It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
=====
Prelude...
Cinta yang abadi
Adalah cinta yang sejati
Ia memberi senantiasa
Tak pernah meminta
Sang waktu tak mampu memisah
Sang takdir tak kuasa mengubah
Ia sabar menunggu hingga saat sang waktu
Menuntun mereka bersatu
Setiadi terbangun dari tidurnya. Gelap ia lihat melewati jendela. Sekelilingnya ia melihat banyak yang tertidur pulas, atau sibuk membaca Koran, mendengarkan music dari discman. Ia melihat jamnya yang menunjukkan waktu pukul 00:58. Beberapa kali ia melihat sekelebat cahaya yang berasal dari rumah- rumah, stasiun kereta local yang tidak di singgahi oleh kereta Sembrani yang berangkat dari Stasiun Pasar Turi pukul 18:25.
Ia menguap, berdiri merentangkan tubuhnya, berjalan melewati kursi penumpang ke arah ujung gerbong menuju toilet. Sesampainya di sana, ia membuka pintu dan masih terkunci. Masih ada penumpang yang berada di toilet. Ia menunggu sesaat sambil berpegangan untuk menjaga keseimbangan dan pintu pun terbuka. Seorang bapak umur pertengahan 50- an keluar dari dalam dan memberikan senyum yang ramah dibalas oleh Setiadi yang pula tersenyum ramah. Ia masuk ke dalam toilet, mengunci pintu, sambil tetap berpegangan ia membuka celananya. Sesudah membenahi dirinya dan mencuci tangan. Ia pun membuka pintu toilet dan berjalan kembali ke kursinya dan sesaat ia bingung akan mengerjakan apa. Masih ada kurang lebih 5 jam lebih sampai Jakarta.
Ia membawa beberapa majalah, dua buku novel berbahasa Inggris, the Lord of the Ring, dimana waktu itu versi layar lebarnya baru saja selesai di putar dan sedang menunggu bagian dua, The Two Tower. Karena penasaran ia pun nekad membeli dua novel, The Two Tower dan The Return of The King, walau ia pun sadar pada dua halaman pertama bahwa ia telah membeli novel yang salah untuk kemampuan bahasa Inggrisnya yang tidak terlalu tinggi. Ia pun membawa discman lengkap dengan 12 butir baterai untuk jaga- jaga kalau baterainya habis. Ia memutuskan merogoh tasnya yang ia taruh di atas, mengambil buku The Two Tower dan menutup kembali tasnya dan kembali duduk. Ia membuka halaman terakhir, halaman 27, tempat ia menaruh tanda bacanya di malam sebelumnya sebelum ia tertidur mengantuk. Ia berusaha larut dalam kisah itu, menterjemahkan kata- kata dalam buku itu, paragraph demi paragraf menjadi adegan film di otaknya. Namun berhubung terbatasnya kemampuan bahasa Inggrisnya membuat Setiadi cepat capai dan tertahan di halaman 42 dengan mata hampir rapat dan merasakan otaknya penuh. Sewaktu ia melihat film seri pertamanya, ia harus mengantri hampir 2 jam, dan tidak menyangka durasi 3 jam lebih yang ia nikmati. Dari situlah ia mencari info tentang J.R.R Tolkien yang mengarang buku ini kurang lebih 50 tahun sebelumnya. Ia pun segera membeli 2 buku lanjutannya karena tidak sabar menunggu tahun depannya hingga filmnya siap. Ia melipat kaca matanya yang sejak satu setengah tahun ia pakai karena terlalu banyak membaca dan melihat monitor computer. Ia sengaja membeli bingkai plastic tebal berwarna hitam untuk membuat wajahnya tak mudah di kenali di Jakarta, sewaktu ia harus ke Jakarta entah sekedar berkunjung atau keperluan administrasi lainnya.
Hati nya tak menentu dengan perjalanannya ke Jaklarta berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Ia tidak mengira setahun setelah mendapatkan gelar S2 dan menanda tangani ikatan kontrak kerja selama 3 tahun, ia akan di tarik ke Jakarta untuk mengisi jabatan direktur. Ia sudah terbiasa dengan kehidupannya yang tenang di Surabaya, membangun eksistensinya bersama teman- teman yang sudah akrab dengannya baik dari kalangan kampusnya, juga sesama jenis. Ia telah terbiasa dengan kehidupannya di Surabaya walau harus berkutat dengan cuaca yang lebih panas, sinar matahari yang lebih menyengat membuat sebagian kulitnya agak coklat. Dengan teman- teman barunya, Setiadi sudah merasa Surabaya seperti rumahnya sendiri, tidak merasa terasing. Setelah semua nya yang ia bangun, ia sekarang harus menghadapi kepindahannya kembali ke Jakarta. Setiadi duduk merenung. Semua kenangan 3 tahun lalu kembali menyelimuti sukmanya. Setelah ia tenang melepas seseorang yang sangat ia cintai, ia kembali harus merasakan takut dan rindu kepada seseorang yang paling membuat jiwanya bergetar. Ia gentar membiarkan dirinya diselimuti bayangan masa lalu yang indah dan pahit itu. Ia pun tertidur dalam kegalauannya menghadapi kisah lamanya yang ia tinggalkan, kisah yang ia pikir sudah berakhir tuntas, namun harus ia selami sekali lagi. Dalam mimpinya, ia merasakan ketakutan itu perlahan memeluk hatinya yang rapuh.
Jam telah menunjukkan pukul 04:56. Langit masih gelap, ia belum bisa mengenali pemandangan sekitarnya. Makin ia dekat ke Jakarta, makin ia dekat dengan kegundahannya. Ia pun sudah tidak dapat tidur lagi. Ia mengambil botol air minum dan roti yang sudah ia siapkan sebelum berangkat. Ia menikmati sarapan. Perlahan- lahan ia melihat langit mulai merekah. Jam telah menunjukkan pukul 05:10. Ia mengambil ponselnya, mengetik sms kepada Jimmy
Gw sdh dkt jkt. Kl gak telat jam 5:40an sdh di gambir. Thnks sdh mo jemput gw yah
Tak lama ia mendapat balasan
Gw ama tje ud jln kok, ud gak sbr liat lu. Lu mkn gntng gk? Hehehe...
Setiadi tersenyum sendiri.
Gk tahu tuh, nanti kalian bs liat
Perlahan- lahan ia mulai mengenali daerah Bekasi. Ia sudah mulai gugup. Beruntung buatnya, semua barang- barangnya sudah ia kirim lewat paket, hanya menyisakan beberapa setel pakaian dan perlengkapan yang ia bawa di ransel besarnya. Memasuki stasium Manggarai Setiadi sudah gugup, tak sabar bertemu dengan Jimmy dan Rontje, keluarganya yang sangat ia cintai. Tak lama dari situ, kereta pun akhirnya sampai di stasiun Gambir. Jantungnya berdebar- debar, serasa ingin meloncat keluar dari kereta. Ia masih berusaha mengendalikan dirinya untuk bersabar.
Ia berjalan mengikuti antrean para penumpang yang kendak keluar dari kereta. Para buruh berhamburan masuk mendapatkan penumpang yang berbaik hati membiarkan mereka menawarkan jasanya mengangkut barang- barang bawaannya. Salah satu dari mereka mendekati Setiadi yang memberi isyarat tidak perlu jasanya, karena hanya membawa satu ransel. Ia pun melangkah keluar dari kereta, kaki kanannya memijak peron stasiun. Ia berjalan turun ke bawah, diantara para penumpang kereta yang sama. Ia berjalan sebentar di lantai 2, dimana ia melihat beberapa tempat makanan yang sebenarnya bisa Setiadi beli untuk mengisi perutnya yang Cuma diisi oleh 2 potong roti sebelumnya, namun ia tidak bernafsu, karena gugup dan tak sabar untuk bertemu kebali dengan Jimmy dan Rontje, keluarganya. Ia menuruni tangga 1 lantai lagi menuju lantai dasar, berjalan melewati pagar besi. Dengan sumringah dan gugup ia mencari Jimmy dan Rontje yang menjemputnya. Karena bukan musim libur, suasana di stasiun itu tidak terlalu penuh. Sedikit berjalan keluar, ia pun akhirnya melihat Jimmy dan Rontje yang berdiri dengan mulut ternganga menatapnya, seolah melihat hantu di siang hari bolong.
@Dekisugi, @arieat, @rivengold, @Gabriel_Valiant, @YANS FILAN, @the_angel_of_hell, @Lu_Chu, @hikaru, @aii, @badboykem, @Ricky89, @mr_Kim, @ananda1, @dheeotherside, tak lupa juga @danielsastrawidjaya, @shuda2001
“Di, ini lu kan...” Jimmy masih melongo menatap dengan mata terbelalak kearah Setiadi
“Mmmmaaaassss... kok tampan amir sekarang... “ rayu Rontje sambil tak henti- hentinya mengelus tangan kiri Setiadi.
“Udah ah, gitu aja koq ampe gimana pula” Setiadi malu ditatap begitu rupa dengan muka memerah menahan malu.
“Maaassss, jadi pacar ik dong... ik mauuuu” gurau Rontje sambil menatap tajam- tajam seolah ingin melumat Setiadi.
“Gila lu Di, lu jadi cakep abis. Gak sangka lu sekarang jadi fashionable. Cucok abis lu”
“Udah ah kalian bikin gua jadi tengsin aja ah. Yuk cabut”
Sepanjang mereka jalan, Rontje tak habis- habisnya menatap kearah Setiadi. Setiadi pun menggodai Rontje.
“Jim, lu sekarang ke fitness yah” Setiadi membuka pembicaraan
“gak, gua cuma mulai maen basket lagi nih.”
“Pantes pundak lu lebih isi, jadi lebih sexy”
“Sexian lu lah... gua aja jadi naksir lu... pacaran yuk”
Gelak tawa pun terdengar kencang ketika mereka sudah masuk di mobil.
“Langsung pulang aja yuk, belon ada yang buka. Nanti aja sore jalan- jalannya, si Rontje musti nyalon nanti siang”
“Eh mas, tjetje sekarang salonnya sudah pindah ke pluit. Rame nya amiiiiiirrr. Salon bos kan udah rame, jadi invest di pluit, tjetje ikut nyonya. Sekarang tjetje udah mulai kredit rumah kecil di Cengkareng, deket rumah Jimmy.” Cerita Rontje
“Wah, keluargaku semuanya terberkati nih, banyak kemajuan”
“Iyah, lu jadi direktur lagi, sexy pula”
“Udah ah dari tadi itu melulu ...” jawab Setiadi salah tingkah.
Sabtu pagi, jalan di Jakarta masih lengang, melewati Harmonie, mobil Jimmy melesat ke arah Grogol, memutar ke arah Latumenten mengantar Rontje ke Pluit untuk membuka salon. Dari situ mereka pun berpisah.
“Mas Jim, Mas Yadi, nanti ik smsin yah kalo jadi jalan- jalan. Rindu nih ik jalan bareng bertiga kayak dulu lagi” sahut Rontje
“Iyah, kalo Yadi gak terlalu cape sih pasti kita cabut. Paling Yadi istirahat siang dulu lah” jawab Jimmy
“Gua istirahat dulu paling, sebelum rame- rame” jawab Setiadi
Mobil Jimmy pun langsung melesat ke arah Daan Mogot. Kurang lebih 30 menit pun mereka sudah sampai di perumahan Citra Garden.
Jimmy dengan senang hati menawarkan satu kamar tidurnya yang masih kosong di rumah nya yang baru ia cicil selama 1 tahun kepada Seitadi dan Setiadi sepakat membayar biaya “kos” kepada Jimmy, membantu tagihan listrik, uang sampah, keamanan lingkungan dan lain- lain sekedar meringankan beban Jimmy. Rumah mungil berkamar tidur 2 mempunyai halaman belakang yang mungil tapi cukup untuk mendapatkan udara yang cukup sejuk di malam hari. Jimmy senang sekali ada Setiadi yang sekarang menemaninya, sehigga tidak terlalu sepi sendiri. Jimmy memang tak pernah tertarik dengan komitmen karena selain ia masih belum siap mengorbankan kebebasannya, juga pengalaman buruk Setiadi seolah memberikan citra buruk pada cinta sesama jenis ini. Bagi Jimmy, teman lebih berharga karena mereka akan selalu ada di saat apapun juga, dan selalu akan berjalan awet.
“Di, kamar lu yang di dalem itu, barang yang lu kirim udah gua taro, tapi masih di dus. Gua Cuma siapin ranjang. Itu dus- dus juga barang lu. Nanti aja besok MInggu kita beresin sama- sama”
“Jim, makasih yah udah mau tampung gua. Seneng ada temen, jadi gak sepi. Ama lu lagi, jadi enak”
Jimmy tersenyum.
“Lu mau makan apa? Belum ada warung buka, jadi nya gua siapin supermi aja”
“Gua masak mi goreng aja ama sayur dan telor”
“Gua aja lah yang siapin”
“Gak lah, gua sekarang seneng masak loh”
“Oh ya?”
“Telor gak pake gosong itu loh...”
Jimmy tertawa renyah. Jimmy tak henti- hentinya menatap ke arah Setiadi. Ia tak percaya akan perubahan radikal penampilan Setiadi. Pakaian santai yang Setiadi kenakan pun terlihat formal. Sementara Setiadi jadi salah tingkah di tatap Jimmy begitu rupa.
“Di, sumpeh lu, beneran cakep... gua bener- bener naksir lu... lu kayak mudaan deh”
Setiadi malu, tersenyum kepada Jimmy
“Di Surabaya ada temen gay juga namanya Johan ama si A Teng yang agak ngondek, mereka pinter fashionnya, lalu make over gua. Pertama gua ke salonnya si A Teng itu gua langsung di potong habis kayak gini, maluuu banget asalnya. Mau ke kampus jadi takut. Si Johan yang suruh gua olah raga dan diet vegetarian. Gua kan males fitness, jadi gua pilih berenang ama push up aja di rumah sambil sit up kalo lagi liat tivi. Mereka berdua yang berjasa buat image baru gua. Lumayan tambahin pede gua dikit” cerita Setiadi sambil menyiapkan makanan.
“Di, gua jamin deh, nanti malem kalo lu jalan, banyak yang ngelirik lu loh”
“Ah lu bisa aja. Oh iyah, gua ganti baju dulu, masa pake ginian masak” kata Setiadi sambil masuk ke kamarnya membawa tas ranselnya. Tak lama kemudian, Setiadi bejalan keluar dengan menggunakan kaos santai agak longgar, dan boxer short. Selain bagian lengan luar dan wajahnya yang sedikit ke coklatan namun tidak berjerawat, tapi bagian betis dan leher masih terlihat putih bersih. Ia berjalan santai ke arah dapur membantu Jimmy.
Sambil duduk melihat tv, Jimmy dan Setiadi menikmati mie goreng dengan telor dan sedikit sayur yang Jimmy siapkan di lemari es. Jimmy masih menatap Setiadi yang sudah berubah menjadi tampan rupawan.
“Di, lu sekarang bener- bener tampan loh. Gua yakin di sini lu bakal di kejar- kejar cowok loh”
“Udah ah Jim, malu gua di ledekin lu melulu nih” jawab Setiadi malu.
“Nanti malem kita ke Olimo yuk, lama gak kesana”
“Oke”
Setelah menikmati sarapan seadanya, Setiadi pun pamit untuk tidur. Ia membuka kamar tidur, melihat beberapa tumpukan dus dari barang yang ia kirimkan dari Surabaya, satu meja ukuran kecil, cukup untuk menaruh barang- barang penting, satu ranjang ukuran 1 orang sudah di lapisi seprei cukup rapih. Satu jendela yang menghadap ke taman belakang. Satu lemari ukuran sedang masih kosong teletak di sudut kamar. Dari jam 8 pagi hingga jam 14 lewat Setiadi tidur.
Sorenya, jimmy sudah menyiapkan makan siang, dan sudah dari tadi makan siang, sambil menonton tv, menunggu Setiadi yang baru saja keluar kamar.
“Udah kenyang bobonya?” Jimmy sambil tersenyum.
Setiadi tak menjawab, hanya mengangguk.
“Nih, makan siangnya, gua udah beliin sekalian tadi”
“Thanks yah Jim. Nanti lu kasih tahu warung makan disini”
Sore itu mereka masih bersantai ria sambil menunggu Rontje.
“DI, lu gak kecapean nih?”
“Gak, udah gak sabar nih, mau beredar lagi”
Jimmy tersenyum nakal
“Jadi berani nih yeee Setiadi ini” goda Jimmy
Setiadi hanya tersenyum dikulum. Kurang lebih jam 8 malam, setelah mereka cari makan sambil belanja ke toko swalayan dekat rumah. Tak lama kemudian Rontje pun sampai di rumah mereka naik ojek. Jimmy membuka pintu mempersilakan Rontje masuk.
“Mas, istirahat dulu yah... rame bambaaaaangg hari ini, ini jari sudah keriting nih” Rontje membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas.
Tak lama kemudian ponsel Jimmy pun berbunyi. Jimmy melihat ada sms masuk.
“Di, The, ini Hendra mau gabung, nanti kita jemput dia”
“Oh si Hendra cucok itu?” timpal Rontje
Jimmy menangguk
“Mas Yadi, dia itu sumpah cucok bambaaaang, body nya itu aaaaauuuuuwwww...” cerita Rontje sambil melambai, Setiadi dan Jimmy tertawa.
“Dia indosiar, tapi memang ganteng, tinggi kayak model, gua ampe ngiler ama body nya, dia tipe serius loh”
Setiadi tidak menjawab, hanya mencerna saja. Tapi deskripsi tentang Hendra cukup membuat Setiadi penasaran.
“Oh yah Di, tadi waktu ke warung, kira- kira 10 rumah ke kiri itu ada pasangan muda, itu suaminya bener cucok deh. Gua sering iseng ke warung ato ke indomart beli apalah”
“Hahahahahah... lu nakal yah sekarang, dari dulu lu Cuma meong aja, gak mau pacaran apa?”
“Gak ah, masih belon yakin, belon ketemu yang pas” Jawab Jimmy sekenanya.
Mereka pun menunggu sampai jam 10, lalu mereka pun bersiap. Jimmy memakai kemeja hitam dengan jeans putih dengan rambut disisir belah pinggir kanan dengan sebagian rambut jatuh di sisi kiri mirip dengan tokoh anime lengkap dengan olesan gel mengkilat, sementara Setiadi memakai kaos putih polos ketat, membentuk indah kontur tubuhnya yang langsing padat berisi, di padukan dengan jeans biru belel agak sobek- sobek di sepanjang kakinya dengan tatanan rambut yang sama seperti pagi tadi. Jimmy dan Rontje kembali berdecak kagum. Rontje sendiri memakai kemeja bercorak warna putih dengan jeans berwarna biru gelap dengan rambut ikal di beri sedikit highlight.
“Di, baru kali ini gua liat lu berani pake baju ginian, lu bener- bener sexy abis” puji Jimmy
“Jim, lu kayak conan the detective Cuma versi dewasa... cucok luh...”
“Iyah lah masa gua harus kalah set ama lu...hahahahah”
“Tje, gaya lu sekarang udah lebih anggun” puji Setiadi
“Duuuuhhh Anggun C Sasmi kaleeeeeee” Rontje tersipu malu.
Mereka pun berangkat dengan menggunakan mobilnya Jimmy. Mereka meluncur ke arah Gajah Mada dimana mereka menunggu Hendra bergabung di restaurant kecil di daerah Duta Merlin. Restaurant tersebut sering dijadikan tempat tunggu kaum gay pada malam minggu sebelum sebagian besar mereka akan bertemu kembali di disoktik daerah Olimo, salah satu sedikit diskotik di Jakarta yang menyediakan tempat berkumpul kaum Gay pada malam minggu. Walau jauh dari kesan elit, tapi banyak kaum elit yang bertandang ke sana karena di sanalah mereka bebas mengekspresikan gaya hidup mereka ditengah gencetan dan hujatan social.
Benar saja, suasana di restaurant itu penuh, sementara jam telah menunjukkan pukul 23 malam karena mereka terjebak kemacetan di dekat lampu merah dan daerah Grogol. Jimmy dan Rontje disusul oleh Setiadi yang berjalan di belakang mereka memasuki restaurant tersebut. Rontje pun sudah sibuk menyapa beberapa teman sekedar basa basi. Memang tak heran, dengan penampilan Setiadi yang baru dia langsung sudah mengundang perhatian, beberapa lelaki melirik kearahnya.
“Di, bener kan kata gue, ada yang lirik lu tuh, cucok yang di pojok”
“Gak ngelihat ah, malu juga...”
“Malu apaan, lagian itu si Tjetje udah heboh sendiri”
“Itu kan temen nya”
Jimmy mengambil ponselnya, membaca satu sms yang masuk dari Hendra.
“Hendra 10 menit lagi gabung”
Tak lama mereka menunggu setelah dapat tempat duduk, ada satu lelaki berjalan masuk, dengan langkah santai namun mantap. Tinggi dengan kulit kecoklatan halus, berwajah oval dan rambut ikal hitam legam, cukup berotot menggunakan kaos ketat dan jeans yang juga ketat mengekspose bentuk tubuhnya yang jenjang dan berotot, berjalan kearah mereka sambil melontarkan senyum.
“Halo Jim, Tje, belum nunggu lama kan”
“Buat jij sih gak lama say...” jawab Rontje menggoda
“Paling 15 menitan lah. Oh iyah ini temen kita pindaha dari Surabaya, Setiadi”
Setiadi pun berdiri menyalami Hendra yang menatap ke matanya. Setiadi merasa malu ditatap Hendra, ia pun harus mengakui ketampanan hendra yang ditunjang dengan tubuh tinggi 1.79m.
Mereka pun mengobrol tak lama, karena jam sudah menunjukkan pukul 23:30. Jimmy dan Ronjte sepakat untuk duduk di depan, membiarkan Setiadi duduk bersama Hendra di belakang, Rontje sudah memasang senyum menahan tawa, setelah Jimmy mengutarakan idenya. Ketika mereka sampai di mobil Jimmy, Jimmy berkata,
“Di duduk di belakang ama Hendra aja”
Setiadi heran, namun merasa tak enak bedebat. Ia pun mengalah. Mobil pun meluncur perlahan- lahan melewati kemacetan menuju diskotik. Setelah mendapatkan parkir di gedung pertokoan agar lebih aman, mereka pun berjalan ke diskotik dan membayar tiket masuk. Di lantai 3 mereka pun di sambut oleh puluhan lelaki yang sedang menikmati panjangnya malam mereka. Setiadi merasa agak risi atas tatapan mata yang memelototi mereka.
Di dalam ruang diskotik mereka sudah tak dapat berbicara banyak karena di hantam music yang kencang dan suasana sudah sangat ramai dan mereka pun berdesakkan. Mereka pun mencari tempat, namun tak lama Jimmy pun mengajak yang lain turun ke lantai disko.
“Kamu tinggal di mana?” sahut Hendra setengah berteriak dekat telinga Setiadi
“Nebeng ama Jimmy, di rumahnya. Kamu tinggal daerah mana?”
“Aku kos di Karet. Kamu kerja bareng Jimmy?”
“Gak, kantor ku di gedung BNI 46 itu”
“Oh sana, gedung ku deket jalan layang itu sebelum bank Danamon Semanggi”
Tak banyak yang mereka bicarakan. Setelah hampir 2 jam mereka di dalam, mereka pun memutuskan untuk pulang dan mampir makan bubur di gang dekat diskotik itu. Di sana Hendra pun mengakrabkan diri dengan Setiadi. Jimmy dan Ronjte sudah bisa menebak, bahwa Hendra pada pandangan pertama sudah kepincut oleh ketampanan Setiadi, tak heran memang.
Jimmy pun mengantar Hendra ke daerah Karet, lalu memenbus Semanggi berbelok ke arah Slipi untuk ke Grogol, mengantar Rontje ke Pluit dan akhirnya pulang berdua.
“Hendra itu temen akrab?”
“Lumayan akrab, gua kenal ama temen straight nya, itu temen kantor gua. Waktu lunch dia gabung, karena gay akhrnya dia lebih deket ama gua. Rontje asalnya naksir banget, Cuma Hendra gak suka ama tipe Tjetje, gak kasih tanggapan, Cuma Tje gak sakit hati, jadi temenan. Eh dia tadi ngeliat lu terus deh”
“Ah masa”
“Kata gua juga apa... lu sekarang tampan luar biasa. Gua seneng ama lu seperti udah punya semangat hidup. Lu sekarang jauh lebih bersinar. Ini adalah Setiadi yang baru. Keep it that way yah”
Setiadi pun tersenyum kepada Jimmy, sambil memegang tangannya.
“Gua harap bisa mulai lembaran baru sekarang, mumpung gua udah buat image baru”
Jimmy pun mengangguk. Ia senang sekali melihat Setiadi penuh vitalitas hidup, tidak seperti 3 tahun sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah. Jimmy dan Setiadi pun berbenah diri siap- siap tidur. Setelah menuggu Jimmy mandi, Setiadi pun membasuh dirinya, kembali ke kamar. Setiadi merasakan hatinya tidak menentu menghadapi kepindahannya ke Jakarta. Menghadapi masa lalunya yang ia kubur dalam- dalam. Ia sadar, dengan Setiadi baru ia masih harus menghadapi Setiadi yang lama. Setiadi pun melipat tangannya dan berdoa:
Ya Tuhan ku yang baik,
Kalau boleh ku utarakan permohonanku
Tolong jauhkanlah dia dari sisiku
Biarkanlah aku meniti hidup baruku sekarang
Namun bukan kehendakku lah yang harus terjadi
Melainkan kehendakMu saja
Apapun keputusanMu aku serahkan saja
Akan aku jalani dengan tabah
Mohon bimbingan dan tuntunanMu
Menghadapi apapun yang terjadi...
Amin
Setiadi pun mengusap matanya yang sedikit basah membayangkan apa yang dulu ia tinggakan.
perubahan setiadi kok jadi mirip gw om bro #plak kecuali bagian perut. hahahaha #peace om bro.
om bro lupa kasi spasi nih buat bedain antar paragraf..
setiadi lu musti move on or just move away. no more tears fo d past
perubahan setiadi kok jadi mirip gw om bro #plak kecuali bagian perut. hahahaha #peace om bro.
om bro lupa kasi spasi nih buat bedain antar paragraf..
setiadi lu musti move on or just move away. no more tears fo d past
akhirnya update juga , ga sabar ga sabar .
yes. gw mirip setiadi, mata setiadi minus brapa om bro gw minus 1 #ggpenting