BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

true story: mas adi (setting cerita tahun 90an)

edited November 2013 in BoyzStories

Saat itu aku duduk di bangku kelas 3 SD, dimana keluargaku masih tinggal satu rumah dengan kakek dan nenek di Jogja. Suatu ketika di kotaku diadakan kompetisi olah raga antar sekolah yang diikuti oleh beberapa sekolah di wilayah Jawa Tengah. Kakak sepupuku yang bernama Adi ikut dalam salah satu tim olah raga dari kota Semarang. Saat itu dia duduk di bangku SMA kelas 1, tinggi tubuhnya mungkin sekitar 167 cm dengan postur tubuh langsing.
Karena rumah tinggal kami tidak terlalu besar, maka aku harus berbagi kamar tidur dengan Mas Adi. Di kamarku disiapkan kasur tambahan yang diletakkan di lantai bersebelahan dengan tempat tidurku.
Suatu siang saat aku sedang merebahkan diri di tempat tidurku, Mas Adi masuk ke kamar dan mulai melepas satu persatu seragam olah raga yang dia kenakan. Pertama ia lepas kaos olah raganya yang sudah tampak kotor dan bercampur dengan keringat, kemudian perlahan-lahan dia mulai melepaskan celana trainingnya. Saat itu tubuh langsing Mas Adi tinggal berbalut celana dalam warna biru yang sudah tampak sedikit usang. Selanjutnya dia mengambil handuk yang ada di dalam tas ranselnya kemudian dibalutkan di pinggang.
"Mau mandi Mas?"tanyaku spontan.
"Eh…kirain dah tidur Dik..Mas Adi mau pijat. Badan Mas pegel semua."kata Mas Adi sambil memijit-mijit tengkuknya.
"Lha udah dapet tukang pijat?"
"Udah kok. Tadi aku minta tolong Mbok Wariyem untuk manggil dukun pijat."
Tak lama kemudian aku dengar pintu kamarku diketuk oleh Mbok Wariyem, pembantu rumahku.
"Mas Adi! Dukun pijet e mpun teka niku!" ( Mas Adi! Dukun pijetnya sudah datang tu!) katanya dari balik pintu kamarku.
"Diken mlebet mawon Mbok!" (Disuruh masuk aja Mbok!) kata Mas Adi.
Tak lama kemudian pintu kamarku dibuka dari luar, dan dukun pijat itu masuk.
"Kulo nuwun!" (Permisi) kata dukun itu.
"Monggo Pak, kulo Adi!" (Mari Pak, saya Adi) sapa Mas Adi sambil memperkenalkan diri.
"Narjo!” kata dukun itu memperkenalkan namanya kepada Mas Adi.
“Sampeyan sing arep dipijet Dik?” (Kamu yang mau dipijat Dik?) tanya dukun itu.
"Inggih Pak!" (Iya Pak) kata Mas Adi menjawab pertanyaan Pak Narjo.
"Oh yo wis, mengkurep dhisik! Dipijet seko geger sek yo Dik!" (Oh baik kalo begitu tengkurap dulu! Dipijat dari punggung dulu ya Dik!)
Kemudian Mas Adi tengkurap di kasur yang ada di lantai. Pak Narjo duduk di samping Mas Adi sambil menyiapkan botol minyak ramuan yang dia bungkus dalam handuk kecil.
"Sori ngganggu istirahat siangnya ya Dik!" kata Mas Adi kepadaku.
"Gapapa Mas!" jawabku.
Saat itu aku mulai membaringkan tubuh di tempat tidur sambil memperhatikan Mas Adi yang yang sudah siap dipijat oleh Pak Narjo. Aku lihat Pak Narjo mulai meratakan minyak urut di sekujur punggung Mas Adi dan mulai mengurut dari punggung bagian bawah sampai ke dekat tengkuknya. Selama memijat, dukun pijat yang usianya mendekati 50 tahun itu kadang bercengkrama dengan Mas Adi. Mulai dari tanya sekolah dimana, kelas berapa, juara berapa timnya saat lomba dan lain sebagainya. Setelah bagian pungung kemudian bagian kaki Mas Adi merupakan bagian selanjutnya yang dipijat oleh Pak Narjo.
Saat itu aku kadang menutup mataku sambil membalikan badanku. Namun saat rasa penasaranku muncul, kubalikkan lagi badanku untuk melihat ke arah Mas Adi yang yang sedang dipijat oleh Pak Narjo.
"Iketan handuk e dilepas sek Dik!" (Ikatan handuknya dilepas dulu Dik!) perintah Pak Narjo kepada kakak sepupuku yang masih dalam posisi tengkurap.
Aku lihat Mas Adi sedikit mengangkat bagian perutnya dari kasur dan mulai melepaskan ikatan handuk yang berada di bawah pusar. Selanjutnya Pak Narjo membuka bagian handuk yang menutupi bagian pantat kakak sepupuku.
"Iki cawet e dilepas sisan Dik, ben ora keno minyak pijet!" (Ini celana dalamnya sekalian dilepas Dik, biar nggak kena minyak pijat!) perintah Pak Narjo saat melihat Mas Adi masih mengenakan celana dalam warna biru.
Entah kenapa seketika jantungku mulai berdegup tak beraturan mendengar perintah Pak Narjo kepada Mas Adi. Tampaknya Mas Adi akan dipijat dalam keadaan telanjang. Saat itu kuperhatikan Mas Adi kembali mengangkat bagian perutnya dan mulai memegangi tali elastis celana dalamnya. Pelan-pelan dia pelorotkan celana dalam yang dia kenakan dibantu oleh Pak Narjo. Kemudian celana dalam itu oleh Pak Narjo diletakkan di sampingnya. Selanjutnya Pak Narjo mulai memijat paha belakang Mas Adi menuju ke arah pantat. Setelah kedua paha bagian belakang selsesai dipijat, Pak Narjo meminta Mas Adi untuk membalikkan badan.
"Saiki mlumah Dik!" (Sekarang terlentang Dik!)perintah Pak Narjo kepada kakak sepupuku yang masih tengkurap.
Perlahan Mas Adi mulai membalikkan badan sambil memegangi handuk yang sudah terlepas dari pinggangnya untuk menutupi bagian selakang. Ternyata kakak sepupuku masih punya rasa malu meskipun yang memijat seorang laki-laki yang sudah hampir lanjut usia. Mas Adi merebahkan tubuhnya dalam posisi terlentang dan handuknya dia gunakan untuk menutupi bagian pusar ke bawah. Pak Narjo mulai melanjutkan pijatan pada bagian lengan kakak sepupuku. Saat itu aku manfaatkan waktu untuk membalikkan badan sambil membekap guling supaya Mas Adi mengira aku sudah tertidur.
Setelah beberapa saat aku mendengar Pak Narjo membuka botol kecil yang berisi minyak pijat. Tampaknya bagian tubuh Mas Adi yang lain akan mendapatkan pijatan, sehingga aku membalikkan badan menghadap ke arah Mas Adi. Saat itu kuperhatikan kedua mata Mas Adi tertutup rapat seolah menikmati pijatan di sekujur tubuhnya. Selanjutnya aku lihat Pak Narjo meratakan minyak pijat di perut bagian bawah Mas Adi. Dengan menggunakan dua telapak tangannya perut kakak sepupuku diurut perlahan dari bagian bawah sampai mendekati pusar. Pijatan itu dilakukan berulang-ulang di perut bagian bawah Mas Adi, dan aku pehatikan pijatan Pak Narjo makin lama makin mengarah ke bawah. Handuk yang tadinya menutupi bagian bawah pusar Mas Adi makin melorot ke bawah seiring dengan pijatan yang dilakukan Pak Narjo. Hingga akhirnya handuk itu melorot sampai dekat pangkal kemaluan Mas Adi. Saat itu aku mulai dapat melihat rambut yang tumbuh mengelilingi pangkal kemaluannya. Setelah selesai memijat bagian perut kakak sepupuku, aku lihat Pak Narjo memegangi handuk yang masih menutupi bagian selakang Mas Adi kemudian disibakkan ke samping.
Sekejap aku tidak percaya melihat kejadian tersebut. Tubuh Mas Adi yang langsing saat itu benar-benar tidak tertutupi selembar kain pun. Saat itu kuperhatikan “burung” Mas Adi masih tampak lemas dengan ujungya mengarah ke selakang kanan. Sesaat Mas Adi sempat membuka mata dan melongok ke arah selakangnya yang sudah tidak tertutupi lagi. Selanjutnya Pak Narjo meratakan minyak pijat di paha kiri Mas Adi dan mulai memijat bagian tersebut mulai dari arah lutut menuju ke selakang. Mas Adi tampak menutup kembali matanya saat Pak Narjo mulai memijat paha kirinya. Aku sendiri memanfaatkan waktu untuk mengamati tubuh langsing Mas Adi yang sudah telanjang bulat dan bermandikan keringat bercampur minyak pijat. Mulai dari dadanya yang dihiasi sepasang puting berwarna kecoklatan, perutnya yang nampak ramping dengan guratan otot six pack nya yang mulai terbentuk. Kemudian berakhir di bagian selakang dimana otot kelelakian Mas Adi bersemayam. Aku amati seluruh bagian otot kelelakian Mas Adi dari batangnya yang nampak masih lemas dengan kulitnya yang berwarna kecoklatan dan berkerut-kerut. Di sekitar pangkal kemaluannya tampak ditumbuhi rambut yang cukup lebat dan kantung zakarnya tampak kencang berisi. Sesaat aku memperhatikan ujung kemaluan Mas Adi yang tampak membulat dengan lubang kencingnya yang mungil seperti bibir kecil. Waktu itu aku penasaran karena baru pertama kali melihat ujung kemaluan laki-laki yang disunat.
Tak terasa waktu berlalu begitu saja, dan Pak Narjo sudah selesai memijat paha kanan dan kiri Mas Adi. Setelah selesai memijat bagian paha Mas Adi, tukang urut itu kembali membasahi telapak tangannya menggunakan minyak pijat. Selanjutnya minyak pijat tersebut diratakan di bagian selakang Mas Adi mengitari pangkal kemaluannya. Saat itu Mas Adi tampak membuka mata memperhatikan jemari Pak Narjo mengolesi minyak di sekitar pangkal kemaluannya. Setelah itu Pak Narjo menempatkan kedua ibujarinya tepat di bawah kantung zakar Mas Adi. Kemudian perlahan memijat selakang kakak sepupuku mengitari buah zakarnya naik sampai ke bawah pusar. Pijatan di selakang Mas Adi dilakukan berulang-ulang oleh dukun pijat itu. Kuperhatikan ibujari Pak Narjo selalu bersentuhan dengan ujung kemaluan Mas Adi saat melakukan pijatan, karena saat itu batang kemaluan kakak sepupuku yang masih lemas cenderung menghadap ke selakang kanannya. Tampaknya karena sentuhan-sentuhan tersebut "burung" kakak sepupuku mulai bereaksi. Aku perhatikan batang kemaluan kakak sepupuku mulai memanjang perlahan-lahan dan ujungnya tampak menggelembung. Saat itu aku berusaha tidak mengedipkan mata karena ingin mengamati peristiwa alami tersebut. Hanya dalam waktu beberapa detik saja batang kemaluan kakak sepupuku sudah menegang penuh mengarah ke pusar. Urat-urat di sepanjang batang kemaluannya tampak bertonjolan ,dan ujungnya makin membengkak sehingga lubang kencingnya yang mungil tampak menganga lebar. Sesaat Mas Adi kembali membuka mata sambil memperhatikan ke arah kemaluannya yang sudah menegang. Pak Narjo tampaknya juga memperhatikan hal tersebut kemudian berkata,
“Koq “manuk”e wes ngadeg Dik?” (Koq “burung”nya sudah berdiri Dik?) tanya Pak Narjo sambil mempehatikan batang kemaluan Mas Adi yang saat itu sudah menegang penuh.
Mas Adi hanya diam dan tampak malu ditanya oleh dukun pijat itu.
"Rapopo, ra sah isin!" (Nggak apa, nggak usah malu!) katanya sambil tersenyum pada Mas Adi.
Namun tetap saja Mas Adi tampak terlihat malu dan kembali menutup matanya. Tak lama kemudian aku perhatikan dari lubang kencing Mas Adi seperti mengeluarkan setetes cairan bening yang lama-kelamaan tampak meleleh perlahan di ujungnya yang makin memerah. Aku pikir waktu itu Mas Adi menahan kencing tapi kelepasan sehingga saat dipijat menetes keluar.
Selanjutnya Pak Narjo berhenti sejenak untuk membasahi kedua telapak tangannya dengan minyak pijat. Kemudian dia pegangi batang kemaluan Mas Adi yang masih menegang menggunakan tangan kiri. Batang kemaluan Mas Adi yang tadinya menegang ke arah pusar dipegangi oleh Pak Narjo sehingga berdiri tegak mengacung ke arah langit-langit. Mas Adi kembali membuka mata dan memperhatikan tititnya yang sudah dipegangi dukun pijat itu.Perlahan-lahan dukun itu mulai meratakan minyak pijat pada batang kemaluan Mas Adi.
"Niku ajeng diurut juga Pak?" (Itu mau diurut juga Pak?) tanya Mas Adi kepada Pak Narjo, raut wajahnya memperlihatkan rasa khawatir.
"Iyo Dik, ben nek pipis lancar!" (Iya Dik, biar kalo pipis lancar) katanya kepada Mas Adi sambil meratakan minyak pada batang kemaluan Mas Adi yang sudah menegang dari tadi.
Saat Pak Narjo masih mengolesi minyak pada batang kemaluan Mas Adi, dari lubang kencing kakak sepupuku makin banyak meleleh keluar cairan bening. Tampaknya hal itu juga diperhatikan Pak Narjo sehingga dia mengambil handuk kecil yang dia bawa untuk mengusap ujung kemaluan Mas Adi yang tampak basah karena lelehan cairan yang keluar dari lubang kencingnya. Setelah itu ujung kemaluan Mas Adi juga ikut diolesi minyak pijat.
Setelah rata tangan kiri Pak Narjo tetap memegangi pangkal kemaluan Mas Adi supaya batang kemaluannya tetap berdiri tegak mengarah ke langit-langit. Perlahan-lahan jemari tangan kanannya mulai mengurut batang penis Mas Adi yang masih menegang. Batang kemaluan Mas Adi diurut perlahan dari pangkalnya menuju ke ujung. Saat jemari Pak Narjo sampai tepat di bawah ujung kemaluan Mas Adi yang tampak membulat itu, kulihat bagian tersebut seperti dipijit-pijit selama beberapa saat. Kemudian kembali lagi Pak Narjo mengurut batang kemaluan Mas Adi dari pangkalnya. Kuperhatikan raut wajah Mas Adi seperti gelisah sambil memperhatikan tititnya yang sedang diurut. Mas Adi juga tampak menarik napas panjang saat Pak Narjo mulai memijit-mijit bagian bawah kepala kemaluannya.
Baru tiga kali diurut tiba-tiba Mas Adi berusaha bangun sambil melihat ke arah tititnya yang sedang diurut. Tangan kanannya memegangi pergelangan tangan Pak Narjo yang masih mengurut batang kemaluannya.
"Aghh…Pak Pak…mpun..mpun…mandeg riyin!! Kulo kebelet pipis.!!!!" ( Aghh..Pak Pak…sudah..sudah…berhenti dulu!!Saya kebelet pipis!!!) rintih Mas Adi kepada Pak Narjo sambil tampak meringis-meringis.
Tampaknya Mas Adi memegangi pergelangan tangan Pak Narjo yang sedang memijat batang penisnya untuk berusaha menghentikan pijatan di bagian tersebut. Namun Pak Narjo terus memijat-mijat bagian bawah kepala kemaluan Mas Ad sambil sedikit tersenyum dia bertanya,
“Kenopo Dik?” (Kenapa Dik?)
Mas Adi tampak meringis-meringis dan agak blingsatan dalam posisi duduk agak membungkuk, kemudian dia merintih…
“Aghh…Pak…udahhh….Aghh..!!!”
Bersamaan dengan itu aku lihat dari lubang kencing Mas Adi mengucur keluar cairan berwarna putih yang jatuh berceceran di paha dan sprei kasur
Cuuurrrrrr…….crutt….
"Sshhh…rapopo..rapopo! Ra sah ditahan! Mengko malah sakit nek ditahan!" (Shh…nggak apa nggak apa! Nggak usah ditahan! Nanti malah sakit kalo ditahan!!) kata Pak Narjo sambil memperhatikan ujung kemaluan Mas Adi yang sesaat sempat mengucurkan cairan berwarna putih.
Saat itu Pak Narjo tetap memijit-mijit bagian bawah kepala kemaluan Mas Adi sambil mengarahkan batang kemaluannya supaya mengacung ke arah depan. Dengan diiringi rintihan panjang dari mulut Mas Adi, menyembur keluar cairan putih dari lubang kencingnya yang jatuh berceceran di sprei kasurnya.
“Aggghhhh….”
Crutt….Crut….
Setiap kali cairan itu menyembur keluar dari lubang kencingnya, Mas Adi tampak merintih seperti menahan sakit.
"Aaaghh…

Cruuttt…
“Ughhh….”
Crutt….
“Wuihh….wuihh…wuihhh…..wes ra sah ditahan Cah Bagus!! Ben wae metu kabeh!“ (Wuihh…wuihhh..wuiihh…dah…nggak usah ditahan Anak Manis!! Biar aja keluar semua!!) kata Pak Narjo sambil tersenyum. Jemari tangan kanannya terus mengurut titit Mas Adi seolah-olah ingin memeras cairan yang sedang menyembur keluar dari lubang kencingnya. Mas Adi tampak tersengal-sengal, pandangannya mengarah ke arah kemaluannya yang sedang diurut dukun pijat itu.
Saat itu aku cukup terkejut melihat kejadian tersebut. Pada waktu itu aku kira Mas Adi terkencing-kencing karena tititnya dipijat. Namun aku juga heran kenapa warna air kencing Mas Adi jadi sedikit putih dan agak kental.
Setelah beberapa detik kemudian aku lihat semburan dari lubang kencing Mas Adi mulai mereda. Mas Adi tampak lemas sambil merintih-rintih, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Pak Narjo masih mengurut batang kemaluan Mas Adi, namun pijatannya tampak lebih perlahan.
“Hmmm…wes…saiki mlumah wae Dik!” (Hmmm..dah..sekarang berbaring terlentang aja Dik!)
kata dukun itu.
Aku lihat Pak Narjo melepaskan batang kemaluan Mas Adi. Kemudian kakak sepupuku mulai merebahkan diri di kasur. Napasnya masih tampak tersengal-sengal dengan mata tertutup.Pak Narjo saat itu mengambil handuk kecil yang dia bawa kemudian membersihkan tangannya yang ikut terkena cairan yang dimuntahkan titit Mas Adi.
Selanjutnya handuk itu dia gunakan untuk membersihkan ceceran cairan yang ada di paha Mas Adi. Batang titit Mas Adi yang mulai sedikit melemas juga dibersihkan terutama bagian ujungnya yang basah. Mas Adi tampak meringis saat ujung tititnya diusap oleh Pak Narjo.
Setelah kering Pak Narjo kembali mengambil sedikit minyak pijat dioleskan lagi di titit Mas Adi.
"Ajeng diurut malih Pak?"(Mau diurut lagi Pak?) tanya Mas Adi dengan raut wajah tampak khawatir saat telapak tangan Pak Narjo meratakan minyak di batang kemaluannya yang mulai lemas.
"Iyo Dik, mau durung tuntas!!" (Iya Dik, tadi belum tuntas!!) jawab Pak Narjo.
Mas Adi tampak memperhatikan “burungnya” yang mulai diurut lagi oleh Pak Narjo.
“Manuk’e durung tau diurut yo Dik?” (“Burung”nya belum pernah diurut ya Dik?) tanya Pak Narjo.
Mas Adi hanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan itu.
Saat itu aku sendiri merasa salah tingkah sambil kadang pura-pura udah tidur, bersembunyi di balik guling yang aku pegang. Namun rasa penasaran membuatku ingin memperhatikan bagaimana Pak Narjo melakukan pijatan pada “burung” kakak sepupuku.
Kuperhatikan batang kemaluan Mas Adi yang tadi sempat melemas, perlahan menegang lagi saat Pak Narjo kembali mengurut dari pangkal sampai ke dekat ujungnya. Pak Narjo tampaknya juga memperhatikan hal tersebut. Sejenak dukun itu berhenti mengurut, kemudian dia hanya memegangi pangkal kemaluan Mas Adi supaya tetap berdiri tegak mengacung ke arah langit-langit.
“Nah…ki lagi diurut sedhelo ‘manuk’e wes ngadeg maneh?!”(Nah ini, baru diurut sebentar “burung”nya udah berdiri lagi?!) kata Pak Narjo sambil tersenyum kepada Mas Adi.
Mas Adi hanya diam saja dan tampak agak malu. Pak Narjo kemudian melanjutkan lagi pijatannya.
Setelah beberapa saat aku lihat Mas Adi seperti gelisah dengan mata terpejam. Kadang-kadang menarik napas Panjang. Kemudain dia membuka mata dan bertanya kepada Pak Narjo,
“Pak…niku pancen diurut ngantos kulo keroso kados kebelet pipis malih?”
(Pak..itu memang diurut sampe saya kerasa seperti kebelet pipis lagi?)
“Iyo Cah Bagus,..kenopo? Rasane koyo arep pipis maneh?”(Iya Anak Manis, kenapa?Rasanya seperti mau pipis lagi?) tanya Pak Narjo sambil terus mengurut titit Mas Adi.
“Nggih Pak…”(Iya Pak…)jawab Mas Adi sambil menganggukkan kepala.
“Oh…kene saiki lungguh wae Dik!!” (Oh..sini sekarang duduk aja Dik!) perintah Pak Narjo.
Batang kemaluan Mas Adi dilepas oleh Pak Narjo sehingga kembali mengacung ke arah pusar. Selanjutnya Mas Adi perlahan-lahan mengambil posisi duduk. Pak Narjo mengambil handuk kecilnya kemudian diletakkan di kasur dengan posisi di antara kedua paha Mas Adi.
Selanjutnya dia kembali memegangi pangkal kemaluan Mas Adi menggunakan tangan kirinya. Kemudian batang kemaluan Mas Adi diarahkan supaya mengacung ke arah depan. Jemari tangan kanannya mulai mengoles minyak pijat pada ujung kemaluan Mas Adi. Setelah itu Pak Narjo kembali mengurut kemaluan Mas Adi, namun hanya bagian kepala kemaluannya yang membulat yang mendapatkan pijatan dari dukun itu.
Saat mulai diurut kepala penisnya, Mas Adi spontan seperti mau teriak kemudian badannya agak membungkuk dan tangan kanannya memegangi pergelangan tangan dukun yang sedang mengurut kepala penisnya.
“Agghhh…Pak….aduhh…aghhh…”
Pak Narjo bertanya,
“Kenopo Cah Bagus? Keroso lara po dipijet ‘manuk’e?”
(Kenapa Anak Manis? Terasa sakit pa dipijat “burung”nya?)
“Aghh…linu Pak…” (Aghh..ngilu Pak..)jawab Mas Adi sembil meringis.
“Ditahan sek…cah lanang mosok ora tahan linu?” (Ditahan dulu…anak laki-laki masa nggak tahan ngilu?) kata dia sambil kembali tersenyum.
Mas Adi kemudian melepas pegangan tangannya pada pergelangan Pak Narjo dan membiarkan dukun itu mengurut kepala penisnya.
Saat itu Mas Adi tampak agak menggeliat-geliat napasnya panjang pendek sambil meringis-meringis seperti menahan sakit. Kemudian dia merintih sambil melihat ke arah kemaluannya yang sedang dipijat Pak Narjo,
“Aduuhhh…aghhhh…Pak…aghhh!”
Kemudian…
Currrr…..crruttt….crrutt…
Dari lubang kencingnya kembali menyembur keluar cairan berwarna keputihan.Melihat hal tersebut Pak Narjo tersenyum sambil berkata,
“Nahh….wes ben wae metu Cah Bagus…ra sah ditahan!!
(Nahh..dah..biar aja keluar Anak Manis…nggak usah ditahan!!)
Pak Narjo masih terus mengurut bagian kepala penis Mas Adi. Cairan putih yang keluar dari lubang kencing Mas Adi jatuh berceceran di handuk kecil Pak Narjo.
Mas Adi merintih-rintih setiap kali lubang kencingnya menyemburkan cairan putih tersebut.
Agghh…crutt….aghhh…cruttt…aghh..cruttt
Pak Narjo sambil terus mengurut kepala penis Mas Adi berkata,
“Yuhhh…yuhhh….yuhh…..isih akeh ngene sing metu Cah bagus?!!”(Yuhh…yuhh..yuhh…masih banyak gini yang keluar Anak Manis?)kata dukun saat melihat semburan cairan yang keluar berkali-kali dari lubang kencing Mas Adi.
Kemudian semburan cairan yang keluar dari lubang kencing Mas Adi tampak mereda. Sesaat hanya terlihat lelehan yang keluar lemah seiring dengan pijatan Pak Narjo.
Mas Adi tampak agak merebahkan tubuhnya yang bermandikan keringat bercampur minyak pijat dengan disangga kedua lengannya. Napasnya masih terlihat panjang pendek dan kadang dia agak tampak mengejang saat ujung penisnya diurut perlahan oleh dukun itu.
“Wes….dinggo mlumah wae Dik!!”(Dah…dipake berbaring terlentang aja Dik!) perintah Pak Narjo yang sesaat melepas kemaluan Mas Adi.
Mas Adi kemudian merebahkan kembali tubuhnya seperti diperintahkan Pak Narjo. Mas Adi tampak memandang ke arah langit-langit sambil mengatur napasnya. Saat itu aku perhatikan “burung”nya mulai melemas lagi. Pak Narjo mengambil handuk kecilnya yang basah karena cairan yang keluar dari lubang kencing Mas Adi. Dia lipat kemudian digunakan untuk membersihkan ujung titit Mas Adi. Setelah itu dia kembali mengolesi minyak pijat pada batang kemaluan kakak sepupuku. Dia pegangi lagi pada pangkalnya kemudian kembali ditegakkan mengarah ke langit-langit. Namun saat itu “burung” Mas Adi sudah tampak mulai melemas dan tidak bisa mengacung tegak. Meskipun begitu dukun tersebut tetap mengurut perlahan dari pangkal menuju ke ujungnya. Saat diurut masih tampak ada sisa cairan agak bening meleleh keluar dari lubang kencing Mas Adi yang langsung dilap Pak Narjo.
Saat itu aku lihat meski diurut-urut lagi oleh dukun tersebut, “burung” Mas Adi tampak makin mengkerut, melemas, mengecil seolah kehilangan semua tenaganya. Namun ujungnya masih tampak agak besar berwarna merah gelap.

Mas Adi tampak memperhatikan ke arah tititnya yang masih diurut dukun tersebut sambil bertanya,
“Tasih dangu Pak le ngurut?” (Masih lama Pak ngurutnya?)tanya dia dengan nada agak lemah.
“Ora Dik…mung sedhelo wae…iki wes meh rampung!!”( Nggak Dik…cuman sebentar saja..ini hampir selesai!!) kata Pak Narjo.
Sejenak dukun itu menghentikan pijatannya, namun tetap memegangi “burung” Mas Adi yang sudah lemas pada pangkalnya. Kemudian dukun itu menggoyang “burung” Mas Adi yang lemas itu ke kanan-kiri berkali-kali sambil berkata,
“Iki ‘manuk’e yo wes lemes ngene Cah Bagus?!!” (Ini “burung”nya juga sudah lemes gini anak Manis?!!) kata Pak Narjo sambil tersenyum memperhatikan “burung” Mas Adi yang bergoyang lunglai tidak berdaya.
Mas Adi hanya diam tampak lemas memperhatikan “burung”nya yang digoyang-goyang oleh dukun itu.
“Piye Cah bagus? Wes ora ngadeg maneh ki “manuk”e?(Gimana Anak Manis? Udah ga berdiri lagi ini “burung”nya?) tanya dukun itu kepada Mas Adi sambil mempermainkan titit kakak sepupuku.
Kakak sepupuku tetap tidak menjawab apa-apa, hanya tampak lemas dan seperti malu saat ditanya oleh dukun itu.
“Yo wes…iki terakhir yo Cah Bagus!Nek keroso linu ditahan dhisik!”(Ya sudah..ini terakhir ya Anak Manis! Kalo kerasa linu ditahan dulu!) kata dukun itu.
Setelah itu Pak Narjo menjepit titit Mas Adi tepat di bawah “kepala”nya yang membulat menggunakan dua jemarinya. Perlahan-lahan dia tarik ke atas mengarah ke langit-langit sampai batas maksimal. Mas Adi tampak meringis saat tititnya ditarik perlahan.
“Ditahan sedhelo Cah Bagus nek keroso linu!” (Ditahan sebentar Anak Manis kalo terasa ngilu!!) kata dukun itu sambil menarik titit Mas Adi.
Kemudian titit Mas Adi dilepaskan dari jepitan jemarinya, dibiarkan jatuh tergolek lemas di selakangnya. Kemudian Pak Narjo kembali menjepit titit Mas Adi seperti tadi….kembali titit Mas Adi yang sudah tak berdaya itu ditarik perlahan ke arah bawah selama beberapa saat.
Mas Adi agak setengah duduk sambil meringis-meringis memperhatikan tititnya kembali dijepit tarik ke arah bawah selama beberapa saat. Kemudian Mas Adi tampak bernapas lega saat tititnya kembali dilepas oleh Pak Narjo.
“Wes Cah Bagus,…wes rampung!”(Dah anak Manis,..dah selesai!) kata tukang dukun pijat itu sambil membereskan botol minyak dan handuk kecil yang dia bawa.
Mas Adi perlahan-lahan mengambil amplop kecil yang dia taruh di bawah bantalnya kemudian diberikan kepada Pak Narjo.
“Niki Pak, diagem tumbas rokok!” (Ini Pak buat beli rokok!)
“Nuwun Dik…dinggo ngaso dhisik!” (Terima kasih Dik..dipake istirahat dulu!) kata Pak Narjo sambil menerima amplop tersebut.
Dukun pijat itu kemudian berdiri dan keluar dari kamar tidurku. Mas Adi yang masih telanjang ikut berdiri sambil memegangi handuk untuk menutupi selakangnya, kemudian menutup pintu kamar tidurku.
Kakak sepupuku kemudian duduk di atas kasurnya kemudian sejenak memegang-megang tititnya yang tampak lemas. Dia seperti memeriksa “burung”nya dari berbagai sisi dan juga ujungya yang tampak agak memerah. Setelah itu dia merebahkan tubuhnya di kasur dengan balutan handuk di pinggangnya sampai tertidur pulas.
Dan sejak saat itu terjadi entah kenapa aku selalu terbayang tubuh telanjang Mas Adi yang langsing berkeringat, menggeliat dan merintih saat tititnya diurut oleh dukun pijat itu.

Selesai

Comments

Sign In or Register to comment.