It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dokter pun menerangkan secara rinci apa yang Rini hadapi. Hampir pingsan ibunya Rini mendengar kata- kata, “Kita akan berusaha sebisa mungkin...” seperti mendengar lonceng kematian, ayah Rini dan Randy pun tak kalah ciut, memikirkan dari sore sampai lewat tengah malam Rini masih koma.
Beberapa minggu orang tua Rini tinggal di Jakarta, menunpang di rumah Randy, di sambut dan di jamu baik oleh orang tua Randy, setiap hari mengais harapan untuk Rini bangun dari koma, namun tak ada perkembangan dari Rini. Mereka pun berunding, bermaksud memindahkan Rini ke salah satu rumah sakit di Surabaya supaya lebih dekat dengan rumah mereka.
Karena Rini masih dalam keadaan koma, maka proses perpindahan Rini ke Surabaya sangat mahal, satu dokter, satu suster, penerbangan khusus, dan urusan administrasi yang seperti tak ada ujung pangkalnya. Orang tua Randy pun ikut membantu separuh biaya perawatan Rini. Setelah semua siap, Randy menghantar mereka ke bandara, menyerahkan Rini ke orang tua nya dan nasib untuk berharap ada keajaiban.
Baru beberapa hari sesudahnya Randy bertemu Setiadi. Tak henti- hentinya Setiadi berusaha untuk menghibur, memberi semangat kepada Randy.
“Di, gua gak akan siap kalo harus kehilangan Rini...” guman Randy ketika mereka makan siang di Plaza Senayan.
“Jangan pikir gituan dulu lah Ran, masih ada harapan koq...”
“Di, lu pernah gak kehilangan ?”
“Pernah, dua tahun lalu... “ Setiadi menngingat kembali masa suram itu, Cuma masih takut untuk memberikan detail lebih lanjut, ia sadar Randy tak tahu menahu tentang siapa sebenarnya Setiadi.
“Udah lah, Ran, gua pasti bantu lu, gua pasti temeni lu lewatin ini, lu kan gak sendiri...”
Randy tersenyum dan menepuk pundak Setiadi sebagai tanda persahabatan, hanya Setiadi menterjemahkannya lain, ia merasakan pundak kanannya bagai tersengat listrik, membakar dengan panas menyala- nyala jauh merasuk ke dalam dada sebelah kanannya, merasakan kepalanya bergetar, sambil jantungnya berdegup kencang. Kembali ia mendengar kata: ‘Randy’ di hatinya.
Minggu berganti bulan, tidak ada perkembangan dari Rini. Yang terjadi adalah beberapa organ vital Rini kehilangan fungsi nya satu demi satu. Orang tua Rini masih takut dan bingung harus menentukan apa selanjutnya, di biarkan koma, selain akan memperparah keadaan dengan organ lainnya yang kehilangan fungsi, juga Rini pun dirawat tanpa hasil. Satu- satunya opsi yang tersisa adalah live support nya yang di cabut. Dua hari lamanya mereka berunding dengan keluarga dekat, dengan berat hati mereka harus merelakan. Tinggal tugas terakhir untuk memberi kabar kepada fihak keluarga Randy
Satu hari Sabtu pagi, Setiadi masih menikmati alam mimpinya, dibangunkan oleh ponsel yang berdering. Mau tak mau ia bangun, menepuk- nepuk meja meraba ke sana kemari sambil mencari ponselnya, dan mengambil ponselnya dengan mata setengah tertutup, melihat sekelebat nomor Randy di layar ponselnya
“HHHmmm... ya Ran, ada apa?”
“I need to see you right now” kata Randy dengan suara bergetar.
Dalam waktu kurang dari 1 detik, semua sembilan nyawa Setiadi yang berpencar ke segala penjuru di mata angin alam mimpinya kembali bersatu, rasa ngantuk nya hilang, matanya terbelalak, badan tegang.
“Gua ada di kos, baru bangun, ke sini aja”
“I’m on my way...”
Rasa kantuk Setiadi berganti dengan rasa penasaran, tak sabar ia menunggu kedatangan Randy ke tempatnya, memberitakan kabar apapun yang terjadi. Tak lama kemudian pintu kamar kos nya di ketuk. Setiadi membuka pintu. Ia terkejut melihat raut wajah Randy, ditutupi oleh kaca mata hitam. Setiadi mempersilakan Randy masuk, ia berjalan gontai, duduk di atas ranjang dengan Setiadi duduk di sampingnya. Randy melepas kaca mata hitamnya, menatap Setiadi. Ia melihat Randy dengan mata merah, sedikit basah.
“Gua baru dapet kabar tadi pagi dari Malang” sahut Randy dengan nada datar dan pandangan kosong. Setiadi mulai khawatir, intuisinya segera mencerna, ini adalah berita duka.
“Rini di panggil pulang tadi subuh, live support nya di cabut, gagal multi organ karena koma”
Setiadi melongo... ia kuatir dan ikut merasakan apa yang di rasakan Randy.
Randy tertunduk, perlahan- lahan, tetes air getah jiwanya turun, membasahi pahanya. Setiadi bingung, apa yang harus ia lakukan. Baru kali ini ia melihat Randy begitu terpukul. Ia ingin merangkul Randy, Cuma kuatir Randy akan salah terima, ia hanya duduk sambil menatap kearah Randy. Tubuh Randy kemudian bergoyang dengan irama tangisan yang mulai keluar setelah lama ia tahan sepanjang jalan. Beberapa saat, isak tangis Randy mulai kencang terdengar, getah jiwa Randy turun bagai hujan, Randy tak mampu berkata apa- apa, semua kata- kata tercekat oleh tangisan yang mendesak keluar, menyelimuti jiwa nya yang sedang berkabung.
Tak kuat menahan rasa kasihan dengan Randy, Setiadi pun nekad merangkul pundak Randy, ingin berbagi kesedihan. Di dalam benak Setiadi, ia membayangkan Randy dengan marah menepis tangan nya sambil mengumpat; ‘dasar homo sialan lu....’. Tangan Setiadi sudah berada di pundak Randy, ia masih terisak- isak, sementara Setiadi masih dengan takut dan cemas memperhatikan dan menunggu reaksi Randy.
Buk!!!!!! Setiadi kaget setengah mati, ia fikir dadanya di tonjok Randy marah karena disentuh. Randy memeluk Setiadi erat sekali, dengan kalap menangis dan melolong, menumpahkan segala duka nya.
“Diiii...... huuuuuu...... kenapa gua harus kehilangan Rini....”
Randy seperti kehilangan kendali menangis, tersedu sedan, air mata nya membasahi pundak kanan Setiadi, belum lagi dengan lendir yang keluar dari hidungnya. Setiadi butuh beberapa saat untuk mencerna semua ini, ia masih belum percaya Randy memeluk dirinya. .. begitu erat...
“Udah lah Ran, lu nangis sepuas- puas nya aja, gua ada di sini”
Menangislah wahai jiwa yang bersedih
Cabutlah duri yang membuat mu perih
Biar ku tampung semua air mata
Begitu bening, menembus kata- kata...
Entah berapa lama Randy memeluknya, Randy masih belum melepas dekapannya. Setiadi dalam hatinya mulai bermain- main dengan imajinasinya...
’Randy, sudikah kiranya kau memberikan sebutir hatimu padaku?
Randy, ijinkanlah aku menggapai dirimu....
Randy masih saja memeluk Setiadi, walau sudah tidak sekuat tadi pelukannya, tidak lagi terdengar isak tangis, sedu sedan telah tertumpah semua, menyisakan Randy yang lelah, ditopang oleh Setiadi yang selalu bersamanya dari waktu ke waktu.
Randy berfikir apa jadinya dia harus menghadapi semua ini tanpa teman seperti Setiadi, sementara dia sendiri bukan termasuk orang yang mudah bergaul, walau sudah dititipkan paket lengkap dari yang Maha Pencipta, tumbuh sebagai anak manja karena paling di sayang, jarang melihat ayahnya karena sibuk di perusahaan bagian transportasi laut, yang berhubungan dengan container antar Negara. Kurangnya kasih sayang ayahnya yang sibuk membuat Randy kesepian, tidak banyak teman yang pernah dekat padanya. Hubungan dengan ayahnya yang sifatnya sabar dan sayang kepada anak- anaknya, baik sekali, namun karena sangat jarangnya bertemu membuat Randy sedikit punya sifat posesif jika mempunyai sesuatu atau dekat dengan seseorang, trauma dengan rasa rindu kepada ayahnya, masih beruntung Randy oleh ke dua kakaknya , mengarahkannya kepada kegiatan olah ranga yang beragam untuk mengalihkan rasa rindunya dan juga untuk tidak salah pergaulan. Memang hasil dari semua kegiatan ini terpampang jelas dari sosok fisiknya yang menggoda pria dan wanita, namun di balik tameng itu, Randy tetap haus kasih sayang. Randy seperti sedang mengalami kembali kehilangan ayahnya yang di benak dia sangat sulit di raih, ditambah lagi dengan kepergian Rini membuat luka batin yang dalam di tahun- tahun mendatang.
“Besok, gua ama ortu mau ikut pemakaman ... Rini... di Malang...” sahut Randy dengan kerongkongan tercekat
“Kapan pun lu butuh teman curhat, gua akan selalu ada, Ran” Setiadi tak mampu menambah kata- kata, bergulat dengan perasaan nya yang sedang di aduk- aduk oleh empati seorang sahabat dan Setiadi yang mulai berharap akan Randy.
Lima hari lamanya Randy dan keluarganya berada di Malang, menghadiri prosesi pemakaman Rini, Sesekali Setiadi mengirimkan sms untuk memberi semangat kepada Randy, dan setiap kali itu juga sms nya di jawab. Sisa waktu 2 hari digunakan untuk menghibur keluarga Rini demi menghormati ikatan keluarga yang pernah terjalin dari pertunangan Randy dan Rini. Randy pun mulai saat itu resmi melajang.
Hari- hari berikutnya setibanya di Jakarta, Randy sering menghubungi Setiadi baik lewat sms, telepon, keluar makan siang atau menginap. Juga untuk pertama kalinya Setiadi menginap di rumah Randy untuk menemaninya mengobrol, dan juga berkenalan dengan orang tua Randy.
Satu malam minggu Randy meminta Setiadi menemaninya jalan- jalan malam, ke disco melepas penatnya beban kesedihan Randy. Setiadi mengiyakan dan pada waktunya mereka pun meluncur ke salah satu diskotik yang terletak dekat pantai utara Jakarta yang cukup terkenal di kalangan atas. Mereka sebelumnya ke arah Thamrin, ke Mc. D sambil santai sebelum waktunya menikmati malam panjang itu. Karena ramai di Mc. D, mereka hampir tidak dapat mengobrol, sedangkan pindah lokasi mereka pun sungkan karena sulitnya cari tempat parkir. Mereka pun terdampar di sana. Setiadi memandang wajah Randy yang terlihat “cool”, namun ia tahu betul bahwa Randy masih rapuh, luka nya masih belum tertutup. Sesekali Randy melihat wanita yang sekilas mirip dengan Rini, membuat hatinya tambah pilu. Hampir ia hampiri wanita itu kalo bukan Setiadi yang menyadarkannya, duduk dengan mata sedikit basah, menunduk ke bawah, sambil berguman
“I miss her, Di, what should I do now?”
Sementara sambil menatap Randy dengan berusaha menghibur, Setiadi pun menimpali dalam hatinya
“Randy, bolehkah aku menjadi kepunyaanmu? Bisakah kau mencintai aku seperti kamu mencintai Rini? Bolehkah aku berjuang untuk itu, Randy?”
Namun yang keluar dari mulut nya
“Rini akan selalu ada di hati kamu Ran, let her go...”
Jam menunjukkan pukul 11 malam, mereka pun bersiap- siap ke sana. Di tengah jalan Randy tak berucap, sambil menerawang menyusuri jalan di Jakarta, ditemani Setiadi yang menjadi penjaganya. Terjebak macet di daerah Gajah Mada, berbelok kearah Pasar Baru, mengambil rute Gunung Sahari ke daerah Ancol, memakan waktu satu jam. Akhirnya mereka sampai.
Setiadi di sambut oleh dentuman “sound system” yang suaranya memukul dadanya, kaget dan secara reflex menutupi telinganya, sementara dengan pe-de nya Randy masuk, menarik tangan Setiadi untuk ke arena dansa. Setiadi melihat Randy seperti melupakan sejenak kepahitannya, larut dalam music, dentuman bass yang bagi Setiadi terasa seperti bogem kearah telinganya. Karena sering olah raga, Randy nonstop berdisko hingga Setiadi melihat jam tangannya pukul 3:50, dengan badan lelah luar biasa, hanya mampu bergoyang sebisanya, sementara Randy masih dengan “full charge” larut dalam musiknya.
Sadar ketika melihat Setiadi hampir ko, Randy pun mengajak Setiadi berburu “sunrise” di pantai Ancol. Antara sadar dam mimpi, Setiadi masih berusaha menemani Randy yang duduk bengong melihat mentari yang mulai merona, menyinari hatinya yang kosong, sementara lagu “Nothing gonna change my love for you” terdengar sayup- sayup. Perlahan- lahan Setiadi pun bangun.
“Ran... jangan sedih yah... ada gua disini...”
Randy menatap kearah Setiadi, memberikan tatapan mata yang mengisyaratkan ‘Setiadi, bantulah aku melewati lembah kelam ini... sendirian aku tak sanggup...’tersenyum pahit
“Thanks Di, untung gua punya lu disini”
Hati Setiadi merona mendengar kata- kata ini.
“I’ll show you the way back to your live, Ran. Gua pasti bantu lu, you are not alone, you have me by your side”
Air mata Randy pun menetes perlahan, menyusuri pipi, turun ke bawah. Randy meraih tangan Setiadi,
“How can I pay back? You are too kind to me...”
Dalam hatinya Setiadi menimpali: ‘bayarlah dengan cintamu, Randy.... milikilah aku Randy...’
“Gua seneng bisa bantu lu” yang keluar dari mulut Setiadi.
Kini Setiadi melihat Randy dari sisi yang lain. Semula ia melihatnya sebagai sosok yang sempurna, kuat, gagah. Sekarang dengan telah menemani Randy melewati semua ini, Setiadi melihat sifat asli Randy yang secara alami penyayang, butuh disayanyi. Setiadi melihat sifat halus dan perasa Randy ini sebagai pelengkap sempurna. Ini membuat Setiadi semakin tertarik kearah pusaran daya tarik pesona Randy.
Ganbatte!! (sambil minum mirai ocha)
ups. lagi puasa. batal deh..
#plaakk
dikit preview:
konfliknya bukan dari Rini, tapi dari sesuatu di dalam Setiadi sendiri nantinya.
kalo lama-lama ane cipok baru tau.. #Eh
Chapter 4
Dari hari ke minggu, dari minggu ke bulan. Betapa dalam kesedihan dan pahit getir kehilangan Rini akhirnya terobati juga perlahan- lahan oleh sokongan Setiadi. Setiadi dengan sabar menuntun Randy kembali ke kehidupannya. Sifat- sifat Randy yang dulupun kembali terlihat di pancaran wajahnya. Randy telah berhasil melewati lembah kelam itu, bersinarkan sinar kehidupan yang perlahan- lahan memenuhi seluruh tubuhnya, membentuk Randy yang Setiadi kenal sebelumnya. Gaya “cool” nya makin membuat silau Setiadi yang mulai sering menemaninya tiap beberapa hari.
Satu pagi menjelang siang, ketika Setiadi menginstall cd-rom writer di beberapa computer sebagai bagian dari daily maintenance, ponselnya berbunyi. Setiadi merogoh kantongnya, mengambil ponselnya, melihat ada pesan masuk, dari Randy. Ia membaca:
Thnx 4 everything, u mean lot more than ever 2 me. Could’t have done these without u. miss u. nanti mkn siang brng?
Membaca pesan itu Setiadi merasa tubuhnya dari kepala hingga kaki bagai di peluk Randy, di bawa ke puncak keindahan harapan yang muncul. Tubuhnya terasa menghangat, jantungnya mengembang besar sekali, dadanya terisi penuh dengan kata- kata yang ia baca... dari Randy... yang ia harapkan selama ini. Namun ia masih belum berani berspekulasi, ia tahu Randy belum tahu identitas aslinya... antara harap dan cemas ia menyimpan kata- kata itu di dalam hatinya, menempatkannya pada laci hatinya yang paling atas.
Siangnya, mereka pun makan bareng, di satu warung, kali itu Setiadi yang pilih tempat makan. Walau Randy kepanasan, tapi ia tak mengeluh, tetap dengan senyumannya yang khas menghadiahi Setiadi setiap saat. Kegiatan olah raga nya pun berlanjut, bahkan Setiadi dipaksa untuk ikut Randy meluangkan waktu di fitness centre, tiga kali seminggu membuat badannya serasa tewas untuk beberapa minggu pertama. Dari semua yang mereka jalani bersama, mulai terbentuk satu ikatan yang memebihi sebatas teman permainan. Dari Setiadi yang awal mulanya memuja fisik Randy, melihat Randy begitu rapuhnya menghadapi cinta, sekarang mulailah tumbuh tunas dari apa yang Setiadi taburkan di hati nya maupun hati Randy.
Setiadi kini mulai menaruh harapan kepada Randy. Ia sudah mulai terseret arus persahabatnnya dengan Randy. Entah Setiadi sadari atau tidak, ia sudah jatuh hati dan mulai berharap kepada Randy. Ia sudah tidak perduli Randy seorang straight dan apa reaksi nya melihat Setiadi dengan hasratnya yang bekobar- kobar berdiri di hadapannya. Semakin ia berharap, semakin ciut ia dihadapan Randy.
Dari aliran sungai kecil, arus cinta itu sudah berubah menjadi arus samudra yang menenggelamkan Setiadi di lautan cinta tak berujung ini. Di dalam hatinya, ia merasa rindu yang sangat menyesakkan dada ketika sedang tak bersamanya dan apapun yang ia lakukan serasa serba salah. Ia sudah kesulitan berkonsentrasi di tempat kerjanya, sambil melamun membayangkan Randy memerima cintanya dan mencintai Setiadi, sementara ketika sedang berdua dengan Randy, semua hasrat dan kata- katanya tersumbat oleh ketidak tahuan harus bersikap bagaimana berhadan dengan nya. Semua spontanitas Setiadi mulai berubah menjadi ungkapan kasih yang terpendam. Sudah tak tahan lagi ia ingin sekali mengatakannya, namun ia tak sanggup, baik hatinya maupun mulutnya terkatu rapat- rapat. Ia masih sadar Randy tak mungkin menerima semuanya, bahkan Randy bisa saja menolak mentah- mentah dan mulai menjauhi nya.
Berminggu- minggu Setiadi bingung memikirkan apa yang ia rasakan terhadap Randy. Ia benar- benar menyesal telah membiarkan hatinya terbawa di dalam aliran cintanya hingga tak sadar sudah terlanjur hanyut jauh sekali. Ia berusaha untuk membuat hatinya lebih tenang dengan membiarkan sedikit jarak terhadap Randy. Namun bukannya menolongnya, ia bahkan semakin tersiksa oleh rasa rindu yang amat hebat, kian hari kian kencang menghimpit dadanya hingga ia seolah sudah tak mampu bernafas lagi, seolah ingin berteriak: ‘RANDY... AKU CINTA KAMU!!! AKU BUTUH DIRIMU SATU MENIT SAJA RANDYYYY....!’
Fikirannya sudah tidak jernih, didera rasa rindunya, ia seolah melihat bayang wajah Randy di setiap sudut, entah di monitor, layar hp membayangkan Randy mengirim sms kepadanya, dinding kamar kosnya, langit- langit, sampai semua orang yang ia lihat di jalan serasa mirip dengan Randy, seolah melihat beribu- ribu Randy bertebaran menambah perih dan sesak dadanya, membuat kepalanya hampir pecah. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia loncat kaget ataukah kegirangan, dengan tangan bergetar melihat sms atau identitas penelpon. Membaca sms dari Randy, hatinya berbunga2, seolah ingin menangis bahagia, membaca sms dari orang lain, ia merasakan tubuhnya layu seperti tanaman yang lama tidak di siram air... oleh Randy...
Puncaknya, Kamis malam Setiadi berusaha tidur, namun jantungnya berdetak kencang, seolah ingin lompat dari dadanya, menyusul Randy. Semakin ia berusaha untuk tidur, semakin bayangan Randy muncul dengan tajamnya, tersenyum kearahnya. Semakin ia berusaha menenangkan fikirannya, semakin bayangan itu makin jelas, Randy sedang ganti baju di tempat renang, di tempat kosnya, sedang meliriknya sambil tersenyum, memeluk dirinya sewaktu sedih. Tak sadar, mata Setiadi pun berembun, dengan tangan gemetar menahan rindu, ia meraih ponselnya, ingin menghubunginya. Dalam batinnya ia membayangkan ia sedang menelpon Randy seraya berkata: ‘Randy, gua butuh lu sekarang, please dateng... gua bener-bener butuh lu... gua rindu...’ melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 00:47 dengan nafas sangat berat ia taruh kembali ponselnya, lambat sekali berharap Randy sedang menghubunginya.
Entah jam berapa Setiadi pun akhirnya tertidur. Setiadi pun bermimpi:
Setiadi berada di dalam mobil bersama Randy melewati satu jalan lurus di daerah pedesaan. Entah mengapa ia merasa sangat bahagia duduk bersamanya di satu mobil, walau sehari- hari ia sering melakukannya. Kali ini ia merasakan istimewa sekali, hatinya berbunga- bunga, siap memberi cintanya kepada Randy.
Didepan mereka gunung menjulang tinggi mengisi setengah cakrawala, di sisi kanan dan kiri mereka terhampar padang rumput hijau atau pesawahan, tinggi hampir sedada manusia dewasa, berwarna hijau segar. Setiadi memperhatikan awan di langit sudah sangat hitam seolah akan turun hujan atau pun badai, sementara rerumputan di kiri kananya sangat terang seperti sedang terpaparkan oleh matahari sore. Lalu Setiadi membuka pembicaraan,
“Ran, kita mau kemana?”
Randy tak menjawab. Pandangan matanya lurus ke depan, sambil mengendarai mobilnya, seolah tidak merasakan kehadiran Setiadi atau mendengar kata- kata Setiadi. Anehnya, Setiadi tidak memperhatikan reaksi Randy yang aneh itu, sibuk dengan rasa cinta yang meluap- luap.
“Ran, I have something to tell you”
Lalu Randy mengarahkan wajahnya ke hadapan Setiadi dan tersenyum kearahnya.
“Gua cinta lu, gua ingin jadi boyfriend lu”
Senyum Randy sontak hilang. Setiadi terus menatap Randy yang ekspresi wajahnya berubah. Senyum nya hilang berganti dengan ekspresi kosong bagai zombie dan berubah menjadi pucat, dan menjawab,
“Sorry, gua gak cinta lu. Cowok kah gak cinta cowok, kan... itu SALAH...”
Tiba- tiba mobil berhenti. Setiadi merasa kaget mendengar jawaban Randy setelah merasakan berbagai macam rasa di awal perjalannya. Setiadi pun turun dari mobil tanpa menutup pintu mobil Randy, berlari kearah padang rumput sebelah kiri. Ia terus berlari menembus rerumputanitu, mulai merasakan rumput di sekelilingnya mulai menghimpit dadanya. Ia merasa sesak, merasakan kesedihan yang menusuk ulu hati dan jantungnya. Ia pun menangis, dan berteriak,
“NOOOOOOOOOOOOOOOO...”