Menulis sebuah novel roman dengan tema kontroversial memang tidak gampang. Saya juga sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari sebelumnya. Banyak kontroversial yang bakal muncul seperti misalnya, menghadapi cibiran sinis orang-orang tentang novel sejenis ini, penerbit yang belum tentu bersedia menerbitkannya, sampai pikiran kontroversial sendiri terhadap penulis yang menuliskan novel dengan tema serupa ini. Belum lagi novel seperti ini kalau diterbitkan biasanya pasarannya cukup segmented, yakni hanya menyentuh pembaca-pembaca dari segmen tertentu.
Jadi memang tidak gampang bukan menulis sebuah novel kontroversial seperti "Jakarta Love Story". Penulis yang "berani" menuliskan tema seperti ini akan menghadapi banyak tantangan, baik pada saat naskah seperti ini ditulis maupun setelah naskah ini lolos seleksi penerbit untuk diterbitkan secara nasional.
Lalu, apa yang membuat saya berniat menulis novel tema sepert ini?
Jujur saya katakan, novel "Jakarta Love Story" sangat menyita konsentrasi saya ketika menuliskannya. Baik dari saat penyusunan rangka cerita seperti tokoh Rifai dan Fabio, saya benar-benar merenungkan seperti apa diri saya kalau jadi seperti mereka. Tokoh Rifai dalam "Jakarta Love Story" ini digambarkan tidak setia, egois, karena kemapanannya ia dapat menggaet pria-pria tampan maupun gadis-gadis cantik panggilan tanpa kesulitan sedikit pun.
Sementara Fabio, mahasiswa perhotelan yang sederhana, tidak memiliki apa-apa selain kepolosan dan sifatnya yang cenderung lugu.
Kedua tokoh dalam novel "Jakarta Love Story" ini ibarat matahari dan bulan, gelap dan terang, sangat bertolak belakang satu dengan yang lain baik dari sudut pandang melihat suatu hubungan maupun dalam hal menjalani kehidupan sehari-hari.
Lalu, bagaimana akhirnya mereka menyadari kalau suatu perasaan yang sama sekali berbeda pelan-pelan merayapi hati keduanya? Mengapa kemudian Rifai merasa kehilangan ketika Fabio tiba-tiba menghilang dari hari-harinya? Mengapa tiba-tiba ia menemukan apartemennya begitu senyap tanpa kehadiran pemuda itu?
Perkembangan perasaan keduanya tidak terjadi mendadak begitu saja, namun melalui serangkaian kejadian-kejadian yang akhirnya membuat mereka menyadari cinta itu hadir tanpa dapat mereka bisa berbuat apa-apa, meski baik Rifai dan Fabio berasal dari latar belakang yang sama sekali berbeda.
Lalu, apakah cinta yang dicibir seperti ini akan bertahan? Apakah cinta yang seringkali dianggap tidak wajar namun nyata seperti ini akan menorehkan sejarah indah bagi yang menjalaninya? Atau.. cinta sepert ini bukan hanya ditantang oleh masyarakat umum, tapi juga ditolak oleh alam yang sudah menggariskan dari dulu bahwa sudah seharusnya lelaki hidup berpasang-pasangan dengan perempuan, bukan malah sebaliknya.
Ketika menulis ini, saya sendiri bisa merasakan keharuan di sepanjang naskah novel ini. Saya menyadari betapa sulitnya memendam cinta seperti mereka di tengah-tengah masyarakat yang masih mencibir cinta seperti ini. Tidak heran salah satu komen dari pembaca yang mengatakan pada saya "Jakarta Love Story" ini sendu, muram, dari awal hingga akhir cerita. Komen itu terus terang membuat saya merenung. Kenapa saya menuliskannya sepert itu? Kenapa saya membuat sedih pembaca saya yang sudah bersedia membeli novel setebal 478 halaman ini?
Tapi setelah saya pikirkan kembali, bukankah memang sebetulnya cinta seperti ini dalam kenyataannya akan banyak menjumpai hal-hal seperti ini? Lebih sedikit kegembiraan daripada kepahitannya, terutama apabila menjalaninya dalam masyarakat yang masih menganut konsep hubungan hetero.
Novel "Jakarta Love Story" sengaja saya tuliskan untuk orang-orang dari kelompok minoritas yang merasa cintanya tersisihkan. Cinta yang nyata, cinta yang sama tulusnya seperti kaum straight - lelaki mencintai perempuan. Tidak ada yang berbeda sedikit pun, kecuali dalam konteks yang dicintai sama-sama memiliki jenis kelamin yang sama. Sehingga, dalam novel "Jakarta Love Story" seperti salah satu reviewer dalam goodreads saya, "Kelebihannya, Jakarta Love Story bisa dibilang novel LGBT yang lebih ke arah romantis ketimbang ke arah seksualitas. Hati lebih banyak berbicara kaitannya dengan hubungan Rifai dan Fabio. "
Novel ini memang tidak menuliskan adegan seksualitas dengan gamblang, karena yang ingin ditonjolkan memang bukan seks. Banyak orang berpikiran cinta sejenis hanya mengumbar seks melulu; tubuh yang indah, raut wajah yang tampan. Padahal sesungguhnya cinta sejenis juga sama seperti cinta hetero pada umumnya. Ada ketulusan di dalamnya. Ada pengorbanan. Ada komitmen. Hal-hal seperti itulah yang ditonjolkan dalam novel "Jakarta Love Story" ini, dari cara Rifai mencintai Fabio, demikian pula sebaliknya.
Sehingga tidak aneh, banyak yang sudah membaca novel ini, dan mengatakan bagaimana mereka merasa terharu, cerita ini seperti mewakili perasaan hati mereka, hingga menitikkan air mata.
Novel "Jakarta Love Story" ini memang dipersembahkan untuk kaum-kaum yang merasa terpinggirkan, dan kepada orang-orang yang melihat fenomena cinta sejenis dengan pikiran yang cukup terbuka. Sehingga seorang kepala editor di sebuah penerbitan mengomentari novel ini dengan komen seperti ini : "LGBT sebetulnya bukanlah sebuah masalah. Bukankah di dunia ini, kebahagiaan adalah yang terpenting."
Memang, menjadi berbeda bukanlah sebuah masalah, sampai ketika orang-orang mulai mempermasalahkannya!
( Sumber : rudyefendy70.wordpress.com)
Comments
Kalo Secret Of Two Suns bagus gak ya?
Online?
Hahaha iyaa, kemarin aku belanja online di gramed buku2 sains dan novel2. Diih 395ribuuu mahaaaal Di ongkir! Secara aku sedang di Medan. Gak mungkin kan aku taruh di Apartemen dan nunggu sodara pergi ke Medan. Malah nanti dibuka2 pulak ! akhir nya gak jadi deh. Duh gak sumbut kalo di itung2 antara diskon nya sama ongkir nya. Preeet lah.
Eh diva pres diskon nya gila2an gak yaaah ?? Hehehehe iya deh aku coba lihat deh.
Coba lah nanti aku beli
Coba lah nanti aku beli