It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Yang mengerti yang kumau, yang kusuka, yang kubenci
Dan dirimu satu yang terbaik
Yang pernah aku miliki, saat ini, sampai nanti
Just for you, I give you all my heart
I give you all the sweetest things
Cause you’re the one and the best I ever have
Just for you, I give you all my love
I give you all that I can give
Cause you’re the one and the best I ever have
Just for you…
Just For You—Dinda and Abdul (The Coffe Theory)
***
Moza’s Point of View
“Gue mau istirahat di kamar dulu, Ga. Capek banget. Sekaligus gue mau rapihin barang bawaan gue. Sampai ketemu nanti.” Aku berkata sambil tersenyum ramah pada Yoga serta melambaikan tangan kananku yang sedang tidak memegang apa-apa.
Yoga membalas senyumanku lalu mengangguk. Tangannya menarik koper berkulit hitam legam miliknya lalu dibawanya koper itu ke dalam kamarnya. Ia membuka pintu itu dengan kunci yang tadi tersimpan di saku kemeja warna biru polosnya. Sebelum menutup pintu, Yoga menyempatkan untuk tersenyum padaku sekali lagi. Dari senyumannya saja dapat diketahui dengan jelas kalau dia sedang merasa sangat-sangat kelelahan. Sama sepertiku, aku juga benar-benar merasa lelah.
Yoga adalah adik kelasku di sekolah. Dia adalah anak yang sangat cerdas. Benar-benar cerdas. Apalagi dalam pelajaran chemistry. Buktinya sekarang ia sedang mengikuti Olimpiade Sains Nasional bersamaku. Hanya saja aku tidak mengikuti olimpiade pada bidang chemistry. Aku mengikuti olimpiade pada bidang geoscience—bidang yang benar-benar kusukai sejak dulu—atau istilah lainnya adalah earth science, sedangkan orang Indonesia sering menyebutnya sebagai ilmu kebumian.
Kami berdua merupakan salah satu wakil dari Jawa Tengah yang didaulat untuk mengikuti olimpiade selama seminggu penuh di Kota Bandung. Kota yang dua tahun yang lalu pernah kutempati dengan nyaman bersama keluargaku. Namun, karena tuntutan perusahaan ayahku yang mengharuskan ayah bekerja di Sragen, Jawa Tengah, aku terpaksa mengikutinya pindah dan meninggalkan sejuta kenangan yang pernah kutorehkan di kota ini.
Kami berdua dan wakil-wakil lain dari Jawa Tengah baru saja menginjakkan kakiku di bandara kota ini beberapa jam yang lalu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya aku bisa menginjakkan kakiku di Bandara Husein Sastranegara. Setelah menghirup udara bebas, semua wakil Jawa Tengah langsung dipisahkan menuju penginapan masing-masing menggunakan bus.
Aku dan Yoga—serta teman dari Jawa Tengah lain yang kurang kukenal karena berbeda sekolah—mendapat penginapan yang berada di daerah Dago Pakar bernama Marbella Suites Bandung. Kebetulan penginapan tersebut akan dihuni oleh peserta yang mengikuti olimpiade pada bidang computer, biology, chemistry serta geoscience. Sedangkan bidang yang lainseperti mathematics, physic, geography, astronomy dan economy menempati penginapan lain yang tidak kuketahui keberadaan pastinya.
Setelah turun dari bus yang mengangkut kami, kami diberikan briefing oleh seorang pembimbing mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan selanjutnya. Setelah mendengarkan pembimbing itu berceloteh panjang lebar, yang menurutku sangat tidak penting karena kami telah diberi rundown acara jauh-jauh hari, aku bergegas mencari kamarku untuk segera berisitirahat karena aku merasakan kepalaku sangat pusing. Perasaanku juga terasa tidak enak.
Ini pasti akibat efek perjalanan dengan bus tadi. Lagipula aku tidak begitu menikmati pemandangan Bandung saat di bus tadi, selain karena kepalaku yang pusing, aku juga punya sebuah alasan kenapa aku tidak menikmati Bandung saat duduk di bus tadi.
Alasan yang sama kenapa aku takut bila berada di Bandung. Alasan kenapa aku ingin segera pergi dari kota ini. Alasan kenapa aku ingin cepat-cepat pulang dan tak ingin kembali lagi ke sini. Kalau bukan karena tuntutan olimpiade, aku pasti akan dengan cepat dan tegas menolak untuk pergi ke kota yang udaranya sejuk ini.
Setelah berpisah dengan Yoga yang sudah masuk ke kamarnya, aku segera mencari kamarku. Tak lama kemudian aku menemukan kamarku. Tepat berada di ujung lorong ini. Aku mempercepat langkahku, tak sabar ingin segera membaringkan tubuh remukku ini ke kasur yang sudah bisa dipastikan akan sangat terasa empuk.
Tubuhku berhenti tepat di depan pintu. Aku mengetuk pintu tua berwarna cokelat itu. Sebenarnya aku sudah punya kunci kamarnya, hanya saja aku rasa ada seseorang di dalam kamar. Akan sangat tidak sopan sekali jika aku nyelonong masuk begitu saja.
Oh, iya. Dalam penginapan ini, setiap kamar ditempati oleh dua orang peserta yang memiliki bidang olimpiade yang berbeda, yang sudah ditentukan oleh panitia jauh-jauh hari. Dua peserta itu harus berjenis kelamin yang sama juga, tentu saja. Tidak mungkin kan panitia dengan bodohnya memasangkan dua orang manusia yang sedang menginjak usia remaja yang berbeda kelamin ditempatkan dalam satu kamar? Yang benar saja!
Aku kembali mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian terdengar suara langkah kaki menghampiri pintu. Aku memasang senyum lebar meski lelah, semanis mungkin, siapa tahu yang membukakan pintu ini adalah lelaki tampan yang fresh from the heaven. Yep, aku gay. Tidak mungkin kan aku memasang wajah menjijikkan di depan orang baru saja akan kukenal dan dia langsung illfeel kepadaku? Yang benar saja!
“Silakan masuk!”
Tiba-tiba saja aku membeku ditempatku. Suara itu…. Ah, tidak mungkin.
Bunyi derit pintu tua terdengar di depanku, tidak dikunci rupanya. Perlahan pintu itu terbuka, menampilkan orang yang sedang berdiri di belakangnya. Mata kami berdua bertemu, lama, lalu mataku terbelalak kaget. Senyum lebarku tiba-tiba saja luntur. Bahuku yang sudah sangat lelah terasa terjun merosot dari tempatnya, begitu juga dengan jantungku. O-oh, tidak.
“Rayyi?!” pekikku.
Orang yang berdiri di depanku menunjukkan ekspresi yang sama denganku, terkejut. Hanya saja itu tidak berlangsung lama, karena orang itu langsung menundukkan wajahnya yang memerah padam dan langsung melangkahkan kakinya keluar dari kamar lalu pergi entah ke mana setelah menabrak bahuku dengan keras. Seperti dahulu. Sialan!
Oh, God! Kenapa aku harus bertemu dengan manusia itu lagi?
***
Flashback Mode: ON
Two Years Ago…
Aku membuka mataku perlahan lalu mengedip-ngedipkannya berkali-kali, mencoba mencari kesadaranku yang sekarang sedang tercacah entah kemana. Setelah otakku bereaksi dengan apa yang yang telah kulihat, langsung saja aku mendorong tubuh orang yang sedang berada di atas tubuhku. Orang itu terpekik tertahan lalu tertawa dengan keras.
Aku langsung bangun dan sadar seketika setelah mendengar tawa kerasnya yang cempreng. Aku duduk di atas kasurku lalu menggosok-gosokkan tanganku ke mata. “Apaan sih lo, Ray? Pagi-pagi udah bikin gue jantungan aja.” Aku memelototkan mataku meski aku tahu itu tidak akan berhasil karena mataku masih terasa mengantuk. “Gue kira lo itu kunti, tau gak? Nempel-nempel di tubuh orang sembarangan!” hardikku dengan nada yang tinggi sambil bergaya seperti orang yang marah, menggembungkan pipi dan memonyongkan bibir.
Aku melihat Rayyi beranjak dari lantai tempat jatuhnya tadi lalu berjalan mendekatiku dan duduk di sebelahku. Tangannya mengacak-acak rambutku yang sudah acak-acakan lalu terkekeh sendiri seperi orang gila. Dasar Kunyuk Gila! “Mana ada sih di dunia ini kunti yang secakep gue?” tanyanya dengan nada supersombong dan senyum lebar yang sangat… oke, harus kuakui, senyumnya memang manis. Manis sekali, bahkan. Aku langsung pura-pura membuat ekspresi seperti orang muntah.
Rayyi terkekeh sendiri, lagi. Apanya yang lucu, sih? Dasar Rayyi gila! Membuatku semakin kesal saja. “Iya, deh. Maafin gue, Za. Gue kan nempelin tubuh lo biar lo cepet bangun,” tuturnya perlahan. “Lagipula kalau gak pake cara tadi lo mungkin bisa hibernasi sampe musim lebaran berikutnya. Kalau hal itu sampe terjadi, gue jamin acara kita hari ini bakalan batal.”
Otakku masih belum bereaksi setelah beberapa detik Rayyi selesai berbicara panjang lebar. “Oh, iya. Gue inget!” pekikku. Hari ini aku ada janji dengan Rayyi. One Day with Super-Handsome-and-Cute-People, Rayyi, cetusnya dengan penuh nada bangga saat berkata padaku sebulan yang lalu, saat kami berdua sedang makan siang sambil membicarakan mengenai rencana mengisi hari terakhirku di Bandung. Hah! Mendengarnya ide konyolnya saja aku benar-benar ingin muntah. Benar, deh! Kalau saja saat itu aku tidak sedang makan, pasti aku akan benar-benar muntah mendengarnya.
“Kalau begitu gue mandi dulu, ya,” kataku sambil tersenyum kikuk, lalu berdiri dan menyambar handukku.
Meski nama acaranya super-menjijikkan, tapi setidaknya kegiatannya tidak membosankan. Bahkan sangat menggembirakan. Bagaimana tidak. Rayyi berjanji akan mengajakku ke Jalan Braga, Kebun Binatang Bandung dan membelikan pisang caramel sirup blueberry serta mochi es krim rasa blueberry secara gratis. Gratis-tis-tis! Bayangkan saja, dia akan mengajakku mengunjungi tempat yang kusuka lalu membelikan makanan favoritku, secara gratis. Orang normal macam apa coba yang menolak godaan sebesar itu?
“Mau gue temenin gak mandinya?” tanyanya dengan nada geli sekaligus mengejek. Argh, Kunyuk sialan! Aku membalikkan tubuhku yang hendak pergi ke kamar mandi lalu menatapnya dengan mata terpicing tajam.
Sebenarnya, aku mau-mau saja kalau dia mengajakku mandi bersama, haha. Apalagi aku sudah menyukai Rayyi sejak lama. Aku sangat-sangat sering membayangkan tubuhnya ketika telanjang lama-lama. Membayangkan kulit putihnya yang mungkin akan terasa manis jika dijilat. Apalagi bibir merah ranumnya selalu terlihat basah dan seksi setelah mandi atau setelah minum. Atau bahkan otot-otot lengannya yang… oh, lelaki tak normal mana coba yang tak bisa menahan godaan untuk—
“Hayooo, lagi mikir apa lo?” tanyanya dengan keras, membuatku tersentak dari lamunanku. “Ah, dasar! Pagi-pagi udah ngeres!” tebaknya dengan semangat lalu menjulurkan lidah panjangnya padaku. Sialan! Tebakannya benar. Aku ingin mengejarnya dan melempar wajah menyebalkannya itu dengan handukku, namun ia langsung lari menuju jendela kamarku.
Sebelum meloncat keluar dari jendela kamar, dengan sempat-sempatnya ia berkata usil, “Eh, itu tutupin selangkangan lo, Otak Ngeres!” ejeknya. “Senjata lo udah kayak mau nembak gue aja. Kabur, ah. Takut!” Ia menjulurkan lidahnya lagi dengan penuh kemenangan. “Gue mau mandi dulu, yak. Jangan lupa sarapan, biar gue gak bayarin sarapan lo nanti, itung-itung irit biaya. Jam tujuh gue udah ada di ruang tamu lo. Jangan telat!” Setelah puas mengejekku, ia meloncat keluar dari jendela kamarku yang berada di lantai dua.
Oh, jangan kaget. Aku dan dia sudah menjadi tetangga serta sahabat sejak kecil. Jadi jangan aneh dengan tingkah super-kunyuknya itu. Ia memang sangat-sangat sering, menggunakan jendela itu sebagai pintu keluar masuk karena memang kamar kami hanya terpisahkan oleh balkon kamarku yang berada di lantai dua. Jadi sangat mudah untuknya untuk mengunjungiku setiap saat, kapan pun dia mau, tanpa diketahui kedua orangtuanya dan kedua orangtuaku, yang sebenarnya sangat menggangguku karena perilaku super-kunyuknya itu mengganggu privasiku. Tinggal keluar dari jendelamu, pijakkan kakimu di balkonku. Dan… vóilà! Kau sudah berada di kamarku.
Oh, iya. Aku menyukainya sejak kecil. Tidak, ada ralat. Aku mencintainya. Sejak pertama kali bertemu dengannya. Senyumnya. Tawanya. Tatapannya. Tingkahnya. Ah, pokoknya, segala hal yang ada dalam dirinya membuatku gila, mencandunya. Terdengar sangat alay, memang. Tapi, mau bagaimana lagi? Memang itulah yang terjadi selama ini.
Sayangnya, pembaca harus kecewa. Begitu juga denganku. Rayyi itu straight. Buktinya, ia mempunyai delapan mantan pacar dan semuanya adalah perempuan, diumurnya yang baru kelima belas ini. Great record, right? Uh, aku juga hapal di luar kepala semua nama-nama mantannya. Mau kusebutkan satu persatu? Sebaiknya tidak. Karena mengingat kedelapan nama mantannya saja akan membuat semua hal yang ada disekitarku ini akan kacau balau. Percayalah, haha.
Namun, aku berencana memberitahu Rayyi semua rahasiaku padanya hari ini, hari terakhirku di Bandung, hari terakhirku melihatnya, mungkin. Aku akan memberitahu rahasiaku bahwa… bahwa aku pernah mencuri celana dalamnya! Oh, tidak. Itu tidak akan keberitahukan karena aku belum pernah melakukannya. Suer, deh. Yang benar saja! Moza? Mencuri celana dalam? Oh, dunia pasti kiamat.
Iya, aku berencana akan memberitahunya kalau aku itu gay. Bahwa aku juga menyu—mencintainya. Aku akan memberitahunya. Setidaknya kalau ia marah padaku, aku bisa segera kabur ke Sragen secepatnya dan memilih untuk tidak akan bertemu dengannya lagi, selamanya. Pemikiranku benar-benar sangat sempit, bukan?
“Eh, Otak Ngeres! Lo malah bengong kayak ayam di situ! Cepet mandi! Nanti telat!” Rayyi berteriak mencercaku dari kamarnya dengan tidak memakai pakaian sehelai pun, kecuali handuk yang tersampi di pinggangnya, tentu saja. Terlihat air menetes pelan dari rambut basahnya yang acak-acakan menuju bibirnya yang ranum merah serta basah. Errr…. Aku hanya tersenyum kikuk lagi lalu berjalan cepat menuju kamar mandi.
***
“Lo udah siap, Za?” tanya Rayyi. Mata hitamnnya menelitiku, dari kaki hingga ujung rambut. Begitu juga denganku. Aku meneliti tubuh Rayyi, pakaiannya juga. Ia sekarang sedang memakai kaus berwana kuning, yang dilapisi dengan kemeja warna putih polos yang tidak dikancingkan. Sangat serasi jika dipadukan dengan celana jeans hitamnya dan sepatu yang berwarna senada dengan celananya.
“Udah, kok.” Aku menjawab sambil tersenyum, memikirkan—God, ampuni dosaku karena telah menyebutkan kalimat laknat ini—One Day with Super-Handsome-and-Cute-People, Rayyi. Pasti akan banyak momen yang tidak akan terlupakan. Aku harus memotret setiap momennya. “Ah, tunggu sebentar,” pintaku pada Rayyi. Aku bergegas berlari menuju tangga, hendak menuju kamarku.
Beberapa saat kemudian aku kembali menuju ruang tamu sambil memegang kamera DLSR-ku dan menemukan Rayyi sedang duduk di kursi dengan kening berkerut memperhatikanku. Aku memasukan kameraku itu ke dalam tas selempangku yang sudah terisi dengan iPad dan dompetku.
“Lo pergi ke mana dulu tadi?” Rayyi bertanya sambil lalu padaku dan berdiri dari kursinya. Aku mengikuti langkah kakinya dan mengimbanginya.
Aku tersenyum jahil lalu berucap, “Habis ngambil si Kumpay dulu, siapa tahu nanti kita mau potret momen kemesraan kita.” Aku tertawa dalam hati melihat ekspresinya sekarang. Wajah Rayyi berubah kesal. Hah, satu sama! Lucu sekali melihat wajah kesalnya itu. Imut sekali.
Ah, iya. Si Kumpay itu sebutan untuk kamera DLSR Canon-ku. Aneh sekali, bukan, namanya? Bahkan dengan lancangnya Rayyi menyebutnya dengan sebutan si Kampung. Dasar, sialan! Padahal namanya saja yang kampungan, tapi kameranya masih bagus, kok. Suer, deh. Kamera itu merupakan hadiah dari pamanku yang bekerja sebagai wartawan di sebuah koran, saat pesta ulang tahunku dua tahun yang lalu. Aku juga ikut klub fotografi di sekolah. Selain karena untuk mengisi waktu luang, aku juga mengikuti klub itu karena aku sangat senang sekali memotret.
“Bu, kita berdua berangkat dulu!” Aku agak berteriak pada mamaku yang pasti sedang berada di dapur. Terdengar langkah kaki menghampiri kami. Kemudian muncul mamaku yang masih mengenakan celemek ungu kesayangannya yang terlihat kotor terkena debu, pasti mama sedang packing barang untuk pindahan. Harusnya aku ikut membantunya, tapi setelah aku tahu kalau mama menyewa petugas pindahan, jadi ya lebih baik aku ikut dengan Rayyi.
“Ya, sudah. Kalian cepat berangkat.” Mama berkata mendayu sambil tersenyum manis. “Nanti pulang jangan terlalu sore. Moza harus packing dan istirahat buat pindahan besok.” Mama menasehati kami berdua masih dengan senyum manis yang selalu mengembang dari bibirnya.
“Iya, Bu,” jawab Rayyi singkat yang diikuti oleh anggukkan kepala dari mama. Setelah itu, Rayyi mencium punggung tangan mama, begitu juga denganku. Kami baru saja akan melangkahkan kaki keluar pintu ketika mama tiba-tiba saja memanggilku lagi. Aku berbalik.
“Kalian akan naik kendaraan apa?” tanya Mama pada kami berdua, terselip nada khawatir dalam suaranya.
Aku menjawab singkat, “Mobil, Bu.”
“Kamu yakin mau naik mobil?” tanya mama seolah mencoba meyakinkanku untuk tidak naik mobil. Reaksi yang mama berikan sama seperti reaksi yang Rayyi berikan kemarin malam padaku saat kami berdua sedang mendiskusikan mengenai kendaraan apa yang akan kami pakai keesokan paginya. Dan… aku memilih mobil.
Aku sudah sering melihat reaksi khawatir dari banyak orang ketika aku membicarakan mobil. Jelas saja. Karena aku mengidap amaxophobia. Yep, aku takut sekali naik mobil, bawaan sejak lahir. Baik menyetir atau sekedar jadi penumpang. Ketika aku naik mobil, apapun jenis mobil itu, baik mobil pribadi, mobil umum, bus atau bahkan truk aku pasti akan menunjukkan reaksi yang sama. Aku akan berkeringat dingin lalu mulai merasakan pusing serta mual.
Jika perjalanannya sangat lama, bisa dipastikan aku akan pingsan. Benar, deh. Saat aku pergi ke kampung halaman mama di Cianjur dulu—dan Mama belum tahu kalau aku mengidap amaxophobia, aku langsung dilarikan ke UGD ketika begitu sampai di sana, padahal aku hanya pingsan saja. Silakan kalian tertawakan aku sepuasnya.
Perduli setan semua orang mau memanggilku kampungan karena aku tak bisa masuk mobil. Aku tak peduli. Aku hanya bisa naik motor, pesawat terbang, kereta api dan kapal laut. Kalau ada kuis berhadiah uang satu miliar yang menyuruhku untuk menaiki mobil, aku akan jelas menolaknya.
Bukannya munafik, tapi… Demi Tuhan, kalian harus merasakan bagaimana rasanya jadi aku ketika masuk ke dalam mobil. Rasanya benar-benar tersiksa. Serasa dijepit oleh banyak beton yang sangat berat, yang membuatku sesak napas lalu berkeringat dingin, mual dan pusing. Oke, virus alay mulai menghinggapiku lagi. Aku sudah beberapa kali menjalani hypnotherapy dan hal itu memang berhasil, namun hanya bertahan beberapa minggu saja dan… setelah itu, amaxophobia kembali menempeliku erat.
Itulah sebabnya Mama dan Rayyi khawatir. Tapi, aku tak apa-apa. Aku bisa saja naik motor dengan Rayyi, tapi aku tidak mau egois lagi sekarang, setidaknya di hari terakhirku bersama dengan Rayyi. Hmmm… Rayyi tidak suka naik motor. Dia tidak punya motorphobia, tapi dia akan masuk angin jika naik motor, meski ia memakai jaket musim dingin yang sangat tebal sekalipun. Silakan kalian tertawa lagi, aku bahkan sering menertawakannya karena itu.
Namun anehnya, Rayyi selalu bersedia, bahkan memaksaku untuk mengantar-jemputku ketika ke sekolah setiap hari. Aku tahu dia merasa sangat tersiksa ketika sudah turun dari motor, yang selalu membuatku tidak enak dengannya. Padahal aku bisa diantar naik motor oleh Mang Asep, pembantu mama, kalau aku mau. Tapi, bukan Rayyi kalau tidak keras kepala. Dia bilang kalau aku naik motornya, ia lebih bisa menjagaku dibanding Mang Asep. Huh, sok pahlawan!
“Tenang, Bu. Aku bawa obat penenang, kok.” Senyum menenangkan terselip di bibirku. “Tadi aku sudah minum satu.” Aku menunjukkan obat yang tersimpan di saku celana jeansku lalu tersenyum lebar. Setelah mama puas melihat obat itu, aku memasukkannya kembali.
Hanya obat penenanglah yang bisa membantuku mengobati amaxophobia yang kumiliki. Oh, beri standing applause untuk siapapun manusia mulia pencipta obat penenang! Meski obat penenang hanya bisa digunakan untuk perjalanan dalam kota, tapi tetap saja itu sangat membantu sesekali.
Mama tersenyum mengerti lalu mengangguk pertanda ia mengizinkanku untuk pergi dengan Rayyi menggunakan mobil. Kami melangkahkan kaki kami keluar dari rumah lalu segera masuk mobil Mazda putih miliki Rayyi. Next destination: Braga Street.
***
To be continued...
:x =D> O:-) ^:)^ :o3
jgn lupa mention yah
seru ceritanya,, lanjut bang,, jngn lupa mention..
Rayyi hanya terkekeh kecil. “Biarin.” Lidah sialannya itu terjulur lagi dari bibirnya.
Aku hanya bisa mendengus pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalaku dan tersenyum minta maaf pada orang di sekitarku yang merasa terganggu akan tingkah kami. Jujur saja, hati kecilku benar-benar terlonjak-lonjak senang mendapat perlakuan superistimewa dari Rayyi saat ini. Ah, semoga saja perlakuannya ini bisa bertahan untuk selam—Ah!
Tanpa sadar aku terpekik kaget lagi ketika Rayyi menarik tanganku cepat. Aku ingin melepaskan tangannya dari tanganku, tapi ia semakin menggenggamnya erat. Karena tak mampu melakukan apapun, akhirnya aku hanya bisa mengikuti langkah kakinya menyusuri trotoar di pinggir Jalan Braga.
Setelah beberapa lama mengikuti langkah kakinya, aku baru sadar akan di tarik ke mana olehnya. Pasti aku akan dibawa ke Braga Huis Café & Resto. Aku yakin benar akan hal itu soalnya kami sudah biasa mengunjungi café itu setiap kali menyambangi Jalan Braga. Braga Huis Café & Resto bisa dibilang sebagai pusat perhatian di Jalan Braga. Bagian depan café ini biasa dijadikan tempat foto oleh wisatawan yang menyambangi Jalan Braga. Bisa dibilang, jangan pergi dari Jalan Braga dulu kalau belum berfoto di depan jendela Braga Huis Café & Resto.
Braga Huis Café & Resto. Café tua itu didominasi dengan gaya Belanda. Temboknya yang sengaja diberi motif bata dicat dengan warna putih seluruhnya. Terdapat tiga buah jendela berwarna coklat kayu yang menjorok ke trotoar. Jendela itulah ciri khas Braga Huis Café & Resto. Pada bagian atas jendela itu terdapat tenda kecil dengan warna coklat kayu yang memiliki tulisan berbeda-beda tiap-tiap jendelanya. Ada yang bertuliskan BRAGA HUIS Crêpes, BRAGA HUIS Beer dan BRAGA HUIS Coffe.
“Kita foto dulu di sini, ya?” pinta Rayyi sambil mengangkat si Kumpay dengan tangan kirinya.
Aku mengerutkan keningku heran. “Bukankah kita sudah sangat-sangat sering berfoto di sini?” Rayyi menganggukkan kepalanya. “Jadi tidak perlu lagi kan? Kita berfoto di tempat lain saja.”
Namun, bukannya mendengarkanku, Rayyi malah menarik tanganku dan menempatkanku di depan jendela tua Braga Huis Café & Resto yang tendanya bertuliskan BRAGA HUIS Crêpes. Terpaksa, aku menurutinya dan mulai memasang beberapa pose. Setelah beberapa kali memotretku, Rayyi menghampiriku lalu menyerahkan kamera kepadaku dan berucap, “Sekarang giliran gue.”
“Nggak mau. Foto aja sendiri.” Rayyi mengerutkan keningnya kesal dan menatapku tajam. “Iya, iya. Boleh,” kataku akhirnya setelah tak tahan ditatap tajam seperti itu. “Asal traktir gue makan di dalam, ya?” pintaku dengan senyum yang sangat lebar sambil menunjuk bangunan Braga Huis Café & Resto dengan tanganku yang bebas.
Rayyi menimbang-nimbang sebentar lalu mengangguk. “Boleh. Nanti mau makan apa? Jangan yang mahal-mahal, ya.” Aku tertawa tertahan ketika mendengar perkataannya. “Bagaimana kalau hazelnut delight dan chicken steak, lo mau?” tawarnya.
Aku berpikir sebentar sambil mengetuk-ketukan jari telunjukku pada daguku lalu berujar, “Gue sering makan keduanya. Bagaimana kalau nutty macadamia dan tenderloin steak black pepper?” Aku dan Rayyi memang sering makan di Braga Huis Café & Resto jadi aku hapal benar menu makanan yang enak di sini.
Rayyi mendenguskan napasnya keras. “Itu mahal, bego!” Tapi, sesaat kemudian ekspresinya berubah mengalah. “Tapi, gak apa-apalah,” ujar Rayyi sambil memanggut-manggutkan kepalanya. Tangan kiri Rayyi menyerahkan si Kumpay padaku. “Sekarang lo foto gue!”
***
“Argh! Pokoknya gue gak mau pulang kalau gak ngeliat kangguru!” bentakku pada Rayyi yang sedang menarik lenganku secara kasar. Rayyi langsung menghentikan langkahnya lalu memandangku yang sedang memasang muka berang dan merajuk, tentu saja dengan pipi yang digembungkan dan bibir yang dimonyongkan, seperti biasa.
Rayyi mulai memasang mata melototnya, menusuk. Rahangnya juga mengeras. Sontak saja seluruh ekspresi berang dan merajuk di wajahku langsung luruh begitu saja, digantikan dengan ekspresi… takut. “Berhenti bersikap kekanak-kanakan!” berangnya tepat di depan wajahku. “Oke, gue tau kalau kita berdua masih SMP. Tapi, kelakuan yang lo tunjukin itu kayak anak SD—ah, bukan, tapi anak TK—tau, gak?!” Rayyi mendengus keras. “Moza, sadar dong! Lo itu bukan anak TK, tapi anak SMP! Tadi lo denger Mama bilang apa, gak? Kita gak boleh pulang terlalu sore! Lo harus packing buat pindah!” Suara yang dikeluarkan dari mulut Rayyi benar-benar keras, sampai-sampai orang yang ada di sekitarku memperhatikan kami berdua.
Aku hanya bisa menunduk lesu lalu mengangguk lemah karena benar-benar terkaget dengan amarahnya. “Ya, udah. Kita pulang sekarang, yuk,” ajakku lesu. Karena Rayyi masih mematung di tempatnya, aku memutuskan untuk berjalan mendahuluinya, dengan langkah gontai. Sebenarnya, aku sering sekali melihat Rayyi memelototkan matanya, tapi aku baru pertama kalinya melihat Rayyi memarahiku, membentakku.
Baru saja aku akan keluar dari gerbang Kebun Binatang Bandung, tanganku ditarik oleh seseorang dari belakang. Oleh Rayyi, tentu saja. Tarikan tangannya yang agak keras membuatku berbalik menghadapnya. Tatapan kami berdua bertemu. Aku bisa melihat tatapan Rayyi yang terlihat sangat menyesal.
“Maafin gue,” pintanya dengan nada memelas. Matanya berbinar-binar.
Aku mencoba memaksakan senyumku, meski agak sulit karena aku masih agak kacau tadi. “Gue gak apa-apa, kok. Harusnya gue yang minta maaf karena berbuat kayak anak kecil tadi—eh, atau gue selama ini selalu bertingkah kayak anak kecil, ya?” Aku terkekeh pelan, terdengar sangat tidak natural. “Yuk, kita pulang,” ajakku lalu berbalik lagi ketika tidak mendapat respon apapun dari Rayyi. Aku menarik tangannya, tapi ia tidak bergerak dari tempatnya.
Aku membalikkan badanku lagi dan mendapati Rayyi sedang menundukkan kepalanya. “Eh, kok malah diem di situ? Cepet kita pulang. Nanti kita keburu keabisan pisang caramel dan mochi es krim blueberry-nya, tokonya kan selalu ludes keabisan kalau jam segini.” Sekarang aku tersenyum, berusaha membuat Rayyi melupakan kejadian tadi karena aku tidak mau lagi mengingat-ingat kejadian menyeramkan tadi.
“Kita liat kangguru dulu, yuk.” Rayyi mengangkat kepalanya dan menatap wajahku muram. “Harusnya gue bikin lo bahagia hari ini,” rapalnya dengan senyum frustasi.
“Lo udah bikin gue bahagia, kok. Selalu bikin gue bahagia.” Aku kembali tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya. “Lo tenang aja, gue bisa ngeliat gambar kangguru di iPad gue, kok,” hiburku sambil memegang tas selempangku yang di dalamnya tersimpan iPad milikku. “Lagipula nanti di Sragen ada kebun binatang, jadi gue bisa ngeliat kanggurunya di sana.”
“Lo gak marah, kan?” Mata hitamnya yang selalu berkilat cerah sedang menatap mataku lekat.
Aku tertawa pelan. “Buat apa juga gue marah?” tanyaku padanya, lebih pada diriku sendiri. “Lagipula lo harus sering-sering marahin gue kayak tadi biar sifat buruk gue cepet hilang.”
“Maafin gue, gue janji gak akan marahin lo lagi.” Kedua belah bibirnya menguak membentuk senyuman yang sangat manis dan tulus. “Maaf, ya?”
Aku mendesah malas sambil memutar bola mataku. “Iya, iya, Kunyuk! Gue maafin.”
***
Aku sudah pulang dari—aku pasti akan mual—One Day with Super-Handsome-and-Cute-People, Rayyi. Setelah pulang, aku langsung membereskan barang yang ada di kamarku untuk disimpan dalam kardus yang akan dibawa pindah nantinya, meski dibantu oleh Rayyi.
Sekarang aku sedang duduk di pinggir kolam berenang yang ada di belakang rumahku bersama Rayyi menghadap matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Aku menenggelamkan kakiku ke dalam kolam renang dan mengayunkannya pelan meski agak berat. Tangan kananku memegang pisang caramel toping blueberry yang sudah kumakan habis setengahnya. Sedang, tangan kiriku memegang mochi es krim blueberry yang es krimnya sudah agak melumer di tanganku. Hmmm… enak sekali.
“Dasar bocah!” bisik Rayyi di telinga kananku, membuatku agak sedikit merinding. Tangan kirinya terangkat lalu mengusap jarinya itu di bibirku yang berlumuran es krim blueberry. Gerakan tiba-tibanya itu membuatku tersentak dan membuat mochi es krim yang kupegang jatuh ke tanah. Sialan! Padahal itu mochi terakhir! Rayyi hanya bisa terkekeh pelan sambil menatapku geli tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sialan!
Aku memanyunkan bibirku. Oke, saat SMA nanti aku akan berusaha menghilangkan kebiasaanku ini dan mendengarkan perkataan Rayyi saat di kebun binatang tadi. Aku membalas tatapannya dan memperhatikan bentuk wajahnya.
Hidungnya yang lebih mancung dariku itu selalu berhasil menghipnotisku untuk menyentuhnya dan mengecupnya pelan. Bibir ranum merahnya yang selalu terlihat basah setelah minum atau mandi selalu sukses membawaku ke dalam fantasiku yang benar-benar gila. Lalu, mataku beralih pada mata indahnya. Mata hitamnya yang selalu berkilat cerah ketika menatapku.
Setelah menatap mata hitamnya lama-lama, tiba-tiba saja aku teringat akan mata melotot marahnya tadi. Aku jadi takut jika mengingat itu. Aku takut Rayyi memasang mata melototnya lagi yang terlihat sangat menyeramkan. Semenjak melihat mata melotonya itu di kebun binatang, aku jadi mengurungkan niatku untuk mengakui bahwa aku gay dan mencintainya. Aku takut Rayyi marah akan pernyataanku dan memasang mata melototnya lagi. Aku juga takut kalau… Rayyi akan menjau—
Tiba-tiba saja Rayyi menempelkan bibirnya di bibirku lalu menekannya pelan. God, Rayyi menciumku?! Beberapa detik lamanya aku hanya bisa diam. Ketika bibir Rayyi mengulum bibir bawahku, sontak saja aku tersadar dan mundur beberapa langkah ke belakang lalu mengusap bibirku dengan punggung tanganku.
Oh, aku bukannya tidak mau dicium Rayyi, Demi Tuhan, aku benar-benar mau menerima ciumannya! Hanya saja, tadi aku merasa… kaget. Benar-benar kaget. Aku makin terkaget melihat Rayyi yang terkekeh pelan dan tenang. Setelah kekehannya terhenti, tangannya mengambil iPad-ku tenang seolah tidak ada kejadian aneh yang dilakukannya tadi. Apa maksudnya ini?
“Gue mau bicara sama lo nanti, tapi sekarang gue mau ke toilet bentar,” pintaku dengan raut wajah serius. Karena pusing memikirkan kejadian super-membingungkan tadi, aku membalikkan tubuhku ke dalam rumah, hendak pergi ke toilet. Sekaligus membasuh mukaku, yang aku yakini sekarang sedang sangat memerah. Aku tidak mau ditertawakan Rayyi karena ekspresiku terlihat sangat aneh.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dari toilet lalu bergegas menuju kolam renang. Ketika aku akan membuka pintu kolam renang, aku dikagetkan dengan pintu yang terjeblak terbuka dengan keras. Rayyi muncul dibelakangnya tengah menunduk dengan wajah merah padam. Aku yang masih terkaget dengan kejadian barusan, langsung dikejutkan lagi dengan sentakan bahu Rayyi yang keras di bahuku. Aku mundur beberapa langkah ke belakang karena tidak bisa menjaga keseimbangan. Setelah sukses membuatku kehilangan keseimbangan, Rayyi segera pergi dengan langkah menghentak.
“Ra-Rayyi!” panggilku dengan suara tergagap karena terlalu kaget dengan kejadian yang baru saja terjadi. Namun, Rayyi malah berlari dan tak mendengarkan panggilanku beberapa kali. Aku ingin mengejarnya tapi aku urungkan karena aku ingin menunggunya hingga amarahnya sedikit luntur.
Tetapi, setelah aku menunggu sampai beberapa puluh menit, aku tidak melihat sedikit bagian pun dari batang hidung mancung Rayyi. Aku langsung melangkahkan kakiku ke rumahnya yang ada di sebelahku, aku tak mau meninggalkan kota ini sebelum Rayyi memaafkanku, apapun kesalahanku.
Ketika aku pergi ke rumahnya, ibunya bilang, Rayyi tidak ada di rumah. Aku tahu ibu Rayyi berkata jujur. Jadi, sekarang Rayyi sedang kabur dari rumahnya dan juga kabur… dariku. Aku tidak tahu alasan apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Aku juga tidak tahu kenapa ia memasang wajah memerah padam. Aku tidak bisa mengartikan ekspresi wajahnya ketika sedang berada di pintu kolam renang. Apakah dia marah padaku?
Sialan, kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Padahal ini hari terakhirku di Bandung. Hari terakhirku bersamanya. Dan… dia malah berbuat seperti itu padaku. Apa dia marah karena telah menciumku tadi? Tapi… tadi dia malah terkekeh pelan setelah menciumku tadi. Ia tidak akan terkekeh kalau marah karena ciuman kita.
Ternyata, ia begitu bukan karena ia menciumku tadi. Tapi, karena ia telah melihat isi iPad-ku. Aku yakin benar tentang itu. Ketika aku kembali ke kolam renangku, aku menemukan iPad-ku dalam keadaan menyala. Isinya sudah bisa kutebak. Isinya adalah cerita gay yang belum selesai kubaca, Hair Bad Day bagian ke-sembilan yang ditulis oleh Verbi Pratama. Aku yakin kalau Rayyi membuka iPad-ku dan melihat cerita yang belum selesai kubaca itu. Apalagi yang dibacanya adalah cerita pada bagian seks yang paling hot-hotnya. Sialan!
Sudah sangat jelas ia akan marah padaku. Ia pasti akan marah karena aku gay. Ia juga pasti malu karena memiliki seorang teman gay. Ia juga pasti kecewa karena aku menutupi kenyataan penting itu darinya. Sebagai sahabatku dari kecil, pasti ia merasa telah dikhianati dan dibohongi.
Aku memang pantas dijauhi olehnya. Sangat-sangat pantas.
***
@darwin_knight
@kimo_chie
@agran
@Levinna
@Monic
@alexislexis
@MozaPrayata
Sorry narik, ada update. Oh, iya. Satu part lagi tamat.