Sesosok tubuh manusia kulihat sedang terduduk lesu sambil memeluk erat lututnya yang runcing di salah satu sudut ruangan. Seolah-olah takut kehilangan lututnya itu. Bangunan yang kumasuki ini bak istana para hantu. Tak terurus karena mungkin sudah di tinggalkan sang pemilik rumah sejak lama. Di halaman depan nampak berdiri kokoh pohon beringin bak seorang raja yang dikelilingi prajurit ilalang setinggi kurang lebih satu meteran.
Di pekarangan samping kiri, terdapat sebuah sumur tua yang aku rasa sudah mengering. Karena ketika tadi aku iseng-iseng melemparkan batu ke dalamnya, tidak ada suara percikan air sama sekali. Atau mungkin sumur itu tak berujung. Sumur yang menghubungkan dunia kita dengan sebuah dimensi antah berantah. Di pekarangang kanan rumah terdapat sebuah kolam dan sepetak tanah dengan pepohonan yang mengering.
Kolam itu Nampak gelap dalam siraman cahaya bulan purnama. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Seolah-olah waktu mati di tempat itu. Pekarangan sebelah kanan berbanding terbalik dengan pemandangan pekarangan sebelah kiri yang belukar. Di pekarangan belakang, rimbunan bambu saling bergesekan di terpa angin. Menciptakan satu harmoni yang tak biasa. Seolah-olah harmoni itu mencoba menggiring kita ke dimensi lain.
Ruangan tempat anak itu terduduk lesu sungguh sangat kotor, pengap dan lembap. Sarang laba-laba di mana-mana, kotoran sisa makan kelelawar berserakan, tikus-tikus berjalan kesana kemari seolah mengabaikan keberadaan kami. Bahkan ada beberapa tikus yang menggigit kaki anak itu. Bau anyir darah pun tak bisa di elakan. Ruangan ini gelap, hanya disinari sedikit cahaya bulah purnama yang masuk menerobos jendela kayu yang dibiarka terbuka.
Aku berjalan mendekati anak itu, mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa dia bisa ada di tempat menyeramkan ini. Harmoni gesekan bambu pun semakin keras, angin yang berhembus bertambah kencang, jendela kayu yang reot itu bergerak keluar masuk. Kreket… kreket… Bulu kuduku semakin berdiri. Keringat mulai deras bercucuran. Ternyata angin malam yang sangat dingin tidak mampu mendinginkan rasa takutku. Malah menambahnya.
Kini aku ada di hadapan anak itu. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Dia masih tertunduk sama seperti tadi. Tikus-tikus yang menggigiti ujung kakinya telah pergi. Tapi dia tetap diam seolah-olah tak merasakan sakit di ujung kakinya yang berdarah.
Aku pun berjongkok berusaha melihatnya lebih dekat lagi. Tapi dia tetap menundukan kepalanya. Aku sungguh bingung, apa yang sebearnya terjadi pada anak di depanku ini. Aku pun memberanikan diri membuka suara.
“Maaf mas, kalau boleh tahu mas lagi ngapain di tempat seperti ini?”
Tak ada jawaban, hanya hening. Nyaliku seketika menciut, menerka-nerka siapa gerangan mahluk di depanku ini. Manusia kah? Hantu kah? Zombie kah?. Lolongan serigala membah suasana yang mencekam semakin mencekam. Suara burung hantu pun tiba-tiba terdengar tepat ti atas rumah. Seolah-olah tak mau ketinggalan berpartisipasi dalam menciptakan suasana mengerikan ini. “Perfect” batinku.
“Namaku Zaenudin Bangun setiawan. Aku terpisah dari rombonganku dan tersesat hingga menemukan rumah ini. Apakah mas juga tersesat sama seperti aku?”
“Namaku Satrio Abimanyu. Aku pun sama sepertimu. Terpisah dari rombongan dan tersesat hingga menemukan rumah ini. Mereka sengaja meninggalkan aku sendiri ketika hendak buang air!”
Alangkah terkejutnya ketika dia memperlihatkan wajahnya. Samar-samar memang, tapi aku cukup mengenal baik tampang itu. Wajahnya, rambutnya, bibirnya, tahi lalat di dagu sebelah kananya, semua itu mengingatkan ku pada seseorang. Pada diriku sendiri. Ya, dia mirip denganku. Sangat mirip malah. Walaupun namanya berbeda. Tatapan matanya tajam, aku bisa merasakan energi dari pancaran matanya. Energi yang menyiratkan dendam karena rasa sakit hati. Dia tersenyum sinis. Tiba-tiba hatiku pilu. Aku bingung dengan apa yang aku rasakan. Ini aneh. Sangat aneh. Aku tidak pernah memilki saudara kembar. Ada satu rasa semacam ikatan batin denganya.
“Sejak kapan kamu berada di sini?” Aku memberanikan diri bertanya padanya.
“Sudah lama sekali. Sangat lama malah.”
“Kenapa kamu tidak keluar dari tempat yang mengerikan ini?”
“Tak ada alasan untuk aku meninggalkan tempat ini. Tempat ini sangat nyaman bagiku. Aku menikmati setiap kehidupanku di tempat ini.”
“Menikmati…”
“Ya, menikmatinya. Menikmati kesendirian, menikmati kekosongan dan menikmati kehampaan.”
Aku ngeri mendengar pernyataanya. Orang yang mirip aku ini sepertinya sudah tidak waras lagi. Sepanjang aku hidup, belum pernah ada orang yang mengatakan “Aku menikmati kesendirian, kekosongan dan kehampaan.”
“Apakah kamu pernah berfikir kelurgamu, kerabatmu, pacarmu, sahabatmu dan teman-temanmu akan sangat menghawatirkan keberadaanmu?” Dalam rasa takutku, timbul rasa kepenasaranan yang akhirnya membuatku bertanya kembali.
“Persetan dengan mereka semua. Aku tidak pernah mempercayai siapapun di dunia ini. Bahkan Tuhan sekalipun, aku tidak mempercayainya”
“Kamu atheis…?”
“Ya. Aku Atheis semenjak Tuhan merenggut mimpi, harapan dan cinta yang pernah aku miliki.”
“Kamu sungguh sangat berlebihan. Tuhan melakukan itu karena dia cinta sama kamu. Dia ingin kamu menjadi manusia yang lebih baik diantara manusia lainya.”
“Kamu munafik.”
Aku tersentak mendengar pernyataanya tentangku. Ada apa dengan orang ini sebenarnya. Aku pasrah jika dia jin yang sedang menyamar menyerupai aku untuk bisa memakanku. Aku yakin Tuhan akan menolongku.
“Kamu tahu sejarah rumah ini?” tiba-tiba dia memecah lamunan sesaatku.
“Bagaimana aku bisa tahu, aku ke tempat ini saja baru pertama kali. Dan itu pun tersesat.”
“Harusnya kamu tahu dan lebih mengetahuinya dari pada aku.”
Aku terbengong-bengong. Mana mungkin aku tahu sejarah rumah yang baru pertama kali aku injak. Setiap kata yang keluar dari mulutnya makin susah di cerna. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di otaku. Tapi mulut ini enggan mengungkapkanya.
“Rumah ini bukanlah rumah tua. Hanya saja rumah ini dibangun dengan pondasi kebencian dan berdindingkan dendam. Tak ada satu penyusun pun dalam bangunan ini bermaterialkan cinta dan kasih sayang. Itulah yang menyebabkan rumah ini terlihat begitu gelap, kotor dan kumuh. Keberadaanku di sini adalah untuk memeliharanya. Memelihara kebencian dan dendam itu. Sebelumnya aku juga telah mengetahui kalau kamu akan berkunjung ke sini. Aku telah menunggu saat-saat seperti ini sudah sejak lama.”
Penjelasaan anak itu semakin membuatku tak mengerti.
“Zaenudin Bangun Setiawan, apakah kamu belum juga bisa mengerti? Kamu adalah aku dan aku adalah kamu.”
“Apa maksud perkataanmu barusan.”
“Rasa sakit yang kamu terima akibat perasaan merasa diabaikan oleh Ayahmu, rasa sakit akibat kekecewaanmu terhadap Ayahmu, dan rasa sakit akibat perceraian kedua orang tuamu membuatku ada di sini. Di dadamu. Aku adalah bayangan kelam dirimu. Yang tanpa sadar kamu telah ciptakan. Rumah ini adalah salah satu sudut hatimu yang kelam. Dan aku adalah penghuninya.”
“Tidak, bohong. Kamu dusta. Katakan padaku siapa sebenarnya kamu ini? Apa yang kamu mau dari diriku? Jangan coba bermain-main denganku. Kalau tidak…”
“Kalau tidak, apa? Kamu takan bisa melakukan apa-apa. Kamu itu lemah. Ayahmu sendiri menganggap kamu banci. Hahahaha”
“Hentikan ucapanmu. Dasar setan kau.”
“Aku memang setan, setan yang kamu ciptakan dan kamu pelihara.”
Aku berjalan mundur menjauhinya. Aku terkulai lemas. Terduduk tanpa tenaga. Kata-katanya membuatku sakit. Aku menyesal telah menyapanya tadi. Dasar sialan. Lantas aku pun berteriak berharap semuanya berhenti. Dia tertawa semakin kencang dalam duduknya. Sekarang dia mencolek darah yang mengalir dari kakinya. Kemudian mengemut jarinya. Aku mual melihatnya. Aku muak dengan tingkah lakunya. Dia melecehkanku. Tiba-tiba air mataku menetes. Aku tak kuasa menahanya lagi.
“Dasar cengeng, hahahaha…” dia mengejeku.
Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya. Berjalan gontai ke arahku. Sorot matanya, senyumanya membuat aku takut. Kini dia telah berada di sisiku. Dia duduk tepat merapat dengan tubuhku. Di meniupkan nafasnya ke muka ku. Tangan kananya merangkul pundaku. Tangan kirinya membelai rambutku. Sambil menjilati kupingku. Aku benar-benar takut di buatnya. Tetapi badanku terasa sangat lemah. Hingga aku tak mampu bergerak sedikitpun. Kini tangan kiri yang tadi ia gunakan untuk membelaiku, sekarang ia menggunakanya untuk mencolek darah yang masih keluar dari ujung kakinya akibat gigitan tikus tadi. Kemudian mengoleskanya ke bibirku. Tubuhku gemetar.
Dia berbisik “Apakah kamu takut? Kenapa kamu harus takut pada ku? Aku adalah kamu. Sudah, hentikan tangisannya, aku tak suka jika harus melihat air mata. Itu hanya akan membuatmu semakin terlihat menyedihkan. Zaenudin ku sayang, kita hidup berdampingan dalam satu tubuh. Aku hanya ingin mengajukan satu permohonan padamu. Izinkan aku mengambil alih tubuhmu. Aku akan menunjukan padamu bagaimana caranya hidup itu. Kamu bisa beristirahat dengan tenang dan damai selama aku menggendalikan tubuhmu.”
Tiba-tiba dia menghilang entah kemana. Seketika itu kepalaku mendadak pusing. Tubuhku semakin lemas. Dan… aku tak kuat lagi.
—
Aku terbangun dalam keadaan tubuh penuh keringat. Akhirnya, tiba saat di mana aku mengambil alih tubuh ini dari Zaenudin. Menurutku dia sudah tak layak lagi mengendalikan tubuh ini. dia terlalu lemah. Dia terlalu rapuh. Dia seharusnya mati saja. Karena aku… Aku lebih pantas mengendalikan tubuh ini. aku aka tunjukan pada mereka, manusia. Bahwa dendam dan kebencian mampu merubah seseorang menjadi kuat. Bahkan berkali-kali lebih kuat.
Sambut kelahiranku wahai dunia. Dengan auman tangismu. Berhati-hatilah, karena aku akan menebarkan virus benci. Hahaha
Epilog :
Zaenudin mengalami koma setelah kecelakaan mobil yang menimpanya. Dalam komanya Zaenudin bertemu dan berdialog dengan seorang yang bernama Satrio Abimanya yang ternyata adalah sisi gelap dirinya. Zaenudin masih tetap koma walau tubuhnya sudah tidak koma lagi. Tubuhnya kini di kendalikan oleh sisi gelap dirinya. Satrio Abimanyu bukanlah sosok yang biasa-biasa saja. Dia mampu memanipulasi diri dengan hampir sempurna. Menipu orang-orang dengan bertingkah laku seperti Zaenudin. Tetapi di waktu-waktu tertentu, dia pun tampil sebagai dirinya sendiri. Sosok yang apa bila kita lihat matanya, maka kehampaan yang akan kita dapat.
Dia adalah manusia pengutuk kehidupan. Jangan sekali-kali mendekati apalagi berkawan denganya. Jika tidak cukup memiliki benteng iman yang kuat, maka kalian akan tersesat. Berhati-hatilah denganya. Dia setan yang bersembunyi di dalam kepolosan.
#DAVID
Comments
.
peluk aq dong om boljugg x))
Kenapa gak di stories?
Joanna merasa senang sekali malam itu. Akhirnya dia secara resmi menjadi istri dari Jack Wickhem, pria yang telah lama diidam-idamkannya. Mereka mengadakan pesta besar-besaran di rumah besar yang dibangun oleh Jack sebagai kado pernikahan buat Joanna. Semua tamu telah berdatangan untuk ikut merasakan kebahagiaan mereka berdua.
Tepat tengah malam, tradisi pernikahan dilaksanakan. Kedua pengantin akan bersembunyi secara bergantian, dan para tamu akan berusaha mencari mereka. Giliran Jack untuk bersembunyi. Rumah itu sangat besar dan luas. Ada begitu banyak ruang yang bisa dipakai olehnya untuk bersembunyi. Setelah hitungan keseratus, Joanna dan para tamupun mulai berpencar untuk menemukan Jack.Mereka naik ke lantai dua dan tiga sambil berseru-seru.
''Jack... Dimana kau... Dimana kau...''.
Joanna merasa yakin dia tahu dimana Jack bersembunyi. Namun setelah sepuluh menit berlalu dan Jack belum juga ditemukan, Joanna mulai merasa sedikit kesal.''Jack.... Dimana kau... Dimana kau...''.
Seluruh tamu mencari ke dapur dan ke lantai bawah, tapi Jack tidak tampak dimanapun.
Saat Joanna mulau merasa lelah, dia tiba-tiba melihat ruangan yang tersembunyi di lantai 3. Dia memutuskan untuk memeriksa ke dalam sana. Benar saja. Dia menemukan Jack sedang membungkuk di bawah meja.
''Jack... Aku menemukanmu'' seru Joanna.
Tawa Jack langsung meledak.
''Aku menemukannya!!! Aku menemukannya!!!'' teriak Joanna.
Para tamu langsung bertepuk tangan dan tertawa dengan keras.
Saat mereka kembali ke ruang bawah, semua tamu ingin tahu dimana Jack bersembunyi.
Joanna tersenyum sambil memeluk Jack dengan mesra.
''Aku akan selalu menemukanmu, Jack'' katanya.
Para tamu tampak sangat iri melihat mereka berdua.
Sekarang giliran Joanna untuk bersembunyi.
Para tamu menutup mata dan mulai menghitung sampai seratus.
Joanna bergerak cepat dan menemukan sebuah tempat persembunyian yang bagus.
Saat para tamu sampai pada hitungan keseratus, mereka lalu mulai berpencar ke seluruh rumah itu.
''Joanna... Joanna... Dimana kau...'' seru mereka.
Jack bergegas memeriksa seluruh ruangan.
''Joanna... Joanna...'' serunya. Dia tersenyum lebar sambil memeriksa setiap sudut ruangan itu. Berharap menemukan Joanna sedang bersembunyi di balik lemari sambil terkekeh-kekeh pelan.
Para tamu tertawa. Mereka sangat menikmati permainan ini.
''Joanna... Joanna... Dimana kau???'' seru mereka.
Namun Joanna rupanya telah menemukan tempat persembunyian yang sangat bagus. Mereka tidak berhasil menemukannya.
Setengah jam berlalu. Para tamu mulai bosan dan kelelahan karena berkeliling menaiki dan menuruni tangga. Mereka mulai kembali berkumpul di ruang bawah.
''Joanna... Keluarlah... Kami menyerah...'' seru mereka.
Jack juga telah turun ke bawah dan bergabung dengan para tamu undangan.
''Joanna... Sayang... Keluarlah... Kami mengaku kalah...'' katanya.
Namun Joanna tidak muncul juga.
Mereka mulai tertawa dengan gelisah.
Mungkin Joanna bermaksud untuk mempermainkan mereka.
''Joanna... Sayang... Sudahlah... Kau bisa keluar sekarang... Malam sudah larut'' kata Jack sambil menatap jam dinding besar yang menunjukkan pukul satu malam.
''Joanna??? Joanna???'' mereka semua berseru-seru. Namun Joanna tidak muncul.
Ada sesuatu yang aneh.
Ada yang tidak beres.
''Joanna???'' teriak Jack.
Dia mulai sedikit kesal dan malu pada tamu-tamunya. Namun setelah jam menunjukkan pukul tiga pagi, Joanna tidak kunjung menunjukkan dirinya. Jack merasa marah. Dia menyuruh seluruh pelayan untuk berkeliling mencari Joanna. Para tamu mulai pulang. Mereka sedikit kesal pada tingkah kekanak-kanakkan Joanna. Pagipun tiba dan tidak seorangpun berhasil menemukan si mempelai perempuan. Jack mulai merasa kuatir. Dia lalu melapor kepada pihak kepolisian. Seluruh orang dikerahkan untuk mencari Joanna di penjuru rumah itu. Tapi Joanna tidak tampak dimanapun.Pencarian lalu diperluas ke daerah sekitar hutan dibelakang rumah itu. Sampai akhirnya Joanna masuk ke dalam daftar orang hilang.
Posternya disebarkan kemana-mana. Namun Joanna seperti hilang ditelan bumi. Jack merasa terpukul. Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya, dalam sekejap menjadi sebuah tragedi karena hilangnya Joanna. Berminggu-minggu setelah kejadian itu, Jack menemukan sepucuk surat di dalam tas Joanna. Surat itu berasal dari mantan kekasih Joanna, Peter. Dalam surat itu, Peter menyatakan bahwa dia masih sangat mencintai Joanna. Dan dia yakin bahwa Joanna juga masih sangat mencintainya. Hati Jack remuk redam.
Akhirnya dia tahu kemana Joanna selama ini. Dia telah kembali ke Peter dan memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya dari situ. Dia menyadari bahwa dia masih sangat mencintai Peter di malam pernikahan mereka berdua. Dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Jack dan kembali pada Peter malam itu juga.Merasa sangat terpukul, Jack memutuskan untuk menjual rumah itu lalu pindah ke kota lain dan berusaha untuk melupakan Joanna selama-lamanya.
Selama bertahun-tahun Jack hidup tersiksa, memikirkan Joanna. Mengapa dia tega sekali memperlakukannya seperti itu. Mengapa dia tega sekali mempermalukan Jack di depan orang banyak. Jack kemudian menikah lagi.Tapi hidupnya tidak pernah tenang. Hatinya terus tersiksa oleh kepergian Joanna.Sampai suatu hari Jack sakit keras dan meninggal dunia dalam kepahitan karena luka hatinya yang tak kunjung sembuh.Rumah mewah yang dibangun Jack untuk Joanna itu berpindah-pindah tangan ke para bangsawan yang tertarik untuk membelinya. Sampai suatu saat keluarga Jack memutuskan untuk memugar rumah itu. Dan berpuluh-puluh tahun kemudian, rumah itu kembali dijual kepada seorang petani kaya raya.
Keadaan rumah itu sudah sangat memprihatinkan akibat ditelantarkan selama berpuluh-puluh tahun.Si petani lalu menyewa beberapa orang untuk memperbaiki dan merenovasi rumah itu.Suatu malam, seorang wanita yang dibayar oleh sang petani untuk membersihkan rumah itu baru saja akan pulang setelah menyelesaikan pekerjaannya.Dia bekerja keras seharian membersihkan debu dilantai tiga.Saat dia akan turun ke lantai bawah, dia melihat seutas tali menjuntai dari langit-langit.
Merasa penasaran dia menarik tali itu dan sebuah pintu rahasia dengan tangga berat langsung mengayun turun dari atas.Loteng tersembunyi, pikir wanita itu.Dia memanjat naik dan masuk kesebuah ruangan luas yang kosong. Lantainya kotor oleh debu selama bertahun-tahun.Hanya ada dua buah perabotan di ruangan itu. Sebuah rak foto reot dan sebuah peti kayu besar.Wanita itu merasa penasaran. Dia lalu memutuskan untuk memeriksa isi peti itu.Betapa terkejutnya dia saat membuka peti itu.Di dalamnya tampak kerangka manusia dalam gaun pengantin putih yang sudah kotor dan lusuh.
Kemudian Wanita itu langsung berlari histeris dan turun ke lantai bawah.Berita penemuan jenazah di rumah itu langsung tersebar.Joanna, si pengantin yang hilang akhirnya ditemukan setelah berpuluh-puluh tahun.Rupanya pada malam pernikahan mereka, Joanna memutuskan untuk naik ke loteng dan bersembunyi di dalam peti itu.Entah bagaimana, peti itu langsung terkunci dari luar saat Joanna masuk ke dalamnya.Tidak ada yang mendengar jeritan-jeritannya yang teredam di dalam peti malam itu.
Semua orang mengira dia meninggalkan Jack untuk kembali kepada mantan kekasihnya.Jenazah Joanna lalu di makamkan di samping makam kedua orang tuanya.Sampai saat ini rumah itu masih kosong. Konon kata orang-orang, apabila mereka berjalan dan menengadah menatap lantai tiga rumah itu, mereka kadang-kadang melihat sesosok wanita cantik dalam gaun pengantin sedang berdiri di jendela. Menerawang keluar dengan tatapan sedih dan muram.
Menurut mereka itu adalah hantu Joanna yang kesepian dan merindukan, Jack, kekasihnya.
Diposkan oleh Go Albastian
.
Apa iya? - Inilah kisah mistis pengalaman menegangkan yang pernah dialami Ibu Masliha. Saat menunggui anaknya yang dirawat di rumah sakit, dia ditemui sosok pemuda tampan yang ternyata sudah menjadi mayat akibat kecelakaan. Pemuda ini mengajaknya tidur di kamar mayat.
Boleh dikatakan hanya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Balung, satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Jember yang memiliki model bangunan paling istimewa. Model bangun rumah sakit yang terletak di Kecamatan Balung ini, jauh dari kesan tempat dirawatnya orang-orang sakit.
Bangunannya tidak hanya artistik, namun sekaligus juga berada di lingkungan yang cukup asri dan nyaman, sehingga para pasien merasa betah menghabiskan waktu sambil menyembuhkan penyakitnya di tempat ini. Apalagi ditambah peralatan kesehatan yang lengkap serta tenaga medis yang terlatih, maka jelas membuat rumah sakit yang dalam lima tahun terakhir ini terus menambah sarana dan prasarana kesehatannya, semakin ramai dikunjungi para pasien. Bahkan, dapat dikatakan rumah sakit ini memang semakin bergengsi.
Itulah sekilas gambaran kondisi RSUD Balung saat ini. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan saat pertama kali rumah sakit tersebut didirikan, persisnya puluhan tahun yang lalu, tepatnya ketika RS itu masih berbentuk Puskesmas. Bahkan, di tahun-tahun pertama Puskesma Balung sempat tidak memiliki penerangan listrik, sebelum akhirnya menggunakan listrik bertenaga diesel.
Meskipun begitu, Puskesmas yang menjadi cikal bakal RSUD Balung ini boleh dikata tidak pernah sepi dari pasien. Karena di wilayah Jember bagian selatan, hanya Balung-lah satu-satunya kecamatan yang memiliki Puskesmas.
Selain keadaannya yang memprihatinkan, cerita-cerita menakutkan tentang keberadaan Puskesma Balung bukan hal yang asing bagi warga setempat. Juga bagi para pasien yang pernah menjalani rawat inap di sana. Ada beberapa sumber menceritakan, pada malam hari, di tempat-tempat yang tidak diberi penerangan, sering kali terlihat cahaya lilin yang berjalan kesana-kemari tanpa ada yang membawa.
Tak hanya itu, kereta dorong yang dipakai untuk mengangkat pasien juga kerap berjalan sendiri menuju ke kamar mayat. Ditambah lagi, wujud-wujud yang menakutkan seringkali menghantui para pasien serta tenaga medis yang bekerja di sana.
Salah satu pengalaman menakutkan dialami oleh Masliha, 72 tahun, saat menjaga anaknya yang terserang muntaber dan harus menjalani rawat inap di salah satu kamar Puskesmas Balung, tidak jauh dari kamar mayat. Kepada Misteri, Masliha menuturkan kisah menakutkan yang dialaminya sekitar tahun tujuh puluhan silam. Berikut ini ringkasannya:
Sebelumnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di Puskesmas Balung. Jadi aku tidak tahu ruangan-ruangan yang ada di tempat tersebut. Selama ini, kalau anak-anakku ada yang sakit, suamikulah yang mengantar mereka berobat. Itupun hanya penyakit ringan, yang sudah dapat disembuhkan dengan berobat jalan.
Karena itu, ketika anak bungsuku terkena muntaber, kekhawatiranku tidak dapat disembunyikan. Apalagi melihat tubuhnya yang lemas, dengan wajah yang pucat.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, sesudah Maghrib, kami membawanya ke Puskesmas Balung, yang jaraknya hampir 20 Km. dari rumah. Karena saat itu masih belum ada angkutan umum yang mencari penumpang pada malam hari, maka kami meminta bantuan tetangga yang memiliki becak untuk mengantarkan kami ke Puskesmas Balung.
Begitu sampai di Puskesmas, dokter langsung menangani anak bungsu saya. Rupanya keadaan anakku lumayan gawat. Karena kehabisan banyak cairan, dia harus diinfus, dan harus menjalani rawat inap.
"Mardi kau jaga sendiri saja dulu ya, Bune. Aku akan pulang untuk beres-beres rumah, dan menyelesaikan sisa pekerjaan. Besok pagi aku akan ke sini lagi," kata suamiku setelah beberapa saat lamanya berada di dalam kamar yang ditempati anakku.
Kamar itu berukuran kecil. Ditempati dua ranjang dan dua lemari kecil. Ranjang yang satu ditempati anakku, sedang ranjang lainnya ditempati pasien yang lain seusia Mardi, yang juga menderita muntaber. Berbeda dengan Mardi yang aku jaga seorang diri, pasien itu ditunggu kedua orang tua serta kakaknya.
Sepeninggalan suamiku, waktu aku habiskan dengan bercakap-cakap bersama kedua orang tua pasien teman sekamar anakku. Cukup lama kami bertukar kata, membicarakan apa saja untuk membunuh sepi dan mengurangi rasa dingin. Sampai kedua orang itu mohon pamit untuk beristirahat. Menyusul anak sulungnya yang telah terbaring di lantai yang beralaskan tikar, juga mulai tertidur karena kantuk.
Akupun sendiri di luar kamar, menikmati suasana sepi dan gelapnya malam. Karena genset yang menjadi sumber penerangan, menurut penjelasan salah seorang perawat mengalami kerusakan, maka keadaan Puskesmas itu menjadi gelap. Cahaya lampu tempel yang menghiasi setiap ruangan, tidak mampu melawan kegelapan. Sehingga suasana di sepanjang lorong puskesmas tampak remang-remang, seperti di lorong kuburan.
Cukup lama aku duduk di lantai sambil bersandar pada pilar di luar kamar. Sebenarnya, mataku sudah sangat mengantuk, dan tubuh minta direbahkan. Tapi, melihat lantai di dalam kamar penuh sesak dengan penjaga pasien lainnya, aku merasa risih untuk merebahkan tubuh, apalagi tidur berdesak-desakan dengan mereka.
"Ibu sedang menunggu anaknya, ya?" tegur seorang pemuda tampan, yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.
"I...i...iya!" Jawabku pendek dan sedikit agak gugup.
"Lebih baik ibu beristirahat di kamar sebelah sana. Kebetulan di sana ada ranjang yang kosong. Ibu bisa memakainya untuk tidur. Daripada duduk dilantai seperti sekarang ini, ibu bisa masuk angin. Jangan-jangan setelah anak ibu sembuh, ganti ibu yang jatuh sakit!" nasehat pemuda itu dengan penuh kekhawatiran. Aku menanggapinya dengan senyum kecil. Namun, dalam hati aku membenarkannya.
"Mari, Bu. Saya antar ke kamar itu!" pemuda itu menawarkan jasanya.
Entah karena terbawa oleh rasa lelah dan kantuk yang teramat sangat, atau karena terpengaruh oleh suara pemuda itu yang lembut dan sopan, aku menerima tawarannya. Tanpa menaruh curiga sedikitpun, kuikuti langkahnya menuju kamar di bagian paling belakang. Aku ikuti terus, sampai pemuda itu membuka pintu kamar dan memasukinya.
Ya, berbeda dengan kamar-kamar pasien lainnya, di kamar itu sama sekali tidak diberi penerangan. Hal ini membuat mataku untuk beberapa saat lamanya tidak bisa melihat. Baru setelah terbiasa dengan suasana gelap ruangan itu, aku dapat mengetahui keadaan kamar. Meskipun samar-samar, kulihat kamar itu sangat bersih dan terawat. Ukurannya juga lebih luas dari kamar-kamar pasien yang lain. Ada empat buah ranjang yang bederet sedemikian rupa, tanpa ada lemari kecil atau benda-benda lainnya. Keempat ranjang yang ada telihat kosong, tidak berpenghuni.
"Silahkan beristirahat, Bu!" pemuda itu mempersilahkan sambil menunjuk ke salah satu ranjang. Dia sendiri mengangkat tubuh dan tidur di ranjang yang lain.
Tanpa menaruh rasa curiga, dan tanpa bertanya sepatah katapun, aku melakukan hal yang sama seperti dirinya. Hanya saja, aku tidak menutupi sekujur tubuh dengan selimut sebagaimana pemuda itu.
Karena kantuk yang teramat sangat, aku langsung terlelap begitu punggungku menyentuh kasur di ranjang itu. Entah berapa lama aku tertidur, aku tidak ingat. Hanya yang pasti, dalam tidur aku mendapatkan mimpi yang sangat menyeramkan.
Dalam mimpi itu, aku seolah tertidur di tempat yang sama, dan terjaga. Begitu terbangun, yang kudapati hanyalah kegelapan. Akupun mencoba bangkit. Tapi....duk! Kepalaku terantuk benda yang keras. Dalam keadaan bingung dan takut, tanganku meraba-raba. Astaga! Aku terkurung di dalam peti. Ya, di dalam peti jenazah?
Ketakutanku pun semakin menjadi. Dengan menahan perasaan takut yang teramat sangat, tangan dan kaki aku dorongkan dengan sekuat tenaga ke atas. Seketika itu pula pintu peti terbuka, dan aku segera bangkit dengan panik. Aku berdiri sambil memandang keadaan sekeliling. Ternyata aku masih berada di tempat yang sama. Di sebuah kamar yang berisi empat buah ranjang. Hanya saja kalau sebelumnya ranjang-ranjang itu kosong, tidak berpenghuni, kini diatasnya sudah teronggok peti-peti mati yang dingin dan beku.
Peti-peti mati siapa itu? Batinku dengan tubuh gemetar. Kenapa peti-peti itu berada di sini? Kapan dan siapa yang meletakannya? Berbagai pertanyaan memenuhi benakku.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu sempat terjawab, dan sebelum rasa takut sempat kuatasi, sudah menyusul lagi peristiwa lain yang lebih menakutkan. Tanpa aku duga, peti-peti yang teronggok diatas ranjang itu tiba-tiba terbuka. Disusul dengan keluarnya sosok tubuh manusia dengan wajah pucat pasi. Akupun tidak kuasa lagi mengendalikan rasa takut. Tanpa sadar, mulutku sudah berteriak sekeras-kerasnya. Mendadak aku pun terjaga dari tidur.
"Astaqfirullah al'azim..." gumamku saat terjaga, dengan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhku.
Saat kupandangi sekelilingku, aku terkesiap sebab aku sungguh-sungguh berada di tempat yang sama dengan yang ada dalam mimpiku. Ya, di sebuah kamar yang berisi empat buah ranjang. Namun, di atas ranjang-ranjang itu tidak ada lagi onggokan peti-peti mati. Hanya di salah satu ranjang saja aku jumpai tubuh manusia yang terutupi selimut putih. Mungkin, tubuh itu pemuda yang semalam mengajakku tidur disini.
Pemuda itu masih terbaring di tempatnya, dengan sekujur tubuh tertutup oleh selimut. Dengan kesadaran yang masih belum sempurna, aku lihat pintu kamar dibuka seseorang dari luar. Disusul dengan masuknya dua orang perawat yang memandangku dengan sorot mata penuh tanda tanya, bahkan setengah ketakutan.
"Ke.....kenapa ibu tidur di sini?" tanya salah seorang perawat itu dengan gugup.
"Ibu masuk lewat mana?" perawat yang lain ikut melontarkan pertanyaan. "Kamar mayat inikan terkunci."
"Kamar mayat?" gumamku tidak mengerti.
"Ya, ini kamar mayat, Bu! Dan barusan, kami baru membuka pintunya yang masih terkunci. Lantas, Ibu masuk dari mana?" tutur si perawat yang pertama kali bertanya padaku.
Seketika jantungku berdegup keras. Sambil berusaha menenangkan perasaan, kuceritakan apa yang kualami, "Semalam saya diajak pemuda itu untuk beristirahat di sinii." Aku menudingkan telunjuk ke arah pemuda yang berbaring di ranjang yang lain.
Mendenar jawabanku, salah seorang perawat berjalan menghampiri ranjang yang ditempati pemuda itu. Kemudian membuka selimut yang menutupi tubuhnya, sambil berkata, "Bu, pemuda ini sudah meninggal kemarin siang akibat kecelakaan. Karena identitasnya masih belum diketahui, maka untuk sementara waktu ditempatkan di kamar mayat ini. Coba ibu lihat sendiri."
Dari jarak kurang dari 2 meter, aku lihat wajah pemuda yang semalam mengajakku beristirahat di kamar mayat ini. Wajah itu tidak lagi bersih dan tampan, sebagaimana yang aku lihat semalam. Namun, wajah itu dihiasi luka serta bercak-bercak darah yang sudah mengering. Begitu melihat wajah tersebut, seketika itu pula aku jatuh pingsan.[petikan]