BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

REAL LOVE (Latest (12/08))

edited August 2013 in BoyzStories
SOMEONE FROM THE PAST

Manado, Januari 2013

HENING. Hanya detak samar jarum jam dinding beberapa puluh senti dari puncak kepala Jonathan yang tengah terbaring di ranjangnya yang mengisi kesunyian malam. Yang terpendek dan bergerak paling lambat di lintasan itu nyaris tepat menunjuk angka 12 bersama jarum panjang lainnya. Hampir tengah malam. Dan Jonathan masih tak mampu memejamkan matanya.

Dia muncul lagi…
Setelah hatiku nyaris berhasil ku tata sempurna…
Setelah hampir tak ada sehari dalam hidupku memikirkannya, lagi…
Setelah bertahun ia tak terlintas dalam benak…
Dia kembali…

Sore tadi, sebuah ke-taksengaja-an membawa Jonathan bertemu dengan sosok yang sudah lama hilang dalam benaknya. Sosok yang dulu sempat mengambil tempat terindah dalam hatinya, sosok yang mengubah dirinya. Yang sempat menjadi tokoh utama yang mengisi lembar-lembar using buku hariannya, sejak hari pertama mereka bertemu. Hingga akhirnya, waktu membawa mereka terpisah. Sosok itu menghilang dari hidupnya. Membuat Jonathan merejam pilu dalam rindunya yang tak terungkap.

***
Kebersamaan mereka singkat, tiga semester terakhir mereka di sekolah menengah atas. Sosok itu datang sebagai murid baru di pertengahan masa ia menimba ilmu di sekolah tersebut. Berawal dari sebuah kekakuan di awal bertemu…

Kisah dua lelaki ini bermula…

Comments

  • .
    . . .
    . . . .
    . . .
    .

    5 tahun sebelumnya…

    JONATHAN

    Manado, 2008, Pertengahan Januari…

    Pagi itu hujan sudah turun sejak subuh, hingga detik matahari seharusnya terbit derasnya tak juga berkurang sedikitpun. Walau hujan Jonathan memulai harinya dengan penuh ceria, pukul tujuh tepat ia sudah berjarak beberapa puluh meter dari gerbang sekolahnya. Sebuah sweater lengan panjang warna cokelat dan ransel rajut hitam terlihat begitu pas di kenakannya. Berbekal celana abu-abu yang digulung selutut dan sebuah payung hijau berukuran sedang, Jonathan melangkah pasti dengan senyuman menuju sekolahnya.
    Ia akhirnya tiba di depan gerbang sekolah, satpam sekolah itu yang sudah terlihat cukup berumur menyambutnya.

    “ckckck, nak Nathan datang paling pagi seperti biasanya.” Sapa si satpam dari dalam biliknya.

    Jonathan membalas senyumnya, “hehe, dari SD sudah dibiasakan, bah… jadi nggak kaget lagi kalau di SMA malah semakin pagi diharuskan datang.” Ujarnya sembari menutup payung lalu menurunkan gulungan celana abu-abunya. “abah gimana kabarnya pagi ini? Sehat dong?”

    “Ooo sehat! Biarpun sudah senja gini abah nggak kalah sama yang muda-muda! Hahaha…”

    Mereka tertawa bersama, Jonathan lalu mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah bungkusan berbentuk kotak. “eh iya bah, ini ada titipan kecil dari bunda, kue jahe special buat abah! Diterima yah bah?” Jonathan menyodorkan kotak itu ke si satpam.

    “aduh, sampai repot gini nak.”

    “tidak repot kok bah, hari ini ulang tahun bunda. Ini juga sebagai tanda terima kasih bunda buat abah karena udah nolongin kita waktu itu, juga sekalian ucapan selamat tahun baru dari bunda yang belum sempat. Diterima ya bah, pas banget nih buat cuaca dingin kayak gini”

    KRIIING KRIIING!!! Pekik bunyi bel sekolah sudah berbunyi.

    “wah, udah masuk. Nathan masuk ya bah! Semangat!”

    “iya cah bagus, semangat juga!” Pekik si satpam sembari melambaikan tangan.

    Jonathan, bersama beberapa anak lainnya bergegas memasuki kelas masing-masing. Matematika, akan memulai pagi yang dingin di hari itu.

    Langkah kakinya terhenti begitu tepat selangkah saat memasuki ruang kelas. Kelas hampir penuh seluruhnya, dan pandangannya tertuju pada satu sudut. Tempat biasanya ia duduk di hari-hari sebelumnya. Di sekolahnya memang tak di tentukan dimana masing-masing siswa duduk setiap dalam setahun di setiap kelas. Siswa bebas duduk di manapun setiap harinya. Lalu pagi itu, tak seperti biasanya kursi di pojok paling kiri kelas itu sudah terisi. Jonathan terdiam menatap sosok yang tengah duduk di tempat tersebut, sosok asing yang baru dilihatnya pertama kali ada di kelasnya.

    “hey! Melamun aja, itu pak Doni sudah bersiap kemari. Udah dekat.” Sentak seorang sahabat membuyarkannya dari lamunan.

    “eh i..iya, Lev, itu siapa? Kok aku baru lihat?” keduanya berjalan beriringan.

    “oh itu, dia anak baru. Masuk kemarin saat kamu nggak hadir, namanya Arthur.”

    Jonathan hanya mengangguk lalu bergegas mencari tempat duduk, tak sampai semenit kemudian sang guru tiba, memulai segala aktifitas di kelas tersebut.

    .
    .
    .

    Manado, 2008, Pertengahan Febuari…

    Lalu sebulan berlalu semenjak hari itu. Semua berjalan seperi biasa, tak ada hal special yang terjadi. Jonathan menjalani harinya seperti biasa, dengan ceria dan penuh senyuman. Anak itu selalu berusaha tersenyum dan membuat hati bahagia dalam masa dan situasi apapun ia berada. Sang ibu mengambil andil besar hingga Jonathan tumbuh menjadi sosok yang demikian. Sejak Jonathan masih bayi sang ayah sudah di panggil pulang yang Kuasa. Sebuah kecelakaan kerja membuat sang bunda harus rela menjadi orang tua tunggal begitu dini.

    Menjadi orang tua tunggal sedini itu membentuk sang bunda menjadi sosok wanita yang tegar dan selalu bersyukur dengan apa yang ia miliki. Enambelas tahun sudah, Erika, sang bunda hidup berdua dengan Jonathan. Sebuah toko roti rintisan sang ayah menjadi mata pencaharian mereka. Walau tak begitu besar, namun penghasilannya sudah sangat cukup untuk menghidupi dirinya dan sang putra. Erika selalu bersyukur untuk kesemuanya itu. Sifat yang sama diturunkan pada Jonathan, anak itu tumbuh menjadi pribadi yang begitu menghargai hidup.

    ***

    Malam valentine’s day. Sekolah Jonathan seperti biasa setiap tahunnya akan merayakan hari special ini dengan acara temu akrab murid, orang tua, dan para guru. Biasanya acara akan di isi dengan ibadah, lalu akan berakhir dengan pentas seni dan ramah tamah. Tak seperti sekolah lain yang seringnya hanya melibatkan murid-muridnya dengan susunan acara semi hura-hura ala anak muda. Sekolah kami menyajikan konsep berbeda di setiap acara yang akan diadakan dihari-hari besar seperti ini. Lebih berisi dan mendidik.

    Usai ibadah singkat, acara akan dilanjutkan dengan forum terbuka antar guru dan orang tua murid. Dimana para guru akan memaparkan perkembangan sekolah dan kegiatan pembelajaran yang tengah berlangsung, diskusi semacam ini selalu dilakukan disetiap kesempatan pertemuan-pertemuan sejenis dalam berbagai kesempatan. Dimaksudkan untuk mempererat keakraban antar guru dan para orang tua murid. Selanjutnya para guru, orang tua serta hadirin lainnya akan disuguhi pementasan seni dari para siswa mengiring mereka yang tengah menikmati hidangan yang sudah disiapkan.

    Malam itu Jonathan mendapat bagian mementaskan tarian khas daerah tempat tinggalnya, berpartner seorang siswi penari lainnya ia dengan lihai mempertontonkan detil-detil gerakan tari nan indah bersama si penari wanita. Keduanya terlihat tampan dan cantik dalam balutan busana khas daerah Sulawesi Utara tersebut. Mereka mementaskan salah satu bagian dalam tarian Maengket dari Minahasa, lalaya’en. Dimana sepasang muda-mudi akan menari berpasangan layaknya dua kekasih yang tengah kasmaran dan begitu berbahagia. Bagian ini adalah babak terakhir dari keseluruhan empat babak yang dimiliki tarian tersebut. Sudah bukan merupakan bentuk baku lagi karena biasanya tarian ini dilakukan oleh kelompok besar suatu grup tari. Walau demikian, pesona tarian tersebut tetap tak berkurang dilakukan oleh Jonathan dan si penari wanita. Tabuhan tambur dengan irama yang khas terdengar syahdu mengiring lenggak-lenggok tarian yang dilakukan. Riuh sorak tepuk tangan penonton tak pelak pecah usai keduanya selesai melakukan tarian. Jonathan dan si penari wanita menunduk mengucap terimakasih sebelum kemudian meninggalkan panggung.

    .
    .
    .

    “YEEEE!!! Kasih applause buat teman kita Nathan dan Celia! Kita semua patut mencontoh mereka berdua ini, di dunia modern sekarang ini masih ada anak muda yang mencintai seni tradisi seperti mereka ini!” Puji bu Ratna, guru kesenian sekolah kami yang menjadi salah satu penuntun acara pada malam itu. langsung di sambut oleh tepukan tangan para hadirin. Jonathan yang sudah duduk di kursi penonton bersama Celia tersenyum penuh bangga. Bundanya tergopoh-gopoh menghampiri sang putra membawakan tissue, mengelap keringat Jonathan. Segelas air minum pun tak lupa di berikan pada Jonathan. Hal yang sama di lakukan ibunda Celia pada sang putri.

    “kalian berduanya narinya bagus sekali tadi, mama sampai pangling lihatnya! Iya kan bu Erika.”

    “iya bu Silvi, Lia makin lincah saja lenggak-lenggoknya, persis tante waktu muda dulu! Bu Silvi asal tau ya, papanya Nathan jatuh cinta sama saya, ya dari tarianku itu.” ujar Erika mengenang sang suami. Yang di ujari menangguk kagum.

    “wah, gitu yah bu, ckck… memang the best bu Erika mah, kapan-kapan boleh dong saya di ajari tariannya yah, biar si bapak makin lengket sama mamah, hihi.”

    “sip, gampanglah itu bu Silvi.”

    Kedua ibu itu terbahak bersama. Jonathan geleng kepala menatapi perilaku sang bunda, Celia hanya tersenyum menahan tawa melihat mama mama mereka yang begitu jenaka.

    Celia dan Jonathan bertetangga sejak setahun yang lalu. Bersama keluarganya Celia pindah dari kota asalnya, Bandung ke Manado. Sang ayah dipindah tugaskan ke kota ini. Celia pun masuk di SMA tempat Jonathan bersekolah, keduanya langsung akrab ketika tau kalau mereka tinggal bertetangga. Satu rahasia besar di simpan Celia, kalau sejak pertama bertemu Jonathan hatinya sudah tertambat pada Jonathan. Remaja itu tak terbantah sudah mencuri tempat terindah di lubuk hatinya. Namun hingga setahun mereka saling mengenal, tak ada timbal balik dari Jonathan. Pemuda itu tak menunjukan tanda-tanda memiliki perasaan yang sama pada Celia. Hingga hari itu, malam-malam Celia hanya di isi dengan meratapi ketaksanggupannya mengungkapkan rasanya pada Jonathan. Bukan karena egonya sebagai wanita yang harusnya di nyatai cinta oleh seorang pria. Tapi karena memang ia tak punya nyali untuk mengungkapkannya.

    ***

    “woi!” sentak Jonathan mengagetkan Celia yang tengah merenung sendiri di taman belakang sekolah. Menjauh dari hiruk-pikuk pesta yang masih sangat ramai.

    “eh, kamu than. Kenapa kemari?” jawab Celia rikuh.

    “yee, harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa menyendiri di sini, cewek nggak baik menyendiri malam-malam.”

    “apaan sih, aku nggak menyendiri kok. Cuman jengah aja di dalam berisik sekali” Celia melangkah menjauh, menghindari wajahnya yang memerah tertangkap mata Jonathan.

    “oh, aku kira apa. Iya sama, lama-lama didalam pekak juga telingaku.”

    Jonathan melangkah agak jauh ke tengah halaman. Langit malam itu sangat cerah, sinar bulan sabit yang teduh berpadu indah dengan kerlap-kerlip bintang yang bertebar memesona. Halaman belakang dihias indah dengan lampu hias warna-warni di tata lima baris memanjang sejajar panjang halaman. Sinarnya temaramnya menambah romantis atmosfir tempat itu.

    Sepasang mata indah menatap sendu Jonathan dari belakang. Celia, rasa di dalam hatinya serasa ingin memberontak ingin terungkapkan. Ia tak bisa menahan lagi. Saat ini sangat tepat, hanya ada dia dan Jonathan. Gadis itu maju beberapa langkah hingga tepat berada setapak dari Jonathan. Jonathan tak bergerak, sepertinya tak sadar Celia sudah di belakangnya. Lebih semenit gadis itu diam, mengurangi rasa gugupnya. Menguatkan lagi hainya untuk bersuara.

    “Than…” suara lirihnya akhirnya keluar.

    “hmm?” gumam Jonathan, lalu berbalik menatap yang memanggil namanya. Senyum tipis tergurat di wajah tampan itu.

    Celia tersentak, tak menyangka kalau yang dipanggil akan berbalik secepat itu. Tenggorokannya tercekat, rentetan kata yang disusunnya sejak tadi seolah menguap dalam sekejap.

    “eh.. a.. aku, aku…” terbata, beriring rona wajahnya yang memerah.

    Jonathan mendelik bingung, “iya, kenapa Cel?”

    “ee.. aku.. sebenarnya aku.. suka…”

    “Than!!!” sebuah teriakan menghentikan ujaran terbata Celia.

    Yang di panggil menoleh ke arah pintu belakang aula.

    “iya Ven, kenapa?”

    “ayo cepat kemari, asma mamamu kumat lagi!”

    Tanpa basa basi lagi, Jonathan bergegas segera masuk kembali ke aula. Di salah satu sudut ruangan, sang bunda tengah dikerumuni beberapa orang, ada bu Silvi yang sibuk mengipasi wajah ibu Jonathan. Sebuah inhaler tengah dihisapnya saat Jonathan tiba. Dengan cemas Jonathan menghampiri ibunya.

    “ma, udah nggak apa-apa ma?”

    “iya, udah nggak apa-apa kok, gak usah kusut gitu mukanya.” Erika membelai wajah putranya yang merengut cemas.

    “mamamu lupa bawa inhalernya, untung tadi ada orangtua murid lain yang punya.”

    “hmmp, mama sih kebiasaan. Ya udah, mama kita pulang sekarang ya.”

    Sang bunda mengangguk saja sambil berusaha tersenyum.
    “naik mobil om saja Nathan, diluar dingin banget kasihan kalau naik motormu.” Awar pak Faisal ayah Celia.

    Alhasil mereka pulang berlima dengan mobil keluarga Celia. Mengantar Jonathan dan sang bunda sampai depan rumah, beruntung jarak rumah mereka hanya berbatas beberapa rumah. Sepanjang perjalanan Celia tak bersuara, pupus sudah niatnya mengutarakan rasanya pada Jonathan malam itu. Fokus semua orang tertuju pada Erika sang bunda. Sebab ini bukan pertama kalinya kejadian serupa ini terjadi. Pernah sekali waktu nyaris terlambat, Nathan menemukan sang bunda terkapar di teras rumahnya akibat sebab yang sama. Selain punya penyakit asma, sejak kecil jantung Erika memang sudah lemah. Tentulah hal tersebut membuat Jonathan was-was setiap waktu. Ia tak mau kehilangan lagi.

    Bu Silvi sekeluarga mampir sebentar menemani bu Erika di rumah. Hampir tengah malam mereka baru permisi pamit pulang kerumah. Dari dalam mobil Celia hanya menatap pasrah Jonathan usai mengantar mereka hingga teras. Lagi, rasa itu masih harus tersimpan dalam hatinya.

    ***
  • ***
    ARTHUR
    Tak terasa dua bulan sudah berlalu semenjak kepindahan Arthur ke sekolah barunya. Ini pertama kalinya dalam seumur hidup ia bebas melihat dunia luar. Sejak masih bayi ia di rebut paksa oleh sang nenek dari ayahnya. Cinta Helena sang ibu tak direstu neneknya dengan Jeremy sang ayah, masalahnya adalah karena Jeremy adalah anak dari musuh bebuyutannya. Seumur hidupnya Arthur tak pernah mengenal dan melihat sekalipun wajah sang ayah. Sang nenek mati-matian menyembunyikan identitas Jeremy dari cucu semata wayangnya itu, mulai memindahkan Arthur dan ibunya dari kediaman mereka yang lama ke rumahnya tinggal bersama hingga membakar semua foto-foto dan segala hal yang berkaitan denga Jeremy ayah Arthur. Hingga kini Arthur menginjak usia tujuhbelas tahun, yang ia tau hanyalah ayahnya telah meninggal bahkan sebelum ia dilahirkan.

    Masa kecil Arthur seolah terenggut paksa darinya. Sang nenek betul-betul mengisolir bergaulan Arthur dari dunia luar, hanya demi memastikan cucu satu-satunya itu benar-benar tak akan pernah bertemu dengan Jeremy. Sejak kecil Arthur tak pernah dibolehkan keluar selangkah saja dari gerbang rumahnya, sekolah pun di buat home schooling oleh sang nenek. Hingga selesai tahun pertamanya setingkat sekolah menengah atas ia menjalani pendidikannya sebagai siswa sekolah rumah. Arthur tumbuh menjadi remaja lelaki yang pendiam dan berpemikiran kritis, hobinya membaca, olahraga memanah dan menembak. Internet menjadi satu-satunya jendela baginya mempelajari peradaban dan dunia luar. Kian lama Arthur kian mengerti, dan semakin berhasrat untuk ingin bebas dan melihat dunia luar secara langsung. Berkali-kali ia memohon kepada sang nenek untuk mengizinkannya keluar, mengenal dunia dan menjalani hidup layaknya remaja pada umumnya. Namun kerasnya hati sang nenek tak luluh jua seiring usianya, Helena sang bunda pun tak bisa berbuat banyak akibat ia yang begitu sibuk mengurus bisnis keluarganya. Jarang sekali punya waktu lebih untuk menemani Arthur lebih lama di rumah. Dan lagi ia juga tak berdaya menentang sang ibunda.

    Hingga akhirnya semua berpuncak beberapa bulan yang lalu. Neneknya meninggal akibat komplikasi beberapa penyakit yang sudah lama dideritanya. Kini kekuasaan penuh dimiliki Helena sang ibunda. Harta dan semua warisan nenek Arthur diwariskan pada Arthur. Meski begitu sang ibu tak silau dengan semua kemewahan itu. Yang ia rindui hanyalah melihat putranya tersenyum bahagia. Tak menunggu lama akhirnya kebebasan terbuka untuk Arthur.
    Helena menyekolahkannya disalah satu sekolah terfavorit di kota itu. Kini sudah lewat sebulan semenjak kebebasan itu diraihnya. Namun ternyata semua tak semudah bayangan Arthur, seketika mendapati dunia luar itu seperti apa dan seketika itu juga harus beradaptasi. Sebenarnya banyak sudah teman-teman sekelasnya yang inisiatif mengakrabkan diri dengannya. Namun tetap saja, belasan tahun dikurung dalam kesendirian membuat segalanya terasa ratusan kali lebih sulit untuknya.

    .
    .
    .

    Dua bulan telah berlalu semenjak ia mulai bersekolah seperti layaknya anak remaja pada umumnya. Namun masih saja ia tak mampu mengakrabkan diri dengan dunia barunya itu, dunia yang seharusnya ia rasakan sejak awal masa hidupnya. Hari-harinya disekolah hanya dihabiskan dengan mengikuti pelajaran lalu sisanya meringkuk diam di kursinya sambil sepasang earphone menyumbat telinganya. Sama saja, disekolah pun musiklah satu-satunya temannya mengusir bosan.

    Hingga suatu pagi, seseorang hadir dalam hidupnya. Satu tatapan saja, namun mampu membuatnya terpana. Menghentikan nafasnya sejenak saat dua pasang mata mereka saling bertatapan. Jonathan.

    “hai! Boleh aku duduk disitu?”

    Arthur sedang menjalani versi baru menyendirinya di sekolah hari itu, sebuah bangku panjang dari besi menghadap ke danau buatan kecil di halaman belakang sekolah mereka. Bangku itu diletakan di bawah rindang sebuah pohon akasia tua yang terlihat mencolok tepat di tengah-tengah halaman luas itu.
    Jonathan, entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya meminta ijin duduk disamping Arthur. Yang disapa menatap sejenak yang menyapanya, lalu membuang pandangannya lagi. Seketika itu juga beranjak dari tempat itu.

    “hei, hei! Kok pergi? Aku ganggu ya? Ya udah aku yang pergi, kamu balik aja aku nggak akan ganggu lagi!” Jonathan tak enak hati.

    “tak apa, aku nggak minat lagi.” Jawab Arthur singkat. Tak menghentikan langkahnya walau sejenak.

    Jonathan tercengang, menghentikan langkahnya. Menatapi Arthur yang melangkah menjauh meninggalkannya.

    ***

    Arthur terjebak, mindanya setelah pertemuan dengan Jonathan kala itu penuhi momen singkat itu. Semua terekam jelas dalam benaknya. Tatap teduhnya, senyumannya. Bahkan semua yang sedang dikenakan Jonathan saat itu simpan jelas dalam pikirnya.

    Satu malam yang cerah, Arthur terduduk sendu di kursi taman rumahnya. Matanya memandang lurus ke arah langit malam dari jendela kamarnya. Dua hari sudah ia demam, hingga tak bisa masuk sekolah. Helena memasuki kamar sepi itu, memandangi wajah putranya yang muram itu. Sebuah baskom berisi air dingin di jinjingnya. Armand, dokter pribadi keluarga mereka baru selesai memeriksa keadaan Arthur.

    “mama…”

    “iya sayang, ada apa?” Helena meremas kain putih untuk kompres Arthur hingga airnya tak menetes lagi. Lalu meletakannya ke atas dahi putranya itu.

    “gerah ma…” lirih remaja itu. Helena mendengus resah, menatap cemas putra semata wayangnya itu.
    Ia menyesal terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan sang putra.

    “dari diagnosa saya sepertinya Arthur terkena demam berdarah bu Lena.” Ujar Armand sembari membereskan peralatannya.”sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja supaya dapat dirawat lebih intensif lagi.”

    Raut Helena semakin cemas, “ya sudah, besok pagi Arthur saya bawa ke rumah sakit.”

    *****

    Aku perlahan membuka kedua mataku dengan susah payah. Berat sekali rasanya. Badanku pun masih saja lemas tak mampu bergerak banyak. Agak kaget melihat benderang ruangan serba putih ini. Hampir semenit baru aku sadar kalau tadi pagi aku di bawa mama ke rumah sakit. Huh, demam berdarah. Penyakit sialan ini sukses menjadi alasan kedua aku melihat rumah sakit untuk kedua kalinya seumur hidupku, yang pertama saat full check up untuk persyaratan masuk sekolah baru untukku beberapa bulan lalu.

    Mengingat sekolah, satu sosok langsung terpampang dalam benakku. Jonathan. Dua hari sudah aku tak melihatnya akibat penyakit sialan ini. Lelaki itu, belum apa-apa aku tersadar dari tidurku pagi ini kembali sudah dia yang tersuguh dalam benakku. Sungguh gila. Aku merindukannya, melebihi apapun saat ini. Aku tak bisa lupa momen hari itu, ia sebenarnya berniat bagi ingin akrab denganku. Namun entah kenapa masih saja aku susah membiasakan diri dengan keadaan baru ini. Tak hanya dia, teman-teman yang lain pun sudah lelah mencoba akrab denganku. Aku pusing tiap kali memikirkannya.

    Belasan tahun aku hidup bagai dalam sangkar. Dikekang ini itu oleh nenekku, dan kini nenekku telah tiada. Aku telah bebas, hidup biasa layaknya anak-anak seumuranku. Mengenal dunia luas sebagaimana selayaknya.

    Entah sudah jam berapa sekarang. Mama datang membawa makanan untukku beberapa menit setelah aku terbangun.

    “sudah bangun nak, lapar kan? Ini mama beli bubur ayam buat kamu, di makan yah?”

    “masih nggak selera ma, lidahnya pahit…” lirihku.

    “cobalah walau sedikit saja ya nak, kamu belum makan apapun dari tadi malam. Mama khawatir, sekarang sudah hampir jam sebelas siang nak?” ujar mama. Aku menyerah. Mama membantuku menegakkan badan.

    Aku makan sembilan suapan hingga aku benar-benar tak mampu lagi.

    “udah ma, kalau ditambah lagi Arthur bisa muntah.”

    “ya sudah sayang, yang penting perut kamu udah terisi.” Mama meletakan mangkok berisi bubur yang tak sampai separuh lagi lalu menuang air putih dalam gelas, lalu menyodorkannya padaku.
    Aku minum isinya hingga habis.

    “mama tak masuk kerja?” tanya sembari membetulan posisi sandaranku.

    “kamu ini bagaimana sih nak, masak anak mama lagi sakit mama malah sibuk di kantor sih. Kamu tidak usah pikirkan itu sayang.”

    Terharu rasanya mendengarnya, semoga mama akan terus seperti ini.

    Hari ini rasanya bahagia sekali. Walau badanku sakit namun ada hikmahnya juga. Mama jadi memperhatikanku lebih lagi.

    .
    .
    .
    .

    Sabtu pagi, ini hari ke tempatku di rumah sakit. Rasanya badanku sudah cukup kuat untuk pulang. Untungnya dokter sudah mengizinkanku pulang hari ini. Bosan sekali rasanya meringkuk di kamar sempit ini berhari-hari. Ditambah, tak sabar lagi rasanya inginku masuk sekolah lagi.

    Aku sedang di mobil sekarang, bersama mama dan paman Hadi yang baru datang dari Belanda. Aku kagum dia bela-belain menjemputku aku dari rumah sakit padahal belum genap sejam dia turun dari pesawatnya. Pasti sangat capek.

    Paman Hadi adalah adik kandung ibuku. Satu lagi saudara kandung ibuku namanya Leona, dia kakak tertua. Nama lengkap pamanku ini Ferdinand Hadi Rotinsulu. Umurnya baru duapuluh empat tahun namun sudah punya segudang prestasi di genggaman. Menyelesaikan strata pertamanya bahkan belum genap duapuluh satu tahun, lalu sudah selesai dengan gelar master dia umur semuda ini. Bayangkan saja, doktor teknik sipil di usia tiga puluh satu. Aku mungkin terlambat mengenal dunia luar, tapi aku cukup tau bagaimana susahnya perkuliahan di jurusan tersebut melalui internet. Dia betul-betul sosok lelaki sempurna untuk dijadikan suami. Aku sangat bangga punya paman seperti dia, suatu hari nanti aku juga akan berhasil sepertinya.

    “wah, paman!” aku berhamburan ke pelukannya saking girangnya.

    “hehehe, apa kabar jagoan?”

    “baik paman! Paman sendiri? Kok kayaknya makin kurus sekarang? Apa makanan di Amsterdam nggak enak ya sampai paman kurus gini?” aku berkelakar, rindu sekali rasanya dengan pamanku satu ini.

    “hahaha, bisa aja kamu. Iya nih, di sana nggak ada kerupuk sama sambal terasi jadi paman makannya malas.”

    “eh eh eh, kalian ini kalau sudah ketemu selalu saja lupa waktu. Ayo masuk ke mobil dulu, ngobrolnya nanti aja.” Mama memperingatkan kami. Seperti tersadar paman Hadi nyengir sebentar lalu bergegas memasukan barang-barang kedalam bagasi. Setelahnya kami pulang bertiga ke rumah.

    Sepanjang jalan aku mengobrol panjang lebar dengan paman Hadi, ia bercerita dengan semangat tentang apa-apa saja pengalamannya di Belanda. Om ku satu ini memang lucu, ia masuk berlaku seperti layaknya anak muda di usianya ini. Itu yang membuatnya mudah di senangi banyak orang. Bayangkan saja seorang lelaki bergelar master of engineering dengan style anak muda sepertinya. Tengok saja yang ia kenakan saat ini, kaos biru model v neck dengan gambar angry bird kuning yang menutupi nyaris seluruh dadanya. Lalu celana jeans skinny dengan motif robek-robek khas anak-anak muda. Dulu waktu nenek masih hidup paman Hadi selalu jadi bulan-bulanan omelan nenek tiap kali bertandang. Namun jawabannya kian hari selalu sama, ‘ya, seperti inilah gayaku nek. Maaf ya, tapi kalau harus merubah gaya lain aku rasanya bukan menjadi diriku sendiri. Rasanya aneh sekali.’

    Paman Hadi memang punya wajah yang sangat tampan, dilihat dari berbagai sudut pun ia akan terlihat tujuh tahun lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Ditunjang tubuhnya yang jangkung dan atletis sempurna tak berlebihan membuatnya semakin undeniable. Kalau tak ingat ia pamanku sudah lama aku jatuh cinta padanya.

    “lalu pacarmu sekarang siapa? Kapan kamu menikah? Saban hari kakak yang selalu jadi bulan-bulanan mama yang menanyai kapan kamu menikah, katanya dia sudah kangen menimang cucu lagi.” Tiba-tiba mama berujar.
    Paman Hadi terdiam, raut mukanya tiba-tiba muram.

    “a..aku, aku kan belum kerja kak. Aku ingin mapan dulu baru melangkah kearah situ.” Ujar paman Hadi muram.

    “huh, kakak ingat selesai S1 dulu kamu juga ngomong begitu. Lalu apa? Kamu malah memutuskan ambil S2 di negeri orang. Sekarang kamu malah bilang mau kerja.” Sungut mama sebal.

    “aku kan masih muda kak, teman-temanku seangkatan yang sudah kerja pun baru satu-satu yang nikah. Hadi masih ingin menikmati masa muda kak, walau sebentar. Hadi ingin, benar-benar sudah siap untuk melangkah ke masa itu.” aku hanya diam sejak tadi karena tak tau harus berkata apa. Dapat kulihat mata paman Hadi berkaca-kaca saat berujar. “aku juga tau kak, aku anak laki-laki paling tua di keluarga ini. Aku bertanggung jawab meneruskan keturunan keluarga ini. Asal kakak tau, selama menimba ilmu di Belanda aku sudah memikirkan semua itu. Tak ada niatku untuk lari dari tanggung jawab.” Dua tetes airmatanya menetes. Ini agaknya kali pertama aku melihatnya menangis. Mama tak menjawab lagi.

    “paman…” aku memegang pundaknya. Pasti berat sekali semua ini baginya.

    “tidak apa-apa kasep, duh… kok jadi sedih begini sih, paman juga baru sampai! Paman mau senang-senang pokoknya!” walau sangat terlihat kalau senyumnya di paksakan, namun ia berusaha keras mengabaikannya. “dan satu lagi, aku tau memang statusku sebagai paman kamu. Tapi kan umurku baru 24, usia kita pun hanya terpaut Sembilan tahun. Berasa tua sekali dipanggil paman sama kamu, hmm… panggil abang saja! Bang Hadi, kan lebih keren tuh, dan terdengar lebih sesuai dengan umurku.”

    “hus, apa-apaan kamu Di! Mengajarkan yang tidak-tidak, dia itu keponakanmu.” Mama tiba-tiba sewot. Aku tersipu sendiri.

    “memang benar kan, aku nggak mau tau pokoknya mulai hari ini Arthur panggil aku abang, ayo!?”

    “ih, kaku paman. Nggak biasa.”

    “paman lagi, oh, ayolah… panggil aku abang! Sekarang!”

    “iya deh iya, pam… eh… abang, abang! Hahaha” aku tertawa kemudian, geli sendiri memanggilnya dengan sebutan itu. Paman Hadi pun ikut tertawa bersamaku.

    Mama hanya geleng kepala melihat tingkah kami berdua. Sesaat aku terdiam menikmati senyuman bang Hadi yang begitu indah, terlihat jauh lebih muda dari umurnya sebenarnya.

    ***

    Tak sampai setengah jam kami sudah sampai di rumah. Rasanya kangen sekali dengan suasana rumah ini. Walau sempat mengurungku selama belasan tahun tapi hampir seminggu tak pulang rindu juga dengan atmosfir rumah ini. Terlanjur nyaman tinggal di sini.

    Bang Hadi dibantu Jaka anak bik Maryam pembantu kami membawa masuk barang-barang kami kedalam rumah. Masuk ke rumah langsung saja hidungku dimanjakan dengan aroma masakan yang begitu menggugah selera. Bergegas aku berganti pakaian lalu menuju dapur, perutku keroncongan menghirup aroma sedap masakan bik Maryam. Sepertinya yang kelaparan tak Cuma aku, bang Hadi sudah duluan duduk di depan meja makan sebelum aku.

    “masak apa nih bik, harum sekali?” bang Hadi bertanya.

    “hehe, hari ini special menyambut kedatangan dua pangeran tampan ini bibik masak udang bakar saus madu untuk den Arthur, dan untuk tuan Hadi yang baru pulang dari Amsterdam bibik buatkan sop kepala ikan kakap, semuanya kesukaan tuan-tuan ini.” Ujar bik Mar dengan bangga. Sembari menyajikan makanan yang ia ujarkan tadi. Nafsu makanku dan bang Hadi bagai bensin tersulut korek api.

    Aku makan sampai puas siang ini, senang sekali indra perasaku sudah kembali pulih. Aku sampai habis dua piring lebih ku makan. Usai makan aku dan bang Hadi bersantai di kamarku. Kami mengobrol lebih banyak lagi kali ini.

    “Arthur harus berusaha lebih keras lagi, coba untuk terbuka kepada siapa saja yang ingin bersahabat dengan Arthur. Abang mengerti belasan tahun hidup dikurung begitu membuat semuanya sulit untuk dimulai. Pasti kamu bisa.” Bang Hadi merangkul pundakku.

    Aku mendesah gusar, membetulkan posisi baringku. “susah sekali bang, memang, sudah banyak dari mereka teman sekelasku yang mau sudah berusaha berteman dengan Arthur bang. Tapi rasanya asing kalau berada di antara mereka.”

    “abang mengerti, cobalah pelan-pelan. Saran abang jangan mulai di komunitas yang besar dulu. Satu dua orang saja sudah cukup membantu kamu beradaptasi.”

    Bang Hadi membelai pelan rambutku dengan sayang, aku terdiam saat ia menatapku sambil tersenyum. Tatapan yang tak bisa ku artikan. Aku serasa membeku dibawah teduh tatapannya itu. Lama momen ini berlangsung, lalu tanpa kuduga belaiannya turun ke wajahku. Jemarinya mengusap pelan pipiku. Aku hanya terdiam kaku, tak tau harus berbuat apa. Sejuta tanya menyeruak seketika di benakku.
    Lalu seperti tersadar bang Hadi sedikit tersentak menghentikan aktifitas jemarinya di wajahku. Lalu beringsut turun dari ranjang dengan gelagapan. Aku malah jadi tertawa melihatnya, wajahnya seperti anak yang tertangkap basah mencuri.

    “abang kenapa?” sambil terbahak kecil aku menegurnya.

    “e..ee… itu, anu…” ia mondar-mandir tak jelas dihadapanku.

    “ia apa?” aku terus memancingnya.

    “haish…” ia menggaruk kepalanya yang entah gatal atau tidak itu. “tu..tunggu sebentar ya Gio, a..abang mau ambil sesuatu.”

    Tanpa menunggu jawabanku bang Hadi bergegas keluar. Dapat kudengar ia masuk ke kamarnya yang hanya bersebelahan denga kamarku. Tak sampai semenit ia masuk ke kamarku membawa bungkusan kotak warna hitam. Aku tak tau apa isinya.

    “apa itu bang?”

    “buka aja.” Ia tersenyum.

    Dengan penasaran aku membuka bungkusan kotak itu, lalu tercengang melihat apa isinya.

    “wah, iphone bang!” seruku girang. Seumur-umur aku baru pernah melihat ponsel pintar ini lewat internet dari layar monitor komputerku. Satu-satunya jendela untukku melihat dunia luar saat masih hidup terkurung dulu.
    Bang Hadi tersenyum melihatnya,”kamu sudah tau iphone toh, hahaha…”

    “ih ngremehin banget!” pinggangnya sukses dapat cubitan mautku.

    “aww..! iya iya ampun kasep! Ampuuun!”

    Aku melepas cubitanku dengan seringai puas.

    “galak banget sih, abang kasih hadiah malah dicubit gini. Jahat.”

    “abisnya abang nyebelin! Hehe, tapi makasih yah! Abang memang the best!”

    Lalu akupun terkejut sendiri dengan apa yang kulakukan selanjutnya. Aku mencium pipi bang Hadi. Ya, tak terbantahkan. Ada tiga empat detik bibirku mendarat dipipi bang Hadi yang lembut. Bang Hadi tak berkata apa-apa saat itu, menatapku dengan sendu lalu tiba-tiba mendekapku begitu erat. Lalu tanpa bisa ku cegah bibirnya mendarat mendarat lembut di bibirku. Mataku membelalak saat ia melakukan itu. Tapi sekujur tubuhku seolah kaku, tak mampu menolak, bahkan menghindar sedikit pun. Seolah tersadar ia melepas ciuman singkat itu, melepas pelukannya lalu mematung sendiri seakan tak percaya yang baru saja dilakukannya. Seketika itu juga aku berlari keluar dari kamar. Meninggalkan bang Hadi tanpa berkata satu katapun.

    Aku berlari menuju ruangan piano di lantai dua rumahku. Masuk dan mengunci diri di dalam ruangan itu. Tidak ada tanda-tanda bang Hadi atau siapapun mengejarku kesini. Berusaha keras aku menghilangkan bang Hadi dari benakku namun sulit sekali, kian keras aku berusaha makin keras pula bayangannya muncul dibenakku. Aku berciuman dengan pamanku sendiri, hal tergila dalam hidupku.

    .
    . . .
    . . . .
    . . .
    .
  • Introvet banget si arthur ..
    Gw suka sama namanya ..
  • INFO : Alur yang di gunakan berbentuk kilas balik, Past ke Present dan sebaliknya. POV : ARTHUR-JONATHAN-WRITER.

    =======================================

    *JONATHAN*

    TAK PERNAH PADAM

    Manado, 2013, Valentine…

    Hari ini hari kasih sayang, sepanjang jalan aku menyusuri kota terlihat pasangan dari segala usia menikmati malam dengan saling berkasih-kasihan. Tapi tidak diriku. Aku sendiri, lama sendiri semenjak saat pertama aku mengenal cinta. Tak berani aku bercinta lagi semenjak kala itu. Bagiku cinta itu tak lebih dari duri yang akan terus menyakiti.

    Setelah hampir setengah jam berputar-putar tanpa arah, aku memilih sebuah café disalah satu sudut kota ini. Lantunan suara Adele dengan Chasing Pavement nya langsung menyambut telingaku begitu masuk. Dengan cekatan seorang pelayan langsung menghampiriku begitu duduk, aku tak memesan makanan, hanya segelas vanilla latte hangat untuk menemani malam ini. Tak sampai lima menit pesananku datang. Aku menikmati latte ku dengan pikiran mengembara. Sudah tiga hari semenjak Arthur kembali. Aku hampir benar-benar melupakannya, berpikir dia sudah melupakanku juga. Aku tak bertemu dia lagi setelah pertemuan tak sengaja di bandara tiga hari yang lalu.

    “Nathan…”

    Lamunanku buyar saat tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menoleh, seorang pemuda di belakangku. Berkacamata, dengan potongan rambut aneh. Sepintas mirip artis mandarin Jerry Yan dengan sisi kiri rambutnya di kepang kecil kebelakang.

    “ya?”

    “Nathan kan? Ya Tuhan nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini! hei bro! lama nggak kelihatan, kemana aja lu?” tiba-tiba ia berpindah dari tempatnya duduk disampingku.

    “hehe, yah.. aku baru selesai kuliah di Munchen, belum sebulan ini pulang. Apa, kita pernah kenal sebelumnya?”

    “ya Tuhan Than, kamu nggak ingat aku lagi?” ia menatapku setengah merengut.

    “ya… maaf, entahlah, muka mu memang familiar, tapi…”

    “aku ketua kelasmu dikelas dua SMA dulu.” Ujarnya sembari menatap lurus ke depan, wajahnya cemberut.

    “ketua kelas, kelas dua SMA…” mataku membelalak begitu menyadari siapa yang tengah duduk disampingku ini.

    “Leviandra Agustaf?! Levi?”

    “huh, payah banget sih. Sahabat sendiri kok lupa.” Levi masih merengut kesal.

    Saking kaget dan senangnya aku reflex memeluk Levi erat-erat, tak peduli beberapa pasang mata disekitar kami menatap dengan aneh, “ya Tuhan Lev, maafin aku. Aku beneran nggak bisa kenalin kamu sekarang, you were extremely change now, mirip artis korea. Dulu mana mau kamu rambutnya dibiarkan panjang gini, mana diwarnai pula.”

    “hehe, entahlah Than. Aku nyaman aja dengan gaya seperti ini, it feels more me.”

    “huu, gaya banget! Eh kamu kerja apa sekarang? Kuliah udah selesai kan? Jangan bilang kamu personil salah satu boyband spesialis lipsync di kota ini? Hahaha…”

    “sembarangan! Najong banget gua gabung sama yang begituan.” Levi cemberut sejadinya, “photograph! This is my life and how I will end it.” Ia berujar dengan bangga, aku tercengang. Terharu juga karena aku tau bagaimana ayahnya dulu sangat menentang hobby fotografinya itu.

    “wah, aku ikut senang. Gimana… ayah kamu?”

    “semua aku mulai tanpa izinnya, aku menyelesaikan kuliah dengan usahaku sendiri. Tak ada bantuan sedikitpun dari ayah. Hingga kini aku memulai jalanku seperti apa yang aku mau. Ayah akhirnya luluh dengan segala kebanggaan yang ia rasakan dari segala prestasiku di awal karir ini Than.” Levi berujar dengan haru.

    Aku tercengang dengan ceritanya, betapa Levi dengan sungguh memperjuangkan mimpinya. Dan kini semua berbuah manis, bahkan jauh dari yang ia bayangkan.

    Aku dan Levi bercerita banyak malam itu. Rupanya saking berprestasinya Levi sudah lulus kuliah setahun sebelumku, aku takjub gelar cumlaude bisa didapatkannya mengingat ia juga bekerja sambil kuliah. Ironis memang karena ayah Levi bisa dibilang sebagai salah satu orang terkaya di kota ini. Begitu selesai kuliah lowongan kerja menantinya dimana-mana. Debut karirnya sungguh luar biasa, salah satu majalah paling terkenal di dunia mengontraknya untuk menjadi tim fotografer untuk berbagai sesi pemotretan bagi majalah mereka. Semakin bertambah kekagumanku pada sahabatku ini. Aku ingat saat SMA dulu, Levi sempat memenangkan lomba cerdas cermat matematika tingkat provinsi. Hadiahnya sejumlah uang, ia gunakan untuk membeli sebuah kamera lumo berukuran kecil. Kamera pertama yang ia punya.

    “wah, kamu masih simpan kamera ini Lev?”

    “tentu Than, kamera ini punya banyak kenangan indah. Sampai sekarang masih berfungsi dengan baik loh.”
    Tanpa bisa kucegah ia memotretku dengan kamera lumo mini berwarna biru langit itu, “hei, hei! Siapa yang kasih ijin kamu foto-foto?” sungutku sebal.

    “huu, seharusnya kamu bangga. Orang Vouge aja mahal bayar aku!”

    “hahaha, ya deh! Ngomong-ngomong, malam ini malam Valentine kan. Jangan bilang seorang Leviandra Agustaf satu dari anggota tim fotografer Vouge Magazine masih jomblo, non sense. Pacarmu model dari Negara mana, Ausie? Korea? Kazakztan?”

    “dengkulmu!” satu jitakan sukses mendarat di kepalaku. Levi sungguh tega. “aku sedang tidak punya pacar dan sedang tidak berniat berpacaran!”

    Aku tercengang, “no you’re not…”

    “I am…”

    “kabar Leona meninggal dua tahun lalu rasanya tak mungkin tak sampai ke telinga kamu kan, Than.” Aku tercekat, menyesal membuka topic pembicaraan ini.

    “Lev, maaf, aku…”

    Levi menoleh sambil tersenyum, “nggak apa-apa, kita ngobrolin yang lain aja ya.” Terlihat jelas senyumnya begitu terpaksa. Nathan, kamu sukses merusak malamnya.

    Beberapa menit hening, sungguh kontras karena tadi kami begitu semangat saling menukar pengalaman. Aku sukses merusak moodnya malam ini. Tak terasa kami sudah mengobrol hinggal pukul sepuluh lewat. Levi bilang harus pulang karena masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak lupa saling menukar nomor ponsel sebelum berpisah.

    ***
    Sabtu pagi, aku menghabiskan akhir pekan pertamaku bersama keluarga di kota ini. Kami jalan-jalan sekeluarga, aku, bunda, ditambah Jason dan Marina bersama keponakanku Matthew. Jason adalah kakak sepupuku, anak dari kakak bunda Tante Frida, ibunya itu meninggal tak sampai setahun setelah Jason lahir akibat kecelakaan. Sejak saat itu bunda seolah menjadi ibu pengganti untuk mereka. Ia sudah seperti kakakku sendiri, sosok yang memang selalu kudambakan sejak kecil.

    Aku mengajak keluargaku ke salah satu pusat permainan air dikota ini. Selain bunda dan Marina kami mencoba nyaris semua permainan yang ada di sini. Bunda dan Marina sudah kami paksa tapi tak juga mau mencoba satupun permainan yang ada, sedang aku, Jason, dan Matthew kegirangan mencoba semua pemainan ini terlebih bocah tiga tahun keponakanku itu. Bunda sampai mengomeli kami habis-habisan karena khawatir. Sungguh bahagia melewati hari ini. Usai bermain air kami berbelanja di salah satu mall. Bunda dan Marina bersama Matthew mencari baju dan perlengkapan untuk Matthew yang akan masuk taman kanak-kanak. Aku dan Jason bersama memilih beberapa pakaian untuk kami.

    “ini bagus nggak kak?” ujarku seraya keluar dari bilik ganti.
    Jason menatap sejenak, “keren Jo! Pas banget cutting-an nya di badan kamu.” Ujarnya sambil tersenyum. Memantapkan hatiku memilih satu set kemeja dan semi jas yang aku coba ini.

    Drrrt… Drrrt…

    Ponsel Jason bergetar, sepertinya ada pesan masuk.

    “Jo, kakak di panggil mbakmu, nanti balik kok.”

    “sip kak”

    Kini aku sendirian memuaskan hasrat belanjaku yang memang sedang memuncak akhir-akhir ini. Entah sejak kapan aku menjadi hedonis seperti ini. Hingga selesai memilih beberapa yang kuinginkan Jason tak datang juga, sepertinya sedang disibukan dengan Matthew disana. Akhirnya kuputuskan menyudahi acara belanja pribadiku ini.

    Namun insiden memalukan terjadi saat tengah aku ingin membayar, tepat di depan kasir baru tersadar kalau dompetku tertinggal dimobil tadi sejak saat dari waterboom tadi.
    “pakai ini saja mbak, sekalian punya saya.” Tiba-tiba sebuah suara yang sangat tak asing berujar dibelakangku.

    Sembari jemarinya mengangsur selembar kartu atm kearah kasir. Lalu meletakan bungkusan belanjaannya yang tak begitu banyak ke di antara bungkusan-bungkusan milikku. Tak salah lagi, itu Arthur. Aku bingung harus berucap apa. Pikiranku kacau. Usai membayar dikasir kami berjalan bersama keluar dari area perbelanjaan tersebut. Kami melangkah dalam diam hingga aku tak sanggup lagi bertahan dalam keheningan menyiksa ini.

    “makasih, Ar. Aku nggak tau gimana jadinya tadi kalau nggak ada kamu, na..nanti aku ganti semuanya.”

    “apa sih, nggak usah. Sudah seharusnya aku lakukan itu.” ujarnya sambil tersebut. Kami ditempat parker sekarang.
    Mama dan yang lainnya sudah menunggu di mobil.

    “Than?”

    “iya Ar?”

    “aku pengen ngobrol banyak sama kamu, tapi sepertinya keluargamu sudah menunggu. Kamu ada acara nanti malam?”

    “ya? Eh… nggak, nggak ada Ar kenapa?” jawabku. Rasanya terbaca kemana arah pertanyaannya ini.

    “…” ia terdiam beberapa saat dengan gelisah. Kami menoleh beberapa saat kemudian saat bunda memanggilku. “nanti aku sms, udah sana kamu dipanggil tuh…”

    “i…iya deh. Aku pergi ya…”

    Arthur mengangguk sambil tersenyum. Ku balas senyum lalu kami berpisah melangkah kea rah yang berbeda.

    ***
    Malam tiba. Aku mengurung diri di kamar sendirian, menekuri layar ponselku dengan gelisah. Arthur janji tadi mau sms, sekarang sudah hampir jam Sembilan malam. Tapi belum juga. Aku mendengus resah, kenapa kami berdua harus seperti orang asing saat kembali bertemu seperti ini. Padahal tadi bukan main senangnya aku melihat Arthur kembali. Nyaris memeluknya tadi andai saja itu bukan ditengah keramaian. Dia sungguh berubah setelah empat tahun tak kulihat. Semakn gagah dan tampan saja, kini ia berkacamata. Mata elangnya tetap indah dibalik frame kacamatanya. Tubuhnya jauh lebih atletis sekarang.
    Ah, kenapa aku malah memikirkan itu.

    -drrtttt…drrtttt…-

    Aku tersentak saat tiba-tiba ponselku berbunyi. Nama Arthur terpampang dilayar sentuh ponselku. Tapi, ini bukan sms. Dia menelponku. Aku terdiam beberapa saat menatapi layar ponselku, tiba-tiba saja jantungku berdebar. Dengan kalut aku menerima panggilannya.

    “ha..halo, Ar?”

    “halo Than, aku ganggu nggak?” sahutnya lembut.

    “ng..nggak kok Ar, kirain aku kamu Cuma mau sms aja.” Kalimatku benar-benar payah.

    “iya niatnya tadi gitu, tapi rasanya enakan langsung telpon, kamu apa kabar sekarang, Than? Udah selesai kuliah?”

    “u..udah Ar, baru beberapa minggu ini balik ke Manado. Tapi belum punya kerjaan nih, hehe.”

    “hmm, belum dapat apa kamunya yang emang belum mau langsung kerja heh?”

    “hah? Hehe… tau aja kamu, i..iya Ar, aku pengen nyantai bentar sebelum terjun kerja. Kamu sendiri kabarnya gimana, selama ini kamu… kemana? Kuliah kah?”

    “iya Than…” ujarannya tak tuntas, terdiam beberapa saat.
    Aku tak bisa menahan lagi, menumpahkan keluh kesah padanya. “kamu pergi gitu aja Ar, kenapa? Aku pikir aku udah cukup dekat sebagai sahabat kamu, tapi untuk pamit saja saat kamu akan pergi jauh aku tak boleh. Maafin aku Ar, kalau punya salah sama kamu.” aku terisak sudah,

    “Than, please jangan nangis. Kamu nggak punya salah sama aku. Maafin aku Than, tapi waktu itu aku tak punya celah walau sedikit untuk tetap tinggal. Aku dalam masalah besar saat itu Than.” Diujung talian pun walau samar dapat kudengar ia menangis.

    “apa yang terjadi Than? Kenapa sekalipun kamu nggak pernah cerita? Aku ini sahabatmu, aku selalu cerita semua masalahku sama kamu.” aku masih membela diri.

    “maafin aku Than, aku tak sanggup cerita sama kamu. Aku… aku takut. Sampai kini pun masih sama.” Isaknya.

    “kenapa Than? Kenapa harus takut?...”

    “………” hening, aku hanya bisa mendengar Arthur terisak di sana.

    Lalu tak lama terdengar bunyi Arthur memutuskan sambungan telepon kami. Aku tertunduk resah. Arthur, kenapa kita begitu terasa asing sekarang? Apa sebenarnya yang terjadi padanya. Aku ingat hari-hari sebelum Arthur menghilang. Ia bertingkah sangat aneh, seperti menjadi sosok Arthur saat pertama kali aku melihatnya. Berdiam diri, tak mau ditemui. Hingga kini aku tak pernah tau sebab semuanya itu.

    Sungguh, kini aku tak memungkiri lagi. Rasa yang tumbuh di hati ini bukan lagi sayang kepada seorang sahabat. Aku mencintainya. Aku mencintanya melebihi apapun yang ku miliki sekarang. Aku sadar semua ini semenjak kepergiannya. Rasanya seperti kehilangan pijakan hidup. Aku benci padanya. Benci kenapa meninggalkanku tanpa sebab apapun, benci tahun-tahun sepi yang terlalui tanpanya. Benci pada takdir yang membuatku tak mampu berucap sepatah katapun tentang cinta padanya. Padahal, sudah sejak lama kutau peluang itu ada, celah itu lebar terbuka. Aku tau Arthur seorang penyuka sesama jenis. Namun dulu, aku terlanjur remuk termakan egoku sendiri. Menentang keras rasa yang entah bagaimana tumbuh di hati ini. Memvonis diriku sebagai lelaki biasa yang tak mungkin mencintai lelaki lainnya. Ya, memang. Karena hingga detik ini, tak ada lelaki lain yang mampu memasuki hatiku kian jauh sepertinya. Dia. Dia yang selalu ada di saat-saat rapuhku tiba-tiba meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Entah apa yang menjadi masalahnya.


    .
    . . .
    . . . .
    . . .
    .
  • @the_angel_of_hell *serem amat namamu* ^^ suka Arthur ya? saya juga suka... salam kenal ya, moga terus suka sama Arthur terlebih ceritanya :)
  • Diawal cerita ja udh terjadi konflik yg WAH....pa lgi lanjutannya,psti tambah WAH BGT...hehehehehe
  • @rainsicakep
    ada juga yang bilang lucu , hehe ..
    Lompat lompat alur nya kaya kodok , hihihi .
    Sengaja ga di tulis ya flashback nya..
  • trims udh mw baca..
    next update : senin (05/08)
    :)
  • ceritanya bgus... pasti arthur berubah demikian karena Paman Hadi...
    feeling aja...
  • what a late i am.. -;-
    apdetnya bntr siang :)

    @brody5 hmmm... liat nnti deh ;) mksh dah mw baca.. ikuti
    trs y...
  • ralat... apdetnya malam... pake banget -_-
    moga masih ingat cerintanya...
  • Manado, 2008, Easter Week…
    Arthur turun dari mobil dengan penuh semangat. Hari ini ia sudah diperbolehkan masuk sekolah oleh sang bunda. Butuh dua hari semenjak keluarnya dia dari rumah sakit untuk Helena sang bunda mengizinkannya masuk sekolah. Hadi yang mengantarnya ke sekolah. Pamannya itu tersenyum menatapi Arthur yang terlihat sumringah akan kembali memasuki sekolah.
    “ingat yang abang katakan kemarin-kemarin yah?” ujar Hadi sembari tersenyum. Raut wajah Arthur sedikit berubah cemas. “eh, gimana sih cemberut lagi. Ayo dong mana Arthurnya abang yang jagoan itu?” Hadi mengacak pelan rambut keponakannya itu. tersenyum meyakinkan Arthur.
    “iya bang, Arthur akan berusaha.”
    “sip, ayo sana masuk. Abang udah nggak sabar mau dengar cerita tentang teman pertamamu di sekolah nanti.”
    “iya. Arthur masuk bang.”
    Remaja itu lalu masuk dengan semangat ke dalam sekolah. Hadi menatap punggung Arthur menghilang dari pandangan. Rasa hangat itu kembali menjalar ke dadanya. Rasa yang entah bagaimana bisa tumbuh di hatinya, rasa yang kini tengah susah payah berusaha di peranginya.
    .
    .
    .
    06.35.
    Masih sepuluh menit sebelum jam pertama kelas di mulai. Arthur kaget mendapati ruangan kelasnya yang sangat berbeda kala itu. Di meja guru ada sebuah keranjang berisi telur-telur yang bdihias beraneka rupa. Langit-langit kelasnya dihiasi dua pita berenda berwarna merah, di pasang menyilang dan di paku tepat di perpotongannya. Tepat diperpotongan juga dipakukan sebuah tali yang menggantung sebuah papan buatan yang terbuat dari kardus bekas yang di warnai dengan warna kuning ke emasan yang cerah, di dua permukaan papan buatan itu tertulis dengan artistik menggunakan tinta warna merah : ‘HAPPY EASTER’. Arthur baru mengerti setelah membaca tulisan tersebut. Ini minggu menjelang hari paskah, hari dimana umar Kristiani memperingati wafatnya sang juruslamat menebus setiap dosa mereka. Yesus Kristus. Tanya bagaimana Arthur tau tentang itu? Internet.
    “wah, Arthur. Udah sembuh yah? Maaf yah kita sekelas nggak ada yang jenguk kamu aktu sakit. Kita telat dapat kabar kalau kamu sakit. Hehe.” Leviandra, ketua kelas mereka yang baru tiba merangkul pundak Arthur. Lalu melangkah bersama memasuki kelas. Walau sangat rishi, Arthur berusaha keras bersikap biasa. Ia ingat ujaran Hadi, harus berusaha terbuka.
    “duduk di sana aja yuk Ar! Bareng kita berdua.” Ujar Levi lagi sambil tersenyum, menunjuk kedua tempat berdampingan yang ada dua baris dari depan di deret paling kanan kursi-kursi dikelas.
    “i..iya.”
    Mereka pun duduk berdua. Walau Arthur masih sangat canggung namun Levi selalu punya banyak bahan untuk diceritakan. Sudah bakatnya dari kecil untuk mudah akrab dengan siapa saja yang ia ingini.
    “kamu sakit apa Ar? Kok lama banget di rawatnya?” ujar Levi ingin tau.
    “yah…? Eh, kena DB Lev.”
    “wah? Bener Ar? Hmm, tapi sekarang udah baikan kan? Hehe, kamu kurusan loh Ar. Nih, kerempeng banget. Hahaha.” Canda Levi sembari meletakan lengannya disamping lengan Arthur. Membandingkannya.
    “apaan sih Lev.” Elak Arthur dengan jengah. Ia langsung suka dengan teman barunya ini.
    “yeah!!!” tiba-tiba terdengar teriakan keras didepan kelas.
    Arthur dan Levi menoleh mendapati Dion, teman mereka lainnya yang memang sudah menjadi ikon buruk kelas mereka. Dia satu-satunya anak kelas binaan khusus –yang isinya siswa-siswa berprestasi- yang masuk list anak-anak ternakal disekolah mereka. Memang kepribadian anak itu terlihat dari bagaimana ia berpakaian ketika datang ke sekolah. Kemeja yang tidak dimasukan dalam celana, sepatu vans bergambar dengan warna cokelat yang tidak diijinkan dipakai disekolahnya –hanya diijinkan warna hitam. Ditambah gaya rambutnya yang Mohawk acak-acakan tak ubahnya seorang preman.
    Anak-anak yang tadi tiba-tiba hening mendengar derap langkah yang bergerak menuju kelas langsung riuh menyoraki Dion begitu sadar yang masuk bukanlah guru mereka.
    “sialan lu Di, kirain bu Matilda!”
    “HAHAHA, loh emangnya bu Matilda sakit ya? Oh, ya tuhan makasih yah engkau maha baik mengabulkan doaku ditengah jalan tadi, Thanks God.” Ujarnya dengan gaya seakan tengah berdoa. Seraya bergegas lari mencari tempat duduk yang kosong.
    Sedetik kemudian kelas yang dari tadi gaduh seketika hening lagi saat seorang guru masuk. Matilda van Houten, guru tua keturunan belanda ini adalah salah satu guru senior yang paling ditakuti disekolahnya. Selain memang pembawaan beliau yang sangat tegas, dan disiplin. Juga karena mata pelajaran yang menjadi keahliannya adalah yang mungkin paling dibenci oleh murid-murid disekolah manapun. Matematika. Tubuhnya sangat jangkung untuk ukuran wanita, ditambah badannya yang agak ‘berisi’ membuatnya terlihat semakin menakutkan dimata para siswa.
    “TERIMA KASIH KEMBALI.” Suaranya yang khas menjawab dengan lantang di depan kelas.
    Jelas sekali dari airmukanya ia sedang geram. Atmosfir seisi kelas seketika berubah mencekam. Wajah Dion pun berubah pucat seketika.
    “selamat pagi anak-anak?” sapa bu Matilda sembari berjalan dengan tegas menuju mejanya. Lalu menghenyakkan pantatnya yang cukup lebar itu ke kursi kayu meja guru.
    “selamat pagi bu!” seru seisi kelas serempak. Lalu kembali hening meraja.
    “Alfredo Dionsius Agustaf, maju kedepan.” Sambung bu Matilda dengan nada datar.
    Yang disebut namanya semakin pucat. Sembari tertunduk ia melangkah pasrah menuju kedepan.
    “duh, mampus tuh si Dion. Malang banget nasibnya.” Bisik Levi pelan.
    “iya.” Sahut Arthur pelan dengan wajah menatap cemas pada Dion yang sudah tiba didepan bu Matilda.
    “coba ulangi doa kamu tadi, ibu pengen dengar lagi.” Ujar guru berkacamata tebal itu.
    Dion semakin menunduk takut. Terlihat jelas tangannya gemetaran. Dion memang anak nakal, tapi tetap saja, taka da yang tak takluk pada ketegasan seorang Matilda Van Houten. Seisi kelas menanti dengan cemas apa yang akan terjadi pada siswa bandel itu. Sejauh yang mereka tau, hukuman dari bu Matilda jarang ada yang mudah.
    “belum cukup juga ternyata pelajaran moral yang kamu dapat sampai usia ini ya? Ibu sudah lelah memukul dan menghukum kamu. Sampai lengan ibu tanggal juga kamu takkan berubah. Ingat Dion, kamu anak tunggal dari keluargamu. Satu-satunya kebanggaan dan harapan orangtuamu sekarang, kamu tentu sadar itu kan?”
    “…….” Dion semakin tertunduk. dari pandangannya Arthur menangkap bahu Dion agak berguncang. Dia menangis, ya… siswa bandel itu menangis.
    “ibu takkan menghukummu lagi, semua guru disekolah ini juga agaknya demikian. Kalah dan jera dengan tingkah pola kamu. sebagai gurumu ibu hanya bisa berpesan. Renungkan kata-kata ibu, buat orangtuamu bangga. Sekarang kamu boleh kembali ke tempat dudukmu.”
    “…….” Dion tak menjawab apa apa melangkah dengan lesu kembali ke tempat duduknya.
    Tak ada yang bersuara sampai bu Matilda tenang dan memulai pelajaran di pagi itu. semua tercengang dan semakin kagum dengan guru satu itu. Arthur mengedarkan pandangannya lagi. Jonathan, sosok yang paling ingin di lihatnya di kelas saat ini. Hingga jam pelajaran bu Matilda selesai, lelaki itu tak muncul juga. Arthur mendengus lesu, dia tak datang hari ini.
    Levi mengajak Arthur ke kantin saat jam istirahat tiba bersama beberapa temannya yang laki-laki. Awalnya ia ragu namun Arthur berhasil meyakinkannya. Perlahan namun pasti Arthur mulai membuka dirinya untuk dunia luar. Beberapa masa ia sering haru, dia sempurna sebagai remaja sekarang. Mengenal dunia luar dalam arti yang sebenarnya.
    .
    .
    .
    ***
    JONATHAN
    14 Tahun
    Manado, 24 Desember 2006
    20.30
    Di luar hujan deras, sangat deras. Samar-samar terdengar gemuruh petir walau jauh dari sini. Tapi cuaca tak mendukung itu tak menyurutkan semangat kami seisi rumah untuk menyiapkan segala sesuatu untuk natal esok hari. Aku selalu merindukan suasana seperti ini. Seisi rumah ramai oleh banyak insan, bahkan nyaris penuh sesak. Rombongan kakek dan nenekku dari sebelah bunda datang lengkap bersama om Mario kakak kandung bunda dan tante Theresia istrinya ditambah Gideon dan Vivian anak mereka. Sebenarnya keluarga kakekku sebelah ayah dari Bandung juga berencana datang menghabiskan natal dan tutup tahun bersama kami di Manado, sayangnya semua rencana ditunda karena tante Leona adik bungsu almarhum papa dua hari lalu melahirkan anak pertamanya. Wah, keponakanku bertambah lagi . Pasti akan lebih seru kalau dua keluarga besar berkumpul bersama. Walau begitu, aku sudah sangat bersyukur bisa menikmati saat indah begini. Get ready for Christmas eve :D
    ####
    Manado, 25 Desember 2006
    01.30
    Kami sekeluarga baru pulang dari menziarahi makam papa, sebelumnya mengikuti ibadah malam natal di gereja. Muka-muka sumringah ditambah efek kantuk yang masih terasa bercampur jadi satu. Sampai di rumah bunda dan tante Theresa langsung menyiapkan hidangan tengah malam untuk kami. Ada Jason dan om Benny yang ikut juga bersama kami, berhubung mereka belum punya tamu malam ini. Mengisi ulang tenaga setelah tadi berziarah ke makam lalu menyempatkan bersilahturahim dengan beberapa tetangga. Entah kenapa sejak dari makam papa tadi mood-ku tiba-tiba jelek, lalu lemas melakukan apapun. Sampai rumah aku tak ikut mereka makan, aku ingin menyendiri. Naik ke kamar loteng ini.
    Aku tak ingin mereka melihat anak laki-laki ini menangis. Tak ingin lagi di anggap lemah dan di kasihani. Aku harus kuat, aku harus jadi anak yang membanggakan bunda. Tapi untuk kali ini, aku menyendiri, untuk sejenak jujur, walau hanya pada diriku sendiri. Aku rapuh, tanpa sosok ayah yang menjaga dan melindungiku. Membimbing aku yang mulai tumbuh menuju kedewasaan. Aku iri, melihat kawan-kawanku disekolah. Tiap penerimaan rapor yang datang sepasang ibu dan ayah yang dengan bangga menghadap sang wali kelas. Lalu tanpa malu dan enggan menghadiahkan kecupan bangga kepada anak mereka yang berprestasi. Atau, aku akan tetap iri jika ada ayah yang menegur bahkan memarahi sang anak jika nilai-nilai yang diperoleh tak sesuai harapan. Aku iri itu semua. Aku ingin dipuji ayah, aku ingin dimarahi ayah, aku ingin di nasihati ayah, aku ingin di guraui ayah.
    Bunda, maafkan Nathan yang berkeluh kesah ini. Maafkan Nathan bun.
    Aku rindu ayah.
    Walau wajahnya bahkan tak pernah ku jamah.
    Aku rindu ayah.
    Walau dekapnya tak pernah dalam sadar kurasa.
    Aku rindu ayah.
    Sungguh sangat rindu.
    Petikan Jurnal X. Jonathan Parengkuan.
    ***
    .
    .
    .

    SAJAK-SAJAK PERTANDA
    Manado, 2008, still on Easter week…
    “makan yang banyak kasep, kan kemarin demam.” Ujar bunda sembari membelai pipiku dengan sayang. Aku tersenyum sambil melanjutkan makanku.
    Thank God! Hari ini demamku sembuh. Paling ga enak deh yang namanya sakit. Apa-apa ga boleh, makan apapun kena lidah rasanya bubur semua. Untuk itu bunda masak special untuk aku hari ini, ga disuruh juga udah kayak kesetanan aku makannya. Saking senangnya karena hari ini indah perasa gua balik seperti semula. Haha.
    Setelah limabelas menit sarapanku selesai, sekarang bersiap berangkat sekolah. Hari ini aku putuskan berangkat sekolah menggunakan sepeda. Atau lebih tepatnya akhirnya diijinkan bunda bawa sepeda ke sekolah. Yeah. Sepeda ini aku beli dengan uang tabungan sendiri waktu kelas satu dulu. Ga mungkin minta ke bunda, karena pasti ga akan dikasih. Penyebabnya, tragedi kecelakaan konyol aku saat kelas lima sd dulu. Konyol karena? Kecelakaanku bukan karena sepeda, tapi karena jadi pohon jambu setinggi dua meter akibat kepergok pemiliknya mencuri jambu kesayangannya. Tangan dan kaki gua luka cukup lebar karena kegores tumpukan batu di bawah pohon jambu sial itu. Bisa diperkirakan pulang ke rumah hampir setengah jam bunda mengomeliku yang pulang rumah dengan luka-luka. Menyesal aku mengkambing hitamkan sepeda sewaanku waktu itu, karena akibat kepanikan bunda waktu itu nyaris lima tahun bunda mengharamkan sepeda model apapun untuk ku naiki, kecuali ojek tentunya. Setelah satu tahun akhirnya sepedaku ini debut juga. Sip lah, sekolah, kami dataaaaaang!
    ***,
    Tak sampai limabelas menit aku tiba di sekolah. Setelah memberi salam pada abah sesegera mungkin aku memarkir dan mengunci roda sepedaku di garasi, lalu segera berlari menuju kelas. Lima menit lagi kelas di mulai, jangan terlambat atau kamu kan diterkam Matilda van Houten. Wew, ngeri!
    Untungnya madam belanda tercinta kita itu belum masuk saat aku tiba di kelas. Syukurlah. Aku langsung melangkah mencari tempat duduk yang kosong. Levi memanggilku duduk disampingnya. Tak berapa lama setelahnya, bu Matilda tiba. Kelas yang gaduh langsung senyap dalam sekejap.
    “selamat pagi anak-anak?”
    “selamat pagi bu!!!” sahut semua murid serempak.
    “se…selamat pagi bu, ma…maaf kami terlambat.” Tak berselang satu menit, ada yang bergegas masuk dari pintu dengan tergesa.
    Dua orang siswa laki-laki. Dion dan si anak baru yang baru masuk dua bulan lalu itu, kalau tak salah namanya Arthur. Arthur memapah Dion yang agak sedikit mengerang kesakitan dengan kaki kiri yang enggan di sentuhkan ke lantai. Dari tempat dudukku terlihat jelas keduanya berkeringat sekali. Aku tercengang menatap dua teman di depat itu. Ada yang mencolok dari mereka berdua.
    Bu Matilda menoleh dengan heran, “selamat pagi, ya Tuhan, ini kenapa sampai luka begini?” tanyanya dengan panic.
    Dion seperti ingin bersuara namun tak kunjung bisa juga karena menahan sakit, anak baru itu akhirnya menjelaskan, “i…ini bu, tadi kakinya terkilir bu.” Jawab Arthur dengan takut-takut.
    “kenapa bisa? Ini tak Cuma terkilir, tergores besar juga, berdarah. Leviandra! Carikan alcohol, kasa, dan obat merah lekas!” jawab bu Matilda sambil melepaskan sepatu di kaki kiri Dion yang luka. Agak tersentak, Levi bergegas menuju kotak p3k di sudut kiri depan ruang kelas kami, mengambil semua yang diperlukan.
    “i…itu tadi bu…” ujara Arthur terhenti, dapat terlihat tanpa bersuara Dion mengernyit aneh pada Arthur. Dapat kuterka ia seperti melarang anak baru itu melanjutkan ucapannya.
    “sudah tidak apa-apa bu, tadi sudah di bersihkan sama mamanya Arthur lukanya.” Ujar Dion susah payah.
    “iya ibu tau, ini mau dipakaikan obat merah saja, sekalian di bungkus kasa. ayo lanjutkan Arthur!” sergah bu Matilda.
    “i…iya bu, tadi Dion… terserempet motor bu, ka…karena dia nolongin anak kecil yang hampir ketabrak bu. Tak sengaja, saya yang lagi di antar bunda saya dengan mobil melintas di tempat itu. tadi sudah saya ingin antar ke uks bu, tapi Dion nya nggak mau. Katanya tidak mau telat masuk kelas ibu.”
    Aku tercengang mendengar ujaran anak baru itu. Tak hanya aku, rasanya seluruh teman-teman pun begitu. Seorang Dion yang sudah dikenal satu sekolah sebagai troublemaker, bisa melakukan hal mulia seperti itu. Apa yang terjadi padanya yah selama aku tak masuk sekolah? Bu Matilda pun tak kalah tercengangnya dengan kami. Dari sini dapat kulihat mata bu Matilda berkaca-kaca mendengar ujaran Arthur. Tentulah ia terharu. Perubahan Dion memang sangat luar biasa. Setelah detil ku perhatikan. Penampilannya pun sangat rapi sekarang, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang terkesan seperti preman. Lengan kemejanya tak lagi digulung seperti dulu, kini dia memakai dasi dengan ikatan yang benar dan pas dengan lingkar lehernya (kalau dulu ikatan dasinya akan dikendurkan sambil kancing bajunya dibuka satu), dan yang paling mencolok adalah kini kemejanya ia masukan kedalam celana lalu dikancing dengan ikat pinggang hitam (dulu kemejanya selalu dibiarkan diluar), dan mulutku nyaris menganga melihat dia menggunakan fantofel ke sekolah. Aturan yang hampir dua tahun ini terus dilanggarnya. Kembali menatap ke atas kalian akan mendapati rambut spikenya yang biasa dibiarkan acak-acakan kini sudah merunduk ke samping kiri tersisir dengan rapih. Awesome.
    “ya ampun nak, kamu ini ada-ada saja. Akbar, Julio kalian tukar ke belakang sana. Arthur dan Dion ganti duduk di tempat mereka, hati-hati.” Ujar bu Matilda dengan haru. Tanpa banyak tanya lagi ke empat nama yang disebutkan itu langsung melaksanakan mandat bu Matilda.
    Dalam terkaanku, bu Matilda yang ambi andil besar dalam perubahan drastis Dionsius Agustaf ini. Karena setahuku hingga kini hanya dialah guru yang belum menyerah dalam mendidik anak bandel satu itu. Apa yang dilakukannya hingga merubah Dion se siknifikan ini. Dulu melihat teman jatuh dari tangga hingga kaki retak saja dia hanya akan tertawa sinis dan melengos pergi. Siapa menyangka ia bisa menyelamatkan nyawa orang hari ini. Salut.
    “baik anak-anak, keluarkan buku pelajaran kalian. Buka halaman 78 tentang komposisi fungsi!” seru bu Matilda. Pelajaran di mulai.
    ***
    Jam istirahat akhirnya tiba setelah dua mata pelajaran terlewati. Cacing diperutku sudah mengadakan festifal paduan suara di dalam sana. Harus segera ditenangkan dengan sepiring nasi campur di kantin tante Melly. Setengah berlari aku menyusuri lorong menuju kantin sekolah yang menyatu dengan bangunan sekolah. Bangunan sekolah kami termasuk unik, berbentuk leter L berlantai dua dengan salah satu ujung menghadap ke barat. Dan kantin yang sedang aku tuju ini berada di ujung paling barat lantai pertama bangunan sekolah kami.
    Setelah sepuluh menit berdesakan dengan kerumunan putih abu-abu kelaparan lainnya, akhirnya bisa tersenyum lega. Sepiring nasi campur dengan lauk ayam balado plus segelas es jeruk siap dinikmati. Saatnya mencari sisa tempat kosong di kantin ini untuk menikmatinya. Aku termasuk yang paling akhir berhasil mendapat makanan, dan damnly, tak ada tempat yang tersisa. Beberapa menit mataku menjelajah ke seluruh sudut ruang namun tak terlihat juga.
    “Than! Sini aja!” satu suara memanggilku saat hampir putus asa mencari tempat.
    Aku mendapati Leviandra dan beberapa teman sekelasku lainnya duduk di salah satu meja panjang pojok kiri kantin ini. Saking banyaknya orang disini mataku sampai tak mendapati mereka.
    “thank God!” setengah berlari aku menuju tempat mereka.
    Agak sedikit tecengang mendapati Arthur anak baru itu makan bertiga dengan Levi dan Dion. Kombinasi yang aneh untuk tiga orang bersahabat. Entah sejak kapan mereka mulai akrab.
    Kami makan dengan cepat mengingat jam istirahat sebentar lagi berakhir. Usai makan berempat kami kembali ke kelas. Entah kenapa aku begitu bersemangat hari ini, bahasa Indonesia menjadi begitu menyenangkan saat bu Rania menginstruksikan kami sekelas untuk menuju perpustakaan, disana kami disuruh mencari satu puisi karya penulis-penulis ternama negeri lalu deklamasikan di depan kelas. Bu Rania menggunakan sedikit twist, yaitu hanya akan di pilih sepuluh siswa tercepat untuk mendeklamasikan puisi yang mereka dapat. Sisanya akan ditugaskan menulis puisi baru dengan tema persis yang mereka ambil hari ini, lalu mendapat giliran untuk mendeklamasikannya minggu depan.
    ***
    Aku Bicara Perihal Cinta
    Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
    Walau jalannya sukar dan curam.
    Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya.
    Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.
    Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya.
    Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman.
    Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia
    kan menyalibmu.
    Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu,
    demikian pula dia ada untuk pemangkasanmu.
    Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu,
    dan membelai mesra ranting-rantingmu nan paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari.
    Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu,
    dan mengguncang-guncangnya di dalam cengkeraman mereka kepada kami.
    Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri.
    Dia menebah engkau hingga engkau telanjang.
    Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu.
    Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih.
    Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar;
    Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya.
    Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan.
    Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,
    supaya bisa kaupahami rahasia hatimu,
    dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.
    Namun pabila dalam ketakutanmu,
    kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta.
    Maka lebih baiklah bagimu,
    kalau kaututupi ketelanjanganmu,
    dan menyingkir dari lantai-penebah cinta.
    Memasuki dunia tanpa musim tempat kaudapat tertawa,
    tapi tak seluruh gelak tawamu,
    dan menangis,
    tapi tak sehabis semua airmatamu.
    Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri,
    dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
    Cinta tiada memiliki,
    pun tiada ingin dimiliki;
    Karena cinta telah cukup bagi cinta.
    Pabila kau mencintai kau takkan berkata,
    TUHAN ada di dalam hatiku,
    tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati TUHAN”.
    Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta,
    sebab cinta,
    pabila dia menilaimu memang pantas,
    mengarahkan jalanmu.
    Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya.
    Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan,
    biarlah ini menjadi aneka keinginanmu:
    Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali,
    yang menyanyikan melodinya bagai sang malam.
    Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
    Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tenung cinta;
    Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira.
    Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan,
    dan mensyukuri hari haru penuh cahaya kasih;
    Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;
    Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;
    Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu,
    dan sebuah gita puji pada bibirmu.

    Kahlil Gibran – Perihal Cinta

    Seisi kelas hening hingga setengah menit usai Arthur membaca baris terakhir di puisi Khalil Gibran tersebut. Tepukan tangan pertama di mulai oleh Bu Rania sendiri, terlihat matanya berbinar takjub bercampur bangga mendengar deklamasi puisi anak baru itu yang memang betul-betul mencengangkan. Riuh tepuk tangan seisi kelas menyusul setelahnya.
    “ibu baru sekali ini dengar siswa sma memdeklamasikan puisi seperti kamu tadi, luar biasa.” Puji bu Rania apa adanya.
    Yang di puji hanya tersenyum dengan wajah sedikit memerah.
    “Arthur kenapa memilih Kahlil Gibran? Bukan W.S Rendra, Chairil Anwar, atau penulis lainnya?” bu Rani ingin tau.
    “agak aneh memang bu, saya suka membaca puisi tapi kurang begitu mahir menelaah arti kata-kata berkias yang sudah terlalu berat. Mengapa saya memilih Kahlil Gibran, karena tulisannya yang kita baca adalah makna yang sudah di terjemahkan jadi kata-kata berkiasnya tidak terlalu sudah dipahami lagi. Tulisan-tulisannya ringan, walau dengan tema kompleks yang rumit dapat kita mengerti tanpa harus sering mengeryitkan dahi.” Ujarnya sambil tersenyum.
    “hmm.. begitu yah? Ibu pun sepaham dengan kamu, selain itu sosok seperti WS.Rendra dan Chairil Anwar memang penulis-penulis yang hidup dimasa yang berat, membentuk karakter mereka pun menjadi keras dan tegas. Dapat kita lihat dari karya-karya mereka. Sedang Kahlil Gibran adalah seorang petualang, dia mengalami perjalanan pandang dari kampung halamannya Lebanon hingga menemukan tambatan hatinya di negeri paman Sam, Amerika. Hidupnya memang tidak bisa dibilang sepenuhnya mudah, dia kehilangan orang-orang yang ia cintai dalam waktu yang nyaris bersamaan. Ibu dan dua saudaranya yang masih muda meninggal ditahun yang sama. Karya-karyanya yang inspiratif sempat mencengangkan dunia sastra pada zamannya. Oke, Arthur silahkan kembali. Pelajaran kita hari ini sampai disini, jangan lupa tugas yang tadi. Ibu ingin mendengarkan puisi-puisi berkualitas minggu depan.”
    KRIIIIIIIIIIIING!
    Arthur menjadi orang terakhir yang maju mendeklamasikan puisinya. Perihal Cinta karya Kahlil Gibran, salah satu favoritku. Huh, memang bukan rejeki. Hingga giliran terakhir tiba pun, Pemberian Tahu karya Chairil Anwar tak juga berani ku deklamasikan di depan. Setengah jam di perpustakaan tadi kugunakan untuk mencari puisi yang sependek mungkin. Mataku yang hampir putus asa langsung berbinar begitu melihat puisi dengan baris yang minim itu, tanpa melihat kalau penulisnya yang berotak rumit. Chairil Anwar. Sudah tentu tugasku minggu depan akan mudah. Tentu saja.
    ***
    16 Tahun
    Manado, Maret 2008
    Semua terpaku menatapnya, begitu pun aku. Puisi yang ia bacakan terasa lebih menusuk karena memang maknanya yang sangat dalam. Bisa dibilang dia lelaki pertama yang memerangkap tatapku lebih dari lima menit. Gila kah? Entahlah.
    “…Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri,
    dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri.
    Cinta tiada memiliki,
    pun tiada ingin dimiliki;
    Karena cinta telah cukup bagi cinta…”
    Kahlil Gibran – Perihal Cinta

    ***
    Malam yang dingin, hujan diluar begitu deras. Jonathan mengakhiri tulisan di jurnalnya untuk hari ini dengan penggalan puisi Kahlil Gibran yang dibawakan Arthur tadi siang, bagian yang paling menancap di hatinya. Tiba-tiba mindanya berontak, seperti memikir sesuatu yang meresahkan. Remaja itu meninggalkan Jurnalnya tanpa ditutup lalu menghempaskan tubuh letihnya sesegera mungkin ke ranjang.
    .
    .
    .
    .
    “bagaimana? Kalian bersedia?”
    Kami berdua termenung mendengar tawaran pak Santoso, kepala sekolah SMA kami ini. Jadi tadi usai jam istirahat kami berdua dipanggil kak Hera, senior kami anak kelas tiga. Heru ini adalah wakil sekolah kami untuk olimpiade sains nasional tahun lalu, dan dia meraih peringkat ketiga untuk mata pelajaran matematika di tingkat nasional waktu itu. Maksud kepala sekolah memanggil kami adalah untuk menawarkan kepada kami menjadi wakil untuk olimpiade sains nasional tahun ini, aku dan dn Arthur akan di pasangkan untuk mata pelajaran matematika.
    Setelah berpikir beberapa saat aku rasa tak ada salahnya jika dicoba, mengingat aku sangat menggemari pelajaran satu ini.
    “saya, saya bersedia pak. Saya ingin mencari pengalaman baru dan menambah wawasan saya dengan ini.” Ujarku mantap.
    “bagus, bagus. Oke bagaimana dengan Arthur? Apa bersedia? Atau mungkin masih butuh waktu memikirkannya? Bapak tidak akan memaksakan jawabannya sekarang.” sahut pak Santoso bijaksana.
    Yang ditanyai masih termenung beberapa saat, dalam hati aku sangat berharap dia menerima tawaran ini. Atau paling tidak, tidak menolaknya langsung saat ini juga. Setelah beberapa saat merenung Arthur menegakkan kepalanya.
    “saya mau pak, saya bersedia.” Jawabnya singkat. Tak ada kalimat lanjutan setelahnya.
    Aku lega, pak Santoso pun sama. Ia langsung menjelaskan kepada kami kalau olimpiadenya akan dimulai kurang lebih sebulan lagi dari sekarang. Dan yang akan membimbing kami ada beberapa guru matematika ditambah tim dari kakak-kakak senior kami yang sudah lebih dahulu mengikuti olimpiade tahun lalu, salah satunya adalah si Hera ini.
    ***
    Keluar dari ruangan kepala sekolah aku dan Arthur berjalan bertiga dengan kak Hera. Kami berdua diam mendengarkan ujaran kakak senior nyentrik satu ini yang sedikit sedikit membuat pipiku mengembung menahan tawa akibat celotehannya yang lucu. Arthur yang masih terlihat canggung hanya diam saja cenderung jengah dengan suasana saat ini.
    “jadi inget ya? Teknisnya gini, kalian akan di coach seminggu empat kali. Bergantian dari tim guru dan tim kami para senior. Udah tau belum guru-guru siapa aja yang akan menghandel kalian?” tiba-tiba ia berbalik sampai mengibaskan rambut hitam panjangnya mengenai wajah kami berdua.
    “be…belum tau kak.” Jawabku.
    “huh, yang akan membimbing kalian adalah bu Matilda dan pak Jeremy guru baru kita yang ganteng pindahan dari salah satu SMA di Jakarta itu loh…”
    Hening. Seperti tersadar si heboh Herawati Sastranegara itu langsung mengibas rambutnya lagi dan melangkah cepat ke depan.
    “oke cukup dulu briefing nya, da…”
    Lima, empat, tiga, dua, satu…
    “hahahaha…” tawaku pecah membahana saat kak Hera menghilang di ujung lorong. “hahaha, Ya Tuhan aku bisa gila nanti kalo di coach sama dia.”
    Arthur hanya tersenyum sembari kembali melangkah, “orang jenius memang banyak yang seperti itu. unik.”
    Aku terdiam sejenak. Ini kali pertama Arthur mau berujar satu kalimat penuh padaku. Baguslah, aku memang sedang penasaran dengan anak satu ini.
  • .
    .
    .
    LOVE’S FAULT
    Manado, Awal April, 2008…
    Minggu ke dua di bulan April dan hari ini hari sabtu di pagi hari. Hari sabtu kami isi dengan kegiatan bersih lingkungan sekolah lalu dilanjutkan dengan aneka ekstrakulikuler sesuai minat yang dimiliki para siswa. Aku hanya mengambil dua, tari tradisional dan gitar akustik. Saat ini aku baru selesai dengan bagian pertama ekstrakulikuler tari. Capek sekali. Seperti biasa saat baru terduduk usai sesi tari selesai aku tak perlu repot-repot ke kantin membeli minuman. Sabrina Cecilia akan senantiasa mengambilkanku satu bahkan sebelum aku menyadarinya. Aku bersyukur naluri pembantunya masih awet hingga kini. Haha.
    “nih…” ujar Celia sambil tersenyum seraya menyerahkan satu botol minuman isotonic.
    “makasih yah, sesi kamu udah selesai?”
    “setengah jam sebelum kamu, bu Hesti nggak bisa lama. Ada urusan katanya, eh kirain lolos. Pas lagi beres-beres buat ganti baju kegrebek bu Belanda. Kena lah aku sana sama si mira.” Aku tertawa kecil mendegar cetusan sebalnya. Celia termasuk siswa-siswi sekolah kami yang selalu menyebut bu Matilda dengan sebutan bu Belanda.
    “kasian, disuruh apa lagi Cel?”
    “rekap nilai tugas enam kelas Than bayangin tuh! Jariku sampe melar ini.”
    “haduh, kok banyak banget ya Cel? Emang bu Matilda ngurusin apaan nggak bisa handle itu?”
    “tadi katanya buru-buru mau berangkat sama pak Santoso ngurusin registrasi peserta osn. Gila yah, salut sama antusias sekolah kita emang. Padahal olimpiadenya masih dua minggu lagi. Eh ya, kamu sama Arthur ikut kan?”
    “oh gitu toh, iya Cel. Kami udah sebulan ini di coach sama tim guru sama senior. Udah makin deket aja nih, deg-degan.”
    “semangat dong Than. Kalian pasti bisa.” Nada suaranya memelan.
    Tanpa sadar kami tinggal berdua diruangan tari ini.
    “iya, makasih ya Cel.” Ujarku sambil tersenyum. Lalu kembali menatap lurus kea rah luar ruangan tari yang tepat menghadap kea rah matahari terbenam.
    “Than?”
    “hmm?” gumamku tanpa menoleh padanya.
    “Than, aku…”
    “kenapa Cel?” kali ini aku menatapnya. Lalu kutemukan lagi wajah itu.
    Wajah Celia yang semakin sering ku temui semenjak Valentine terakhir waktu itu. Perlahan aku mulai mengerti arti tatapannya itu. Semua perlakuannya, perhatian yang ia berikan. Serta tingkahnya yang sering tiba-tiba aneh seperti ini. Tatapannya mengandung cinta. Tapi apa yang bisa kulakukan, sosoknya sudah terlanjur kuanggap sebagai adik di hatiku. Aku tak ingin makin membuatnya sakit dengan memberi harapan yang mampu kubuat nyata nantinya.
    “hah? Eh… nggak… nggak apa-apa Than, kamu lapar nggak? Kita makan yuk? Kamu lagi pengen makan apa Than?” tanyanya bertubi-tubi, tak lebih untuk mendistraksi benaknya dariku.
    “hmm, aku… aku masih harus lanjut ekskul gitar lagi. Kamu duluan aja kalo udah lapar, jangan ditunda makannya. Aku selesai ekskul langsung makan kok.” Jawabku sekenanya.
    “oh, gitu ya. Yaudah, semangat ya ekskulnya.”
    “iya.”
    Jam sebelas tepat aku berpisah dengan Celia dari ruang tari. Sebenarnya aku sudah lama berhenti dari ekskul gitar. Karena memang tidak efisien penanganannya. Aku harus berbohong pada Celia, lama-lama jengah juga ditempelinya hari ke hari. Akibatnya aku tak tau harus melakukan apa di sisa hari ini. Karena bingung akhirnya aku putuskan untuk ke perpustakaan. Mencari tambahan referensi materi dan mungkin soal latihan untuk olimpiade nanti.
    ***
    “soal pertama ya? Kali ini kalian rebutan deh, biar seru.” Ujar kak Hera sembari memilin-milin rambut panjangnya.
    Saat ini aku dan Arthur sedang berada di ruang paduan suara. Kami berempat dengan kak Hera dan satu lagi senior kelas tiga yang menjadi tim coach kami untuk olimpiade nanti, kak Anton. Kami sudah sekitar duapuluh menit mulai semenjak jam satu tadi, sesuai jadwal kami coaching ini akan berakhir jam setengah tiga nanti seiring kak Hera dan kak Anton yang harus siap-siap untuk tambahan bimbingan belajar persiapan ujian nasional untuk mereka. Sepertinya minggu ini akan jadi minggu terakhir untuk mereka melatih kami, karena minggu depan ujian mereka akan dimulai.
    “siap kak!” jawab kami dengan semangat.
    “oke, siap yah. Dengerin soalnya. Sebuah kubus memiliki panjang rusuk yang sama dengan diameter alas sebuah kerucut yang mempunyai tinggi enam kali panjang rusuk kubus tersebut. Berapa perbandingan volume dua bangun ini?”
    “saya bisa kak!” sentak Arthur saat sepuluh detik soal selesai dibacakan. Gila.
    “wow, oke! Jawabannya berapa Arthur?”
    “2:π kak.”
    “perfect. Oke, next one. Coba jelasin Arthur? Jonathan, semangat!” ujar kak Anton dengan seringai sinisnya yang menyebalkan. Seperti biasa.
    “iya kak, simple aja. Tanpa harus nyakar kita bisa langsung dapat. Misalkan rusuk kubus r, berarti volumenya r3 kan? Karena tinggi kerucut 6x panjang rusuk dan diameter alas berimpit dengan panjang rusuk kubus maka volumenya jadi : π/3.(r/2)2.6r = πr3/2. Jadi volume kubus : volume kerucut = r3 : πr3/2 = 1 : π/2 atau 2 : π.”
    Aku hanya bisa manggut-manggut takjub mendengar ujaran anak ini. Gimana bisa dia teliti menghitung sedetail itu tanpa ‘nyakar’, impossible banget. Makan apa ya ni anak?
    “soal berikut. Sejumlah uang terdiri dari koin pecahan Rp. 500, Rp. 200, dan Rp. 100 dengan nilai total Rp. 100.000. Jika nilai uang pecahan 500-an setengah dari nilai uang pecahan 200-an, tetapi tiga kali nilai uang pecahan 100-an, maka banyaknya koin adalah…?”

    Haduh. Mumet berat nih. Satu menit, dua menit. Rumus-rumus substitusi merajalela dikertas cakaran dan kepalaku. Tapi tak kunjung ketemu juga jawabannya. Dan tumben-nya si Einstein mini, siswa baru super pintar kita yang satu ini juga terlihat agak pusing mencari jawabannya.
    “sudah lima menit, belum ada yang bisa dapat jawabannya? Kamu! behel! Udah sampe mana ngerjainnya?”
    “be..belum dapat kak, ini… masih.”
    “mana coba lihat?” dengan seenak jurignya diambil kertas cakaranku yang tak karuan itu. Seperti biasa. Aku lebih senang diajari si cerewet Herawati S. Daripada manusia sok segalanya satu ini.
    “misalkan nilai yang 100-an adalah m, pecahan 500-an berarti 3m, dan pecahan 200-an berarti 6m…” sepertinya kak Anton membaca satu-satunya yang aku kerjakan untuk soal ini. Ya, memang aku baru mengerjakan sampai sejauh itu.
    “oh, gitu!” si Einstein mini seperti langsung tersetrum otaknya yang macet waktu dengar bacaan kak Anton tersebut. Lalu mulai terlihat kembali mengerjakan soal dengan cekatan.
    “pemisalan kamu sampai segini udah tepat, masa nggak ke pikir lanjutannya gimana?”
    “………” kak Anton memberikan kembali kertas cakaranku.
    Pecahan 100-an = m
    Pecahan 500-an = 3m
    Pecahan 200-an = 2x(3m) = 6m
    +
    10m = 100.000 <=> m = 10.000
    Aku baru mengerti ketika mengerjakan sampai tahap diatas. Ternyata sangat sederhana. Dengan semangat kulanjutkan hitungan berikutnya.
    Ditanya banyaknya koin total, berarti jumlah dari banyak koin pada tiga variasi pecahan tersebut.
    100-an = 10.000 : 100 = 100 buah
    200-an = (6x10.000) : 200 = 300 buah
    500-an = (3x10.000) : 500 = 60 buah
    Maka, total jumlah koin adalah 100+300+60 = 460 buah koin. DONE!
    “udah dapat kak! Benar kan?” aku dengan semangat menunjukan hasilku pada kak Anton.
    Dia mengambil lembaran itu dengan wajah datar.
    “oke, hasil kamu sama dengan punya Arthur. Lanjut soal berikutnya…”
    What!? Again. Aku Cuma bisa menunduk malu, ternyata Einstein mini udah selesai duluan dari aku. Sepertinya jauh sebelum aku. Duh, bisa tekanan batin lama-lama aku partneran sama orang ini. Niatnya mau mengakrabkan diri dengan jadi partner di olimpiade nanti. Malah aku yang seakan terintimidasi dengan kecakapannya dihadapan angka-angka. Parah. Lalu menit-menit selanjutnya berlangsung sama saja. Masih sekitar lima soal yang di berikan kak Hera dan kak Anton untuk kami kerjakan rebutan. Dari lima soal, tiga terjawab duluan oleh Arthur dan satu olehku. Itu pun karena soalnya terlampau gampang dan Arthur terjebak memikirkan cara yang terlalu rumit untuk menyelesaikannya. Satu soal terakhir sangat rumit, hingga tak satupun dari kami yang mampu menyelesaikan. Soal itu special diberikan oleh kak Hera, soal itu adalah salah satu dari soal-soal yang ia dapatkan di osn tingkat nasional tahun lalu. Soal yang mengantarkannya mendapat peringkat ke tiga tingkat nasional kala itu.
    “yaudah soal itu jadi pr aja buat kalian. Karena ini hari terakhir kalian coaching sama kami, nanti soal itu dibahas sama tim guru aja ya.” Ujar kak Hera sembari bersama kami membereskan buku dan perlengkapan lainnya. Sebentar lagi mereka harus siap-siap untuk bimbel.
    “iya kak, makasih ya. Sukses juga buat un nya.” Jawab Arthur dengan sopan.
    “iya makasih, kalian juga semangat! Kalo bisa lewati kita!” kak Anton berujar.
    “sip kak!”
    ***
    “kamu nunggu siapa, Ar!” seruku seraya menghentikan motor begitu baru akan keluar dari gerbang sekolah.
    Ku kira dia sudah pulang. Aku sudah cukup lama bercekrama dengan abah satpam sekolah yang sedang ngopi di kios dekat posnya. Hari sudah semakin gelap.
    “nungguin mama aku, Jo. Ga biasanya dia telat, mungkin sebentar lagi sampai.”
    “udah ditelpon mama kamu Ar?”
    “mama nggak akan angkat telepon kalau sedang nyetir, Jo.”
    “tapi ini udah mendung loh, Ar. Bentar lagi hujan! Aku antar mau nggak? Mungkin mama kamu lagi ada urusan.” Aku berasumsi.
    “………..” Arthur semakin gelisah.
    “udah, ayo ah Ar! Aku anter. Nih!” aku memaksa, sembari menyodorkan helm ke tangannya.
    “tapi, Jo…”
    “udah, ayo naik. Nanti di jalan sms mama kamu, bilang kamu udah diantar teman. Beres kan?”
    Akhirnya anak itu menyerah juga. Dengan agak enggan memakai helm yang ku sodorkan. Sempat kulirik arlojiku, waktu saat ini menunjukan beberapa menit lewat dari pukul 16.30.
    “eh, iya Ar. Rumah kamu dimana ya? Hehe.. aku lupa nanya.”
    “dasar… aku lupa nama jalannya. Soalnya jarang keluar rumah. Jalan aja, aku arahin.” Jawaban paling aneh seumur hidup yang kuadapat saat menanyakan letak rumah seseorang.
    Ternyata rumahnya cukup jauh dari sekolah. Lebih duapuluh menit jika mencapainya dengan motor, letaknya agak dipiggiran kota. Jauh dari keramaian.
    “makasih ya Jo. Kamu… nggak masuk dulu?” tawarnya hati-hati. Dalam hati sangat senang dan ingin sekali, tapi kalo aku tak pulang sekarang harus siap terima kuliah sepanjang malam dari mamahku tercinta dirumah. Alias di omeli.
    “wah, aku mau sih Ar. Tapi kalo nambah limabelas menit lagi aku nggak nyampe rumah bisa diomeli mamah aku.” Jawabku tak enak.
    “gitu ya, yaudah deh. Makasih ya! Hati-hati pulangnya, jangan ngebut.”
    “sip bos.”
    Aku pulang kerumah dengan semangat. Seperti belum pernah merasa se bersemangat ini sebelumnya. Entahlah. Hari-hariku semenjak mulai bisa dekat dengan Arthur kian berwarna saja. Aku tak pernah merasa senyaman ini dekat dengan seorang sahabat, bahkan perempuan sekalipun. Entah berlebihan kelihatannya tapi semua terasa cukup untukku. Bahkan rasanya tak ada kata yang terlalu sempurna untuk menggambarkan betapa bersemangatnya hariku semenjak mengenalnya.
    ***
    16 Tahun
    Manado, April 2008
    Lembar Ilusi

    Hening meraja, membawa sukma merenungi lembar-lembar memori
    Deret kenangan indah
    Semua yang sedih dan bahagia
    Semua yang sempat terlewat bersama

    Cinta memanjakan jiwa
    Membuatnya menari-nari dalam bahagia
    Membuat enggan raga menutup hari
    Tapi cinta juga mudah menelangsa
    Membuat yang dihinggapi meratap sengsara
    Membuat sehela nafas pun terasa berat

    Aku dan kamu
    Memori cinta tak berpangkal, tak berujung
    Entah dimana bermula, dan entah kapan berakhir
    Atau
    Memang tak pernah ada
    Hanya ilusi saja, khayalan
    Pemuas imaji yang sempat merasuk hingga ke hati

    Tolong
    Tolong katakan memang ini ilusi
    Tolong katakan benar ini khayalan
    Hingga harap sukmaku tak lagi ada
    Hingga siksa itu tak lagi kugenggam

    Ajalku siapa yang tau
    Untuknya aku ingin pergi dengan damai
    Tanpa harap semu
    Tanpa ilusi itu
    *kutipan jurnal X. Jonathan Parengkuan
Sign In or Register to comment.