tipis ketika dia berbincang dengan seseorang yang sangat berbeda. Rambutnya coklat pirang kulitnya putih kemerahan. Lagi-lagi aku melihat diriku sendiri duduk di sofa bersama Panda. Suasananya yang hangat dan ramah, siapa yang tak ingin berada di
sana.
Tetapi bagiku gambaran itu adalah sebuah tusukan bagi pelita harapan yang tersulut tak sengaja.
Jika harapan itu aku biarkan bebas, aku tidak yakin kehangatan ruang keluarga ini masih akan
tetap terjaga. Air mataku tak mampu aku tahan lagi, perlahan air mata jatuh kepipiku. Siapa yang tega merobohkan ketentraman ruangan ini. Apalagi aku masih ingat apa jelas-jelas akan harapannya sebelum kami saling jatuh hati. Sebuah percakapan di sofa hijau dirumah mungilku. Dia telah bersumpah akan membahagiakan kedua orang tuanya. Apapun caranya. Aku mengamini hal itu
sampai detik ini. Satu hal alasannya aku melihat sosok manusia besar didalamnya.
“Aku kira cukup, aku tahu maksudnya.” Kataku pada laki-laki asing disebelahku.
“Kamu yakin?” Tanyanya ragu.
“Aku sendirilah yang tahu arti dari semua ini.” Tegasku.
“Kalo begitu, taka da lagi yang menghalangimu untuk pergi menuju pintu selanjutnya.” Dia
menunjuk sebuah pintu di sisi ruang keluarga.
“Tapi kali ini kamu harus pergi sendiri.” Dari raut mukanya terpancar senyum lega.
“Walau aku tak mengenalmu, tetapi terima kasih atas semua hal yang kau tunjukkan kepadaku. Sepertinya aku harus pergi ke pintu itu. Tak ada jalan lain untuk menemukan jawaban yang sedang aku cari selain pergi ke pintu itu kan.” Aku menatapnya yakin.
“Well, kamu harus cari tahu.” Seolah dia tak yakin.
“Terima kasih banyak, sekali lagi.” Aku memeluknya, sebagai tanda perpisahan.
Aku berjalan menuju pintu yang laki-laki asing itu tunjukkan. Aku mencoba untuk mengosongkan pikiranku, tidak ingin membayangkan apa yang ada didalam ruangan itu. Kupegang gagang pintu kuat-kuat dan kubuku pintu itu perlahan.
***
Adzan ashar berkumandang masuk melalui jendela ventilasi di lantai dua kamarku,
membangunkanku tenang. Aku membuka mataku, kukedipkan berkali-kali untuk menyesuaikan
diri. Aku meraih handphoneku yang tergeletak di sampingku. Jam digitalnya menunjukkan pukul
3.30 sore.
Aku bangkit dari tidurku dan berusaha mengingat apa yang baru saja terjadi. Semilir angin
perlahan menghembus, memberikan kesejukan.
“Jadi inilah kehidupan itu….”
Panggilan Cinta 22 Desember 2012
Panda POV
Hari-hari biasa kulalui di Bandung, tidak begitu menantang lagi. Dulu waktu pertama kali menjadi mahasiswa Unpad aku begitu antusias mengikuti kegiatan mahasiswa. Dari Bem Unpad
hingga Alsa (Asian Law Student’ Association) aku ikuti untuk mengisi waktu senggangku. Hitung-hitung mengurangi rasa galau yang kadang menghantam tiba-tiba.
Tapi kini kesibukan itu lama-lama mencekikku, jadi ingin pindah dari Bandung. Aku baru saja
selesai kuliah, dan hal yang paling membosankan adalah tidak punya rencana setelahnya, apalagi
besok adalah akhir pekan. Jika pulang ke kos, bisa dipastikan aku hanya akan tiduran seharian.
Aku memegang perutku yang semakin buncit. Heran sekali, makan sudah dikurangi jadi dua kali
sehari, bukannya semain kurus malah semakin buncit. Aku mengurungkan niatku pulang ke kos. Tidak produktif.
Aku berusaha mencari ide sembari berjalan menuju tempat parkir. Daun-daun berjatuhan diterpa
angin, terbesit sebuah ide. Lebih baik aku pergi ke perpustakaan kampus, menghabiskan waktu
dengan melakukan hal produktif. Masalah akhir pekan bisa dipikir nanti. Kutaruh tasku di loker yang terletak di samping ruang perpustakaan. Deretan rak-rak buku berjejer rapi menyambut. Tercium bau buku-buku tua ketika aku melihat-lihat buku di antara rak-rak besar dan tinggi itu. Ternyata ketika sebuah rencana lahir, maka kita harus bersiap untuk melahirkan rencana lanjutan. Ketika sampai di perpustakaan aku bingung akan membaca buku apa.
Teringat apa yang dilakukan oleh Haji Agus Salim, menteri luar negeri kabinet Sjahrir II. Beliau
tidak kuliah di luar negeri, namun dia berhasil menguasai tujuh bahasa asing. Konon kemampuan
itu didapatkan karena membaca buku secara acak, aku kira itu yang akan aku lakukan sekarang. Membaca acak. Aku memulai dari rak deretan buku-buku sastra. Kuambil buku secara acak, buku kecil tipis bersampul putih. Sketsa seseorang bertopi persia menjadi desain sampul, di sana tertulis sebuah judul “Sang Nabi” oleh Kahlil Gibran.
Kubawa buku itu kemeja tua yang terletak ditengah-tengah ruangan. Kubuka buku itu lembar demi lembar. Buku yang menarik. Perhatianku semakin dalam ketika aku sampai pada sebuah
bait.
Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia,
Walau jalannya terjal berliku-liku.
Dan apabila sayapnya merangkummu,
pasrahlah serta menyerah,
walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu
.……………………………………………….
Aku membaca bait itu berulang-ulang, mencoba menyelami apa yang dimaksud oleh Gibran.
“Panggilan cinta?” Bisikku lirih.
***
Sekitar dua tahun yang lalu aku bertemu dengan Beaver. Waktu itu aku masih kuliah di UGM.
Kami mengawali pertemuan kami dengan perbincangan singkat di sebuah website bernama manjam. Kemudian dia menjemputku di depan Restoran Hoka-Hoka Bento. Kami pergi kerumahnya dan berbincang dari sore hingga malam, seolah lupa akan waktu. Hari-hari berikutnya adalah hari yang menyenangkan karena kami sama-sama saling mengeksplorasi. Dari pergi ke hotspot teman-teman gay kumpul hingga minum black label bersama. Aku kira baru pertama kali aku bertemu dengan orang sepertinya. Kami memiliki hobi yang cukup sama, jelajah alam. Bersama sahabatnya dan sahabatku kami sering menyusuri pantai dan mendaki gunung. Tidak banyak pantai dan laut yang kami jelajahi bersama, tetapi setiap petualangan selalu memberikan arti spesial bagiku.
Pernah suatu kali kami bersama-sama mendaki Gunung Merbabu. Itu adalah kali kedua aku naik gunung itu. Tetapi entah kenapa aku sangat kepayahan waktu itu. Aku harus bersusah payah untuk menyamakan ritme pendakian dengan teman-temanku yang lain. Disaat itu Beaver muncul
dengan kesabaran dan pengorbanannya.
Dia tidak segan-segan membawakan tas carrier-ku. Dia juga dengan sabar membersamaiku mendaki di barisan belakang. Menyeka keringat yang bercocoran di kening. Memberikanku air
ketika dahaga muncul. Menungguku beristirahat karena kelelahan. Dia seperti malaikat bagiku. Akhirnya setelah perjalanan lebih dari 8 jam, pagi harinya kami sampai di Puncak Kentengsongo, puncak tertinggi Gunung Merbabu. Kedatangan kami disambut dengan mentari
jingga yang muncul perlahan di batas horizon timur. Aku sempat memeluknya dan itu membuat
semuanya sempurna.
Berbicara mengenai relasi, kami memang tidak pernah menyatakan memiliki sebuah ikatan. Namun kata sayang dan cinta selalu menghiasi ruang-ruang rindu ketika kami berpisah. Dia orang yang cukup unik, ketika teknologi handphone sudah cukup canggih. Dia lebih suka menulis surat melalui email. Sebuah surat panjang dan puitis. Mungkin dia tidak terlihat romantis, tetapi berurusan dengan kata, dia adalah penenun terbaik yang pernah aku temui. Dan kebahagiaan itu ternyata tak abadi. Semua itu perlahan harus redup. Aku harus pergi ke Bandung demi meraih citaku, sedangkan dia harus tertinggal di Jogja. Aku tidak punya pilihan lain. Pernah dia mengunjungiku di Bandung tak lama setelah aku pergi. Namun ketika jarak memisahkan kami, maka rasa ini perlahan juga hilang. Aku tak memiliki kuasa atas hal itu. Apalagi kepercayaanku padanya dihancurkan oleh perselingkuhan dengan teman barunya. Hari hariku benar hancur. Hal terburuk yang pernah aku alami.
***
Aku menghela nafas, melihat sekitar, tak banyak mahasiswa yang membaca di sini. Ruangan ini
begitu tenang. Aku gelengkan kepalaku yang mulai penat. Kutekan pangkal kedua mataku, mengajaknya agar sedikit bersahabat untuk membaca. Kupaksa diriku untuk membuka halam
baru.
Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu,
demikian pula dia menyalibmu.
Demi pertumbuhanmu,
begitu pula demi pemangkasanmu.
…………………………………………
Buku itu seolah meyakinkanku akan hakikat cinta. Cinta bukanlah cerita klasik Romeo dan Juliet, tetapi cinta adalah cinta dengan duka laranya (sepertinya). Tetapi pertanyaannya sejauh apakah kita bisa mentolerir luka? Kenapa tidak membiarkan cinta tetap indah seperti imajinasi kita saja. Seperti para pujangga merakit kata-katanya dalam puisi dan novel. Entahlah, aku tidak mengerti benar.
Bait itulah yang menutup sesi membacaku hari ini. Apa yang terjadi dua tahun ini, biarlah berlalu saja. Aku tak yakin ingin membedah masa lalu hanya untuk meyakinkan diriku akan adanya love dibalik sebuah lust. Tanda-tanda itu tidak aku temukan sama sekali, karena akhirnya hanya luka karena lust saja yang aku peroleh. Handphoneku bergetar spontan, suaranya mengalihkan orang-orang di sekitarku. Sebuah pesan masuk, dari orang yang tidak terduga, Beaver. Pesannya singkat.
“Panggilan Cinta?”
Aku di Bandung
Mengejar Matahari 21 Desember 2012
Beaver POV
Stasiun lempuyangan, genangan air tercecer di mana-mana, hujan lebat baru saja mengguyur Jogja. Aku memarkirkan motorku di seberang stasiun dan berlari menuju stasiun kereta. Semoga aku masih bisa membeli tiket sore ini. Sistem pemesanan kereta cukup tertata saat ini, aku harus mengisi form terlebih dahulu sebelum menuju loket pembelian. Sekarang tidak ada lagi penumpang tanpa tempat duduk, termasuk untuk semua kereta ekonomi. Sisi positifnya penumpang lebih nyaman. Tetapi sebaliknya, jangan berharap dapat tiket jika memesan pada hari-H karena banyak orang memesan jauh-jauh hari.Pembatasan penumpang kereta tidak diikuti dengan penambahan kuota kereta ekonomi.
Aku berharap-harap cemas mendapatkan tiket. Apalagi melihat antrian yang cukup panjang, tak
tanggung-tanggung ada tiga baris yang berjejer memanjang. Jika aku tidak mendapat tiket malam
ini, berarti rencanaku usai sudah. Akhir pekan ini adalah satu-satunya waktu luangku disela kerja proyek yang mencekik.
“Kahuripan jam 8.30 malam untuk 1 orang malam ini.” Petugas itu mengonfirmasi.
“Iya pak.” Ada keraguan ketika melihat petugas sibuk memainkan mouse komputernya.
“Rp 38.000 mas.”
“Makasih banyak pak!” Aku menyodorkan lembaran uang 50-ribuan. Akhirnya keberuntungan
berpihak padaku hari ini.
Aku segera masuk peron kereta. Selangkah lagi aku akan menemukan jawaban atas “kehidupan”
yang aku jalani. Untuk saat ini aku sedang mengejarnya.
Beaver
***
22 Desember 2012
Udara pagi terasa menyengat merasuk ketulangku, dari jendela kulihat stadion nasional yang
sedang dibangun. Katanya stadion itu akan berstandar internasional milik Persib. Sebentar lagi aku akan sampai Bandung. Roda kereta berdecit panjang, kereta berhenti perlahan. Akhirnya aku sampai di Stasiun Kiaracondong. Stasiun ini cukup kecil karena hanya digunakan oleh kereta ekonomi saja. Aku keluar dari stasiun, melewati jalan panjang yang dipenuhi dengan penjual disisinya. Stasiun ini memang bersampingan dengan pasar rakyat. Aku melangkah hati-hati karena banyak sekali genangan air.
Aku menunggu angkot di bawah jembatan layang. Aku melihat jam tanganku, masih terlalu pagi
untuk bertemu dengan Panda. Aku terbesit untuk mengunjungi teman-temanku di Abiyasa Basecampnya tak jauh dari Stasiun Kiaracondong, tepatnya di Griya Jogja. Aku ketok pintu depan basecamp yang lebih terlihat lebih seperti ruko.
“Permisi.” Aku mengulang sampai beberapa kali, mungkin mereka masih tertidur di sana.
“Iya, sebentar.” Aku melihatnya berjalan untuk pintu.
“Pagi Riza.”
“Lho, Beaver bukan ya?”
“Iya ini Beaver.”
“Hahaha….Ngapain loe di sini? Ayo masuk dulu.” Dia memelukku dengan erat.
“Maaf ya pagi-pagi gini ganggu.”
“Kamu ini, anggap sepert i rumah sendiri lah. Kapan kamu nyampe Bandung?.”
“Baru tadi pagi, nyampe terus langsung jalan kesini. Bandung dingit banget ya?”
“Yah ini mah biasa aja, Terus ngapain loe kesini. Tumben banget.”
“Hahaha…mau ketemu lekongan
“Beneran? Sapose bok?.” Dia mencolekku.
“Eh, aku bisa numpang mandi ngga?”
“Boleh..apapun deh. Eh mau ketumbaran sama siapa sih?”
“Ah kamu ini kepo banget, ntar deh kalo udah kejadian aku cerita.” Aku mengambil handuk dan
peralatan mandi dari tasku.
“Cucokh ah!”
Aku segera menuju kamar mandi, merasaka air yang sedingin es. Entah bagaimana aku bisa bertemu dengan Panda kali ini. Aku menjadi ragu akan bertemu dengannya ketika sudah sampai Bandung. Semangat yang membakar diriku tiba-tiba padam. Aku duduk di lantai dua berbicara dengan teman-teman Abiyasa. Seduhan kopi hitam dan rokok menjadi perpaduan sempurna untuk menikmati pagi. Melihat suasana pagi dari lantai dua cukup menghibur, melihat aktivitas orang-orang dengan dunianya sendiri.
“Beaver, loe lagi mikir apa sih, galau banget muka loe.” Tanya Riza.
“Kelihatan ya dari mukaku, ah entahlah bung. Aku mau ketemu teman di sini, daerah Cisitu, tapi
aku nggak tahu di mana itu.”
“Kamu tahu alamatnya?”
“Iya, tapi belum pernah kesana.”
“Loe naik angkot Raung-Dago, ntar turun di Mc D Simpang Dago. Loe tinggal jalan dikit dari
sana.”
“Tapi aku jadi males sekarang, mager setelah nyampe Abiyasa.”
“Ah elu anget-anget tai ayam, mana semangat revolusioner yang sering loe umbar-umbar itu.
Taik!”
“Ah biarin, cong!”
Kami melanjutkan obrolan kami, tak lagi membahasa mengenai apa yang sebenarnya aku ingin
lakukan di Bandung. Mungkin mereka tahu bahwa hal ini adalah privasi buatku. Waktu berjalan sangat cepat di sini. Aku melihat jam dinding yang terpajang di tembok menunjukkan pukul 2.30 sore. Diam-diam aku mengirim sms kepada Panda. SMS singkat, hanya memberitahukan bahwa aku ada di Bandung.
Sepertinya memang aku harus pergi menemui Panda dan aku tidak boleh lama-lama di sini. Aku
berpamitan dengan teman-teman dan pergi menuju daerah Cisitu lama. Di jalan Panda membalas
smsku, menanyakan keberadaanku. Setelah beberapa kali mengirim sms, kami sepakat untuk bertemu di Mc D simpang Dago.
Aku turun di Simpang Dago, seberang Mc D. Aku berjalan menyebrang jalan yang cukup ramai
sore itu. Aku masuk ke Mc D, memesan soda dan french fries lalu pergi ke lantai dua. Aku melongok kebawah dari lantai dua, menunggu kedatangan Panda.
“Udah lama di sini?” Panda mengejutkanku, aku sama sekali tak menyadari kedatangannya.
“Belum lama kok, baru aja nyampe.”
“Tumben ke Bandung, past i lagi galau ya.”
“Ah nggak, biasa aja.” Aku mengelak.
“Ngapain ke Bandung kalo gitu? Pake Nggak bilang-bilang lagi kalo ke Bandung. Untung aku
nggak sibuk.”
“Yo sorry.”
“Ya udah, ayo kos ku aja. Kamu capek kan. Ntar lagi juga mau hujan, aku nggak punya jas
hujan.”
Kami berdua meninggalkan Mc D, sodaku masih aku genggam karena belum habis. Aku cukup
lega karena Panda bersikap lebih cair saat ini. Kami pergi ke kos nya mengendarai sepeda motor
merahnya. Tata ruang di Bandung cukup berbeda dengan Jogja, kami naik-turun menyusuri gang-gang sempit. Akhirnya kami tiba di kos Panda, kose bertingkat dua yang sederhana, mungkin ada sekitar 24 kamar di kos ini. Aku masuk ke kamar tiga kali empat yang tidak tertata dengan rapi akibat terlalu banyak barang di dalamnya. Panda langsung tiduran di kasurnya, bermain dengan blackberrynya, seperti biasa.
“Emang kaya gini tempatnya, tapi anggap aja kaya kamar sendiri.”
“Tempatnya bagus kok, sederhana, aku suka tempat kaya gini.”
“Nanti malam mau kemana?”
“Nggak tahu, mungkin cari hotel.”
“Ngapain cari hotel, tidur sini aja. Kalo aku ke Jogja kan tinggal ditempatmu, kalo kamu kesini
tidur sini aja” Aku semakin senang dengan keterbukaan Panda.
“Makasih.”
“Biasa wae.” Balasnya datar, logat ini tak pernah berubah darinya.”
“Jadi nanti malam kita mau pergi kemana? Aku kan nggak tahu daerah Bandung.”
“Nggak tahu juga. Do you wanna take a shoot?”
“That will be great!”
“Ada kafe yang cukup cozy deket sini, nant i malam kita kesana aja.”
***
Sepertinya es yang membekukan kami mulai mencair. Kami banyak berbincang tentang kehidupan kami masing-masing. Kami seolah lupa akan waktu hingga malam datang tanpa kami sadari. Tetapi sayangnya kami arus mengurungkan niat kami untuk pergi keluar, hujan lebat turun disaat kami berdua ingin pergi keluar. Kami juga sempat kebingungan mencari lilin karena
listrik tiba-tiba mati.
Sepertinya aku akan melewatkan malam yang menyenangkan bersamanya. Tapi apa boleh buat,
walau aku melawan, aku bukan lawan yang sebanding dengan alam. Aku merebahkan diriku di
lantai, berdiam diri. Panda masih sibuk bermain BB-nya.
“Ngapain t iduran disitu, di sini lo.” Pintanya melihat diriku tiduran di lantai.
“Di sini aja nggak apa-apa.” Aku sedikit sungkan.
“Yaudah kamu sini, aku situ.” Dia memaksa.
“Yaudah kita berdua tiduran di kasur.” Aku berpindah kesisinya. Aku melihat wajahnya yang
sedang sibuk bermain BB. Sepertinya dia sadar dan meletakkan BB-nya.
“Sayang kita nggak bisa keluar malam ini, aku nggak bisa nunjukin kamu tempat yang bagus
untuk minum dan ngobrol.”
“Nggak apa-apa kok, santai aja. Setidaknya tujuanku di sini sudah tercapai.”
“Emang apa tujuanmu kesini?” Tanyanya heran.
“Bertemu dengamu.” Jawabku singkat. Aku mengalungkan tanganku ketubuhnya, memeluknya
sedikit mesra.
“Jangan menye-mnye ah, tumben dirimu kaya gitu.”
“Ah biarin, mumpung ada kamu.”
“Risih tahu!” Balasnya kesal. Aku melepas pelukanku. Ternyata dia tidak menyukai apa yang
aku lakukan padanya.
“Maaf ya.”
“Iya biasa aja.”
“Maksudku, aku bener-bener minta maaf.”
“Kan aku bilang iya, ya udah sih.”
“Hmm…aku minta maaf untuk yang dulu.”
“Yang dulu gimana?” Tanyanya heran.
“Ya dulu aku menyia-nyiakan dirimu. Pokoknya aku merasa punya banyak salah sama kamu.
Masih ingat kan ketika kau pingsan di depan rumahku? Masih ingat juga kan waktu aku…”
“Udah, udah…males ingat kaya gituan.”
“Maaf….”
“Iya aku maafin, udah kan, kamu bisa tenang sekarang.”
“Nggak segampang itu juga.”
“Ah udah kita bahas yang lain aja.” Panda menghentikan pembicaraan. Mungkin aku tidak sadar
bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan maksudku. Aku kurang bisa membaca
situasi, tetapi aku juga tidak mau menunda-nunda. Sudah lama sekali aku menyimpan perasaan
bersalah ini.
Kami terdiam entah berapa lama. Lilin yang menyala leleh tinggal seperempat batang. Sepertinya aku tidak akan berbuat banyak, lebih baik aku alirkan saja alur hidupku. Tidak ingin
ini-itu. Lama-lama cahaya lilin semakin redup dan akhirnya sirna. Kami berdua dilahap kegelapan.
Aku mencoba memejamkan mataku mencoba untuk tidur. Tiba-tiba Panda memelukku erat, aku
tak tahu pertanda apakah ini.
“Kamu nggak apa-apa.” Aku bertanya. Panda hanya diam tidak membalas. Aku mendengar dia
sesegukan.
“Kamu pilek atau mimisan lagi ya?” Aku mencoba meraba pipinya. Kurasakan pipinya sudah
basah oleh air matanya. Hatiku terhujam kaget. Bingung ada apa dengannya.
“Kamu kenapa?” Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Mencoba untuk lebih dekat dan
intim.
“Aku bingung mas.” Balasnya singkat.
“Bingung kenapa?” Aku memeluknya semakin erat.
“Besok sore kamu sudah pulang, bentar banget di sini.”
“Ya kan aku harus kerja hari Senin. Tapi besok aku akan datang kesini lagi kalo ada waktu
luang.”
“Kapan.” Tanyanya sedih.
“Mungkin bulan Februari.” Balasku ragu.
“Ya sudah aku tunggu di sini.”
Seperti matahari dia membuat hatiku meleleh dengan kata-katanya. Dia bilang akan menungguku
di sini. Bukankah itu harapan bagiku. Harapan bagi kehidupan di mana aku berada diantaranya. Menentukan sebuah takdir sederhana. Dan aku akan menunggu kapan itu akan terwujud, aku akan melalui malam demi malam hingga matahari muncul di dalam kehidupanku.
Tentang Cinta 23 Desember 2012
Panda POV
Sepertinya baru tadi aku bersama Beaver, kini aku berada di Stasiun Kiaracondong untuk melepasnya pergi. Dia terlihat gagah sore ini menyandang tas backpacknya. Raut mukanya berubah lebih ceria ketimbang pertama kali kulihat di Mc D. Sebelum aku pergi, aku menuliskan sebuah surat untuknya. Aku bungkus itu kedalam amplop kecil warna putih. Aku hanya bisa mengantarnya sampai depan peron saja. Peraturan kereta terbaru yang membuatku kesal saat ini. Apakah mereka tidak bisa memahami orang-orang seperti kami yang ingin melepas belahan hati sampai di detik-detik terakhir perpisahan.
“Sepert inya aku harus pergi.” Kata beaver. Perpisahannya berbarengan dengan bunyi peluit kereta,tanda keberangkatan.
“Ya, sepert inya kamu harus pergi.”
“Terima kasih banyak ya.” Dia tersenyum manis kepadaku.
“Kamu baik-baik di sana ya.” Aku memeluknya erat.
“Sampai ketemu lagi di Bulan Februari.” Janjinya.
Aku benar-benar tak rela melepasnya. Tapi apa boleh buat. Aku serahkan surat itu didetik-detik
terakhir kepergiannya.
“Bacalah ketika sudah sampai di Jogja.” Pintaku.
“I’ ll back!” Dia mengulang janjinya sambil berlalu.
Kini tinggal aku sendiri di sini. Dia pergi bersama kereta dengan laju kencang menuju kotanya,
Yogyakarta. Aku sudah memenuhi panggilan tanda, dan aku menyerahkan semuanya padanya. Semesta yang damai, jika dia bisa mendengarku. Aku tidak berharap apa-apa karena cukuplah cinta, itu saja. Jika memang dikemudian hari aku harus melewati sungai yang berjeram dalam serta bebatuan besar. Aku rela, aku menyerahkan diriku seutuhnya pada cinta.
***
Beaver POV
24 Desember 2012
Pagi harinya aku sampai di Jogja. Mentari menyambut mesra, menghangatkan. Aku berkemas dan pergi keluar dari kereta. Aku mengambil surat dari Panda dari sakuku. Kubuka perlahan dengan keingintahuan yang tinggi. Sebuah kertas kecil tersirat di sana.
Cinta tidak memberikan apa-apa kecuali keseluruhan dirinya, utuh-penuh,
Pun dia tidak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki;
Karena cinta telah cukup untuk cinta.
(Kahlil Gibran)
………………………………….
Aku menatap langit jingga diatasku. Melihat burung-burung gereja beterbangan menyambut
kehidupan. Aku terdiam diantara lalu-lalang orang-orang. Jika benar cinta telah cukup untuk
cinta, maka kali ini aku seolah menjadi seperti elang. Terbang seperti elang. Hidup.
--- THE END ---
ini hanya cerita terpotong yang dibuat oleh beaver. dia memang pintar bercerita
ayo dok, kasih clue cerita yg dulu.
rencana hanya ingin by moments saja bung @adinu
Huhuu ga jd baca deh.