1440 Minutes (Day 5; Last Day)
Saat aku sudah berganti baju untuk pergi ke Planetarium yang ada di Ancol, aku dikagetkan dengan sosok Dika dalam balutan baju kasual yang menawan. Serta dengan rambut shaggy yang membuatnya makin imut. Bagaimana bisa rambutnya dapat tumbuh secepat dan selebat itu? Apakah dengan sekali guyuran hujan rambut Dika bisa tumbuh lagi secepat itu? Tidak mungkin. Benar-benar tidak mungkin.
“Rambut lo kok cepet banget tumbuhnya,” kataku memperhatikan wajah Dika yang mengerut bingung. Dia menutup pintu kamarnya dan menatapku dengan seksama.
“Siapa ya?” tanyanya dengan suara yang agak cempreng. Ini bukan suara Dika. Aku bisa tahu karena aku sudah merekam semua suara Dika di kepalaku.
Baru saja aku ingin membuka suaraku, tiba-tiba pintu kamar Dika berderit terbuka. “Diki, ini HP kamu ketinggalan,” itu baru suara Dika. Dan benar saja. Itu memang Dika. Dika-ku. Dengan kepala botak dan senyuman khasnya. “Oh, hai Bas!” sapanya setelah dia melihat wajahku. Aku tersenyum kecil ke arahnya dan menganggguk. “Oh, iya. Kenalin ini Diki. Kembaran gue.”
Aku tertegun. Kembaran. Jadi ini kembaran Dika. Pantesan mirip. “Hai,” ujarku sambil menyorongkan tangan. “Gue Bas.”
Cowok yang namanya Diki ini menyambut tanganku. “Gue Diki,” kami saling tersenyum. Walaupun dia kembaran Dika, tapi senyuman mereka tidak mirip. Aku lebih suka melihat senyuman Dika daripada Diki. “Siapamu ini Ka?” tanya Diki ke Dika.
Mata Dika yang cokelat menatapku sejenak. “Pacar gue,” kata Dika dengan senyuman lebar. Mulutku hampir saja ternganga ketika mendengar dia berkata begitu. Untung saja aku orang yang mudah mengendalikan diri.
Diki menatapku kembali dan tersenyum. Yang kubalas dengan senyumanku juga. Dia lalu mengangkat tangannya lalu berjalan menjauh. Meninggalkanku dan Dika hanya berdua saja. Ketika sosok Diki sudah tak terlihat, barulah aku menengok ke arah Dika yang hanya menampilkan cengiran lebarnya yang khas. Aku juga ikut menyengir dengannya. Entah kenapa, aku senang dia berkata begitu tadi.
136 Minutes
“Lo kok PD banget ya bilang ke Diki kalo gue pacar lo,” kataku saat kami sudah berada di Planetarium. Menatap semua tata surya buatan yang ada di atas kepala kami.
“PD-lah,” ujarnya sambil menarik lengan kemejaku. “Bentar lagikan lo bakalan nembak gue.” Terlalu PD. Tetapi aku malah senang dia bertingkah seperti itu. Aku benar-benar memang merasakan sesuatu tentang dirinya. “Walopun kita baru kenal selama lima hari. Ato baru 7200 menit. Gue yakin kok lo nyimpen perasaan buat gue. Meskipun gue nggak bisa baca pikiran orang. Tapi gue bisa nge-baca tanda yang lo kasih.”
Aku tertawa kecil dan memeluk pinggangnya saat kami berada di ruangan yang hanya diterangi oleh bintang-bintang buatan. “Oke,” ucapku pelan di telinganya. “Gue mau lo jadi pacar gue. Tapi ada satu syarat!”
Dika menatapku dengan matanya yang indah itu. “Apa?”
“Lo harus berusaha untuk hidup juga kayak gue. Kita harus sama-sama berusaha buat hidup Dik,” kataku menempelkan tanganku di lehernya. “Gue… gue nggak mau hidup tanpa lo Dik. Gue… gue sayang lo Dik. Kayak yang lo bilang. Walopun kita baru kenalan selama lima hari. Ato 7200 menit, gue juga ngerasa ada yang tumbuh di hati gue tentang lo. Dan gue yakin itu rasa sayang.”
Tiba-tiba ada cairan hangat yang mengalir di tanganku. Air mata Dika. “Gue bakalan berusaha,” ujarnya dengan suara tercekat. “Gue bakalan berusaha buat bisa tetep hidup untuk lo Bas. Karna gue juga sayang sama lo.” Dan aku tidak tahu kenapa, perkataan yang di lontarkan oleh Dika barusan masih mengandung keraguan. Sama seperti diriku yang juga ikut ragu apakah dia bisa selamat apa tidak. Saat aku bertanya pada dr. Leo, dokter pribadi Dika. Tingkatan keberhasilan Dika hanya 12%. Yang membuatku sangat takut buat kehilangannya.
254 Minutes
Dika yang menaruh kepalanya di atas kepalaku terlihat gusar malam ini. Kamarnya yang biasanya cerah dan meyenangkan, kini terlihat muram dan menakutkan. Aku tahu apa yang ada dipikiran Dika. Yaitu hari esok. Dimana aku dan dia akan meregang nyawa di ruang operasi. Menanti apakah nyawa kami akan baik-baik saja atau akan pergi meninggalkan dunia ini. Nafas Dika yang perlahan-lahan itu membuat jantungku merengkuh dalam sakit. Entah kenapa, aku juga tidak begitu yakin apakah aku bisa hidup atau tidak. Padahal dua hari yang lalu aku sudah mulai optimis. Tapi sekarang rasa optimis itu sudah sirna kembali. Yang digantikan dengan kecemasan dan rasa kalut yang berlebihan.
“Gimana keinginannya yang kelima, udah ngerasa bahagia belum?” aku bertanya pelan ke telinga Dika. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela menerangi wajahnya yang agak suram. Aku tidak ingin melihat wajahnya yang seperti itu. Ini hari terakhir kami bisa bersama. Aku tidak tahu apakah besok aku dan dia bisa selamat dari kanker ini.
“Belum,” jawab Dika singkat sembari dia menutup matanya. Raut wajahnya yang pucat dan lelah begitu terlihat jelas dari ujung mataku. “Bas… kalo misalnya gue nggak selamat dari ini, lo mau kan kunjungin makam gue nanti?”
Pertanyaan itu membuat jantungku berhenti satu detakan. “Lo ngomong apaan sih!” seruku dengan nada tidak suka. Aku mengangkat tubuhku dengan gerakan cepat. Dan ternyata ini langkah yang bodoh. Karena tiba-tiba tulang punggungku terasa begitu nyeri. Hanya saja aku tidak mau menunjukan raut wajah kesakitan didepan Dika. “Lo harus berusaha buat tetep hidup Dik. Buat keluarga lo. Dan juga buat… gue.”
Air mata Dika kembali mengalir seperti beberapa ratus menit yang lalu. “Gue selalu ngeyakinin hati gue kalo gue bisa selamat dari ini Bas. Tapi angan-angan itu hilang pas gue tau kalo keyakinan itu hanyalah imajinasi belaka. Gue nggak akan pernah bisa selamat dari ini Bas. Dan lo tau kalo gue benerkan!”
Aku memegang kepala Dika dan menyuruh matanya untuk menatap mataku. “Lo bisa ngelalui ini Dik. Lo harus bisa. Karena gue juga bakalan berusaha untuk hidup buat lo. So, please, berusaha buat gue! Karena gue bakalan berusaha buat lo.” Entah pemikiran darimana, aku langsung mencium bibir hangat Dika. Rasa gula dari obat cair yang dia minum tadi menyeruak masuk ke dalam mulutku.
Dika menarik bibirnya dariku dan menatap mataku yang agak berlinang karena air mata yang hampir keluar. “Bas, keinginan gue yang kelima belum bener-bener gue rasain. Lo mau nggak nolongin gue buat ngerasain kebahagiaan yang sesungguhnya?”
Pertanyaan itu sangat lambat masuk ke telingaku. Aku menelan air ludahku sebelum menjawabnya. “Gue bakalan nolongin lo. Apapun itu. Bilang aja apa yang lo mau biar lo bisa ngerasain kebahagiaan yang sebenernya.”
Dika menaruh pipinya di pipiku. “Apapun boleh?” tanyanya berbisik parau. Aku mengangguk tanda mengiyakan. “Kalo gitu lo mau nggak ngelakuin hal itu sama gue?” Aku tidak perlu bertanya padanya tentang arti dari kalimat ‘ngelakuin hal itu’. Aku sangat mengerti apa arti perkataan Dika tadi.
Lalu semuanya terjadi tanpa pemikiran apapun. Semula kami hanya berciuman. Kemudian entah bagaimana baju kami sudah terlepas semua. Dan tiba-tiba aku sudah memasuki diri Dika. Yang saat ini dia sedang mengerang nikmat dibawahku. Bisikan darinya terus memasuki telingaku. Tetapi tak satupun yang bisa kucerna di otakku. Kecuali bisikan yang satu ini. “Gue cinta sama lo Bas.” Dan saat itulah aku berteriak pada Tuhan untuk memberikan kesempatan kedua kepadaku dan Dika untuk hidup besok. Ya! Aku dan Dika harus hidup besok. Atau paling tidak, jika dia tak selamat. Aku mau mati bersamanya.
***
(Day 6)
Efek obat bius itu akhirnya berhenti. Seluruh badanku terasa sangat panas. Punggungku juga terasa begitu nyeri. Mataku nanar saat kubuka. Lampu berwarna putih yang masuk ke dalam retina mataku rasanya sangat menyilaukan. Nafasku agak gelagapan saat ada seseorang yang memegang tanganku. Apakah aku masih di operasi? Ataukah aku sudah mati? Entahlah. Jika aku mati, aku pasti sudah tidak akan merasakan nyeri di punggungku ini.
“Sayang, kamu udah sadar,” itu suara Mamaku. Nada ke-ibuannya menenangkanku. “Buka matanya pelan-pelan sayang. Nggak usah buru-buru. Mama panggilin dr. Diatmika dulu.” Lalu sosok Mamaku yang tadi duduk disebelahku, tiba-tiba menghilang.
Akhirnya, setelah dua menit yang panjang aku mencoba membuka mataku, kini dia sudah bisa terbuka dengan lebar. Tetapi baru saja aku ingin melihat tanganku yang di-infus, tiba-tiba ada sebuah tamparan yang mendarat di kedua pipiku. Rasa sakit menjalari kedua belah tulang pipiku. “Hei!” teriak-ku dengan nada tinggi.
“Hei, hei!” cerca seseorang yang berdiri disebelah kiriku. Aku mengenal suara itu. Suara Dev. “Lo orang paling bajingan yang pernah gue tau,” serunya dengan nada marah yang benar-benar berang. Dia menampar wajahku sekali lagi. “Lo nggak pernah bilang ke kita kalo lo kena kanker tulang. Dan lo juga nggak bilang ke kita kalo lo selama lima hari kemaren lagi kemoterapi.” Sekali lagi Dev menampar wajahku. Rasa panas menjalari mukaku.
“Plus lo ninggalin kita tanpa catatan apapun,” suara Luk yang tegas menjalari gendang telingaku. Tangannya yang kokoh menampar pipi kananku. “Lo tau nggak gue sama Dev kuatir banget. Kita kirain lo diculik sama om-om ganjen.” Luk memukul kepalaku yang tanpa rambut. “Dan pas kita tau kabar lo dari nyokap lo, dia ngasih tau kita kalo lo lagi di operasi. Yang buat gue sama Dev hampir tabrakan pas mau dateng kesini saking cemasnya.” Sekali lagi Luk memukul kepalaku. “Mana kepala lo botak lagi sekarang!”
Dengusan tajam keluar dari hidung Dev. “Sekarang jelasin ke kita berdua apa maksud lo sama semua ini? Lo bilang lo udah terbuka sama kita berdua? Mana buktinya? Dasar penipu gadungan!” Dev menjitak pelan kepalaku. Aku meringis tetapi tidak mau melawan. Aku tahu, dari semua pukulan yang mereka lancarkan padaku. Ada sirat kecemasan dan kebahagian yang terpancar disana. Suara mereka yang parau juga menunjukkan kalau mereka sudah agak lega sekarang.
“Gue nggak mau kalian kuatir,” tuturku parau. Menatap wajah Luk dan Dev dengan hati-hati.
“Dan lo pikir dengan cara lo ngilang gitu, kita nggak kuatir. Apalagi pas denger berita lo lagi meregang nyawa di ruang operasi. Lo pikir kita biasa aja gitu nge-denger berita itu?”
“Sori” ucapku penuh penyesalan. Wajah Luk dan Dev berubah seketika ketika mendengarku minta maaf. “Gue bener-bener nggak maksud buat gitu. Gue pengen kalian bahagia. Nggak mau ngurusin manusia penyakitan kayak gue ini.”
Dev menatapku dengan mulut ternganga lebar. “Lo pikir kita bakalan bahagia ketinggalan momen penting sama sahabat kita yang hampir mati? Lo pikir gue sama Luk bisa hidup tanpa lo? Eh, anjrit!” Dev memukul pucuk kepalaku sekali lagi. “Lo sahabat kita. Dan gue nggak mau kehilangan salah satu dari kalian.”
Aku meringis tetapi tersenyum. “Maaf Luk. Maaf Dev. Gue nggak bakalan nyembunyiin apapun dari kalian mulai sekarang.”
“Lo memang kudu harus gitu mulai sekarang,” ujar Dev lalu dia memeluk pundakku sambil terisak. “Gue bener-bener nggak mau kehilangan lo Bas. Lo dan Luk adalah kedua sahabat gue yang paling brengsek dan paling baik yang gue sayang.”
Luk yang berdiri disebelah kananku juga ikut nimbrung dalam pelukan ala Teletubies kami ini. Matanya yang merah terlihat begitu sedih. Tapi juga kelihatan agak gembira sekarang. Dia memelukku dengan hangat dan mengelus pelan kepalaku yang tanpa rambut. Selama satu menit yang panjang, akhirnya pelukan kami berakhir. Lalu, entah darimana datangnya ide ini, kami bertiga mulai tertawa dan menyadari tingkah konyol yang barusan kami lakukan tadi.
“Dev,” panggilku pelan. Dev masih dalam balutan tawanya saat menatapku. “Gue mau minta maaf karna pernah ngatain lo pelacur laki-laki.”
Dev menaikan kedua alisnya. “Gue nggak tau lo kesambet setan apa sampe lo sekarang bisa minta maaf sama orang. Tapi, nggak apa-apa kok Bas. Gue juga sadar kok tingkah gue kemaren itu memang kayak pelacur laki-laki. Mulai sekarang gue udah mau ngerubah jalan hidup gue. Ke yang lebih baik, tentunya.”
Pintu terjeblak terbuka. Menampilkan sosok Mamaku dan dr. Diatmika. Senyuman lebar meriah terpampang jelas di wajah dr. Diatmika yang menurutku sangat kebapakan. Dia berjalan cepat ke sebelah kananku dan memegang tanganku. Sentuhan hangat yang diberikan oleh dr. Diatmika bisa membuatku tenang. “Kondisi nak Bastian sekarang udah stabil. Pengangkatan jaringan kanker yang menyerang tulang nak Bastian juga sudah diobati dengan tuntas. Nak Bastian bakalan baik-baik aja mulai sekarang.”
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari dr. Diatmika, tiba-tiba Luk dan Dev berpamitan pulang. Karena hari sudah semakin malam. Mamaku juga ingin pergi keluar sebentar. Mau mengambil baju-bajuku di rumah. Jadi hanya aku dan dr. Diatmika yang ada di ruangan ini. Bercengkrama tentang hasil operasiku. Dan harus apa saja yang kulakukan agar kanker tulang ini tidak menghinggapiku lagi. Semua penjelasan rinci yang diberikan oleh dr. Diatmika tidak benar-benar bisa masuk ke dalam otak-ku. Karena sekarang yang ada di pikiranku hanya Dika. Apakah dia selamat dari operasinya?
“Nak Bastian mau minum?” tanya dr. Diatmika pelan disampingku. Menyadarkanku kalau dia masih ada di kamar rawatku ini.
“Nggak dok,” aku menggeleng pelan. Lalu tiba-tiba aku sadar kalau dr. Diatmika mengenal dr. Leo. Dokter pribadi Dika. Dokter yang meng-operasi Dika tadi jam sebelas pagi. Pasti dr. Diatmika tahu tentang perkembangan operasi Dika. “Dok, pasiennya dr. Leo yang di operasi jam sebelas tadi, berhasil selamat apa nggak?”
Jantungku berdegup kencang saat dr. Diatmika menatapku dengan raut wajah sedih. Kumohon jangan berikan aku jawaban yang tidak ingin kudengar, dok! Tetapi tidak. Dia malah memberikanku jawaban mengerikan itu. “Dia nggak berhasil. Kanker otaknya sudah menyerang semua organ di otak besarnya dan di otak kecilnya. Semua fungsi di otaknya sudah benar-benar tidak bisa disembuhkan lagi.”
Rasa-rasanya aku ingin berteriak lalu berlari meninggalkan rumah sakit ini. Berarti Dika sudah tidak ada. Berarti dia sudah pergi meninggalkanku. Badanku gemetaran dan tidak bisa kukontrol. Deru jantungku melemah seketika. Mataku nanar tetapi tak ada air mata yang bisa keluar disana. Aku ingin marah… ingin mengutuk dr. Leo karena tidak bisa menolong Dika. Aku sangat marah pada Tuhan. Bukan karena dia mengambil Dika. Tetapi karena dia tidak mengajak-ku pergi bersama Dika ke dunia-Nya.
“Oh, iya,” dr. Diatmika yang masih berdiri di sebelahku mengeluarkan sesuatu dari kantung jas Dokternya. “Ini dari Dika.”
Nafasku langsung tercekat ketika melihat kertas karton yang berisi kelima ke-inginan Dika sebelum dia meninggal. Kertas itu bergoyang pelan di tanganku saat aku mengambilnya dari tangan dr. Diatmika. Jantungku yang tadi melemah, kini berdentum-dentum seperti drum. Nafasku memburu saking ingin segera membuka kertas itu. Untung saja dr. Diatmika bisa membaca pikiranku. Karena akhirnya dia meninggalkanku sendiri di kamar rawatku ini.
Ketika bunyi pintu tertutup tegas, barulah aku membuka kertas karton yang terlipat-lipat kecil ini. Tulisan tangan Dika yang saling menyambung membuat linangan air mataku semakin banyak. Membuatku ingat ketika dia menggosokan tangannya di tulisannya ini. Dengan teliti, aku membaca tulisan tangannya yang indah. Hari pertama… ngeliat taman bunga untuk terakhir kalinya. Hari kedua… berenang di pantai. Hari ketiga… main kembang api dan petasan. Hari ke-empat… nari dibawah hujan. Hari kelima… merasakan kebahagiaan.
Lalu dia menambahkan sesuatu dibawah ke-inginannya yang kelima.
Hari ke-enam… lo harus janji nggak nangis buat gue.
Aku meremas kertas itu dengan erat. Dengan sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak keluar. Dia menyuruhku berjanji untuk tidak menangis. Jangan menangis! Jangan menangis! Aku berbatin putus asa di dalam hatiku. Menyuruh mataku yang cengeng untuk tidak mengeluarkan air mata.
Kubenamkan kertas itu diwajahku. Wangi tinta yang masih basah tercium lengket di hidungku. Aku kembali mengangkat kertas itu kedepan wajahku lalu memutarnya. Dan disanalah dia… tulisan panjang dengan banyak tetesan air mata disetiap hurufnya. Aku menyipitkan mataku untuk membaca tulisannya yang sedikit agak berantakan:
Dung Dung Prett Bastian
Maaf ya karena nggak bisa bertahan hidup buat lo. Suer deh, gue udah nyoba buat tetep bisa ada di samping lo. Tapi para malaikatnya nakal nyuruh gue ikut mereka. Gue udah nolak tuh ajakan para malaikat, tapi mereka tetep aja maksa. Jadi, gue sekarang udah nggak bisa ada di samping lo lagi. Maafin gue ya. Tapi lo nggak usah kuatir. Karena dari atas sini, gue bakalan selalu ngejagain lo kok. Ngejagain Bastian gue.
Gue tau lo selamat dari penyakit ini Bas. Karena kalo lo nggak selamat, pasti kita berdua sekarang lagi jalan-jalan disini. Sambil ngobrol tentang banyak hal. Sambil nge-lakuin semua keinginan yang belum bisa gue capai sampe ajal gue datang.
Tapi Bas, diatas itu semua, gue ingin berterima kasih sama lo. Karna sudah mau nemenin gue ngelakuin semua keinginan konyol yang gue buat. Lo bener-bener orang yang baik Bas. Gue sayang sama lo. Walaupun kita baru kenal selama lima hari. Ato 7200 menit, gue bener-bener ngerasa sayang banget sama lo.
Dan makasih juga karna lo udah mau sayang sama gue.
Sekarang, lo harus hidup bahagia Bas. Karna gue juga bakalan hidup bahagia diatas sini buat lo. Sekarang gue sehat dan aman Bas. Selain itu, gue bakalan selalu nunggu lo disini. Nunggu lo dateng ke kepelukan gue lagi. Sampai saat itu tiba, gue-lah orang yang pertama kali dateng ngunjungin lo dan berbisik di telinga lo. Kalo gue “Cinta sama lo.”
Kututup kertas itu dengan perasaan getir. Linangan air mataku sudah semakin banyak sekarang. Aku mendekap tubuhku erat. Merasakan kekosongan yang menggerayangi tubuhku. “Cinta sama lo.” Aku juga cinta sama kamu, Dika. Aku juga. Dan aku belum mengatakan hal itu kepadanya. Betapa bodohnya aku!
Jangan nangis! Jangan nangis! Seruku dalam hati. Inget, lo nggak boleh nangis Bas. Kalo lo nangis lo bakalan ngelanggar janji ke-enam yang Dika suruh. Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis! Jangan nangis!
Tetapi sekuat apapun aku menyuruh diriku untuk tidak menangis. Aku akhirnya roboh juga. Air mataku mengalir dengan lembut di kedua pipiku. Tanganku meremas kertas itu dengan perasaan hampa dan kalut. Tuhan, gue mohon balikin Dika. Tetapi sebesar apapun ke-inginanku, Tuhan tidak akan bisa melakukan hal itu. Aku sekarang benar-benar kehilangan Dika untuk selamanya.
Gue juga cinta sama lo, Dik. Saat aku selesai membatin berkali-kali kalimat itu, akhirnya mataku terlelap juga karena lelah.
***
Usapan ringan dan agak sedikit dingin menjalari tulang kepalaku. Mataku yang masih sembap karena habis menangis sangat sulit untuk dibuka. “Sebenernya gue belum dibolehin keluar dari kamar. Tapi karna gue kangen sama lo, jadinya gue dateng kesini.”
Air mataku mengalir deras. Suara itu. Suara yang sudah kurekam didalam otak-ku. Suara Dika-ku. “Jangan pergi!” kataku, mengangkat tanganku untuk meraih asal suara tersebut. Ingin menggenggam suara itu agar tidak akan pergi dari otak-ku.
“Gue nggak bakalan pergi,” ujar suara itu penuh keyakinan. Walaupun nadanya sedikit lemah. “Gue bakalan selalu ada disamping lo,” tutur suara itu lembut. Lalu tiba-tiba, tangan hangat yang amat kukenal itu menggenggam tanganku. Membuat mataku langsung terbuka cepat.
“Dika?” rapalku seperti berdoa. Kemudian suara itu menyambut panggilanku. Aku memutar kepalaku cepat kesebalah kanan. Dan melihat Dika yang sedang tersenyum lebar ke arahku. Badannya yang agak sedikit ringkuh terduduk di atas kursi roda. “Lo beneran Dika?” aku gelagapan untuk memegang wajahnya.
“Bukan, ini setannya,” seru Dika sambil tertawa. Tetapi tawanya berhenti saat dia melihat air mata yang mengalir lancar di kedua pipiku. “Kenapa Bas? Lo kenapa nangis?”
Aku sesungukan seperti anak kecil. Tangan kananku masih memegang wajahnya dengan erat. “Kata dr. Diatmika lo udah meninggal,” ucapku perlahan. “Kalo misalnya lo beneran hantu. Gue nggak keberatan lo hantuin Dik.”
Tiba-tiba air mata mengalir pelan di matanya. “Gue nggak meninggal Bastian gablek!” serunya berusaha mencairkan suasan mellow ini. “Dr. Diatmika kurang ajar. Gue masih hidup kok. Nih buktinya kaki gue bisa nginjek tanah. Emang dr. Diatmika bilang apa ke lo?”
“Gue tadi nanya dia, lo meninggal apa nggak? Dan dia ngejawab iya.”
“Lo nanya dia pakek nama gue apa nggak?”
“Nggak. Gue bilang pasiennya dr. Leo.”
Tiba-tiba Dika tersentak di kursinya. Lalu dia menaikan kedua alisnya tinggi-tinggi. “Bukan dr. Leo yang nge-operasi gue tadi.” Suara tangisanku langsung tercekat. “Tapi dr. Rahma.” Dika menghapus air mata yang mengalir di pipi kiriku.
“Terus yang dimaksud sama dr. Diatmika tadi siapa?” tanyaku gelagapan.
Dika menghembuskan nafasnya pelan-pelan. “Handi. Inget nggak cowok pendiem yang pernah gue ceritain dulu. Cowok yang punya kanker otak yang sama kayak gue. Dia yang meninggal. Bukan gue.”
Aku mengerang bahagia dan lega. Dengan gerakan hati-hati aku langsung memeluk Dika. “Terus apa maksud lo sama ini?” aku menyorongkan kertas karton yang berisi keinginan-keinginan yang Dika buat. Serta surat perpisahan yang telah dia tulis dengan sensasi air mata didalamnya.
Dika cengengesan sebelum menjawab. “Yah… itu sih biar keadaan lebih men-dramatisir. Siapa tau gue beneran meninggal. Kan biar lo tau, kalo gue udah berusaha untuk hidup buat lo. Plus biar lo tau kalo gue sayang dan… cinta sama lo.”
Aku tertawa kecil mendengar perkataannya barusan. Jantungku yang semula benar-benar kalut karena sudah berpikir telah ditinggal mati oleh Dika, berubah menjadi sangat bahagia. Aku berseru berterima kasih pada Tuhan karena sudah mendengar doaku untuk memberikan kami berdua kesempatan kedua. “Dari surat ini, lo bener-bener bisa buat gue nangis,” kataku lalu menarik kepalanya lembut. Menaruhnya di pundakku. Kudekatkan mulutku ke telinganya. Ingin memberitahunya hal yang tak sempat kuberitahukan keepadanya. “Gue juga cinta sama lo Dik.”
Tawa renyah Dika menggema di dadaku. Tangannya yang hangat menggenggam kaus pasienku. Dia mendorong sedikit badannya menjauh dariku. Lalu menatap mataku dengan tatapan menenangkan. “Mulai besok, kita akan menjalani hari yang lebih indah dari hari kemarin-kemarin.” Lalu saat bibir kami berdua bertemu, aku sangat percaya dengan apa yang dia katakan barusan kepadaku. Ya! Kami berdua akan menyongsong masa depan kami. Se-indah apapun nanti, seburuk apapun nanti. Selama dia berada di sampingku, aku tidak akan pernah merasa ragu lagi. Tidak akan pernah lagi.
--The End--
Coming Soon: Dev
Judul: 157.766.400 Seconds
Just Wait Guys,
!
Comments
btw untuk ts kalo bisa bikinnya 1 thread aja... jangan 2 thread..
nice story...
sugoiii
Hahahaaaa
Good Job!!!!!!!!!!
Dev
Judul: 157.766.400 Second
ЬĕεћĥĦĤH◦°◦◦°◦
pasti bakal lama =.="
mengingat 'kamar sebelah' juga lagi kejar tayang )
gag nyangka, kamu bisa bikin aku nangis di cerita ini. cos trit sebelah bikin aku ngakak mulu (part nya Sid & Adam) ) )
Bikin nangis pas bagian surat dari Dika!!
great story!!!
keren keren.. 2 jempol deh buat kakak
eh lah g jd metong dikanya,,
╭(╯_╰)╭