Setelah gagal membuat cerita bersama dengan judul pendekar titit naga, saya mencoba membuat satu cerita lagi (kali ini ceritanya saya buat sendirian). Semoga tidak mengecewakan, maklum baru belajar....
Aku bertemu dengan orang itu secara tidak sengaja. Tidak ada yang tebar pesona atau mencoba menarik perhatian pada kesempatan pertama itu. Kami sama-sama naik busway dan kami sama-sama bergegas. Benar-benar hanya karena sopir yang mengerem mendadak sehingga kopian diktat-diktat kuliahku jatuh berantakan dan, seperti para pangeran berhati emas dalam dongeng-dongeng, orang itu membantuku memungut kertas yang berserak sambil tersenyum ketika menyerahkannya padaku.
"Hati-hati Dik, sebaiknya masukin tas saja," ucapnya sambil tersenyum tipis. Sederhana saja, tetapi aku langsung gugup dan ternganga. OMG! Ada Drake Bell versi Indonesia!
"Masih kaget ya Dik?"
Aku tergagap dan serasa jatuh kembali ke dunia. Sambil menahan wajah yang panas aku menerima kopi diktat-diktat sialan, eh, keberuntungan itu. "Terima kasih, Mas," ujarku.
Orang itu tersenyum kemudian mengajakku mengobrol. Bicaranya enak dan senyumnya itu loh... sangat membuatku salah tingkah. Busway yang sesak dan panas itu jadi terasa nyaman luar biasa. Tak terasa halte Masjid (Al Azhar) sudah tercapai dan aku dengan berat hati segera meninggalkannya.
Pertemuan kedua terjadi ketika aku menjenguk temanku di MMC. Kami naik lift yang sama dan saat itu ia mengenaliku. Kali ini ia memberiku kartu nama dan bilang, "Main ke rumah kapan-kapan."
"Oh iya Mas. Tapi apa tidak mengganggu?" aku bertanya dengan penuh harap (semoga jawabannya tidak).
"Enggak lah. Tapi jangan lupa telepon dulu. Saya sering ke luar kota."
"Eh saya juga boleh main ke rumah Mas?" Arif temanku yang memang sudah terbuka kepada semua orang tentang status gay-nya ikut nimbrung sambil mengedipkan mata ke arahku. Membuatku sangat sebal.
"Tentu saja boleh," Mas Enha membuka dompetnya, tetapi tidak menemukan kartu nama lagi. "Wah maaf sudah habis kartu nama saya, tapi kan bisa bareng Zain kalau mau ke rumah..."
Arif bermaksud merampas kartu nama yang masih kupegang, tetapi buru-buruk kukantongi sendiri. Ia memprotes tetapi aku tetap mempertahankannya. "Sudah sampai tuh, ayo buru-buru keluar," aku beralasan dengan bunyi ting di pintu lift.
Mas Enha tertawa. Aku hampir pingsan melihat gigi-giginya yang berbaris rapi meski warnanya tidak putih mengkilap. Arif menggerutu sementara teman-teman lain mengoloknya.
Dua minggu setelah pertemuan kedua, aku benar-benar main ke rumahnya. Aku lupa alasan apa yang kupakai. Yang jelas aku menelponnya dan ia mengundangku datang. Dengan penuh suka cita aku datang, untuk kemudian menemukan bahwa pangeran pujaanku ternyata sedang mengadakan pesta ulang tahun untuk anaknya yang menginjak usia empat. Aku tidak tahu apakah aku senang atau kecewa. Pangeranku bersanding dengan istrinya, hangat dan mesra. Sangat harmonis. Sementara aku pura-pura sibuk meladeni putranya bermain-main.
"Candra senang banget sih main sama oom?" istri sang pangeran menghampiri anaknya yang lengket padaku.
"Iya Ma. Abis oomnya lutchu..." Candra menjawab dengan suara cadelnya.
"Jangan panggil oom kali. Kakak, Kak Zain, gitu saja..." sela pangeranku.
Aku tertunduk sambil melirik bagaimana pangeranku bergandengan tangan dengan istrinya. Ada sesuatu yang bergetar dalam hatiku. Entah mengapa, rasanya aku lebih berhak untuk di sisinya. Ups.... buru-buru kubuang semua pikiran yang menghantuiku dengan menyibukkan diri bermain bersama si kecil Candra. Anak ini mewarisi ketampanan ayahnya sekaligus bola mata coklat dan rambut pirang ibunya. Mungkin kalau pangeranku tidak bertemu sang isteri, anak ini tidak akan lahir ke dunia. Hah! Benar-benar kepalaku kebanjiran pikiran busuk!
=============================
Comments
"Kak Zain dicariin Candra tuh..." telepon sang isteri.
"Oh, iya ya Tante. Iya deh, insya Allah akhir pekan nanti Zain main ke rumah. Om Enha masih di luar kota?"
"Masih. Sampai akhir bulan ini ia sedang di Balongan..."
Berikutnya sang pangeran sedang di Vietnam, di Pulau Seribu, di Kalimantan... tampaknya lebih banyak di perusahaan daripada di rumahnya. Tidak heran kalau aku jadi senang sekali ketika ia di rumah. Lucu juga. Jadinya kami seperti berebut perhatiannya ketika ia di rumah. Aku, Candra, dan isterinya.
Malam itu aku ingin berpamitan pulang ketika sang pangeran memintaku tinggal karena ia akan belanja bersama isterinya. "Titip Candra dulu," ujarnya. Aku tidak keberatan.
Ketika Candra sudah tidur dan aku membaringkannya di kamar, kulihat sebuah ponsel tergeletak di atas meja. Ponsel sang pangeran. Dengan dagdigdug kuambil ponsel itu dan kulihat-lihat isinya, tidak ketinggalan situs-situs yang dijelajahnya. Aku benar-benar terkejut. Ternyata sang pangeran sering menjelajah situs gay, dan sebuah folder yang tampaknya sengaja dihidden ternyata penuh dengan gambar brondong telanjang. Banyak sekali, dari yang mandi di kampung sampai yang pose dengan latar di Bangkok. Hah!
Ketika sang pangeran pulang tatapannya seperti menyelidik apakah aku membuka poselnya atau tidak, tetapi aku pura-pura bersikap biasa saja. Karena sudah malam aku segera pamitan. Isterinya memberi satu tas plastik penuh makanan dan minuman, katanya buat teman belajar di kos. Aku buru-buru pamitan. Kurasa ada sedikit kekakuan ketika sang pangeran menjabat tanganku. Mungkin ia bisa membaca pikiranku, meski aku sudah bersikap sebiasa mungkin.
Tetapi esok harinya aku mendapat sms, sang pangeran minta ketemu di sebuah kafe. Aku yakin ia sudah tahu bahwa isi ponselnya sudah kubuka-buka, tetapi aku tidak mau melewatkan kesempatan bertemu dengannya. Apalagi pertemuan hanya berdua tanpa Candra dan mamahnya, sesuatu yang baru pernah kurasakan pada pertemuan pertama dan kedua dulu. Dengan senang hati, meski sambil berdebar juga, aku mengiyakan ajakannya.
Benar saja. Ketika kami telah duduk berhadapan dengan dua gelas macchiato di depan kami masing-masing, sang pangeran membuka percakapan dengan nada rendah...
"Kemarin Zain lihat-lihat isi hape saya ya?"
Aku memutuskan untuk jujur dengan menganggukkan kepala. Tetapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa bersalah yang sangat besar padaku.
"Sebenarnya saya sengaja meninggalkan hape itu."
Aku seperti disambar petir mendengar ucapannya. Haaa...? Maksudnya....? Aku ternganga sambil menatapnya tidak percaya.
"Saya punya banyak masalah, dan saya mungkin tidak kuat lagi menanggungnya sendiri. Saya ingin berbagi dengan Zain..."
Aku masih tidak bisa berkata meski sang pangeran diam sambil terus menatapku.
"Apakah Zain keberatan?"
"Ooh... tidak... tidak... tentu saja tidak...." aku menjawab terbata-bata. Berikutnya sang pangeran bercerita tentang hidupnya yang penuh kepura-puraan. Penampilan elegan dan kerja yang profesional tidak lebih dari upayanya menutupi sebuah panggilan yang selalu menuntutnya menjadi diri sendiri. Bahkan status menikah dan lahirnya sang putera, tidak berhasil membuatnya lepas dari panggilan nuraninya yang memintanya mengaku bahwa ia bukanlah pria pengagum wanita....
Dan musik Ordinary Worldnya mbah Duran-Duran seperti sengaja diputar untuk mengiringi penutup ceritanya. Aku suka sekali lagu ini, biasanya kuputar ketika aku harus belajar sampai larut malam.
Benar-benar keindahan yang tak tergambarkan. Wajah sang pangeran menatapku, ada bening mengkilat di sana, dan kedua telapak tangannya menggenggam kedua telapak tanganku erat seperti memaksaku menerima permintaannya...
"Bersedia ya? Zain jadi satu-satunya teman baik yang mengerti saya?"
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one
Is my world, I will learn to survive
Any one
Is my world, I will learn to survive
Any one
Is my world
Every one
Is my world
Aku masih ingat benar. Pada every one yang pertama, saat itulah aku menganggukkan kepala dan pegangan tangannya menjadi sangat erat. Erat sekali, aku merasa dipeluknya hanya dengan pegangan telapa tangan itu.
Sejak saat itu, mungkin, kami resmi menjadi teman istimewa. Kalau boy friend tidak mensyaratkan pelukan, ciuman dan ml, tampaknya sejak saat itulah kami resmi menjadi bf....
#terharuadayangbaca
Setiap mas Enha pulang, kami selalu menyempatkan bertemu berdua di kafe selain kunjunganku ke Candra di rumah.
"Aku mau ke Bali hari Selasa besok," ujar mas Enha suatu ketika. Saat itu masih hari Sabtu, kami duduk berdua di kafe dan sudah sepekan ini ia mendarat alias tidak ke lepas pantai.
"Emangnya ada tambang juga di Bali?" tanyaku.
"Cuman meeting. Tapi aku ingin keluar rumah hari Senin pagi, seperti jadwalku yang biasanya."
Aku belum tahu arah pembicaraannya sehingga aku hanya menganggukkan kepala. Pikirku, mau keluar Senin atau Selasa apa bedanya?
"Kita menginap bareng semalam, mau...?"
Aku baru terkejut. Pertanyaannya sama sekali tak kuduga.
"Aku bisa pesan hotel untuk kita berdua."
Aku masih tidak bisa menjawab. Sebenarnya aku sudah banyak membaca tentang bf yang menyewa hotel dan aku juga sering menginginkan komunikasi yang lebih intensif di sebuah ruang full privacy, tetapi aku tidak menyangka mas Enha benar-benar akan mengajakku.
"Kalau Zain keberatan tidak apa-apa. Kita bisa jalan-jalan saja, terus Zain pulang ke kos dan aku menginap sendiri menunggu pagi."
"Mmm... mau Mas. Mau..."
Dua hari kemudian aku benar-benar menikmati kamar hotel bintang lima itu. Karena baru pertama masuk kamar hotel, tentu saja aku tercengang dengan semuanya. Benar-benar lengkap sampai microwave saja ada... pikirku.
"Bagaimana...? Cukup nyaman....?" tanya mas Enha.
"Wah nyaman banget Mas. Sangat nyaman...." aku pasti tampak sangat norak saat itu. Tetapi biarlah. Toh aku juga tahu banyak rahasia Mas Enha sehingga ia tidak mungkin mempermalukanku dengan menceritakan kenorakanku pada orang lain.
Kami kemudian mengobrol asyik di ranjang dan untuk pertama kalinya mas Enha berulang kali memeluk-meluk tubuhku.
"Eh sudah sore. Zain engga mandi dulu?"
"Eh, iya. Tapi Zain tidak bawa ganti baju...."
"Ya sudah entar pakai celana pendek Mas saja ya?"
Aku kemudian masuk ke kamar mandi dengan pandangan mas Enha terasa mengikutiku. Sengaja tidak kukunci pinti kamar mandi, siapa tahu mas Enha kelupaan masuk (benar-benar norak. Cuman berdua, mana mungkin ia kelupaan ya?). Agak berlama-lama aku berendam dan main-main shower, tetapi sampai aku memakai handuk tetap saja pangeranku tidak kunjung masuk.
Akhirnya aku memakai pakaianku lagi, lalu keluar memakai pakaian itu.
"Loh, katanya mau pinjam celana pendek Mas?"
"Jangan Mas... pakai ini saja. Besok kan langsung pulang ke kos jadi bisa ganti sebelum kuliah."
"Pakai celana pendek saja biar lebih santai..." suara mas Enha setengah memaksa sehingga aku menerima uluran celana pendek dari tangannya. Aku berbalik mau ke kamar mandi, tetapi tangan mas Enha menahanku.
"Ganti di sini saja, di depan emas..."
"Ah, malu Mas. Ke kamar mandi saja," aku menolak.
Entah bagaimana ahirnya mas Enha berhasil memaksaku ganti baju di depannya. Aku tetap menutup kemaluanku dengan handuk ketika ganti. Dengan nada bercanda mas Enha memintaku membukanya, "Masa bf sendiri tidak boleh lihat?"
Aku ingin sekali memenuhi keinginannya, tetapi aku juga benar-benar merasa malu sehingga aku tetap menolak. Setelah memakai celana dalam barulah aku membuka handuk. Kemudian buru-buru memakai celana pendek yang diberikannya.
"Celana dalam Zain buat Mas ya? Mas bawa ke Bali buat teman kalau lagi kangen....?"
"Ah jangan Mas. Malu celana udah jelek...."
"Hehe... bukan cuman celananya kok yang jelek. Yang penting kan cinta dan setia...."
Aku mengangguk tanpa menjawab. Tak kusangka celana yang sudah kupakai sejak pagi dan pasti bau itu diciumnya. Aku berusaha mencegah tetapi mas Enha tertawa sambil memelukku yang saat itu belum memakai baju. Kami kemudian berguling-guling sebentar di kasur. Sang pangeran memelukku dan aku juga memeluknya. Rasanya tak ingin kulepaskan....
Sang pangeran membelai rambutku dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Aku pasrah saja ketika bibirku dilumat dan lidah kami bertemu. Sayang tiba-tiba hape sang pangeran berdering dan ia melepaskan pelukannya....
"Oh ya hunny, pesawatnya delay nih... Oh? iya satu terminal tetapi saya tidak lihat.... iya, iya... oke hunnie.... bye..."
Aku sudah duduk di sisi ranjang ketika mas Enha mendekatiku. Aku memandangnya dengan marah. Aku seperti dinomorduakan dengan telepon istrinya barusan.
"Maafkan Mas ya...?" bisiknya lembut sambil membelai kepalaku. Aku mendengus sambil membuang muka. "Engga papa, lagipula dia kan isteri mas yang sah...." entah mengapa aku jadi berani berkata begitu kepadanya. Mungkin karena suasana tadi sangat intim dan tiba-tiba sang pangeran berhunny-hunny begitu saja sambil mencampakkanku.
Mas Enha tertawa sementara aku makin bersungut-sungut. "Ya sudah emas mau mandi dulu... Mudah-mudahan entar abis mandi marahnya habis...."
Malam itu mas Enha minta dipijit, katanya badannya sakit semua. Ia hanya memakai handuk tanpa celana dalam sehingga aku bisa melihat kemaluannya yang menyembul. Selesai memijat sekitar satu jam mas Enha mengajakku tidur. Aku hanya memakai celana pendek sementara mas Enha memelukku dengan hanya handuk yang melilih pinggangnya.
Malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali. Tengah malam kurasa mas Enha melepas handuknya dan memelukku, tetapi aku menolak ketika ia memintaku melepas celana pendek yang dipinjamkannya kepadaku.
Aku hanya membiarkan tanganku digenggamkan ke kemaluannya yang membatu, lalu ia memeluk dan memompa sedemikian rupa sehingga akhirnya kurasa tanganku basah lengket.
"Maaf, Zain...." mas Enha berbisik di telingaku sambil tangannya menjangkau tisu di meja kecil samping ranjang. Aku merasa ada yang berontak dalam celanaku, tetapi aku juga terbayang isteri dan anak sang pangeran sehingga aku tidak tahu mesti berbuat apa.
Aku tetap pura-pura tidur ketika mas Zain memelukku setelah mandi.
Esoknya aku pulang ke kos dan setelah itu aku tidak bertemu dengan sang pangeran selama tiga bulan. Dari Bali ia kembali ke lepas pantai entah mana lagi. Yang jelas melalui sms ia sering memujiku sebagai remaja yang kuat prinsip.
Ia tidak tahu, sebenarnya aku sangat ingin berhubungan dengannya. Bahka setelah kejadian hotel itu, aku sering onani sambil membayangkan wajah dan alat kemaluannya...
Ngalamin soal nya. Bf ku krj d kalimantan d tmbng batu bara. Dia jg dah menikah tp msh blm pny anak sih. Hehe
"Zain, ikut liburan yuk..." suatu saat Ridho mengajakku. "Ke pulau seribu, nginap semalam saja kok."
"Gratis?" pertanyaan klasik keluar dari mulutku.
"Hah!" reaksi klasik juga keluar dari mulut Ridho. "Tapi okelah. Kamu bayar transport sama makan saja. Tidak ikut bayar vila. Oke?"
"Mmmm... baiklah." Rupanya mereka kurang satu orang dan sudah berusaha mencari kemana-mana tanpa hasil sehingga daripada batal liburan mereka mengajakku.
Lumayan juga naik perahu dan bersenang-senang di pulau kecil yang kulupa namanya itu. Meski hanya satu jam dari Jakarta, ternyata alamnya masih asli dan penduduknya juga hidup dengan cara sederhana.
Vila kami punya dua kamar, berarti satu kamar diisi empat. Tetapi karena tivi hanya satu, malamnya semua ngumpul di ruang tengah.
"Eh, kamu bawa bir juga Dho?" aku bertanya ketika jam sembilan malam Ridho mengeluarkan beberapa botol bir dari tas ranselnya. Meski aku tahu beberapa teman sering minum, aku tidak menyangka Ridho yang tampak alim ternyata minum juga.
"Hehehe... cuman buat persiapan siapa tahu disini dingin," ujarnya.
Kami tidak terlalu mempermasalahkan bir itu, tetapi aku tidak mau ikut ketika mereka mulai minum-minum. Meski aku tidak terlalu kuat beragama, aku juga tidak suka minum minuman keras.
Filan mulai mabuk dan berbicara tidak keruan. Kami mengerjainya. Kemudian menyusul yang lain satu per satu, tinggal Ridho dan aku yang masih waras.
"Kamu memang tidak suka minum Zain?"
Aku hanya mendengus sambil nyengir. Emang keren mabuk seperti mereka? Bisikku dalam hati. Sambil kuminum nut*isari yang sudah kusedu, tetapi ada sedikit rasa yang aneh. Agak pahit-pahit dan berbau obat. Meskipun demikian kuteruskan menenggaknya sampai habis. PIkirku, mungkin air di vila ini agak terpengaruh air laut sehingga kalau didiamkan lama rasanya berubah.
Tetapi setelah minum itu kemudian aku merasa pusing. Aneh, padahal sebelumnya aku segar bugar. Kulihat Ridho menatapku tajam, membuatku curiga. "Kamu... kamu..." aku tidak sempat melemparkan tuduhanku karena pusing di kepalaku makin kuat dan akhirnya gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Esok harinya aku bangun ketika hari sudah siang dan teman-teman sedang gaduh di ruang tengah. Ketika aku keluar kamar dengan agak sempoyongan, mereka sontak terdiam.
"Kamu membiusku Ridh?" aku bertanya langsung kepada Ridho. Nada bicaraku tentu saja keras dan marah.
"Maaf Zain, sesekali kan boleh..."
Aku mengumpat-umpat sambil berjalan sempoyongan ke kamar satunya lagi yang ada kamar mandinya. Di kamar mandi aku terkejut. Celana dalamku terbalik, bagian luarnya di dalam. Hah?! Aku langsung menuduh Ridho di balik semua ini.
Keluar dari kamar mandi aku langsung masuk ke tengah-tengah mereka yang sedang duduk melingkar. "Kamu ngapain tadi malam Ridh?" Aku membentak Ridho sambil memegang kerah bajunya. Kulihat teman-teman yang lain malah menahan ketawa, membuatku yakin Ridho telah melakukan sesuatu kepadaku ketika aku mabuk.
"Eh, sabar Zain... sabar...." Ridho berusaha menahan emosiku tetapi lirikan matanya membuatku mendapat clue. Kamera yang di meja! Dengan kasar kulepas genggamanku ke kerah bajunya, kemudian kuambil kamera di meja.
Beberapa teman menahan, tetapi aku memaksa merebutnya. Ternyata benar, ada gambar aku ditelanjangi dan kemaluanku dikocok sampai tegak. Ada kepala yang mengisap-isap, tidak kentara karena wajahnya tidak terlihat, tetapi aku tahu pasti itu adalah Ridho.
Kebun binatang dan kerajaan setan segera menghambur dari mulutku. Tetapi sambil minta maaf Ridho malah menunjukkan bahwa semua temannya juga diperlakukan sama, malah ada yang sampai keluar spe*ma.
Liburan yang semula kupikir menyenangkan menjadi kenangan yang membuat persahabatan kami putus. Tentu saja kami masih bertegur sapa karena kami satu kampus dan satu angkatan, tetapi sejak saat itu aku tidak mau lagi berteman terlalu dekat dengan mereka terutama Ridho. Kata guru ngajiku, mereka itu seperti tukang besi. Kalau didekati bukannya memberi manfaat malah membuat kita item dan bau gosong....
Tetapi ternyata Arif (temanku yang bareng ketemu mas Enha di MMC) melakukan hal yang lebay. Ia menyimpan copy film yang kuhapus dari kamera itu, dan film itu dikirimkannya ke mas Enha. Aku baru tahu Arif melakukan hal ini setelah lama melakukan penyelidikan, tetapi aku tahu copy film itu dikirim segera setelah mas Enha meng-sms.
"Zain, terima kasih ya sudah kirim film. Siapa tuh yang berbahagia menjadi pengulum pertama titit Zain?" begitu bunyi sms mas Enha.
Kujawab: Loh, film yang mana?
Mas Enha: Itu yang dikirim dari nomor 0857xxx....
Aku: Itu bukan nomorku.
Mas Enha: Tapi filmnya bener kan? Ada wajahnya Zain kok. Wah... beruntungnya orang itu....
Aku: Ngaco ah. Coba kirim filmnya.
Berikutnya aku blingsatan panik. Film itu benar-benar film waktu aku berlibur bareng Ridho dulu. Gila! Berarti ada yang menyimpannya. Berarti juga --- jangan-jangan.... film itu sudah menyebar!
Pantas suka kulihat ada yang senyam-senyum kalau melihatku.
TIba-tiba aku merasa kampus ini harus segera kutinggalkan....
Biarlah. Semua orang juga punya masa lalu yang perlu dilupakan.
Aku mencoba untuk menjadi mahasiswa yang fokus pada kuliah dan kehidupan mahasiswa normal. Tak pernah kutunjukkan bahwa sebenarnya aku menyukai pria dan sebaliknya aku berusaha tampil gentle, meski tidak macho dan juga tidak suka ngobrolin cewe. Sampai teman-teman bilang aku alim.
Tetapi namanya kecenderungan tetap ada. Pada tahun kedua, ketika aku sedang jenuh, iseng-iseng kubuka forum gay yang dulu sering kubaca. Dari forum itu aku memperoleh kenalan, seorang pengusaha yang ternyata tinggal di kota yang sama.
"Bagaimana kalau kita ketemuan?" ajaknya.
"Oke," ujarku. "Dimana?"
Kami kemudian menyepakati sebuah kafe. Dia bilang pengen nraktir, tetapi aku sudah siap-siap kalau harus bayar sendiri. Apa enaknya ditraktir, pikirku, dunia gay bukan dunia yang aman.
Orangnya sekitar usia tiga puluh, rapi dan bersih. Langsing tetapi jambang dan bulu wajahnya lebat, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang berseri. Ngobrolnya juga asyik. Tanpa terasa kami langsung akrab meskipun baru bertemu (sering baca, katanya kalau yang baru ketemu suka canggung atau kecewa meski sudah lama chatting)
"Jadi Chandra kos di daerah BC?" tanyanya dalam salah satu momen.
"Ya Mas," aku memanggilnya mas karena meski usia kamu berbeda sepuluh tetapi orangnya memang masih tampak muda. "Mau mampir?"
"Hmm... kalau boleh nanti saya antar."
"Ya, boleh..."
Pulang dari kafe ia benar-benar mengantarku ke kos. Sempat masuk kamar sebentar, tetapi kemudian ia minta diri.
"Lain kali boleh main ke sini?" tanyanya.
"Boleh Mas. Main saja sering-sering..."
"Chandra juga sering-sering dong main ke rumah saya."
"Iya Mas, kapan-kapan."
Setelah itu mas Narno jadi sering main dan tidak jarang mengajakku ke rumahnya. Kepada orang tuanya mas Narno memperkenalkanku sebagai adik kelas. Rupanya ia dulu kuliah di kampus yang sama.
Dua bulan kemudian kami resmi menjadi bf....