Kulitku memerah. Setiap kali tetesan air berupa semburan itu mendarat di kulitku. Aku dan kulit telanjangku menikmati. Air hangat di bulan Desember adalah surga. Karena salju sudah tiba.
Dingin di Weissde adalah dinginnya udara. Angin yang menyusup hati-hati dan daun-daun berserakan, pecah oleh injakan. Aku adalah Aro, pria berambut semak-semak dan bermata sewarna tanah basah. Aku adalah pria musim gugur dan kecintaanku pada kayu dan daun yang mati. Tidak ada yang mengerti. Tidak ada.
Matahari sore ini indah, daun gugur didepak angin sore ini cantik, tempat duduk dekat taman di seberang toko cukur rambut sore ini nyaman. Langit cukup bersih dan diwarnai jus jeruk. Lalu, apa yang kurang hari ini? Mataku bergerak ke atas, rambutku terlihat mulai menutupi seperti kanopi berbahan ijuk. Potong rambut.
Aku tidak suka kejutan. Aku suka memberi kejutan. Tapi kali ini hidup mengajak bercanda. Langkahku tenang menyeberangi jalan. Sore di Weissde akhir musim gugur adalah salah satu jalanan paling sepi kendaraan, yang banyak pejalan kaki. Kudorong pintu toko cukur rambut, wangi shampo dan rambut terbakar kental tercium. Aku yakin pegawai yang sedang menyapu rambut sisa itu mengutukku. Angin masuk seperti anak kecil yang menerobos, dingin menyentuh kulit dan bermain di atas rambut sisa.
"Selamat datang."
"Sore, aku ingin potong rambut." Lalu, pria itu mempersilahkan aku duduk di salah satu tempat di antara jejeran tempat duduknya yang tinggi. Ia menyetel sebentar, menurunkan bantalan agar aku tidak seperti anak sekolah dasar yang tidak cukup tinggi.
"Sebentar, yang cukur sedang tidak di sini." Pria itu lalu menggelar kain yang akan membungkusku, tali di leherku diikat cukup ketat, kuduga motifnya balas dendam terhadap angin yang tak diundang tadi. Ia lalu beranjak. Aku bergeming, menatap cermin di depanku. Merasa tampan.
"Halo, sore ini rambut anda akan disulap oleh Agni." Ia datang, meletakkan wajahnya di atas pundak kananku, tatapannya menuju diriku di dalam cermin. Kemudian secepat itu pula ia menarik wajahnya. "Aku Agni." Ia menambahkan, jaga-jaga bila aku tidak mengerti. Aku tersenyum.
"Aku Aro."
Aku tidak suka kejutan. Kali ini hatiku memberiku kejutan, ia berhenti berdetak sesaat ketika Agni membisikkan namanya pertama kali, lalu berdetak seperti biasa. Agni datang seperti musim panas, senyum mataharinya, suaranya selembut ilalang tengah hari, dan pandangan matanya yang gurih. Sepasang kelereng hijau jamrud.
"Maaf Aro, kau bekerja?" Agni mulai membasahi rambutku. Aku sama sekali tidak merasakan air mengenai kulit kepalaku.
"Apa aku terlihat setua itu?" Agni mengangguk, matanya tak lepas dari bentuk rambutku. Terlalu sulit, mungkin.
"Berarti kau mahasiswa? Tingkat akhir?"
"Tidak, aku bekerja." Ia lalu berhenti mengacak-acak rambutku, "Mau potong model apa?" Aku memandangnya dari cermin, menarik salah satu ujung bibirku dan berpikir. "Apa saja boleh, asal cocok dengan wajahku."
Agni terlihat tidak puas. "Bekerja di mana? Seorang seniman?" Ia lalu menggenggam guntingnya, cahaya perak yang dipantulkan lampu toko itu mengenai mataku.
"Bukan. Aku seorang guru." Aku tetap diam, memandangi diriku sendiri. Seorang guru. Hmm...
"Hmm...tidak seperti guru. Kupikir guru tidak boleh menjadi contoh buruk untuk murid-muridnya."
"Contoh buruk? Sekarang kau cenayang yang bisa menebak kebiasaan burukku?"
"Tidak rapi. Tidak perlu cenayang untuk tahu itu." Ia lalu memotong sebagian besar dari rambutku, dimulainya dari kiri. Musim gugur nampaknya sudah akan berakhir.
Mereka bilang pasangan yang paling tepat untuk seseorang itu dilihat dari musimnya. Bila anda seorang pria musim semi, carilah pasangan musim gugur. Bila anda seorang musim panas, carilah orang musim dingin. Aku pria musim gugur, tapi kenapa aku ingin punya pasangan seorang pria musim panas?
...to be continued?
Lagi coba-coba bikin juga, semoga terhibur. Maapken untuk settingan yang agak kebarat-baratan, aslinya ini ditulis tangan untuk tugas mengarang Bahasa Inggris, tapi udah banyak yang dibedain kok.
Comments
Mention klo udah update yak