It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
--- Part 1 ---
Sekarang ini, semua anak-anak sekolah sedang menikmati masa-masa awal liburan sekolah mereka, setelah menempuh ujian sekolah yang cukup membuat jantung hampir keluar dari sarangnya. Naik tak naik kelas, itu urusan belakangan.
Revan terduduk malas dengan kaki terjulur diatas meja, jemarinya rajin sekali menekan-nekan tombol remote televisi. Wajahnya tampak bosan.
Dari lantai di rumahnya, sayup-sayup Revan mendengar suara pintu kamar yang terbuka, kemudian tertutup kembali, dan juga tak ketinggalan langkah kaki terburu-buru yang menuruni anak tangga.
Revan menolehkan kepalanya sejenak,
“Van, mami mau keluar sebentar ya, ada acara, kamu jaga rumah ya sayang”
“ah... sebentarnya mami bisa sampai malam” gumam Revan dalam hati,
“ya mi” ucap Revan seadanya,
Litta tampak berjalan terburu-buru dan tergopoh-gopoh berjalan menuju rak sepatu yang berada di dekat pintu masuk utama banguna gedung rumah. Sambil memakai sepatu high heels bermerk andalannya, Litta berkata,
“Van, nanti kamu jemput Vino di rumah Papi ya”
Revan terdiam sambil mata menatap lurus layar televisi, dan jemari yang masih menekan-nekan remote televisi kesana kemari,
“Revan!!! Mami ngomong kamu denger nggak sih???” ujar Litta gusar,
“iya Mi”
“nah...gitu dong”
Terdengar suara hak tinggi milik Litta bersahut-sahutan berjalan menuju tempat dimana putra sulungnya berada,
“nih... Mami tinggalin uang buat kalian berdua” Litta membuka tas LV kesayangannya dan mengeluarkan dua puluh lembar uang seratus ribuan, uang itu ia letakkan diatas meja. Revan mengikuti gerakan tangan wanita yang melahirkannya itu dengan tatapan sekilas,
“ajak Vino jalan-jalan ya sayang”
Tak ada jawaban dari mulut Revan, kemudian Litta pun bergegas beranjak dari sofa ruang tamu, dan menghilang dibalik pintu. Sepi.
Semenjak kedua orang tuanya bercerai, hak asuh Vino, adik Revan, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Litta, sedangkan Revan, dikarena usianya sudah genap dua puluh tahun, hak asuh orang tua, menjadi pilihan bagi dirinya sendiri.
Revan tak memusingkan dimana ia harus tinggal. Dirumah Andri ayahnya, atau di rumah Litta, ibunya, yang penting, selama tempat itu beratap, tidak membuat dirinya basah kuyub karena hujan dan berkeringat karena udara panas, itu sudah cukup bagi dirinya. Revan melirik jam dinding yang bertengger dengan damai di atas televisi, jarum jam menunjukkan pukul 09:10 pagi. Uang yang berada diatas meja, segera ia sambar dan masukkan kedalam saku celana, dan ia pun beranjak menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
****
“Mami kamu kemana Van??” tanya Andri,
“nggak tau Pi, katanya ada acara”
Andri tampak terdiam, ia tampak fokus pada kemudi setirnya, sesekali ia melirik Revan yang duduk disampingnya yang sedang sibuk dengan ponsel miliknya,
“Van...”
“hmm..?”
“Papi mau nanya dong”
“apa Pi??”
“pernah nggak liat mami jalan sama temen spesial?”
Revan mengangkat kepalanya yang tertunduk, kemudian ditatapnya Andri untuk sekilas,
“maksud papi??”
“yaa... temen cowok gitu”
Revan kembali menundukkan kepalanya, memfokuskan pada game yang sedang ia mainkan dalam ponsel,
“papi nanyanya aneh”
“kok aneh??”
“iya...”
“lho... kan Papi Cuma nanya, emang nggak boleh??”
Revan menggelengkan kepalanya. Vino yang sedaritadi berada di kursi belakang mobil, dengan segera berhambur dan berada ditengah kakak tersayangnya dan ayah tercintanya,
“Kak... kita mau jalan-jalan kemana??”
Revan segera mengakhiri permainan di ponselnya, kemudian ia menolehkan kepala untuk menatapi adik semata wayangnya,
“Vino mau kemana??”
“Vino mau main kak..”
“Pi... Revan ajak Vino ke dufan ya”
“Dufan?”
Revan mengangguk mantab, “ ini liburan lho sayang, dufan pasti rame banget”
“iya Pi, Vino mau ke dufan...”timpal Vino.
****
“Van... jaga Vino ya” ujar Andri mengingatkan, Revan menempelkan jari telunjuk dan jempolnya hingga membentuk O yang mengisyaratkan beres.
“Vino jangan lari-larian ya sayang, nanti ilang” sambung Andri,
“iya Papi”
Revan kemudian menggandeng erat tangan adik kecilnya itu memasukiarena permainan dunia fantasi, Vino kecil sesekali membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan pada Andri, begitu pula dengan Andri, ia membalas lambaian tangan putra kecilnya.
‘Lagu Khas Dunia Fantasi’ segera menyambut keduanya dan pengunjung yang lain ketika mulai memasuki gerbang utama, Vino tampak senang, sesekali ia melompat-lompat dan ia pun melepaskan gandengan tangan kakaknya untuk memeluk badut-badut yang menyambut para pengunjung, membuat Revan sedikit kewalahan. Ia menyesal membawa adiknya ke arena permainan termahsyur se-Indonesia itu.
Vino terbilang anak kecil yang pemberani untuk memeluk badut, tak seperti anak-anak kecil lain yang Revan lihat menangis dengan kencang ketika Icon dunia fantasi itu mendekati mereka, Vino tampak menikmati bermain-main dengan badut ancol itu.
“kak...badutnya lucu” teriak Vino kegirangan, Revan tersenyum kecil, kemudian ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, dan mengabadikan keceriaan adik kecilnya itu kedalam ponsel.
Beberapa pose lucu Vino sudah terekam di galery foto milik Revan.
Ponsel Revan pun berbunyi, ia mengangkat panggilan tersebut. Saking asiknya mengobrol orang yang menelpon dirinya, ia sampai lupa akan adik kecil semata wayangnya itu, ia baru menyadari bahwa Vino tak ada di tempat ketika ia melihat Vino sudah menghilang dari pengawasannya yang lalai. Revan tampak panik, mencari seseorang di dalam kerumunan manusia bukanlah suatu hal yang mudah.
Ia mengumpati dirinya sendiri, ia lalai menjaga adiknya. Disaat Revan berniat untuk beranjak menuju bagian informasi, ponselnya kembali berdering, ia segera mengeluarkan ponselnya, dan berharap bukan orang tuanya yang menelponnya,
“nomor siapa ini??” gumam Revan,
“halo” sapa Revan,
Di seberang sana tampak berisik, terdengar suara musik yang sama di tempat Revan kebingungan mencari Vino,
“mas Revan ya?” tanya suara di seberang sana,
“iya, ini siapa ya??”
“oh, aku Endy mas”
“Endy? Endy yang mana ya??” Revan mengerutkan alisnya, yang ada didalam pikirannya adalah adik semata wayangnya, ia tak begitu fokus pada penelpon,
“adik anda ada disini mas, lagi sama saya”
Mendengar itu, Revan segera bergegas menuju tempat yang diberitahukan oleh Endy. Sesampainya disana, benar saja bahwa Vino duduk dengan tenang dengan es krim di tangan, di sampingnya, tampak seorang pria sedang memakai kostum maskot dufan yang bagian kepalanya sedang di lepas.
“kakak...” teriak Vino dengan suara yang lantang dan senyuman yang lebar, ia memamerkan es krim yang sedang ia nikmati pada kakaknya yang tampak kebingungan tersebut
“Vino kenapa bisa disini??”
Endy meletakkan maskot kepala dufan yang ia rangkul diatas kursi, kemudian ia bangkit berdiri dan menjelaskan pada Revan,
“tadi adik mas lari-lari ngikutin badut, tapi kepisah gitu dari rombongan, dia nangis, karena aku liat, ya aku ajak aja dia kesini”jelas Endy
“oo gitu” Revan mengangguk-angguk,
“kak... oom badutnya baik deh...”
“itu siapa yang beliin es krimnya?”tanya Revan pada Vino, belum sempat Vino menjawab, Endy sudah terlebih dahulu memotong,
“aku yang beliin mas”
“duh...jadi ngerepotin masnya”Revan buru-buru nengeluarkan uang dari dalam tas yang menggantung di sepanjang pundak hingga pinggang, kemudian uang itu ia sodorkan pada Endy,
“apa ini mas??”
“sebagai uang pengganti es krim yang mas beli buat adik saya”
“aduh mas... gak usah, ikhlas kok” Endy tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang putih
dan rapi,
Karena merasa sungkan, dan segan jika langsung pergi begitu saja, Revan pun mendudukkan dirinya di samping Vino yang masih asik dengan es krimnya yang tinggal sedikit itu, kemudian Endy pun ikut menyusul Revan duduk di samping Vino. Keduanya tampak asik memperhatikan bocah kecil itu menghabiskan es krimnya. Mata Junot sesekali melirik ke arah Revan.
“udah abis kak”
“ayo dibuang, udah itu kita jalan lagi”
Vino dengan gesit turun dari bangku, kemudian membuang stick kayu dari es krim yang ia nikmati ke dalam tong sampah di dekat mereka. Revan pun dengan segera menggandeng tangan Vino,
“mas, aku jalan dulu ya, makasih.. udah mau temenin adik saya dan beliin es krim”
“ah.. nggak apa-apa kok mas”
“dahhh oom badut...”
“dahhh Vino”
Endy menatapi Revan yang berjalan semakin menjauh darinya dan juga Vino yang masih melambaikan tangan ke arahnya.
“daaaa oom badut”teriak Vino, Endy tersenyum kecil sambil membalas lambaian tangan Vino,
“hush.. nama om nya bukan oom badut, oom Endy”
“oom badut”
“oom Endy”
“oom badut”
“oom Endy”
“oom badut kak!!!!”
“iya deh iya oom badut”
****
Liburan panjang memang sangat mengasyikkan untuk sebagian orang, tapi ada juga yang membosankan untuk kebanyakan, karena tidak ada kegiatan dan tak ada tempat yang dituju. Salah satu orang yang merasakan liburan panjang adalah hal yang sangat membosankan adalah Revan. Tak ada rencana untuk berlibur, tak ada rencana juga untuk kemana-mana.
Litta, maminya sibuk dengan urusannya, Andri papinya, sibuk dengan Vino adiknya dan tentunya pekerjaannya. Revan merasa terisolir.
Dengan bersungut-sungut tanpa arah tujuan jelas, Revan pun berencana untuk mengunjungi sebuah coffee shop yang sebelumnya sering ia datangi bersama teman-teman sekolahnya ketika sekolah masih berlangsung. Sesampainya disana, Revan segera mengambil tempat duduk di pojok ruangan, tempat favoritnya untuk bersantai setelah memesan minuman kesukaannya, moccachino latte.
Sembari menunggu pesanannya datang, Revan pun melihati pemandangan di luar jendela coffee shop, antrian mobil bak ular memanjang di jalanan. Jakarta oh Jakarta, jika tidak macet, akan menjadi suatu hal asing.
“silahkan mas dinikmati pesanannya”
“terima kasih”
“eh... mas Revan?”
Mendengar namanya disebut, Revan pun dengan segera menolehkan pandangan pada arah datangnya suara. Dilihatnya seorang pemuda yang sedang berdiri dihadapannya, dengan sebuah baki di tangannya,
“Endy? Kok bisa disini?” ujar Revan dengan ekspresi heran, Junot tampak tersenyum,
“saya kerja disini mas”
“lho...bukannya itu kemaren kamu jadi ba..”
“badut ancol”
“hehehehe iya, badut ancol” Revan melebarkan senyuman yang memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan bersih
“itu hanya part time mas, untuk nambah-nambah uang” Jelas Endy yang di tanggapi Revan dengan anggukan kepala. Dari meja bartender, terdengar suara bel tanda pesanan sudah siap untuk diantarkan,
“mas, aku antar minuman dulu ya, nanti kita lanjut lagi obrolannya” ucap Endy,
“ah...iya”
“mas masih lama disini??”tanya Endy, pertanyaan Endy, di jawab dengan anggukan oleh Revan,
“oh yaudah kalo gitu, selesai aku antar minuman, aku kesini lagi” sambung Endy , lagi-lagi Revan mengangguk.
Endy pun beranjak dari tempat dirinya berdiri dan berjalan meninggalkan Revan untuk melanjutkan pekerjaannya.
Di sela-sela Endy bekerja, Revan diam-diam memperhatikan gerak-gerik pemuda yang menurutnya rajin bekerja tersebut, ia sangat kagum pada sosok Endy.
“udah selesai?”ucap Revan sekedar basa-basi ketika Endy kembali menghampiri dirinya,
“iya mas udah”
Keduanya terdiam, dan di sudut bibir keduanya, tersungging senyuman kecil yang masing-masing memiliki arti tersendiri,
“kok sendirian aja mas, Vino nggak diajak?” Endy mencoba mencairkan suasana keheningan diantara mereka,
“ah...itu, Vino lagi di tempat papi, nginep”
“lho...”
Revan menangkap arti keheranan Endy, ia pun menjelaskan pada Junot tentang kondisi orang tuanya secara garis besar, meskipun Endy terbilang orang baru yang ia kenali.
“sori mas, aku nggak tau”
“nggak apa-apa kok, by the way, jangan panggil mas ah, kayaknya tua amat”
Endy tertawa kecil,
“terus, mas maunya di panggil apa?”
“nama aja”
“Revan...”
“ya”
“ok deh Revan”
Keduanya pun tertawa.
****
“Revan masih mau disini?” tanya Endy yang kala itu sudah tidak lagi mengenakan seragam coffee shop tempat ia bekerja.
Revan yang awalnya tampak berkutat dengan ponselnya, segera menghentikan segala aktivitasnya, kemudian ia menengadahkan kepala untuk menatapi Endy,
“kamu udah mau pulang ya?” Revan kembali bertanya pada Endy,
“iya, karna jam kerja ku sudah selesai”
“Ooo...” Revan mengangguk-angguk kecil, kemudian terdiam dengan senyuman simpul dan tatapan mata kosong,
“habis dari sini, Revan mau langsung pulang atau..??”
Revan menggelengkan kepala, “masih belum tau juga mau kemana, lagipula kalaupun pulang ke rumah, rumah juga sepi dan tak ada kegiatan”
“Oo.. gitu”gumam Endy, “kalau aku ajak jalan-jalan gimana? Mau nggak?”ajak Endy,
“kemana??”
****
Endy menghentikan motornya di pinggiran pantai, Revan turun dari atas boncengan kemudian ia berjalan terlebih dahulu menuju bibir pantai. Angin sejuk pantai dimalam hari, dengan segera membelai wajahnya, suara deburan ombak serasa mengucapkan salam padanya dan seolah menyambutnya,
“kita duduk disini yuk”ucap Endy
“yuk”
Keduanya pun duduk di atas hamparan pasir putih yang berada di pesisiran pantai, tak ada kata-kata, mata keduanya memandang jauh pada ujung pantai yang dikerumuni banyak cahaya lampu.
“tempat ini sering aku datangi kalau aku sedang ada masalah” jelas Endy tanpa ditanya oleh Revan,
Revan menolehkan wajah sejenak untuk menatapi wajah Endy yang yang tampak memandang lurus pemandangan di depannya, kemudian ia kembali melempar pandangannya pada lautan lepas yang gelap,
“apa orang sepertimu juga memiliki masalah?”
Endy tertawa kecil mendengar ucapan Revan,
“setiap orang dilahirkan dengan berentet masalah yang telah menunggunya, seiring bertambahnya usia, masalah-masalah tersebut akan selalu muncul menemani kehidupan seseorang”
Revan terdiam, ia mencoba untuk memahami dan memaknai setiap ucapan yang terlontar dari dalam mulut pria disampingnya,
“Revan sendiri, pasti punya masalah bukan??”
“aku?”
Endy mengangguk mantap,
“sepertinya iya”
Endy kembali tertawa, “ah sudahlah, kita tak usah lagi membahas masalah ini”
“berapa umur Revan?”
“18 tahun, kalau kamu?”
“aku 25”
“owh...sudah cukup matang”
“cukup matang? Dari segi mana yang Revan nilai?”
“entahlah, aku rasa 25 adalah sebuah usia yang
mencerminkan diri seseorang bahwa ia telah cukup matang”
Endy menanggapi tanggapan Revan dengan senyuman kecil, ia kemudian bangkit berdiri, kedua tangannya ia masukkan kedalam saku jaket yang ia kenakan pada malam itu, karena udara di sekitar pantai, lambat laun terasa sangat dingin. Kakinya ia gunakan untuk memainkan pasir.
Endy berjalan dengan langkah pelan menjauh dari Revan, kemudian ia kembali berjalan mendekati Revan, dan menghadap pria didepannya itu,
“apa Revan sudah memiliki tambatan hati?”tanya Endy seadanya yang pada saat itu tak tahu harus mengucapkan apalagi
Revan menggelengkan kepala, “masih belum memikirkan kearah sana” ucap Revan, “kalau kamu?”sambung Revan,
“aku?” Endy menghentikan ucapannya, pandangannya ia buang ke sekeliling pantai, ia juga memutar badannya untuk mengambil jarak dari Revan,
“hubungan kami sudah berakhir”ucap Endy singkat,
“Kenapa?”
“jika salah satu diantaranya tidak dapat mempertahankan sebuah hubungan dan memilih untuk mengakhirinya, satu lainnya pasti tidak dapat mempertahankannya juga, meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga, untuk memperbaiki hubungan yang tidak baik tersebut”
Perkataan yang diucapkan Endy, cukup terasa berat bagi Revan. Harus ia akui bahwa Endy adalah seseorang yang terlahir dengan pemikiran dewasa dan mandiri, jujur saja, kala itu Revan merasa minder pada dirinya sendiri, mengapa ia tak dapat seperti Endy yang masih dapat dengan bijaksananya menyelesaikan masalahnya sendiri.
“kenapa diam?”
“ah.. tidak apa-apa”
Endy pun mengajak Revan untuk berjalan-jalan di sekitaran pantai sembari menghabiskan waktu.
****
“HATCHIUUUUUUU”
“mami bilang juga apa, kalau sudah malam, lebih baik jangan kemana-mana, sekarang jadi pilek kan” Litta mengoceh
Revan tak begitu mengindahkan ucapan ibunya, ia masih terduduk diatas ranjang dengan selimut yang hampir menutupi sebagian tubuhnya.
Berulang kali ia mengusap lendir yang mengalir dari dalam hidung dengan lembar demi lembar tissue yang telah ia sediakan sebelumnya.
Pada saat-saat seperti itu, tiba-tiba saja ia teringat akan sosok Endy. Terlalu cepat memang, tapi entahlah, sosok seorang Endy di mata Revan adalah sosok yang sangat dewasa dan matang. Sosok seorang pria muda yang dapat dikatakan sebagai idaman para wanita.
****
Endy terbaring didalam kamarnya dengan tangan kiri menjadi topangan kepalanya, tangan kanannya sibuk berkutat pada ponsel bututnya. Didalam ponselnya, ia melihati foto-foto yang baru beberapa jam lalu ia abadikan secara diam-diam.
Kemudian ia kembali membuka galery foto yang ia ambil beberapa waktu lalu, ia merasa tak ada bosan-bosannya untuk melihati foto-foto tersebut, meskipun hasil gambar tidaklah terlalu bagus, tapi menurutnya, objek foto yang ia abadikan lebih bagus daripada kamera yang berada di dalam ponselnya, menjadikan hasil gambar tampak bagus dari foto-foto yang lain.
****
Bunyi jam weker memecah keheningan di dalam kamar Endy. Endy yang masih diliputi rasa mengantuk yang luar biasa, menjulurkan tangannya untuk menggapai jam weker tersebut dan mematikannya. Ia tak ingin siapapun termasuk jam weker menggangu waktu tidurnya.
Satu jam kemudian
Dua jam kemudian
Tiga jam kemudian
Selimut yang semula menutupi tubuh Endy, tiba-tiba tersingkap dengan paksa, Endy tampak melompat turun dengan mendadak dari atas tempat tidur, ia terlambat!!! Dengan terburu-buru ia melakukan aktivitas keterlambatannya.
****
“Van, kamu temenin mama ya” pinta Litta pada saat makan pagi sedang berlangsung, Revan meliriki ibunya sejenak, kemudian menyendokkan nasi kedalam mulutnya,
“kemana mi?”tanya Revan dengan mulut yang dipenuhi dengan makanan
“arisan”
“arisan?”, Litta mengangguk, “nggak ah mi” tolak Revan dengan langsung,
“lho, kenapa? masa nggak mau sih tmenin mami??”
“ibu-ibu semua”
“ya nggak pa-pa dong, emangnya kenapa”
“tar jadi kayak ibu-ibu”
“ah... kamu ini, lagipula kamu di rumah juga nggak ngapa-ngapain kan, mending temenin mami, lumayan kan ada hiburan”
****
“hai” seseorang menyapa Revan ketika dirinya sedang berada didalam taman restaurant, dimana Litta bersama beberapa orang temannya mengadakan arisan,
“ah... hai” jawab Revan setengah terkejut,
“lagi ngapain disini?”
“oh.. bosen didalam jadinya keluar”jawab Revan seadanya
“Benny” ujar Benny sembari menjulurkan tangannya pada Revan, Revan dengan ramah menyambut uluran tangan Pria disebelahnya tersebut,
“Revan”
Benny membalikkan tubuhnya, ia menyandarkan dirinya pada pagar kayu pembatas taman, ia mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku kemeja yang ia kenakan, ia juga sempat menawari Revan, tapi Revan menolaknya. Benny menyalakan rokok itu, menghirup asapnya dalam-dalam dan perlahan-lahan dihembuskannya,
“kuliah? Atau udah kerja?”
“baru lulus sma”
“owh...” Benny mengangguk-angguk, “berarti ini lagi liburan dong” sambung benny
“iya”
Benny yang dianggap oleh Revan sok kenal sok dekat itu, terus menerus mengajaknya untuk mengobrol, ingin rasanya ia berpamit diri dari sana, tapi ia merasa tak enak, karena Benny masih bertanya-tanya seperti wartawan.
Revan menjadi semakin bosan, disaat-saat seperti ini, sebuah pesan singkat, bertengger di dalam ponselnya,
1 New Message
From : Endy
Siang Van, lagi apa n dimana nih?
Reply
To : Endy
Lagi bosen!!! Lagi nemenin mama arisan
ditambah ada orang yang sok kenal sok deket lagi ngajakin ngobrol panjang lebar
Endy lagi apa?
Send
Delivery Succes
1 New Message
From : Endy
Hahahahaha jangan bosen donk, kan udah ada yang nemenin
Membaca pesan itu, Revan pun membiarkannya, kemudian ia tak lagi membalas pesan dari Endy.
****
“kak...”
“ya Vino...”
“kakak ada nomor telepon oom badut?”
Revan mengerutkan alis sejenak, kemudian dengan cepat ia menetralkan kembali kedua alisnya yang tebal tersebut,
“ada...”
“Vino mau ketemu sama oom badut”
“kok Vino tiba-tiba mau ketemu oom badut?”tanya Revan sedikit heran dengan pernyataan adik kecilnya itu, “ada apa?”
Vino terdiam, Revan sendiri tak dapat menangkap ekspresi yang terpancar dari wajah Vino, ia pun mengambil ponselnya, dan mencoba menghubungi Endy. \
Dengan cepat jemari Revan menekan nomor telepon milik Endy, ketika panggilan tersambung, ponsel yang berada di pegangnya itu, ia berikan pada Vino.
Raut wajah Vino yang sebelumnya muram, tiba-tiba saja berubah menjadi ceria,
“halo... Revan” sapa Endy dari seberang sana
“Oom badut!!!”
****
Vino segera berhambur dengan kedua tangan yang terbuka ketika melihat Endy yang berdiri tak jauh darinya, Endy pun berjongkok sejenak, senyuman lebar terpancar di sudut bibirnya. Pada saat Vino kecil memeluk tubuhnya dengan erat, Endy juga tak kalah erat membalas pelukan dari Vino, ia mengangkat Vino ke udara, kemudian memeluknya sambil berputar-putar,
“Oom badut”
“ya Vino?”
“kenapa Oom badut nggak pake baju badut hari ini?” tanya
Vino dengan nada bicaranya yang sangat polos khas seorang anak kecil pada umumnya,
“Oom badut kan hari ini nggak kerja Vino sayang”
“oo...kalo oom badut nggak kerja, oom badut nggak pake baju badut ya”
“iya sayang”
Revan berjalan mendekati keduanya, tak ada kata-kata yang terucap, hanya sebuah senyuman ia lemparkan pada Endy sebagai tanda sapaan,
“Oom badut, beliin Vino es krim lagi dong”
“eehh... kok Vino gitu??” Revan menggerutu sambil menatapi Vino yang sedang memegang wajah Endy dengan kedua tangan kecilnya
Endy tertawa, “nggak pa-pa kok Van, yuk... sekalian aja ikut”
“tapi End...”
“udah... ikut aja”
****
Sore itu, ketiganya duduk dikoridor museum fatahillah sambil menikmati es krim yang berada di tangan masing-masing. Udara panas membuat es krim yang sedang mereka nikmati, serasa melegakan tenggorokan mereka.
Terlebih-lebih Vino, ia melahap es krim nya dengan sangat lahap, ia tak memperdulikan kedua pria yang berada di sampingnya yang sedang mengamati tingkah lakunya,
“kemarin kamu dimana Van waktu aku sms kamu??”tanya Endy yang menyeruput tetesan es krim yang menetes di pergelangan tangan kirinya,
“oh... itu, aku diajak mami untuk nemenin ke acara arisan”
“bagus dong”
“apanya yang bagus, isinya ibu-ibu semua”
Terdengar suara gelak tawa khas milik Endy,
“siapa tahu kamu bisa jadi ibu-ibu juga”
Revan menggerutu,
“aku hanya bercanda” tukas Endy dengan cepat,
“terus, orang yang sok kenal sok dekat dengan kamu itu? Bagaimana?”tanya Endy lagi sambil menatapi Revan dan Vino secara bergantian,
“ah... orang itu, tak usah diperdulikan”
Endy terdiam dengan senyuman simpul, ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celananya, kemudian sapu tangan itu ia pergunakan untuk membersihkan tangan Vino yang berlumuran dengan cairan es krim.
Revan tak banyak melakukan sesuatu, hanya duduk dan sesekali melirik ke arah Endy yang sedang dengan teliti membersihkan cairan es krim yang berlumuran di tang adik kecilnya itu,
“hari ini kamu nggak kerja?” tanya Revan
“hari ini kan aku khusus ngeluangin waktu buat Vino”
“iya, Oom badut nemenin Vino”
“sori ya, udah nyita waktu kamu” sergah Revan,
“nggak pa-pa kok Van, kan ini aku juga yang mau” ujar Endy berusaha menenangkan Revan.
Setelah membersihkan tangan Vino dengan saputangan, Endy menyodorkan saputangannya pada Revan, karena ia melihat Revan sibuk mencari tissue. Awalnya Revan menolak, tapi lama dicari tissue tak kunjung di temukan, Revan pun menerima saputangan yang disodorkan oleh Endy.
“oom badut kapan main ke rumah Vino??”
“Vino maunya kapan?”
“mmm... sekarang!”
****
Vino kecil terus menerus menggandeng tangan Endy, bocah itu seoalh tak ingin melepaskan pria tersebut begitu saja. Sesampainya mereka bertiga di dalam rumah, Vino segera menarik Endy untuk melihat koleksi mainan yang dimilikinya.
“kamu mau kemana?” tanya Endy pada saat melihat Revan melintas didepannya,
“ah... aku mau ke kamar sebentar, mau ganti baju”
“oh...jangan lama ya” ucap Endy, Revan menanggapi ucapan Endy dengan senyuman simpul dan diiringi sebuah anggukan, kemudian ia pun meninggalkan Endy dengan adiknya.
Pada saat berada di tengah tangga, Revan menghentikan langkahnya, ia melongok ke arah tempat dimana Endy dan juga Vino berada.
Dari pandangan Revan, ia menganggap Endy adalah seseorang yang memiliki jiwa penyayang yang tinggi, itu semua terlihat dari caranya memperlakukan Vino dengan baik, dan sabar untuk menghadapi anak kecil yang menurut Revan sangat bawel tersebut.
Revan kembali melanjutkan langkahnya.
****
Puas bermain ditemani oleh Endy, Vino tampaknya kelelahan, ia pun tertidur di dalam pelukan Endy. Dengan sangat lembut Endy mengelus-elus punggung Vino dan dimulutnya tergumam beberapa lagu sebagai peneman Vino menuju alam mimpinya,
“Vino ketiduran??” tanya Revan yang pada saat itu baru saja turun dari lantai atas, Endy menempelkan jari telunjuknya pada bibir, mengisyaratkan pada Revan untuk tidak terlalu gaduh,
“iya”
“udah lama?”
“belom, baru aja”
“bisa tolong gendong ke kamarku?”
Endy menganggukkan kepalanya, kemudian keduanya pun beranjak naik menuju kamar Revan. Dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, Endy membaringkan Vino diatas ranjang tidur Revan, ia juga tak lupa untuk menyelimuti bocah kecil itu, karena udara di dalam kamar terasa cukup dingin.
Keduanya pun merubuhkan dirinya diatas lantai tepat di depan ranjang, keduanya terdiam untuk sejenak.
“makasih banget ya buat hari ini”
“makasih buat apa?” tanya Endy,
“iya, makasih udah mau ngeluangin waktu buat nemenin Vino”
Endy tersenyum kecil, “nggak apa-apa kok”
Keduanya kembali terdiam. Keduanya merasa segan untuk membuka mulut terlebih dahulu, terlebih-lebih Revan, ia bukanlah tipe orang yang dapat mencairkan suasana, ia adalah tipe orang yang memilih diajak bicara terlebih dahulu.
“hari-hari biasa, rumah kamu juga sepi seperti ini ya?” tanya Endy membuka pembicaraan,
“iya” jawab Revan singkat,
“biasanya, kalau kamu sekolah naik apa?”
“ada jemputan sekolah”
“oh... kalau jalan-jalan?”tanya Endy lagi,
“biasanya, kalau nggak numpang sama mobil mama, ya naik taxi”
“i see i see”
Keadaan kembali menjadi hening sejenak,
“lain kali, kalau ada apa-apa, atau kamu mau kemana, kamu bisa kok hubungin aku, nanti aku yang antar jemput kamu” ujar Endy,
Revan tersenyum kecil, “aku nggak biasa ngerepotin orang lain”
“sama sekali nggak ngerepotin kok, kan aku yang nawarin, jadi sama sekali nggak ngerepotin”
“iya sih, tapi takut ngeganggu waktu kamu”
“sama sekali nggak kok Van, tenang aja”
Keduanya pun melanjutkan pembicaraan-pembicaraan kecil. Terdengan suara langkah kaki yang menaiki tangga, serta berjalan mengarah pada kamar Revan.
“Van, kamu udah pu... eh, ada temennya ya” ujar Litta pada saat pintu kamar terbuka,
“selamat siang tante” sapa Endy ramah,
“siang juga” balas Litta
“kenapa Mi?”
“ah... nggak apa-apa, mami pikir kamu belum pulang, yaudah sana lanjutin ngobrol dulu sama temannya” Litta pun mengarahkan tangannya untuk menutup pintu kamar, tapi sebelum pintu kamar tertutup dengan sempurna, Litta kembali menyembulkan diri di balik pintu kamar,
“Van, masa temennya nggak dibuatin minum sih, sana buatin dulu” sambung Litta,
“oh iya aku lupa” ujar Revan yang dengan segera bangkit berdiri,
Endy dengan segera menarik pergelangan tangan Revan untuk di genggam dan menghentikan langkah pria muda tersebut,
“nggak usah Van, nggak usah repot-repot”
“minum aja kok, apanya yang repot” Revan pun melepaskan genggaman Endy, kemudian menghilang di balik pintu bersama dengan Litta di balik pintu, meninggalkan Endy yang terduduk sendirian dan Vino yang sedang tertidur.
“temen baru kamu ya Van?”tanya Litta pada dirinya dan putranya berada di dalam dapur. Karena udara diluar cukup terik, Litta tampak meneguk berulang kali air yang berada di dalam gelas yang ia pegang,
“iya Mi”
“pantesan aja mami baru lihat”
****
[ Me & Endy POV ]
Siang ini,
Endy mengajakku bertemu di salah satu tempat yang dulunya menjadi sebuah tempat dimana dirinya dan tokoh utama dalam cerita yang sedang ku tulis ini sering bertemu. Sebuah coffee shop di bilangan Jakarta selatan yang dimana dulunya, adalah tempat endy bekerja untuk menambah pundi-pundi penghasilan.
Seperti biasanya, aku lebih dulu sampai dibanding Endy, meski harus ku terobosi macet berkepanjangan yang sudah menjadi cerita lama untuk ibukota. Endy segera menghampiriku ketika ia sampai pada lokasi.
Dengan senyuman tanpa merasa telat, ia menyapaku dengan cukup santai,
“hai” sapanya,
“hai” balasku seadanya,
“sudah lama?”
“menurutmu?”
“maafkan aku, aku bukan sengaja” ucapnya santai,
“sudahlah, lupakan saja”
Endy tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang sangat menggoda siapapun, termasuk aku. Aku membuka layar laptopku, sengaja ku alihkan perhatianku sendiri agar tak melirik ke arah matanya yang aku tahu sedang menatapiku. Buka merasa berbesar hati karena aku dilihati oleh seorang pemuda tampan seperti Endy, tapi aku nervous!
“apa kita bisa mulai?” tanyaku yang tak tahu harus memulai dengan kata-kata apalagi selain kata-kata yang ku ucap barusan,
“apa kau terburu-buru?”
Aku mengangkat kepalaku sejenak, ku tatapi Endy masih bertahan dengan senyumannya itu, senyuman yang masih saja menggodaku,
“apa kau dapat berhenti menatapku dengan tatapan dan senyuman seperti itu?”
Tawa Endy terpecah, kemudian ia bangkit dari duduknya, berjalan ke arah counter untuk memesan minuman. Aku mencoba memfokuskan pikiran ku pada ketikanku, tapi mataku tak dapat berkompromi, aku akui, sesekali, aku meliriknya.
Mencoba untuk menghafal gaya bicaranya, gerak tubuh, senyumannya, dan yang paling menyentuh adalah, suaranya yang berat berkesan maskulin. Tanpa aku sadari, Endy sudah berada di hadapanku,
“hei...” panggilnya yang dengan seketika membuat lamunanku terbuyar, dengan tatapan kosong dan tampak seperti orang bodoh, aku menatapinya. Lagi-lagi aku melihat deretan gigi putih bersih dan sunggingan senyum terpancar di wajahnya,
“apa yang sedang kau pikirkan” ucapnya dengan senyuman yang seolah mengejekku,
“tidak apa-apa” aku menundukkan wajahku karena malu,
“bagaimana hari-harimu selama beberapa hari ini?”
“biasa saja, tak ada yang spesial”
“dari ucapanmu yang aku tangkap, kau tampaknya sedang berada dalam kondisi suasana hati yang tak menentu”
“sok tau!!!”
Endy tertawa, terdengar suara seruputan dari dalam gelas minuman yang merambah dan mengalir masuk ke dalam tenggorokannya,
“sampai dimana aku bercerita kemarin??”
Aku memutarkan laptopku ke arahnya, ia menundukkan kepala sejenak untuk menatapi barisan tulisan yang terpampang di layar, kemudian ia mengangkat kembali kepalanya,
“sudah bisa dimulai?”
“apa kau selalu serius dalam mengetik sebuah cerita? Tidak bisa santai?”
Aku terdiam, berusaha bersikap santai, ya, sesantai mungkin yang aku bisa.
****
[ Revan Part ]
Disaat orang-orang memilih untuk berdiam diri di dalam rumah, karena sinar matahari yang begitu terik, dengan menggunakan jasa taxi, Revan mengunjungi sebuah mall di bilangan Jakarta pusat. Sesampainya Revan di mall tersebut, Revan segera menuju sebuah restaurant yang tertera pada layar ponselnya.
Disana, seorang gadis cantik berusia hampir sama dengan Revan, terududuk dengan anggun, ketika dirinya melihat Revan, ia segera melambaikan tangan pada pemuda tersebut. Gadis itu adalah Eva, salah seorang teman baik Revan semasa dirinya masih mejabat sebagai siswa smp.
“maaf kalau aku telat” sergah Revan yang segera menarik kursi di depan Eva, dan duduk diatasnya,
“ah...nggak apa-apa kok, semua orang juga tau kalau Jakarta itu pusatnya macet” ujar Eva yang tak henti-hentinya menatapi Revan dengan senyuman sumringah,
“berhenti menatapku seperti itu” ujar Revan dengan tersipu-sipu,
Eva tertawa geli, bibirnya yang ranum itu di tempelkan pada sedotan yang terdapat didalam gelas minuman didepannya, kemudian, dengan cepat Eva menyeruput sebagin isi dari dalam gelas,
“kau tak pernah berubah dari awal aku mengenalmu” tukas Eva singkat
“kau juga selalu suka menatapi dengan tatapanmu itu” sambung Revan,
Revan memberitahukan pada pelayan pesanan yang ia pesan, kemudian pelayan itu pun berlalu, meninggalkan Revan dan Eva berdua. Sebelum memulai pembicaraan, Revan sempat melihati sekeliling restaurant yang tampak tak begitu ramai,
“bukankah kau seharusnya berada di singapura?” tanya Revan
“karena kamu, aku menunda keberangkatanku”
“sudahlah, hentikan leluconmu, sama sekali tak lucu” tampak wajah Revan sedikit memerah karena malu,
“aku serius”
“ya..aku juga serius, lebih baik hentikan leluconmu”
Eva tampak terdiam sejenak, ia memain-mainkan sedotan yang ia pegang dengan tangannya, sesekali ia melihati Revan,
“mengapa kau selalu menolakku??” tanya Eva tiba-tiba yang membuat Revan memfokuskan pandangan pada Eva,
“aku...”
“apakah aku kurang cantik?” ujar Eva lagi,
Revan menggelengkan kepala pelan,
“apakah aku tidak baik?”
Revan kembali menggelengkan kepalanya,
“lantas... mengapa kau tak pernah menyukaiku?”
Revan terdiam membisu, tatapan yang awalnya ia fokuskan pada Eva, kini ia alihkan ke segala penjuru, ia tak mau menatapi Eva secara terang-terangan lagi. Banyak perkataan yang ia akan gunakan untuk menjawab setiap pertanyaan Eva, tapi di satu sisi, otaknya memilah-milah jawaban yang akan ia layangkan untuk Eva,
“bukan aku tak pernah menyukaimu”ujar Revan dengan wajah sedikit kebingungan, sedangkan Eva, ia bersikap tak begitu peduli, tapi di dalam batinnya, ia terus menunggui jawaban Revan, ia menajamkan pendengarannya, ia takut ia melewatkan ucapan Revan.
“aku tak bisa menyukaimu”
Eva menghentikan tangannya yang sedang memainkan sedotan, ia menatapi Revan sejenak, kemudian ia memaksakan wajahnya untuk memberikan senyuman yang paling manis untuk Revan, ia kecewa,
“aku benar-benar tak bisa menyukaimu”
“kenapa?”
Revan mengangkat kedua matanya, masih dengan kepala tertunduk, ia menatapi Eva,
“kau tak perlu tau alasannya”sergah Revan,
Pertemuan keduanya pun terasa begitu hambar, setelah menghabiskan pesanan masing-masing, keduanya pun tampak saling berdiam diri, obrolan yang terlontar berkesan hanya sekedarnya. Mereka berdua terasa seperti orang asing yang sebelumnya tak bertemu.
****
[ Endy Part ]
Lenguhan dan desahan nikmat terdengar dari dalam kamar yang hanya berukuran 5x5 itu. Dinding-dinding di dalam kamar tersebut memantulkan suara-suara yang terlontar dari dalam mulut Endy.
Erangan-erangan kenikmatan yang dapat membuat semua orang ikut meresapi dan menikmati.
Tubuh Endy tak henti-hentinya bergerak naik turun dengan irama yang seimbang, punggunnya telah dikilati oleh peluh. Wajahnya juga dibanjiri oleh peluh. Endy sedang bercinta. Seorang wanita cantik yang ia sewa, menjadi lawan untuk nafsunya pada siang hari itu.
Ketika asik menyalurkan nafsunya, tiba-tiba deringan ponsel Endy berbunyi dengan sangat kencang. Endy segera menghentikan permainannya, tampak wanita itu bersungut-sungut pada saat Endy tak lagi menyenggamai dirinya, ia pun terbangkit dari tidurnya, dan menutupi tubuhnya dengan pakaiannya yang berserakan di atas ranjang,
“Revan?” gumam Endy sambil menatapi lampu layar ponsel yang berkedap-kedip menerterakan nama pemanggil, Endy pun tak menghiraukan panggilan tersebut, ia pun meletakkan kembali ponselnya, dan menyingkirkan pakaian yang menutupi tubuh wanita sewaannya.
Panggilan terhenti, Endy kembali melanjutkan tuntutan nafsunya, tapi kali ini, ia tak senafsu di awal permainan, ia terasa lemas, berulang kali ia mencoba, berulang kali ia gagal. Endy sedikit kesal, ia sempat mengumpati panggilan dari Revan dalam hati. Di keluarkannya beberapa lembar uang rupiah bewarna kemerahan dari dalam dompt, kemudian uang itu ia berikan pada wanita sewaan itu.
Wanita sewaan itu menggenggam uang yang di berikan oleh Endy, tatapannya ia fokuskan pada Endy,
“aku tak butuh uang ini” ucap wanita sewaan,
Endy mengerutkan alisnya, “apa maksudmu, aku telah menikmatimu dan kau berhak mendapatkannya atas service yang kau berikan padaku”
Wanita sewaan itu meraih tangan Endy, uang-uang yang sebelumnya diberikan oleh Endy, ia kembalikan lagi pada pemuda tersebut,
“kau adalah salah satu pria yang memperlakukanku tidak seperti seorang pelacur”
Endy terdiam, ia tampak bingung,
“aku menikmati atas setiap permainanmu terhadapku”
Lagi-lagi Endy terdiam, ia semakin tak mengerti atas ucapan wanita tersebut. Tiba-tiba saja ia merasakan sebuah kecupan hangat yang mendarat dibibirnya,
“setubuhi aku lagi, berikan aku kenikmatan lagi”
Endy meresapi setiap ciuman yang dilayangkan oleh wanita tersebut, tangannya kembali meraba kedua buah dada yang sangat padat itu, remas, usap dan jilat. Lenguhan kenikmatan kembali terdengar.
Endy menidurkan wanita tersebut, dengan posisi bibir yang masih saja menjilati buah dada ranum sang wanita. Wanita itu bagaikan ular yang meliukkan tubuhnya akibat kenikmatan, Endy tampak semakin buas.
Tiba-tiba saja, Endy menghentikan semuanya, wanita itu kembali kecewa.
“sudahlah, hentikan saja semua ini” ucap Endy yang mengusapi peluhnya
Wanita itu kembali bangkit dari tidurnya, ia meraih kejantanan Endy yang masih setengah menegang, ia arahkan bibirnya yang tipis nan ranum itu untuk mengulumnya. Endy menikmati, tapi semua itu hanya sesaat, ia menepis.
Wanita itu pun tak melanjutkan lagi permainannya, ia segera bangkit berdiri, dikumpulkannya semua pakaiannya, kemudian ia kenakan satu per satu. Wanita itu kemudian berjalan meninggalkan Endy yang sedang terduduk di atas ranjang dalam keadaan telanjang.
Sebelum wanita itu menghilang di balik pintu, wanita itu menyempatkan diri untuk berkata pada Endy,
“aku rasa, aku benar-benar menyukaimu”ucap nya, “jika kau bersedia menerimaku, hubungi aku, aku akan tunduk padamu sebagai wanita mu dan aku akan meninggalkan segala pekerjaan dosaku ini” sambungnya yang kemudian menghilang di balik pintu.
Endy hanya termenung, ia tak begitu menghiraukan ucapan wanita tersebut. Endy kemudian meraih ponselnya, menekan nomor yang sangat ia hafal,
“halo... Revan”
****
@erickhidayat : mmm... cerita ini aku buat, konsepnya sama kyak cerita pertama ku The Dancer, jdi ada flasback n sekarang, cuma ke apus sama aku hiksss