Halo semuanya... Saya tidak tau, harus memulainya dari mana. Saya baru di sini, dan ini juga cerita pertama saya. Walau cerita lama, setidaknya harapan terpendam saya untuk menulis disini sudah terwujud.
Cerita ini, mungkin sudah bisa ditebak dari awal. Jujur, saya masih hijau dalam dunia tulis menulis. Karena itu, coment serta saran dari kawan pembaca, benar2 saya butuhkan.
AKU, KAMU dan SURGA KECIL
Aku terdiam, tepatnya duduk bersandar pada kursi bercorak putih tanpa lengan. Aku berada dibawah payungan pohon akasia. Sejuk dan damai. Begitulah, dua kata yang terangkai dalam benak untuk menggambarkan suasana tempatku ber-adempouse (beristirahat) ini. Di belakangku terdapat rumah sakit yang berseberangan jalan raya. Ini bukan taman, juga bukan kebun bunga. Melainkan sebuah rumah dari burung-burung gereja.
Aku mendongak ke atas. Mataku kini menyapu bersih dedaun pohon akasia. Sesekali daun-daun kecil menguning rontok menerpa wajahku. Hidungku menghirup udara segar, walau tak sesegar atmosfir pagi. Kupenjamkan mataku perlahan sambil menghembuskan nafas perlahan-lahan. Suara cicit burung gereja yang tipis-tinggi membentuk simfoni yang acak tapi harmonis.
Aku membuka mataku dan langsung membentur puluhan-puluhan burung gereja bertengger di ranting akasia. Rupanya, bulan ini musim kawin dan bertelur. Terlihat si jantan dan betina melintas sambil membawa ranting kecil dan rumput kering di paruhnya. Mereka sedang membangun sarang, ternyata. Sungguh! Potret kehidupan yang asri.
Kepala kuturunkan dari dongakan. Aku tidak sendirian. Disebelahku, teronggok gitar coklat kesayanganku. Aku tersenyum, senyuman yang tak dapat kuartikan sebagai kebahagian atau kesedihan. Yah, beginilah. Sehabis mengamen, aku menyempatkan diri datang sejenak ke sini demi merehat badan yang terkuras energinya. Selalu begitu, setiap hari malah.
"Bisakah kamu menyanyikan sebuah lagu untukku?" sebuah suara menggugahku untuk mengalihkan tatapanku dari gitar.
Aku menoleh ke belakang, sebab kurasa dari sanalah asal suara itu. Mataku menangkap sesosok lelaki yang lebih tepatnya cowok tengah berdiri. Jidatku mengernyit. Ia menyuruhku menyanyikan sebuah lagu?
Cowok itu mendekat ke arahku. Aku bisa lebih jelas melihat sosoknya. Dengan setelan pakaian berwarna biru dengan topi kupluk merah yang nyaris menutupi semua bagian kepalanya. Dari pakaiannya pun, aku sudah mengira kalau ia adalah salah satu pasien rumah sakit. Di tangannya terselip sapu tangan. "Bolehkah aku duduk?" tanyanya seraya menunjuk kursi.
Aku mengangguk, mengiyakan lalu menggeser tubuhku, memberikan ruang kosong untuk didukinya.
Bibirnya menyimpul. "Terima kasih..." ia lantas duduk di sampingku. "Bagaimana dengan tawaranku barusan?"
"Apa?"
"Gitar itu milikmu, kan?" dagunya diangkat sedikit, "Mainkan satu lagu untukku!" perintahnya.
Otot di sekitar alisku berkontraksi. Siapa ia? Kenal, tidak. Kenapa seenaknya menyuruhku bernyanyi? Aku berkata, "Kamu mau bayar berapa?"
Ia mengerjab-erjab sembari memasang tampang bodoh namun lucu menurutku. Cowok ini menarik nafas. "Baiklah, aku bakalan membayarmu sehabis kamu memainkannya."
Anggukan kepalaku menandakan setuju. "Oke!" jawabku mantap. Lalu mengambil gitar yang tergelor manis di sampingku dan merebahkannya di pangkuan. Aku berdeham sebelum memulai permainanku. Kulirik, ia tertawa kecil melihat tingkahku. "Kenapa? Ada yang lucu?" ia menggeleng cepat. Aku pun mengawali atraksiku dengan menjentikan jari di hadapannya.
Petikan-petikan senar mengalun, beritme serta menggetarkan udara. Sepintas kulihat wajah polosnya yang serius memandangi jemari-jemariku.
~~~
Sampai saat ini.
Rasaku tertahan di sini.
Rasa yang tak akan hilang oleh waktu.
Ku tidak di sini.
Aku pun tiada di hatimu.
Jiwaku ikut menghilang bersamamu.
Tak terkira di sampingku...
Adalah hal terindah yang pernah ku inginkan...
Tak terkira di pelukmu...
Adalah hal terindah yang pernah ku rasakan...
~~~
Aku mengakhiri permainanku ketika mendengar tepukan dari tangannya.
"Wah... Kakak hebat! Suara kakak bagus banget." pujinya. Sunggingan bibirnya tiada henti memamerkan rentetan giginya. Aku baru tahu bila ia punya lesung pipi di pipi kanannya. Senyuman yang begitu menarik. Senyum itu seolah-olah menguapkan rasa lelahku tanpa berbekas pun.
"Benarkah sehebat itu? aku nggak yakin kamu benar-benar mengucapkannya dari hatimu," aku berusaha tidak menghiraukan kata-katanya, yang menggunakan kata "kakak" bukan kamu.
"Kakak bernyanyi layaknya Elvis Presley." katanya membandingkanku dengan sang Raja Rock n'' Roll itu.
Aku nyengir. "Sayangnya, aku tak punya jambul sepertinya." timpalku berkelekar. Ia terkekeh. Melihatnya tertawa, seakan bisa mencairkan hatiku yang beku sekalipun. Tunggu! Kalimat apa itu? "Oh ya.. Kamu bilang kamu akan membayarku kalau aku sudah menyanyikan sebuah lagu untukmu. Sekarang, mana bayarannya?"
Ia mendengus sekilas, kemudian merogoh sesuatu dari saku celananya. "Ulurkan tangan kakak!" perintahnya setelah memalingkan kepalanya menghadapku.
Aku mengikuti interuksi. Saat itu juga ia meletakkannya ke tanganku. Alisku bertaut. Loly-pop? "Kok loly pop?" tanyaku tak mengerti.
"Karena hanya itu yang aku bisa aku berikan. Aku tidak bawa uang," Ia mengungkapkan.
Aku mengamati loly pop candy ini. Permen bundar bertangkai yang berwarna-warni. "Mengapa kamu tidak jelasin dari awal kalau kamu tidak punya uang?" keluhku muram. "Dan aku nggak bakalan buang-buang tenaga cuma buat nyanyi gratis alias gak dibayar."
Ia cekikikan. "Aku nggak bilang kalau aku gak punya uang, kan? Kubilang aku sedang tidak bawa uang." Jelasnya mengaksentuasikan kata-katanya dengan intonasi sedikit meninggi.
"Yee.. Enak dirimu, lah.. diriku?"
"Sengsara.." gelaknya pecah. Cowok ini sukses membuatku kesal. "Tapi.. Aku berterima kasih sama kakak."
Dahiku berlipat. "Untuk apa?"
"Untul lagunya," sahutnya. "Aku sedikit terhibur hari ini."
Aku pun hanya membulatkan mulutku tanda mengerti.
"Ngomong-ngomong, nama kakak siapa?" ia kembali bersuara.
"Aku Darrel. Kamu?" tak sempat ia menjawab, sebuah teriakan memekik di belakang kami. Kami serempak memutar kepala. Seorang pemuda tengah melambai kepada kami.
"Kakak.. Sepertinya pertemuan kita sampe' di sini dulu deh" ia beringsut dari kursi. "Sampai jumpa besok!"
"Hei! Tunggu!" aku menahannya. Langkahnya terhenti, lalu menoleh. "Namamu?" lanjutku.
"Delvin.." pekiknya sedikit melengking.
Aku tersenyum. 'Delvin... Apakah kita bisa bertemu lagi?' tanyaku dalam hati. Entah, aku berharap sekali berjumpa dan bernyanyi untuknya lagi. Ah, aku hampir lupa. Ia tadi bilang akan menemuiki lagi, bukan? Semoga benar. "Awas saja kalau kau berani tidak menempati janjimu," ancamku pada loly-pop candy yang sebenarnya kualamatkan pada... Delvin.
*****
Comments
Cinta memang sulit ditebak, juga tak bisa diduga kapan akan datang. Bisa jadi, ketika bertemunya kita langsung mengucap kata-kata cinta pandangan pertama kepada si dia yang telah mampu merekrut hati kalian dan memercikkan api cinta pada saat pertama kali jumpa. Namun, semudah itukah merasakan getar cinta? Aku masih ragu tentang adanya kata itu.
Seperti yang terlihat, aku tengah tergesa-gesa menapaki jalan demi bertemu denganya. Cowok manis dengan senyum menghangatkan. Dunia memang tak adil. Bagaimana mungkin, seorang cowok seimutnya bisa membuatku sekalut ini? Ya tuhan. Lagi-lagi aku meneriakkan namaMu kedalam cerita cinta nistaku ini.
Aku menemukannya duduk manis bertemankan buku. Bukan buku, tapi catatan kecil di pangkuan tangannya. "Maaf! Aku membuatmu menunggu," ujarku. "Aku telat berapa menit, Delvin?"
Delvin terkesiap dan mendongak. "Oh.. Tidak, aku baru tiba di sini." Ia menutup catatannya, kemudian memasukkan ke dalam saku bajunya. Aneh, pakaian yang ia pakai masih sama seperti yang kemarin. Hanya saja, topi kupluknya berubah coklat tua. Ya jelaslah lah, bukankah dia pasien rumah sakit? Apakah pasien rumah sakit bisa seleluasa mungkin menghirup udara terbuka? Mungkin ia jenuh terpenjara diranjan sempit dan berlama-lama dengan alat infus serta bau obat yang memuakkan. Mungkin saja.
Aku menghempaskan pantat di dekatnya. "Lagu apa yang ingin kamu dengar?" kataku sambil memangku gitarku.
Delvin memutar-mutar bola matanya. "Terserah kakak deh... Apa pun lagunya, asalkan bisa membuatku terhibur."
"Oke! Dengan senang hati.. tapi jangan marah kalau nanti kamu gak suka."
"Harus suka!" tukasnya. "Maksudku, kakak haris bisa membuatku menyukainnya."
Aku manggut-manggut. "Oke! Siap-siap tutup telinganya ya." Hening sejenak sebelum suara senar gitar berdenting memecah kesenyapan. Aku mulai bernyanyi.
~~~
di saat kita bersama
di waktu kita tertawa menangis
merenung oleh cinta
kucoba hapuskan rasa
rasa dimana kau melayang jauh
dari jiwaku juga mimpiku
biarlah, biarlah hariku dan harimu
terbelenggu satu lewat ucapan manismu
dan kau bisikan kata cinta
kau t'lah percikan rasa sayang
pastikan kita serima
walau terikat rasa hina
sekilas kau tampak layu
jika kau rindukan gelak tawa yang warnai lembar jalan
kita reguk dan teguhkan mimpiku dan mimpimu
terbelenggu satu lewat ucapan janjimu
~~~
Seperti biasa, di akhir laguku tiada hentianya Delvin bertepuk tangan.
"Kakak bernyanyi dengah penuh penghayatan sampek aku merindin dengernya." pujinya seakan-akan melebarkan telingaku.
"Alaahh.. Kamu terlalu berlebihan memujiku. Katakan kalau suaraku memang jelek." ucapku merendah.
Delvin tersenyum.
"Benar kan suaraku jelek?"
Ia semakin tergelak. Tidak terpikir bagiku untuk mencemberutkan mukaku saat ia terlihat sebegitu riangnya. Batinku sendiri tersentuh melihat raut wajah bahagianya. Tiba-tiba aku mendadak merasa lega ketika ia tertawa sesumringah itu, sampai-sampai paru-paruku kehilangan banyak oksigen. Ah, kenapa aku?
"Nih... Bayarannya hari ini," Delvin menyodorkon loly-pop candy.
"Kenapa harus loly-pop? Jangan bilang kamu nggak bawa uang lagi," gerutuku.
Delvin nyenger kuda.
"Semaniak itukah kamu sama loly-pop? Apa yang kamu suka dari permen ini yang seharusnya cocok dimakan anak kecil?" tanyaku sambil menerima permen itu.
Ia memiringkan kepala. "Aku lebih suka warnanya dari pada rasanya," matanya dierling-erlingkan. Sejujurnya, air liurku akan menetes saat itu juga bila mendapati erlingan mata cowok ini yang terkesan seakan ingin meggodaku. "Warnanya seperti pelangi, sangat kontras denganku."
Keningku melisut. Kalimat selanjutnya membingungkan. Apa maksudnya? tapi aku tak mau tahu. Aku tetap memperhatikan seluk beluk wajahnya. Mata bulatnya yang indah ketika berkedip, alis tebalnya yang naik-turun dan bibir tipis yang selalu bergerak ketika berucap. Aish, otakku terserang apopleksi kali ini.
"Kak Darrel," panggil Delvin. Caranya mengucapkan namaku agak membuatku sulit memasukkan bubungan ludah yang apabila dibiarkan bakalan ngacir lewat sela bibirku.
"Ya.." jawabku gugup.
Delvin menggenggam tanganku. Genggamannya tak kuat, tapi mampu memperkerjakan jantungku di batas kenormalan. "Maukah kakak memainkan satu lagu lagi untukku besok?" katanya.
"Tentu saja.. Bahkan, setiap hari pun aku rela dibayar loly-pop candy," kulirik ia sejenak. "Asal itu darimu," ucapku, tanpa sadar aku mengucapkannya.
Kulihat sudut kiri bibir Delvin tertarik ke atas. Ia tersenyum. Kami saling berhadapan dan sama-sama salah tingkah. Delvin melepaskan genggamannya lalu berbalik membelakangiku. Benarkah ia salah tingkah? Tidak, ia sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Malu? Juga bukan. Aku mendengar Delvin batuk. "Kamu nggak apa-apa?" dari punggungnya aku sedikit bisa melihat Delvin sedang menutup mulutnya dengan sarung tangan.
"Ah... nggak apa-apa kok, kak. Aku cuma batuk biasa doang." jawabnya seusai memasukkan kembali sapu tangan ke sakunya.
"Oh.." gumanku singkat.
"Kak,"
"Ya?"
"Aku duluan ya kak," katanya. "Bincang-bincangnya dilanjutin besok."
"Loh... Kok udah mau pulang," tanyaku heran. "Padahal kita nggak sampai satu jam di sini." aku tak mau dia berlalu begitu saja dariku.
Delvin tersenyum. "Kan masih ada hari esok." matanya menatapku lekat rekat. "Kakak masih bisa bernyanyi untukku besok, kan? Kenapa kakak bertingkah seolah-olah kakak mau lenyap dari bumi?"
Astaga, kalimatnya barusan seperti ingin membekap mulutku saja. "Tidak.. tidak," aku menggeragap. "Bukan itu maksudku. Hanya saja.."
Delvin melihatku dengan alis bertaut. "Hanya kenapa?"
"Ah, sudahlah! Lupakan!" ucapku terbata. Tak tahu kenapa, cowok yang satu ini selalu membuatku gugup. Gugup dalam artian tak mampu berkata-kata, selalu ragu. "Ya.. Sudah! Ngapain masih duduk di sini?"
Lantas Delvin menegakkan tubuhnya. "Kalau gitu.. Sampai jumpa besok!" katanya lalu beranjak pergi meninggalkanku. Mengamati punggun Delvin menjauh, aku berguman, "Semoga kamu menepati janjimu!"
*****
Layaknya aku ini, meski terlalu dini untuk menyatakan cinta pada pandangan pertama yang hanya bertemu dua hari saja dengan cowok itu, tapi kalau perasaan itu ada, tidak ada salahnya untuk mengungkapkan kata cinta seperti yang akan kulakukan hari ini. Aku telah memikirkan keputusanku semalam hingga aku dibuat tidak bisa tidur. Menerka kemungkinan-kemungkinan hal yang bakalan terjadi. Ditolak atau pun diterima, yang terpenting aku sudah berterus terang padanya.
Aku melemparkan pandangan ke beberapa arah. "Giliran dia yang telat," lirihku sembari mendudukkan pantatku ke pangkuan kursi dan menyampingkan gitar kesayanganku.
"Siapa yang telat?" nada bariton itu mengagetkanku.
Aku terbeliak melihatnya telah duduk di sampingku.
"Aku sudah lama menunggu, kakak." ucapnya. Kuamati Delvin, ia memakai kaos oblog dan celana tiga perempat. Kepalanya di tutupi kupluk lagi. Tapi ia nampak imut jika memakai topi itu. Wajahnya sedikit pucat.
"Apa yang harus aku lakukan demi menebus keterlambatanku?" tanyaku.
Sekilas Delvin berpikir, lalu. "Berikan gitarmu!" titahnya.
Aku mengernyit bingung. "Kamu ingin mengambil gitarku?"
"Katanya ingin menebus keterlambatan kakak."
"Ya... Kamu boleh memintaku melakukan yang lainnya, asalkan jangan kamu jadikan gitarku sebagai korbannya dong!" aku memelas.
"Tadi aku bilang mau ngambil gitar kakak, enggak kan?" Ia merebut gitarku. "Aku cuma pingin meminjamnya."
"Buat apa?"
"Mau dipatahkan... ya, buat dimainkan lah kak," kemudian Delvin memetik-metik senar gitar.
"Memang kamu bisa?" tanyaku yang terdengar meremehkannya.
Ia menghentikan jentikan senarnya. "Lihat dulu! Baru kakak bilang 'wow'" ia membusungkan dadanya.
Aku tertawa kecil. Dengan seksama, kuperhatikan ia melantunkan sebuah lagu. Hm, padahal aku ingin sekali menyatakan cinta kepada Dalvin lewat sebuah lagu. Tapi.. tak apa lah.
~~~
dikala hati resah
sribu ragu datang memaksaku
rindu semakin menyerang
kalaulah aku dapat
membaca pikiranmu
dengan sayap pengharapanmu ingin terbang jauh
biar awanpun gelisih
daun-daun jatuh berguguran
namun cintamu kasih terbit laksana bintang
yang bersinar bersinar cerah menerangi jiwaku
andaikanku dapat mengungkapkan
perasaanku hingga membuat kau percaya
akan kuberikan seutuhnya
rasa cintaku... selamanya... selamanya...
andaikanku dapat mengungkapkan
perasaanku hingga membuat kau percaya
akan kuberikan seutuhnya
rasa cintaku..
rasa cintaku.. yang tulus dari dasar lubuk hatiku...
Tuhan... Ijinkanlah cinta besama selamanya...
~~~
Oh dear! Aku terperangah. Aku tak tahu bagaimana reaksi mukaku, yang jelas mulutku ternganga dan pupil mataku melebar. Dalvin bernyanyi menggunakan perasaan. Apa pesan yang tersirat dari lagunya itu? Walaupun kedengarannya serak, seolah ia sedang menangis... tapi tunggu, mata Delvin berair. Jangan menangis... aku tidak ingin melihatnya. "Delvin, kenapa kamu menangis?"
"Oh.. tidak," Delvin menyesap air matanya lalu tersenyum kepadaku. "Bagaimana? Suaraku bagus, kan?" Ia bebicara sengau. Sama sekali tak mau menjawab pertanyaanku. Baiklah.
"Agak sedikit sengau! Kamu sedang pilek, ya?" candaku sambil terkekeh.
Delvin mengerucutkan bibirnya. Aku kembali terpingkal-pingkal hingga hening melanda diantara kami berdua.
"Dalvin..."
"Kak Darrel..."
Kami mengatakanya bersamaan dan rasanya aneh. Sejak kapan aku dilanda kecanggungan? Ya, ini berubah kikuk karena ada sesuatu yang ingin kuutarakan. Yang sudah beberapa jam terpendam dalam-dalam. Dan mungkin saatnya aku harus mengeluarkannya. Tuhan, beri aku keberanian. "Kamu ingin mengatakan apa?" nyatanya aku masih sukar mengutarakannya.
"Mm, kakak dulu deh.." tawarnya.
Aku mendapati dirinya menatapku dalam-dalam. Aku ragu, apakah aku harus mengutarakan yang sebenarnya bahwa aku menyukainya. Ia mengerjab-erjab. Tuhan, bantulah aku. "Ada yang pengen aku omongin."
Mata Delvin terpencing. Buru-buru kurogoh loly-pop candy yang sengaja aku beli-special untuknya. "Ini untukmu," kataku, dengan suara bergetar.
Delvin tidak merasakan kekikukanku. Ia menerimanya dan tersenyum. "Loly-pop candy? Bukankah seharusnya aku yang kasih loly-pop? Tumben, bentuk hati lagi," Delvin melirikku.
"Sebenarnya-aduh.. darimana dulu mulainya, ya," bisikku pada diri sendiri.
"Kenapa kak?" tanyanya, kini Delvin mengolengkan kepalanya. Tampang innocentnya sangat menggemaskan.
"Vin.. Aku tak tau harus bilang apa. Semenjak pertama melihatmu, aku merasa kamu begitu dekat sekali denganku. Seperti ada yang nyaman saat berada di sisimu, meskipun kita baru kenal dua hari yang lalu," ada jeda. "Aku tahu sepenuhnya ini salah. Dan tidak seharusnya aku melibatkanmu ke dalam perasaanku," aku memaksa diriku bernapas karena kalau tidak aku pasti akan jantungan. "Aku menyukaimu... Aku mencintaimu, Dalvin..." akhirnya... kalimat itu terucap. Meski terdengar pelan, dan mungkin hanya di antara kami saja yang mendengarnya. Kelegaan membanjiriku. Aku sudah mencurahkan semuanya. Aku sudah melakukan yang bisa aku lakukan. Kini tinggal dirinya, terserah ia mau menerimaku atau tidak. Sekarang keputusan ada di tangan Dalvin. Loly-pop yang sedari tadi tergantung di tangannya, tiba-tiba jatuh. Air mukanya tak dapat terungkap oleh kata-kata. Kalut, terkejut, heran segalanya terekspresi jelas di wajahnya.
Delvin menarik napas. Mulutnya terbuka, namun tidak terucap sepatah katapun dari sana. Ia mengatupkan bibirnya dan menyampingkan pandangannya. Ia tak mau menatapku. Ku lihat air matanya mengalir. "Delvin.." lirihku di sela-sela tangisnya.
Lantas ia menatapku. Matanya kelihatan sembab. "Kak," ucapnya, "Kak Darrel," ulangnya dengan nada bergetar. Jantungku pun berdegup kencang dan yakin akan meledak. Kepalan tangan melembab akibat ketegangan ini. "Aku minta maaf, kak. Aku tak bisa menerima kakak," ia tak mampu membendung air matanya. Tangisannya semakin pecah.
Aku mimbisu. Aku masih tak percaya dengan apa yang ia katakan. Kecewa, putus asa, sesal, marah terpadau menjadi satu, yakni sakit. Sakit yang menyebabkan aku lupa cara bernapas lagi. Beribu-ribu pertanyaan merebak di benak. Kenapa ia menolakku? Apa aku seorang lelaki? Apa aku tak pantas mencintainya?... Lalu Delvin beranjak pergi dengan air mata yang masih mengalir. Aku mematung layaknya terserang apopleksi hingga suara gedebuk halus menyadarkanku dari serangan itu.
Delvin terjerembab di sekitar pohon akasia. Aku tidak peduli, bukan karena aku jahat, tapi karena ia tidak ingin disentuh olehku. "Kamu nggak apa-apa, Delvin?" tanyaku cemas.
Ia menepis tanganku saat aku mencoba mengangkat tubuhnya. "Maafkan aku, kak! Aku nggak cinta sama kak Darrel!" kata-kata itu berupa bisikan, tetapi sudah cukup menohok bahkan merajang ulu hati. Aku tak mengerti, kenapa ia seemosi itu? Padahal aku hanya mengatakan bahwa aku mencintainya. Itu diluar prediksiku. Delvin menjauh dariku yang masih memandangi jejak punggungnya hingga benar-benar menghilang. Aku tak menyangka jika reaksinya akan seperti itu. Aku telah melakukan kesalahan padanya.
*****
Hari ke-14 setelah kejadian itu, aku masih menunggu kehadirannya kembali di surga kecil ini. Surga di mana para burung-burung gereja bersimbiosis. Masih bertemankan gitar kesayanganku, aku menundukkan kepala ke permukaan tanah. Ada sesuatu yang menyita perhatiannku. Loly-pop candy. Permen berbentuk hati yang telah menghancurkan kenanganku selama tiga hari bersamanya. Permen itu tak utuh seperti saat aku membelinya. Berlendir dan berair. Warnanya pun bercampur menjadi satu dan tak tahu berwarna apa lagi. Mungkin terik matahari melelehkannya.
Aku menghembus nafas panjang. Saat ini aku lemas. Saking lemasnya aku merasa bisa tidur di sini dan tak mau terjaga lagi. Udara-udara siang nan sejuk namun tak sesejuk batinku, menerpa dan membawa pesan damai. Bola mataku terbang menuju sinar-sinar mentari hangat yang tersaput ranting-ranting nakal akasia. Burung-burung gereja beterbangan dari dahan satu ke dahan lainnya, terkadang mereka menerobos daun-daun kuning hingga melayang terbawa desiran angin. Cericitanya membelah siang.
Lalu aku teringat, di saat seperti ini lah aku mendengarnya. Mendengar sapaan pertamanya. Aku merindukan sapaan itu. Sungguh.
"Bisakah kamu menyanyikan sebuah lagu untukku."
Ah! Efek rinduku menjalari sel-sel otakku sampai-sampai aku berhalusinasi. Otat tak tau diri, rutukku dalam hati.
"Kak Darrel,"
Barangkali aku kecapaian atau perutku yang kelaparan? Tuhan, jangan Kau uji aku dengan ini. Aku mencengkram mukaku ke dalam tangkupan tangan sambil meringis. Argh! Mengapa otakku terlalu penuh dengan dirinya? Namun instingku menjawab keheranan. Aku mengintip di sela-sela tanganku dan menemukan sosoknya. Aku tertegun sepersekian detik. Kupikir mataku terkelabuhi fatamorgana. Nyatanya Dalvin tersenyum di depanku. "Dalvin,"
"Iya... benar, ini aku" katanya, meyakinkanku akan terkaan otakku.
Aku mengerjab-erjab. Dalvin bersama seseorang yang kutaksir ia adalah kakaknya, sebab mata bulatnya juga diturunkan pada pemuda itu. Dan yang membuatku tak percaya ialah Dalvin berkursi roda. "Awalnya aku pikir, aku sedang berhalusinasi. Tapi ternyata ini benar-benar dirimu, Dalvin," aku berlutut disampingnya.
Dalvin mendongak, menatap pemuda itu. Pemuda itu langsung mengerti apa yang harus ia lakukan. Kemudian pemuda itu tersenyum kepadaku sebelum meninggalkan kami. "Dia kakakku," ucap Dalvin.
"Dalvin... Aku minta maaf. Aku gak bermaksud menyinggungmu. Aku cuma ingin mengutarakan perasaanku saja. Kumohon, jangan membenciku. Setidaknya, kita masih berteman atau sekedar teman ngobrol, itu sudah cukup bagiku. Aku..."
"Aku tak mau mendengarnya," hardik Dalvin. Aku tercengang. "Lebih baik aku mendengarmu bernyanyi dari pada mendengar penjelasan tak berbobot kakak," ia menunjuk gitarku. "Cepat mainkan!" bentakanya kian meninggi.
Cepat-cepat kugiring tubuhku ke kursi. "Semoga kau terhibur," kupetik gitarku dilanjutkan alunan lagu dari bibirku. Kami saling bernyanyi. Sepintas aku curi pandang terhadapnya yang menyibukkan diri melihat jari-jariku yang menari di atas senar. Ketika nyanyian berakhir, Dalvin bertepuk tangan. Senang melihatnya tertawa. "Mana bayarannya?" candaku.
Ia terkekeh kecil. "Kakak memang tak mau rugi."
"Tenang! Kini aku nggak marah kok mau dibayar loly-pop."
Delvin mengeluarkan loly-pop hati dari sakunya. "Kakak sebelumnya pernah memberiku loly-pop seperti ini, kan? Sayangnya, kena buang. Astaga, bukankah itu loly-popnya?" matanya tak sengaja mengarah ke bawah kursi.
"Sudahlah! Lupakan loly-pop itu! Menyebalkan," aku kembali teringat akan kejadian itu.
Ia tersenyum ketika menyuguhkan permen itu ketanganku. "Kak Darrel, bisakah kakak berbagi tempat duduk? Aku ingin duduk di sebelah kakak," pintanya.
"Oh.. Kenapa tidak? Lagi pula, kursi ini bukan milik kakak."
Aku memapahnya ke kursi. Rasa penasaranku tiba-tiba muncul. "Kamu sebenarnya sakit apa?" tanyaku ketika ia telah berada dalam posisi duduk yang benar.
Delvin menarik napas. Kemudian ia melepaskan topi kupluknya. Betapa terkejutnya aku mendapati kepalanya blontos tanpa rambut satu pun. "Mungkin selama ini kakak bertanya-tanya kenapa aku selalu mengenakan topi kupluk," ia mengucapkannya diselangi rekahan bibirnya. "Ya... Inilah kak, aku menderita kanker darah stadium akhir dan mungkin hidupku tak akan lama lagi," Delvin menjatuhkan pandangannya ke bawah.
"Dalvin," aku mengangkat dagunya, menghadapku. Dari sini akupun dapat dengan jelas melihat wajah sendunya. Kantung-kantung hitang mengantung di sekitar matanya. Ia pasti menderita oleh penyakit ini. "Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"
"Apa kakak masih akan mencintaku?" ia tak menjawab pertanyaanku melainkan berbalik tanya padaku.
Aku memasangkan kembali topi kupluknya ke kepala Dalvin. "Aku akan mencintai Dalvin yang ini. Yang selalu memintaku bernyanyi, dan selalu membayarku dengan lolypop."
Tiba-tiba Dalvin membenamkan mukannya ke dadaku. Sementara aku tak bergeming. Bagiku ini serasa hanya mimpi. Tapi kurasakan kehangatan Dalvin yang membantalkan kepalanya- nafasnya menghangatkan debaran jantungku. "Jika kakak benar-benar mencintaiku. Berjanjilah satu hal!" Dalvin sedikit mendongak beserta seutas senyum terabadikan di bibir keringnya. "Lepaskanlah aku kak! Biarkan aku terbang bersama burung-burung geraja itu, dan Aku akan lebih leluasa melihat cinta kakak diatas sana. Akan aku ceritakan kepada seluruh penghuni surga, bahwa cinta kita akan selalu terkenang... selamanya..."
Aku termangu, tepatnya tak ada respon. Telingaku tak ingin aku pasang, karena itu membuatku pusing. Aku menengadah ke atas, bukan ingin menikmati kicauan burung. Tetapi, ingin menahan tangis. Jangan menangis.. jangan menangis.. jangan.
"Kakak menangis?" pipiku terasa diraba. Ya, tangan Dalvin menghapus butiran air mataku yang terjun bebas. Aku tak sanggub bersuara. "Aku cinta kakak, maka penuhi janjimu itu," ia merogoh sesuatu dari kantong bajunya, catatan kecil. "Aku punya satu permintaan lagi. Kakak wajib memenuhinya," ada jeda. "ceritakan pada dunia tentang kisah kita." Dalvin meletakkan catatan itu di telapak tanganku. Kepalanya masih direbahkan di dadaku. Ia sama sekali tak ingin merubah posisinya.
"Ini apa?" tanyaku serak.
Dalvin tersenyum. Itu senyuman terhambar yang terlukis dari raut wajahnya. "Itu diary-ku. Sahabat curahan hatiku." ucapnya parau. "Kakak.. peluk aku lalu nyanyikan sebuah lagu lagi untukku."
Perlahan-lahan aku melingkarkan ke dua lenganku ke lehernya, kemudian mulutku bergetar menyenandungkan lagu.
"Tak terkira di sampingku...
Adalah hal terindah yang pernah ku inginkan...
Tak terkira di pelukmu...
Adalah hal terindah yang pernah ku rasakan..."
Bulir-bulir itu kembali jatuh dari pelupuk mataku. Jatuh ke wajah Delvin yang sudah tak bernyawa lagi. Ia meninggal dalam keadaan tersenyum. Aku menjerit tak mampu menahannya. Aku janji akan menceritakannya.. Aku janji...
****
Diary Delvin
Halaman Ke-1
"Aku melihatnya. Setiap hari aku melihat lelaki itu termenung seorang diri dengan gitar coklatnya. Wajahnya selalu memandang ke atas. Menerawang, menjelajahi ke semak-semak pohon. Dia sedang melihat apa? Ingin rasanya menghampiri lelaki itu. Ingin mendengarnya bernyanyi. Aku yakin suaranya pasti bagus. Ah, ada apa denganku?"
Halaman ke-2
"...Apakah Dia terlahir dari ayah seorang summo, sehingga sanggup menjungkir-balikkan perasaanku? Atau ayahnya adalah seorang penjual loly-pop candy, hingga mampu memberi warna pelangi di hatiku?
Argh! Apa-apaan ini! Padahal aku sama sekali tak mengenal lelaki. Tetapi, kenapa ia mampu memberikan sinyal-sinyal cinta untukku. Aku tak habis pikir, terkadang cinta itu pelik. Tak pernah memandang status sosial, ekonomi maupun jenis kelamin. Seperti rasa penasaranku pada lelaki itu..."
Halaman ke-3
"...Tak terkira disampingku,
adalah hal terindah yang pernah ku inginkan...
Harus kuakui bahwa sair lagu itu benar-benar diriku. Aku nyaman di sisinya, bahkan aku pun tak bisa menggambarkan rasa nyaman itu. Serasa nyeri menggerogoti dadaku.
..Darrel, yang artinya belahan jiwa. Nama yang bagus, sebagus mata keemasannya. Suara merdu memikatnya masih terngiang ditelinga. Aku penasaran, apa lagi yang istimewa darinya?"
Halaman ke-4
"Jujur, aku kalah menipu diriku sendiri, bahwa aku mulai menyukainya dari senyumnya, tampang kesalnya, juga kalimat konyolnya. Uf! Tuhan tega melibatkan aku pada cinta yang tak semestinya ini.
Aku tak ingin jatuh cinta, sebab akan menyesal di kemudian hari. Kenapa bisa? Bisa saja.. Karena aku terkungkung oleh penyakit terkutukku."
Halaman ke-5
"Kata-katanya sungguh di luar dugaanku. Memang, kata-kata itu tak banyak tertumpah keluar dari bibir kak Darrel tapi begitu terucap bagai tertimbuni beton-beton berat yang menyesakkan.
Dia mencintaiku? Itu tidak boleh... Tidak. Aku tak mau memberikan harapan padanya. Aku tak mau dia sampai jatuh cinta padaku meski aku menginginkanya. Biarlah rasa sesal ini yang aku simpan.
Sekali lagi maafkan aku.."
Halaman ke-6
"Dear...
Aku bukan Rose DeWitt Bukater yang harus kehilangan kekasihku, Jack Dawson. Juga tak mau seperti Satine yang hanya mampu membawa cinta Christian ke surga. Namun, aku teramat ingin menjadi Isabella Swan, yang bisa merajut cinta terlarang bersama seseorang yang aku sayangi, Edward Cullen.
Beri aku kesempatan, Tuhan. Meski itu sekecil butiran dubu. Beri aku pilihan!"
Halaman ke-7
"...Kak Darrel..
I LOVE YOU TOO...
Aku cuma bisa mengatakannya lewat kau, diary...
Sampaikan pesan cinta ini padanya.. Sampaikan melalui suara burung-burung gereja. Sampaikan melalui daun-daun kuning akasi bahwa aku mencintainya..."
*****
Epilog
3 Bulan Kemudian
Aku menyaksikan pergantian musim. Pohon akasia kembali menghijau. Burung pipit kini sudah bersahut-sahutan. Hukum semesta, yang tak berubah hayalah perubahan. Aku merindukan burung geraja, merindukan daun-daun kuning akasia. Diam-diam aku berharap, semoga musim cepat berganti, suapaya aku bisa mengenang saat-saat bersamanya di surga kecil ini.
THE END
ampe nangis bacanya
#oke abaikan komen ini
Saya juga gak nyangka kalo ada yg smpek nahan tangis stlh bc cerita ini, pdhl saya sendiri buatnya smbil megang perut saking gak nemu fellnya...*plak
so thank you...
super terima kasih karena sudah menyempatkan baca coretan kecil saya...#membungkuk dalam2...
sorry banget bikin kawan adhi harus repot2 nyediain baskom buat nampung tuh air mata...hehehe makasih ya udah baca...
sderhana tapi sangat mengugah hati, feelnya dapat, konflik btinya juga serasa ikut berperan dalam cerita ini. Thanks bnget ya atas cerpen yang sangat bgus ini n di tunggu terus karya2 kamu slanjtnya, aq yakin gag cuma aq yang menunggunya, n law ada waktu luang buat cerbung mantap juga tu hehe, thanks skali lagi.