BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

desem's story

Salam.

mau buka lapak baru. isinya cerpen2 karanganku. monggo dibaca dan dikomentari.

terima kasih.

Comments

  • Cuap-cuap

    Cerita ini hanya fiktif, luapan dari imaji-imaji kriminilku. Ya beginilah kalau nganggur terlalu lama, membuat otak jadi aktif memikirkan hal-hal yang paling bertentangan dengan keseharian. Hal ini pula yang mendukung salah satu hipotesis bahwa manusia itu akan selalu cenderung untuk sibuk, jika ia tidak sibuk dengan kebaikan maka akan sibuk dengan keburukan.

    Untungnya aku punya mekanisme pembelaan ego (Ego Defense Mechanism) yang cukup bisa diandalkan, salah satunya adalah sublimasi, sehingga aku bisa menyublim niat-niat jahatku menjadi sebuah tulisan. Ya, walaupun tentu tulisan ini masih sangat jauh dari kata excellent.

    Eh iya, ni cerita semi fan fiction. Tokoh-tokohnya diambil dari cerita bersambung Ramadhan dan Syawal di Musim Bedug by Nayaka Al Gibran (duniakatanayaka.wordpress.com).
    Cerita ini sudah mendapatkan izin dari Nayaka dan sudah pernah dimuat di blognya.

    Well, buat para Haikalizer, sorry banget ya, aku mendahului kalian menculik dia hehehe. Nggak tahan pengen nggigit pipinya yang gembil, apalagi pas dia ngomong dengan EYDnya (baca: Ejaan Yang DiHaikalkan).

    Buat-buat bapak-bapak maupun ibu-ibu, serta siapa saja, ingat kata bang napi, kejahatan tidak hanya karena niat, tapi juga karena ada kesempatan.
    Be watch!

    Menculik Haikal

    by: Desem

    Kupandangi foto di tanganku. Sesosok bocah kecil berpipi gembil, berambut ikal. Sungguh menggemaskan. Pantaslah jika banyak yang menginginkan bocah ini. Tapi itu bukan urusanku. Urusanku adalah mengambil dan menyerahkan kepada orang yang membayarku. Aku butuh duit.

    Sesuai dengan informasi yang kudapatkan, hari ini adalah hari yang tepat untuk mengambilnya. Dan sekarang, bocah menggemaskan itu berada sepuluh meter tepat di depanku. Dia bersama dua orang pemuda. Keduanya memakai kaca mata. Salah satunya pasti kakaknya. Entah yang lain. Yang mana kakaknya, aku tak terlalu peduli. Bukan urusanku. Urusanku hanya pada bocah berpipi gembil itu.

    Haikal, lima tahun, begitu informasi yang kudapatkan bersama dengan foto yang kugenggam. Dialah targetku hari ini.

    Maaf bocah, tapi kau lah satu-satunya harapanku. Lima juta kurasa terlalu murah untuk bocah senggemisin kamu, tapi tak apalah. Yang penting cukup untukku hidup beberapa bulan serta bayar biaya Ujian kompetensi. Sekali lagi maaf bocah, aku terpaksa, aku butuh duit. Yah beginilah kalau hidup di jaman kapitalis, semua bisa menjadi komoditas, termasuk ujian kompetensi.

    Dengan sabar kuamati mereka bertiga, si bocah berpipi gembil bersama dua orang pengawalnya. Mencari saat yang tepat untuk mengambil bocah itu. (aku lebih suka menggunakan kata mengambil daripada menculik, kalau menculik itu sepertinya terlalu menakutkan, hehehe). Mereka sedang menikmati junk food yang mereka beli.

    Sepuluh menit berlalu, dan kesempatan itu belum juga datang. Kuputar otakku (ini hanya kiasan, bisa mati aku kalo memutar otak sungguhan. Lha bergeser sedikit saja bisa fatal, apalagi berputar). Aku mulai berfikir untuk menciptakan kesempatan bukan hanya menunggu tanpa kepastian. Seperti yang didengung-dengungkan para motivator itu, bahwa kesempatan itu bisa diciptakan.
    Aha... aku ada ide.

    "Boleh...?” tanyaku mengusik konsentrasi makan mereka. Ketiganya memandangiku dengan tatapan bertanya-tanya. Mungkin belum paham maksudku. Kutegaskan maksudku dengan menunjuk kursi kosong yang tidak mereka pakai sambil menyuguhkan senyum terbaikku. Barulah mereka tahu bahwa aku ingin duduk bergabung dengan mereka.

    “Silahkan...” jawab salah satunya tanpa berfikir panjang. Sementara pemuda satunya meliriknya tajam, tanda ia tidak setuju. Sementara si bocah gembil menatapku dengan matanya yang bundar. Lalu ia tersenyum menggemaskan.

    “Thanks. Ramai banget, sampai-sampai nggak ada kursi kosong,” ujarku menjelaskan.

    “Cama-cama...” sahut si bocah gembil mendahului kedua pengawalnya. Mulutnya mulai belepotan oleh saus merah yang dicolek-coleknya dengan paha ayam.

    “Hmmm, ngomong-ngomong kakak ini...” ucap pemuda yang dari tadi merengut, memandangku dengan curiga. Sekejap aku merasa keder.

    “Oh iya, kenalin saya Muharram...” ucapku sok hangat. Moga-moga mereka nggak curiga.

    “Oh kebetulan sekali. Nama saya Syawal...” jawab pemuda yang ramah. Dia tersenyum hangat. ”Ini adek saya Haikal...” dia menunjuk si bocah gembil.

    “Ikal...” ucap bocah gembil setengah kesal. Tampaknya dia ingin memperkenalkan dirinya sendiri. Bocah yang cerdas, bisa jadi nilai tambah untuk nego nanti.

    “Dan dia...” lanjutnya mengambang.

    “Ramadhan...” potong pemuda yang tidak ramah. Apa dia curiga padaku ya?

    “Muharram, Syawal dan Ramadhan. Hmmm... what a wonderfull name,” ucapku sok kagum. “Mungkin kita berjodoh, makanya nama kita sama-sama bulan dalam kalender Hijriyah” sambungku. Akhirnya aku mensyukuri namaku. Dulu aku sering protes ke orang tuaku karena memberikan nama yang agak asing di telinga. Apalagi nama panggilanku dari teman-temanku yang terasa ganjil: Haram.

    “Ikal, Kak Idan, Kak Ibal dan Kak Ilam...” sahut Haikal mengurutkan nama kami dengan EYD-nya, ejaan yang diHaikalkan. Ikal tentu namanya sendiri. Idan mungkin Ramadhan, Ilam mungkin itu aku Muharram. Tapi kalau Ibal? Mungkin Syawal. Mengapa bukan Iwal saja? Entahlah.

    “Jadi nama baruku Ilam ya? Hehehe lucu juga,”

    “he he he...” si Syawal tertawa renyah lalu tersenyum kembali semakin hangat. Sementara si Ramadhan masih merengut.

    “Kakak mahasiswa ya?” tanya Syawal lagi. Hmmm pertanyaan yang sulit. Kalau kujawab iya, pasti lanjutnya jurusan apa semester berapa. Kalau kujawab nggak, entar nyambung pertanyaan kerjanya apa. Sementara aku tidak kuliah sekaligus tidak kerja. Aku pengangguran. Dan tentu mereka akan lebih mudah menaruh curiga pada pria pengangguran seperti aku. Secara, pengangguran kan adik tirinya kriminalitas.

    “Kak...?” tanya Syawal mengangetkanku. Masih dengan senyum yang hangat. Sementara si Ramadhan terus saja merengut. Apakah dia tidak bisa tersenyum?

    Dug.... meja kami terangkat sejenak.

    “Auu...” bersamaan dengan itu si Syawal berteriak tertahan. Dia menoleh ke arah Ramadhan dengan pandangan bertanya. Sementara si Ramadhan menatapnya tajam. Sepertinya mereka sedang tidak akur, tapi ah... apa peduliku. Bukan urusanku,urusanku adalah H A I K A L.

    “Aku ke toilet dulu...” Ucap Si Ramadhan ketus. Tampaknya dia ngambek dan benar-benar kesal dengan si Syawal. Kayak orang pacaran saja, pakai ngambek-ngambek segala.

    Syawal melongo, menatap “pacar”nya yang kabur ke toilet. Mereka benar-benar tampak seperti sedang pacaran. Atau jangan mereka memang benar-benar pacaran? Secara hari gini gitu lho, cowok-cowok pada suka pada sesama. Lebih aman gitu katanya. Tapi sekali lagi, itu bukan urusanku. Urusanku hanya bocah berpipi gembil saja. Kecuali kalau ada yang order brondong. Tapi resikonya terlalu besar, lebih aman menculik bocah.

    Tanpa harus mengambil pusing tentang kedua pemuda yang kuduga sepasang kekasih itu, aku segera menjalankan langkah strategi kedua: menjauhkan Haikal dari kedua pengawal setianya. Dan ini adalah saat yang tepat, mumpug pengawalnya tinggal satu orang saja.

    “Mau es krim?” tanyaku pada Haikal. Tampaknya pancinganku berhasil. Matanya yang bundar tampak semakin membundar cerah. Dia menoleh ke arah Syawal. Syawal tampak agak keberatan.

    “Nggak papa koq, itung-itung rasa terima kasihku dah di tampung makan hehehe...” segera kujelaskan sebelum dia benar-benar menggelengkan kepala. Dia menatapku lekat-lekat, lalu kembali tersenyum hangat. Jangan-jangan dia naksir aku? Makanya si Ramadhan ngambek.

    “Eh eh... Ikal mau rasa apa?” tanyaku mengalihkan perhatian si Syawal. Jadi nggak enak dipandangi kayak gitu terus.

    “Eeemm.... “ Haikal melirikan matanya ke atas, melihat atap, berfikir keras. Ah dasar anak-anak, milih rasa es krim aja mikirnya kayak mikirin soal ujian Anatomi[1]. Tapi ekspresinya yang sok berfikir itu membuatnya tambah nggemesin.

    “Atau ikal mau milih sendiri ma kak Ilam?” tanyaku. Langkah kedua semakin mendekati keberhasilan. Kalau aku bisa membawa Ikal menjauh dari kedua pengawal setianya, nyaris bisa dipastikan misiku berhasil.

    “Boleh ya kak...?” tanya Ikal ke Syawal, tentu dengan nada merengek manja lengkap dengan puppy eyesnya. Hihihi tampaknya hari ini aku sedang beruntung, Tuhan memberkatiku.

    Apa? Tuhan memberkati kriminalitas? Nggak salah?

    Ah suara super ego[2] yang mengganggu. Nggak usah didengerin.

    “Kak Ibal mau lasa apa?” tanyaku menggunakan ejaan yang diHaikalkan. Semoga dengan jurus ini aku berhasil mengelabuinya.

    “eh ... eh ... eh..” mendadak dia jadi gagap. Mukanya memerah. Apa dia beneran naksir aku? Ge er banget aku. Bukan saatnya aku mikirin hal-hal tidak penting itu. Aku harus segera mengambil Ikal sebelum Ramadhan yang ketus itu datang.

    “Terserah Ilam saja...” jyaa... dia ikut-ikutan memanggilku Ilam.

    “Yuk Ikal...” ajakku. Aku harus segera pergi dari pemuda ini. Dan Ikal pun langsung berdiri menyusulku. Kami segera menuju tempat es krim.

    “Ikal mau rasa apa?” tanyaku.

    “Mmm... Setlobeli aja kak. Campul coklat ya kak, campul dulian juga” kyaa... anak ini benar-benar cerdas, cerdas dalam membuatku bokek.

    “Okey,” jawabku sok tidak keberatan. Padahal keberatan banget.

    “Kalo kak Idan dan Kak Ibal, suka rasa apa?” tanyaku menggantung. Apa perlu aku belikan ya? Cukup nggak ya uangku?

    “Mmm... “ dia mengangkat pundaknya. “Kak Idan dan Kak Ibal nggak usah kak, meleka jahat, suka cuekin Ikal,” rajuknya menyelamatkan kantongku. Lagipula aku tidak bermaksud kembali ke meja mereka.

    “Stroberi, campur coklat dan durian” pesanku pada mbak-mbak penyaji es krim. Kuawasi tempat duduk kami tadi. Ibal, (eh kenapa aku memanggilnya Ibal) maksudku Syawal masih sendirian. Ramadhan belum datang. Mungkin dia benar-benar kesal dan ngambek. Atau mungkin dia sedang konstipasi[3]?

    “Eh gimana kalo kita main petak umpet?” tanyaku pada Haikal yang sudah sibuk dengan es krimnya. Langkah ketiga kujalankan.

    “Kak Ibal yang jadi setannya. Kita sembunyi duluan,” rayuku. Tampaknya dia semakin dalam masuk ke perangkapku. Thanks God... (Backsound: penjahat yang sok alim -,-‘)

    “Ssttt...” segera kututup mulutnya sebelum dia berteriak karena senang. “Nggak boleh ramai-ramai, entar ketauan Kak Ibal, ayo kita segera sembunyi...” Ikal hanya mengangguk, matanya semakin berpendar cerah.

    Dengan mengendap-endap, akhirnya kami berhasil keluar dari restoran cepat saji itu. Tanpa buang-buang waktu, aku segera menuju pintu ke luar mall.

    Bruk... dug. Aku jatuh terduduk. Karena teburu-buru, aku menabrak sesosok tubuh gempal. Huft...!

    “Haram?”sosok gempal di depanku bertanya.

    Koq dia tahu namaku? Sepertinya suaranya nggak asing. Oh my god... Aji!

    Glegh... aku menelan ludah. Sepertinya keberuntunganku berakhir. Tuhan sudah tidak memberkatiku. Atau Dia sedang menegurku agar tidak meneruskan kejahatanku?

    “Lu Haram kan?” tanyanya lagi menegaskan. Bukannya membantuku bangun, malah nanya-nanya terus. Menyebut panggilanku yang ganjil lagi. Arghh....

    “Om ciapa?” tanya Haikal polos.

    “Anak lu ya?” dia bertanya lagi. Dia benar-benar nggak sopan. Sudah nggak mau bantu aku berdiri, ada anak kecil tanya nggak dijawab.

    “Kalo iya kenapa, kalo nggak kenapa? Masalah buat lo?” jawabku sewot. Aku berdiri sendiri tanpa bantuannya. Segera kugandeng Haikal dan bersiap-siap pergi.

    “Koq elu nggak ngundang-ngundang gue?” rupanya dia mengikutiku.

    Aduh... Tuhan, please... jauhkan makhluk-Mu yang satu itu dari hamba-Mu ini. Hamba berjanji akan segera bertobat.

    "Sama siapa?” tanyanya mengejarku. Apa dia tidak sadar kalau aku sedang tidak in mood untuk bertemu dengannya, apalagi reunian.

    “Ram...!” dia mulai berteriak, tangannya mencengkeram lengan kiriku.

    Aduh apa lagi ini. Kalau dia terus berteriak, bisa-bisa satpam-satpam pada mendatangi kami. Dan itu berbahaya buat misiku.

    “Apa?” jawabku ketus. Aku berhenti melangkah, terpaksa melayaninya sebentar.

    “Lu masih marah ma gue?” tanyanya sok nggak ada masalah apa-apa di antara kami.

    “Gue? Marah sama lu? Istimewah banget lu...” ledekku ngeles. Jelas aku masih marah, apa perlu ditanya? Bayangin aja cewekku yang kujaga baik-baik, tidak pernah kusentuh walau sehelai rambut itu, malah diperawani dia. Siapa coba yang nggak marah?

    “Lah itu keliatan banget kalo lu masih marah...” dia makin nyolot.

    “terus gue mesti bilang WOOOWWW gitu?” jawanku tak mau kalah. Dia tercekat. Mungkin dia sadar kalau aku benar-benar marah padanya.

    “Sori deh Ram. Gue beneran nyesel,” ucapnya melunak. “Lu mau kan maapin gue?” tanyanya lagi. Aku masih terdiam. Sejenak kupandangi dia. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, memperkirakan apa yang akan dia lakukan, dan apa yang aku lakukan untuk mengantisipasi, atau untuk merencankan serangan pencegahan. Ya, seperti yang dilakukan oleh Sherlock Holmes pada musuh-musuhnya.

    “Kasih maap nggak ya?” jawabku nyolot dengan nada kecentilan. Ups aku salah strategi, nyolot sama Aji nggak ada gunanya. Hanya akan memperpanjang waktuku di mall ini. Padahal aku harus segera keluar dari mall ini.

    “Ram...!” dia kembali naik pitam. Tangan kanannya mencengkeram lengan kiriku semakin erat. Aku mulai merasa kesakitan. Sementara Haikal tampak ketakutan. Melihat Haikal yang imut ketakutan membuatku kalap.

    “Lepas! Tengok tuh lu nakutin dia!” bentakku. Dia tampak menyesal. Dia melonggarkan cengkeramannya.

    “Begini cara lu minta maaf?” tanyaku lagi. Dia benar-benar tampak menyesal. Dia melepaskan geganggannya.

    “Sori...”ucapnya pelan.

    “Sudah lah Ji, gue dah relain Lu ma Maya,” ujarku. Aku memang sudah merelakan mereka, tapi rasanya belum bisa untuk memaafkan, apalagi melupakan kejadian nista itu.

    “thanks bro,” jawabnya. Dia menggenggam kedua tanganku. Aduh ... kayak orang pacaran saja. Dua tahun aku pacaran dengan Maya saja nggak pernah genggam-genggaman tangan, apalagi di depan umum kayak sekarang.

    “Ya..ya .. ya” aku mengiyakan. Kulepaskan tanganku dari genggamannya. Risih dilihatin banyak orang.

    “Lu masih sama Maya?” tanyaku keceplosan. Tidak bisa tidak, aku masih punya rasa pada Maya. Bagaimana pun aku pernan mencintai dengan segenap hatiku. Tiga tahun memang mampu menghapus banyak kenangan, tapi tentu tidak masih ada sisa-sisa di dasar sulcus[4] otakku.

    “Ah... gue kualat lu. Dia pergi ninggalin gue...” jawabnya mengambang. Hmm... kasihan. Eh tapi aku nggak ada waktu untuk berbagi kisah dengan dia. Aku harus segera kabur, sebelum Syawal dan Ramadhan menemukanku.

    “Lu sendiri gimana?” tanyanya. “Itu anak lu ya?” katanya sambil menjawil pipi Haikal yang gembil. Haikal tampak gusar. Sepertinya dia mulai mengantuk. bosan melihat dua orang dewasa yang sudah lama tidak bertemu kemudian sibuk ngobrol hal yang baginya tidak penting.

    “Iya...” jawabku bohong. Kurasa jawaban ini cukup untuk menyumbat mulutnya. Aku harus segera pergi.

    “Masak? Gue nggak percaya. Mana ada cewek yang mau sama lu?” Jyaah... makhluk ini benar-benar menyebalkan. Maksudnya apa ngomong kayak gitu?

    “Maksud lo?” aku terpancing. Haikal kembali terbangun oleh pekikanku. Celakalah aku.

    “Ya tau sama tau lah...” jawabnya mengambang. Dia melirik ke arahku. Lirikan yang membuatku mual. Kemudian ia mengedipkan sebelah matanya, membuatku benar-benar mual.

    “Najis banget lu, dasar penjahat kelamin. Hueekkk....” jawabku ketus.

    “Kenapa? Lu hamil?” arghh.... dia semakin menjadi-jadi.

    Hhh.... aku mendengus keras. Lau Berdiri bersiap-siap meninggalkan penjahat kelamin yang satu itu. Rasanya aku hanya akan menghabiskan waktu saja melayani obrolannya yang nggak mutu. Lebih baik aku segera pergi.

    Tapi dasar penjahat kelamin. Dia kembali mencengkeram lenganku. Aku benar-benar menyesal berhenti latihan kempo[5]. Coba aku masih aktif di dojo[6], tentu dia sudah kulipat-lipat.

    “Om... lepasin Kak Ilam!” teriak Haikal menantang. Aku terkejut dengan keberaniannya. Makin menggemaskan saja bocah berpipi gembil ini.

    “Tuh kan, dia manggil lu Kak Ilam, mana ada anak manggil ayahnya Kak?” ujarnya merasa di atas angin. Pandanganya jadi lain, dia menatapku tajam. Jangan-jangan dia curiga?

    “Terus lu mau apa?” tanyaku agak gugup. Semoa dia tidak merasakan suaraku yang bergetar.

    “Masak dia manggil gue Oom, terus manggil elu Kak? Kita kan seumuran,” protesnya, fiuh... kurasa dia tidak curiga.

    “Ya iyalah muka lu kan boros, gue kan masih unyu-unyu weekkk....” kuramahkan nadaku. Kucoba untuk mencairkan suasana. Semoga dia tidak curiga bahwa aku sedang membawa lari anak orang.

    “Hahaha.... ya lu mang unyu-unyu. Makanya banyak cowok yang naksir lu...” jleb... Sejenak rasanya jantungku tidak berdetak. Omongannya menusuk tepat di SA-nodes[7]ku. Aku terdiam, dan memang sebaiknya aku diam.

    “termasuk lu kan?” tanyaku nggak mau kalah.

    ”Koq tau?” tanyanya balik dengan gaya gombal yang lagi ngetren itu. Arghh...

    “Tau mengapa Maya meninggalkanlu dan selingkuh dengan gue?” tanyanya mengungkit masa lalu tanpa rasa berdosa.

    “Dia cemburu setiap kali kita berdua,” lanjutnya pelan, nyaris tak tertangkap membrana timpani[8]ku. Dia menundukkan kepalanya. Perlahan dia menggenggam tanganku. Mendadak aku tetraplegi[9]. Aku tak mampu menarik tanganku. Aku lumpuh. Dan anehnya aku seperti mengalami out of body experience[10]. Aku melihat dengan jelas, kami berdua yang sedang duduk berdekatan.

    “Aku... “ dia menyebut dirinya aku, bukan gue. Artinya dia sedang serius. Dia menoleh ke arahku, menatap dengan pandangan yang sulit kujelaskan. Perlahan dia menyentuh wajahku. Wajahnya mendekat. Jarak antara kami tinggal beberap sentimeter saja.

    Aduh apaan sih ni cowok? Jangan-jangan dia mau nyium aku? Emang aku cowok apaan?

    “Om pacalan ma kak Ilam ya?” tanya Haikal menyeret kesadaranku kembali ke tubuhku. Thanks God. Sebaiknya aku segera kabur. Waktuku tak banyak.

    “Sori Ji... aku buru-buru” kutarik tanganku dan segera berdiri. Kugandeng tangan Haikal dan segera kabur dari Aji si penjahat kelamin kelas paus. Mumpung dia masih terlena dengan kejadian aneh tadi.

    “Ram...” teriaknya. Jyah... apalagi ini?

    Aku menoleh sejenak. Dia tersenyum hangat dan memandangku lekat-lekat, mengingatkanku pada cara Syawal memandang dan tersenyum. Huft... sebentar lagi Syawal pasti menemukanku kalau aku tak segera keluar dari mall. Aku harus segera kabur.

    “Lu nggak sedang nyulik bocah itu kan?” Jleb ... tanyanya menohok SA-nodesku sekali lagi. Tapi aku tidak ada waktu untuk terdiam, apalagi sampai menggubrisnya. Aku pergi sambil menyengirkan senyum kudaku. Nggak mungkin lah dia tahu kejahatan yang ku rencanakan.

    “Balikin dia, kasihan keluarganya...” jyah.... jangan-jangan dia beneran tahu. Bukan mustahil dia mengetahuinya kan? Bukankah dia partner in crimeku yang paling sering bekerja sama denganku? Tentunya sebelum dia meniduri Maya.

    Ah ... nggak ada urusan dengan dia. Aku harus segera kabur. Dengan tergesa-gesa aku menggandeng, sedikit menyeret, Haikal menuju pintu keluar. Tapi sial... koq sekuritinya pada mondar-mandir di pintu keluar. Mereka tampak sibuk memeriksa setiap pengunjung mall yang keluar. Oh my god, jangan-jangan berita penculikan itu sudah menyebar. Matilah aku.

    Kami balik arah. Kembali ke dalam mall, mencari pintu keluar yang lebih aman. Tapi mendadak Haikal mogok jalan.

    “Kak... Ikal capek” rengeknya.

    “Eh... Haikal nggak boleh capek. Entar kita ketangkap Kak Ibal, Kak Ibal kan yang jadi setannya,” ujarku berbohong. Semoga dia percaya. Tapi sepertinya sia-sia. Dia menggeleng. Matanya berkaca-kaca nyaris menangis. Celaka benar nasibku kalau dia sampai menangis. Pasti banyak orang yang akan memperhatikan kami.

    “Ya udah deh, Haikal gendong di punggung Kak Ilam,”hmmm ini satu-satunya jalan. Akhirnya dia mengangguk dan segera naik ke punggungku. Ups... ni anak berat banget ya. Ternyata ada untungnya juga anak kecil obes, agar nggak mudah diambil orang. Dengan susah payah kugendong Haikal masuk kembali ke mall mencari pintu keluar yang lebih aman.

    “Es Klim kak...” rengeknya. Haduh... apa lagi ini. Mau nggak mau aku harus membelikannya. Kami mampir ke dekat penjual es krim. Ah sekalian istirahat setelah keliling menggendong karung beras nggemesin itu. Kubeli dua batang es krim. Kali ini dia tak kuberi kesempatan untuk memilih, aku sudah benar-benar bokek hiks hiks hiks...

    “Kak Ilam pacalan ya ma om tadi?” tanyanya menohok. Dia memandangku dengan pandangan yang polos tak berdosa, sementara mulut dan lidahnya sibuk dengan es krim rasa coklat yang kubelikan.

    Siapa sih yang ngajari membuat kesimpulan seperti itu. Jangan-jangan kedua pengawalnya tadi, Si Syawal dan Si Ramadhan. Jangan-jangan mereka berdua memang pacaran.

    “Koq Ikal ngomongnya gitu?” tanyaku balik. Kujilat es krimku, pura-pura tidak menghiraukan pertanyaanya yang menonjok.

    “Coalnya Kak Ibal dan Kak Idan cuka pegangan tangan kalo pacalan,” jawabnya polos. Iya kan kedua pemuda tadi yang mengajari anak nggemesin ini. Untung dia segera kubawa pergi (baca: kuculik). Kalau nggak bisa jadi apa ni anak, kecil-kecil sudah diajari pacaran oleh kakaknya.

    “Kak Ilam pacalan kan ma om tadi?” desaknya.

    Arghh... mengapa dia tidak sibuk menjilat es krimnya saja? Mengapa harus menanyakan hal-hal yang ... egghhh...tidak sepatutnya ditanyakan anak sekecil ini.

    “Kak Ilam kan cowok baik-baik...” aku ngeles. Mengapa juga aku ngeles? Harusnya aku tinggal menjawab tidak, sudah beres.

    Tapi gara-gara Aji si Penjahat Kelamin tadi, aku mulai berfikir bahwa aku .... Ah... Mengapa aku jadi teringat Aji si Penjahat Kelamin, si perampas kehormatan cewek orang? Benarkah yang dikatakannya tadi, bahwa Maya cemburu saat kami berduaan? Ah... perasaan apa ini? Jangan-jangan aku....NO! it’s not true!

    “Kalo gitu Kak Ibal dan Kak Idan bukan cowok baik-baik?” pertanyaan Haikal menyadarkanku dari pikiranku yang mulai absurd. Ah bokek memang ampuh membuat orang berfikiran absurd dan ke mana-mana, pantaslah jika ada yang mengatakan kefakiran itu dekat dengan kekafiran[11]. Lha koq aku jadi sok ustadz.

    “Emang mereka pacaran?” tanyaku balik. Haikal terdiam, matanya kembali melirik ke langit-langit. Tentu pertanyaanku kali ini lebih sulit daripada pertanyaanku tentang pilihan rasa eskrim. Tampak wajahnya kebingungan,ya seperti wajahku saat menghadapi dr. Dwi Putro, Sp. B, K-BD[12] saat ujian osce Ilmu bedah di stasiun bedah digestif.

    “Kalau cowok baik-baik nggak pacalan ya kak?” dia kembali bertanya. Pertanyaan klise. Sekarang giliranku yang terlihat mikir-mikir, mengira-ngira jawaban. Ternyata pertanyaan-pertanyaan anak selucu dia bisa lebih sulit dari pertanyaan-pertanyaan dosen paling killer sekalipun. Satu kali aku dibuat nangis oleh dr. Jeffrey, Sp.JP(K), dan itu adalah momen terburuk dalam hidupku.

    “Kak Ilam pelnah pacalan nggak?” tanyanya lagi memberondong. Dia benar-benar berbakat jadi dosen killer. Bagaimana dia bisa memberondongku dengan banyak pertanyaan padahal mulutnya sibuk menjilati es krim coklat di tangannya?

    “Nggak pernah” aku berbohong. Jelas-jelas aku pernah pacaran dengan Maya. Tapi kan aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan dia. Bergandengan tangan saja tidak pernah.

    “Kalo gitu kak Ilam cowok baik,” simpulnya polos. Matanya yang bundar masih menatapku, sementara mulutnya masih sibuk dengan es krim coklatnya.

    Ah mengapa aku setega ini.cowok baik-baik tidak menculik anak kecil apapun alasannya.

    Aku tertunduk.

    Oh betap jahatnya aku. Aku tak akan bisa memaafkan diriku jika sampai bocah selucu dan selugu Haikal menjadi korba traficking, diambil bola matanya, hati, atau ginjalnya. Lalu orang-orang itu akan menyuruhnya untuk mengemis di jalanan. TIDAK.....!!!

    “Kak...” panggilan Haikal menyadarkanku. “Kak Ilam koq nangis?”ada sebutir air asin merembes di sudut mataku.

    “Eh... enggak koq...cuma kelilipan” aku ngeles. “Kita balik yuk, kak Ilam capek nih. Kak Ibal pasti juga dah capek nyariin kita.”

    “Ayuk... Ikal juga dah kangen ma Kak Ibal dan Kak Idan. Pengen njewel telinga meleka cupaya nggak pacalan telus... hehehe” tawanya renyah. Buliran air asin itu tak terbendung lagi, semakin deras merembes dari sudut mataku.

    “Kalo meleka masih nakal dan suka pacalan, bial meleka dijewel Allah... hihihi...” lanjutnya. Ah Haikal, kau mengingatkanku pada Asma yang sudah lama ingin kulupakan.

    Duh Gusti, Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, ampuni hamba yang sudah terlalu jauh dari-Mu. Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengingatku untuk kembali mengingat-Mu melalui lisan malaikat kecil-Mu.

    Kuhapus buliran air asin itu. Kami bersegera menuju pusat informasi. Lalu segera menginformasikan keberadaan kami. Selang tak berapa lama, kedua pemuda itu datang. Mereka bergegas. Wajah mereka pucat pasi. Di belakang mereka ada beberapa orang yang lebih tua. Mungkin keluarga Haikal. Tapi ... ada satu orang yang aku kenal.

    “Dimas Muharram?” tanya lelaki muda yang sepertinya kukenal.

    “Kangmas Gala?” tanyaku balik. Apa benar dia kangmasku dr. Galaran Mattu, Sp.OG?

    “Subhanllah, gimana kabarnya? Sibuk apa sekarang? Praktek di mana?” dia memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang berturut. Sementara tangannya mengembang menyambutku. Kami berpelukan. Ah benarlah dia Kangmasku, Galaran Matu. Lelaki yang pernah menyelamatkanku dari jurang kehancuran pasca penyelewngan Maya dan Aji.

    “Alhamdulillah, Dimas baik-baik saja. Sekarang lagi nganggur jaya, nunggu UKDI November nanti. Kangmas gimana?” Alhamdulillah, akhirnya aku mengucapkannya lagi, bukan thanks god seperti biasanya.

    “Ni liburan ma keluarga besar. Kangmas sekarang dinas di Aceh. Kalo dimas mau, mending dimas ikut kangmas ke Aceh. Sambil nunggu UKDI[13], dimas bisa jaga klinik Kangmas. UKDInya nanti di Unsyiah saja.”

    “Insya Allah...” jawabku pelan.

    “Kak Ilam ikut ke Aceh aja...” ajak Ikal matanya yang bundar makin berpendar menggemaskan. Apalagi senyumnya yang renyah. Aku tersenyum.

    Terima kasih Ikal, telah mengantarku balik ke jalan-Nya. Terima kasih ya Allah, mungkin ini jawabanmu atas doa-doaku selama ini.

    FIN

    endnote:

    [1] Anatomi = cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari struktur tubuh makhluk hidup

    [2] Super egp:bagian dari topografi jiwa menurut hipotesis sigmund freud, yang merupakan internalisasi nilai-nilai baik yang ditanamkan dari luar sejak kecil. Berfungsi untuk mereduksi dan mengingmbangi dorongan-dorangan naluriah yang cenderung jahat.

    [3] Konstipasi = kesulitan BAB

    [4] Sulcus = celah. Otak kan kayak bukit dan lembah. Gundukannya disebut gyrus, sedangkan celah antar gundukan disebut sulcus.

    [5] Kempo = bela diri jepang

    [6] Dojo = tempat latihan

    [7] Sinus Atrial Nodes = sumber listrik jantung

    [8] Membrana tympani = selaput gendang telinga

    [9] Tetraplegi = lumpuh keempat anggota gerak sekaligus.

    [10] Out of Body Experience (OBE) = fenomena kejiwaan di mana orang yang mengalaminya, merasa berada di luar tubuhnya, bisa melihat tubuh mereka sendiri secara utuh.

    [11] Hadits: Kada al-faqru an-yakuna kufra. (masih nyari2 riwayatnya, tapi belum juga menemukan)

    [12] Sp. B = Spesialis Bedah, K-BD = Konsultan Bedah Digestif, Sp.JP (K) = spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (konsultan)

    [13] UKDI = Ujian Kompetensi Dokter Indonesia
  • “Maafkan Bintang yah...”ucapku terbata.

    “Tidak ada yang perlu dimaafkan nak,” jawab ayah tertunduk.

    “Bintang tidak bisa sesempurna yang ayah harapkan”

    “Tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi bahagia, kau hanya perlu keberanian untuk menerima kebenaran,” jawabnya bijak. Dia berbalik meninggalkanku, menghilang di telan kelamnya malam.
    ....

    Cos we lost it all
    Nothing last forever
    I’m sorry i cant be perfect...
    Now it’s just too late
    And we cant go back
    I’m sorry i cat’t be perfect...
    ....
    Simple Plan membangunkanku. Huft nyaris saja bablas. Bukankah aku hari ini ada janji dengan Si Jemmy Jelek?

    ###

    Sushi Tei, Sabtu 10.10

    “Irasshaimase, “ ucap mas-mas berpakaian kimono ala Chef Harada sambil membungkuk hormat ala Jepang. Kubungkukan sedikit tubuhku membalasnya.

    ”Sudah pesan tempat?” tanyanya. Aku hanya menggeleng pelan. Lalu dia mempersilahkan aku memilih tempat duduk, tentu yang tidak ada tanda reservenya. Celingak-celinguk aku mencari sesosok lelaki dewasa muda yang berjanji menemuiku pagi ini.

    Hmmm.... nihil. Ke manakah dia? Nggak biasanya dia telat. Padahal aku sengaja menelatkan sepuluh menit dari jam janjian. Huh dasar!

    Kupilih tempat duduk di pojok dekat kaca, tempat biasa kami bertemu dan bertransaksi.

    “Hoaamm... chawanmusi1 satu, ocha hangat satu” pesanku sambil menguap. Dia melihatku heran. Mungkin dia bertanya-tanya mengapa sepagi ini aku sudah mengantuk. Bagaimana aku tidak mengantuk kalau selama empat puluh delapan jam aku tidak tidur?

    “lainnya nyusul. Saya menunggu teman” sambungku agak ketus, menyiratkan pesan nggak usah tanya-tanya. Bukan maksudku untuk berketus ria, apalagi pada cowok seganteng dia. Tapi ini bukan waktu yang tepat: aku ngantuk berat.

    “Mohon ditunggu sebentar, pesanan segera saya antar,” jawabnya sedikit kesal, dia segera melangkah meninggalkanku.

    ===
    ak dah d bgku pjok biasax. Koko dmn?
    Delivered to Jemmy Jelek
    10.15
    ===

    Kukirim SMS ke Jemmy. Seperti biasanya aku memanggil dia Koko, yang artinya kira-kira sama dengan mas atau abang, yang intinya saudara tua lelaki. Padahal secara umur aku lebih tua dua tahun dari dia. Anggap saja sebagai service ke pelanggan. Orang-orang Cina kan suka banget dijadikan saudara tua, dipanggil Koko untuk laki-laki atau Cece untuk perempuan.

    Tapi sejujurnya, walaupun seandainya dia bukan pelangganku, aku tetap bersedia memanggilnya koko. Orangnya ganteng, gagah, dewasa, baik hati, tidak sombong, rajin menabung ya pokoknya memenuhi kriteria cowok idaman. Andai dia jadi Bfku, tentu aku akan sangat bahagia dunia akhirat.

    Wait akhirat? Kayaknya nggak deh. Mana ada surga untuk cinta terlarang. Ugh...

    Tapi ah... untuk apa aku muluk-muluk menghayal dia jadi BFku? Dia jadi pelanggan tetapku saja aku sudah cukup senang. Apalagi dia selalu ada saat aku membutuhkan. Seperti saat ini, saat aku butuh dana cukup banyak untuk bayar SPP, tunggakan kos dan tumpukan hutang-hutangku yang lain. Dia memang benar-benar cowok yang bisa diandalkan.

    Kulihat hapeku, belum ada balasan.

    “hoaammm....” kelopak mataku semaki terasa berat. Kalau tidaklah terpaksa, tentunya aku tidak mau memaksa tubuhku untuk bekerja lebih dari tiga puluh dua jam. Tapi bagaimana lagi, aku harus segera membayar SPP kuliahku. Bagi sebagian orang, tentu SPP kuliahku tergolong murah, bahkan lebih murah dari SPP SMA. Bayangkan saat ini SPP SMA bisa mencapai 300 ribu perbulan. Itu kelas yang standard nasional lho, lha yang bertaraf (baca: bertarif) internasional? Bisa lebih dari itu. Sementar SPP kuliahku kalau dibagi menjadi enam bulan, jatuhnya 250 ribu/bulan saja.

    Untungnya aku masuk sebelum perguran tinggi tempatku belajar belum ganti status menjadi Badan Hukum Milik Negara. Nggak kebayang seandainya aku masuk saat perguruan tinggiku sudah berubah status menjadi BHMN. Secara BHMN kan diharuskan mandiri dari campur tangan pemerintah, termasuk pendanaan. Kalau nggak salah pemerintah hanya mau menanggung maksimal 40 persen dari total biaya operasional pendidikan. Padahal kan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu diantara empat tujuan negara yang tertera di pembukaan UUD’45, lah koq pemerintah mau lari dari tanggung jawab tersebut.

    Namun anggapan tidak mahal itu hanya bagi sebagian orang. Bagiku itu masih mahal. Belum lagi biaya kos, makan dan lain-lain. Total bisa mencapai 500 ribu lebih. Awalnya tidak terlalu bermasalah karena kiriman orang tuaku sekitar 750 ribu sebulan. Tapi semenjak tahun ini, ayah hanya mengirim 500 ribu sebulan. Bahkan mulai dua bulan lalu ayah cuma mengirim 300 ribu. Bisnis ayah sedang ada masalah. Aku harus bisa memakluminya. Makanya satu-satunya jalan agar aku bisa tetap makan dan kuliah adalah bekerja.

    Lalu pekerjaan apa yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa? Banyak. Tapi semuanya membutuhkan keahlian khusus dan menyita cukup banyak waktu. Semisal jadi guru les privat, tentu membutuhkan keahlian di pelajaran-pelajaran SMA serta strategi belajar mengajar yang okey punya. Terus, aku juga harus pandai-pandai membagi konsentrasi antara mempelajari kuliahku sendiri dengan mempelajari pelajaran-pelajaran yang aku ajarkan. Lebih dari itu, aku harus pandai-pandai mengatur waktu, kalau nggak bisa berabe. Tahu sendirilah jadwal kuliahku di FK bisa dikatakan cukup padat (sebagian orang mengatakan sangat padat). Belum lagi jadwal jaga malam.

    Sebagai ilustrasi, hari kerja aktifku adalah senin sampai jumat. Jadwal di mulai dari jam tujuh pagi hingga jam tiga sore. Tiga hari sekali mendapatkan jadwal piket jaga malam, mulai dari jam tiga sore sampai jam tujuh pagi keesokan harinya. kalau lagi nggak hoki, bisa kena jadwal jaga dua hari sekali. Belum lagi dengan tugas makalah-makalah, pembuatan dokumen medik pasien baru, serta lembar monitoring kemajuan pasien yang harus diisi tiap pagi. Cukup padat kan?

    Dan dengan alasan itulah, akhirnya kuputuskan untuk menempuh jalan pintas yang sudah lama kutinggalkan. Aku terpaksa, sungguh-sungguh terpaksa untuk kembali ke dunia hitam ini. Aku tidak punya pilihan lain. Senin aku harus segera menyetor uang SPP. Akhir minggu ini aku harus membayar uang kos yang sudah nunggak tiga bulan. Total yang kubutuhkan sekitar dua setengah juta. Sementara uang di tabunganku hanya tinggal satu juta. Maka satu-satunya jalan adalah kembali menceburkan diri ke dunia kelam ini, ke pekerjaan hina dan penuh resiko ini.

    “Silahkan mas...” mas-mas berbaju kimono itu kembali menghampiriku, memberikan secangkir chawanmushi dan secangkir ocha.

    “Ada yang lain mas?” tanyanya ramah.

    “Entar dulu mas, thanks...” jawabku singkat. Segera kuhirup teh hijau hangat dihadapanku.

    Kulihat kembali hapeku, belum ada balasan juga dari Jemmy Jelek. Kulihat arloji Seikoku, jarumnya sudah menunjukkan waktu pukul setengah sebelas. Hmmm... arloji ini adalah salah satu hasil kerjaku di dunia hitam. Cukup dengan tiga malam kerja, aku sudah bisa membeli arloji seharga dua juta lebih itu. Kalau ditempuh dengan mengajar les privat, mungkin aku harus menempuhnya selama tiga bulan. Kurasa dua malam cukup untuk membayar SPP, tunggakan kos dan hutang-hutangku yang lain.

    Untuk itulah aku menunggu Jemmy pagi ini. Menunggu lelaki dewasa muda yang menyewa jasaku kemarin malam. Kebetulan, mungkin juga kebiasaan, kemarin malam dia tidak membawa uang cash. Dia berjanji akan memberikan pagi ini. Aku tidak keberatan dibayar di belakang. Toh selama ini dia tidak pernah membohongiku. Beberapa kali dia menyewa jasaku tanpa membawa cash, paginya dia langsung menyerahkan secara kontan. Lagian kalau janjian lagi pagi harinya, aku bisa sekalian bisa minta dibayarin sarapan di Sushi Tei. Jarang-jarang kan aku bisa makan makanan mahal? Bahkan bisa dipastikan aku tidak pernah masuk ke restoran mahal tanpa ada yang mentraktir. Hehehe

    Kriukkk..... perutku mulai protes. Aku belum makan sejak tadi malam. Padahal semalaman aku tidak tidur sama sekali dan menghabiskan tenaga cukup besar.

    Kuaduk-aduk cangkir berisi telur uap kesukaanku. Tak berapa lama aku sudah melahap habis makanan Jepang favoritku itu. Padahal pertama kali aku memakannya dulu aku membutuhkan waktu satu jam untuk menghabiskannya. Bahkan sempat nyaris muntah saat putih telur uap itu memasuki kerongkonganku.

    Kriuukk.... perutku masih protes. Segera kupanggil mas-mas berbaju kimono tadi.

    “Sushi salmonnya satu ya mas, sekalian minta diambilkan ocha lagi,” pesanku ramah. Aku sudah melewati jam-jam kritisku. Setelah jam setengah sebelas, aku bisa melek sampai seharian penuh walaupun sudah tidak tidur dua malam. Kalau sudah melewati jam segitu, aku kembali normal, tidak uring-uringan lagi.

    “hai...” dia mengiyakan dengan gaya jepangnya. Setelah kuamat-amati tampaknya mas-mas ini lebih ganteng dari pertama kali aku melihatnya. Mungkin tadi kegantengannya tebiaskan oleh rasa kantuk yang menyelimuti kedua mataku.

    Treeett.... treett.... treett.... Hapeku bergetar. Ada SMS masuk. Jemmy kah?

    ===
    Mas ntar malam kosong nggak?
    From: Leo Meong
    10.55
    ==

    Hmmm... kalau memang sudah rejeki nggak akan lari ke mana. Tapi sanggup nggak ya? Aku sudah dua malam tidak tidur. Tentu serviceku nggak akan optimal. Padahal selama ini aku selalu mengedapankan profesionalisme dan layanan yang optimal pada setiap pelangganku. Dan lagi, aku benar-benar ingin hibernasi malam ini.

    Kayaknya aku tolak saja tawaran Leo. Malam ini aku berencana istirahat total. Besok pagi, atau besok malam baru terima job lagi. Tapi itu kalau ada yang calling, kalo nggak? Bisa-bisa aku nganggur jaya. Dan tentunya gagal bayar SPP dan kawan-kawannya.

    Jika melihat keadaanku yang sungguh-sungguh payah, aku ingin menolak tawaran job dari Leo. Tapi jika mengingat hutangku yang setumpuk, aku ingin menerimanya. Apalagi jika customernya Leo. Nggak jauh dari Jemmy, Leo juga ganteng, sexy, kaya raya dan tentunya baik. Sebelum memakai jasaku, biasanya dia akan membawaku ke Depot Slamet terlebih dahulu. Supaya staminaku penuh semalaman katanya. Dan yang paling aku suka adalah saat dia membayar.

    “Jangan dianggap ini bayaran, karena kita tidak sedang transaksi. Anggap ini hadiah dari seorang teman,” itulah keunggulan Leo dibandingkan Jemmy yang cenderung ketus.
    Selain itu dia tidak pernah menuntutku untuk memanggilnya Koko, walaupun dia Cina juga seperti Jemmy. Aku memanggilnya Koko dengan sukarela. Beda dengan Jemmy yang kadang agak ngambek kalau aku lupa memanggil dengan namanya langsung.

    Hhh.... kuhela nafas panjang. Sementara Si Jemmy Jelek belum juga datang. Sudah satu jam dari jam perjanjian.


    Kulihat hapeku. Belum ada balasan dari Jemmy, tidak pula ada miscall darinya. Jangan-jangan dia kenapa-kenapa? Mendadak ada yang geli di ulu hatiku, ah ... semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk padanya.

    ==
    Gimana mas? Bisa? Lagi butuh banget nih.
    From: Leo Meong
    11.07
    ==

    Gimana ya? Aku ingin menerimanya. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku harus menangkapnya kali ini.
    Tapi... aku capek berat. Entar malah jatuh sakit?
    Leo sedang butuh banget. Bukan kah selama ini dia baik padaku? Tidak ada salahnya kan aku membantunya? Sedikit berkorban untuk cowok seganteng, sesexy, sekaya dan sebaik Leo, tentu tidak ada ruginya. Segera kuketik balasan SMS Leo.

    ==
    Okey.
    ==

    “silahkan...” ucap mas-mas berbaju kimono yang ternyata bernama Cahyo Fajar. Cahaya Fajar. Cahaya yang memerah di pekatnya malam. Seperti secercah harapan di kondisi yang sulit. Menandakan bahwa yang memberi nama memiliih doa agar sang penyadang nama tidak mudah putus asa, semakin kuat bila ditempa kesengsaraan. Aku teringat dengan Sebuah filosofi seorang teman. Semakin pekat malam semakin dekat fajar. Semakin sulit ujian, semakin dekat kemenangan. Hmmm nama yang indah. Secara fisik juga, mas-mas ini pas banget dengan namanya. Kulitnya hitam manis seperti malam, tapi mata dan wajahnya seolah bercahaya seperti fajar.

    “Hei... dah lama?” tanya Jemmy mengagetkanku yang sedang asik mengamati mas Cahyo. Wajahnya terlihat tidak ramah. Hhmm ada apa? Apa ada masalah di rumah? Semoga tidak.

    “Baru satu mug chawanmusi dan satu cangkir ocha" jawabku dengan nada menyindir. “Iya kan mas?” tanyaku pada Mas Cahyo.

    Jemmy tampak makin tidak suka, matanya seolah mengeluarkan death blare seperti di manga-manga ke orang yang dilihatnya. Aku hanya menahan tawa, sementara Mas Cahyo jadi kikuk salah tingkah.

    “Eh... pesan apa lagi mas?” tanya Mas Cahyo gugup. Jemmy masih menatapnya dengan pandangan tajam lengkap dengan death blarenya. Lalu Mas Cahyo pun menyebutkan nama-nama masakan jepang yang tidak aku tahu namanya sambil menjelaskan spesifikasinya masing-masing.

    “Okey... masing-masing dua,” kata Jemmy melunak. Pada dasarnya dia orangnya baik, tapi kadang jadi agak ketus dan menyebalkan. Bagaimana pun dia tetap pelangganku yang nomer satu.

    Treett.... treett... trett....hapeku kembali bergetar. Ternyata message failed. SMSku ke Leo gagal. Pulsaku habis hiks hiks hiks...

    “Siapa?” tanya Jemmy masih ketus. Dengan cueknya dia menyumpit sushi salmonku. Tak sampai di situ, dia juga menyeruput teh hijauku. Tampaknya dia masih kesal sama Mas Cahyo, atau jangan-jangan sama aku? Kalau tidak mengingat bahwa dia yang membayar semua yang kupesan, tentu sudah kulabrak dia.

    “Minta SMS dong Ko” rengekku dengan gaya manja lengkap dengan puppy eyes mode on. Aku hafal betul tabiat Jemmy yang nggak akan tahan melihat jurusku yang satu itu. Pastilah dia akan segera menuruti permintaanku.

    “Ke siapa?” tanyanya agak ketus. Kyaa... jurusku tidak mempan. Dengan cueknya dia menyumpit lagi sushiku. Arggh.... aku masih lapar lho Ko!

    “Leo...” jawabku ringan, masih keukeuh dengan jurus puppy eyes. Berharap dia melihat mataku dan luluh.

    “Leo...?” tanyanya semakin ketus. Nadanya meninggi. Dia menatap tajam ke arahku, seperti tatapan Jaksa Penuntut Umum ke terdakwa. Death blarenya semakin mengganas gila.

    “iya...” kujawab agak kesal dengan gaya kenes Miranda Goeltom. Kalo dia masih mengovestigasi dan menatapku seperti Jaksa Penuntut Umum, aku bakal menggunakan gaya amnesia ala Nunun Nurbaeti.

    “Ada apa?” tanyanya masih dengan gaya Jaksa Penuntut Umumnya. Huft!

    “Ada apa ya?” jurusnya Nunun Nurbaeti benar-benar kupraktikan. Sayang kayaknya nggak mempan. Dia masih cuek menyumpit sushiku yang ketiga kyaa.....

    Dasar lelaki tidak tahu diri. Masak sushi orang diludeskan begitu saja tanpa permisi. Walaupun pada akhirnya dia yang bayar, tapi aku yang pesan kan? Tidak tahukah dia aku belum makan sejak kemarin malam? Padahal malam kemarin aku menghabiskan tenaga untuk melayaninya? Huft! Ingin rasanya kutumpahkan washabi3 ke bibirnya yang merah itu.

    Hup... langsug kusumpit sushi terakhirku sebelum si Koko Jemmy Jelek menghabiskannya. Kucolek sedikit washabi sebelum kumasukkan sushi terakhirku.

    “Dia mau makai kamu ya?” dia menyeruput ochaku sampai habis. Sementara aku mendelik keselek washabi gara-gara pertanyaanya. Sejurus dia memandangku dengan pandangan yang sulit kudefinisikan. Pandangan yang mampu melengkungkan ruang-waktu seperti blackhole di ruang angkasa yang berhasil melengkukngkan cahaya. (huekk.... mabuk teori relatifitas umum Einstein)

    “uhuukk... uhuk.... uhukk....” aku terbatuk sepersekian detik setelah tersadar dari jeratan pandangannya yang serupa blackhole tadi. Aroma washabi benar-benar menghajar saraf-saraf indera penghiduku.

    “kamu nggak papa?” tanyanya tampak khwatir.
    Jelas lah aku apa-apa.

    “Nih minum dulu!” perintahnya sambil menyodorkan sebotol air mineral yang dibawanya. Kuterima air mineralnya. Kuminum perlahan.

    “uhukk.... uhuk...” aku masih terbatuk. Secara reflek saluran lacrimalisku tertutup. Al hasil mataku menjadi berkaca-kaca. Nyaris saja aku benar-benar menumpahkan washabi ke arahnya. Tapi...

    Puk... puk... puk... dia mendekat ke arahku dan menepuk-nepuk punggungku. Ada rasa nyaman menjalari tubuhku. Ajaibnya aku jadi berhenti batuk. Aku menoleh ke arahnya, dan dia hanya tersenyum. Sejenak kami terdiam.

    Ruang bermatra empat di sekitar kami melengkung, membuat waktu terasa memanjang membenarkan teori relatifitas umum Einstein tentang ruang-waktu bermatra empat yang melengkung di sekitar benda bermassa sangat besar seperti balckhole di angkasa. Eits... ngapain dari tadi aku mengandaikan dengan teori relatifitas Einstein? Apa nggak ada pengandaian yang lebih enak dimakan?

    “Makanya... pelan-pelan,” kya... dia berubah jadi ketus lagi. Kuurut dadaku, mensugesti kerongkonganku untuk segera bekerja menurunkan washabi yang tadi sempat melakukan makar.

    “Mau bayar berapa dia?” tanyanya, tentu dengan nada semakin ketus. Aku jadi malas menjawab. Aku yang mau dipakai, koq dia yang ketus. Dasar!

    “Mang kamu butuh berapa?” tanyanya lagi. Aku jadi semakin malas menjawab. Leo mau bayar berapa ya terserah kesepakatan kami lah. Apa urusannya dengan dia coba? Masalah buat dia?

    “Aku bisa bayar lebih!” dia semakin menyebalkan. Ada nada meremehkan dalam ucapannya.

    Ya ya ya... semalam kamu dah menyewaku. Tapi bukan berarti kamu memiliku kan? Ucapku dalam diam. Sebaiknya aku memang diam, daripada malah bertengkar. Bisa-bisa dia nggak mau memakai jasaku lagi. Atau parahnya dia pergi tanpa membayar jasaku semalam, tanpa membayar makanan yang telah ia pesa. Horor banget.

    “Nggak takut kondite?” jleb... serangannya tepat sekali.
    Hehh.... kuhela nafas panjang.

    Kondite. Satu kata yang paling kutakuti selama melakoni pekerjaan hitam ini. Oleh karenanya aku selalu bekerja seprofesional mungkin agar tidak ada pihak-pihak yang curiga kemudian melaporkanku ke bagian pendidikan. Kalau ada yang melapor, tamatlah riwayatku, tamat pula pendidikanku. Dalam sejarah percaturanku di dunia hitam ini, aku sudah tertangkap basah tiga kali.

    Pertama kali tertangkap aku mendapatkan kondite tidak bisa ikut ujian stase. Dengan kata lain secara otomatis aku dinyatakan tidak lulus stase dan harus mengulang setengah dari stase normal. Saat itu aku stase Ilmu Penyakit Dalam yang normalnya harus kujalani sepuluh minggu. Dengan adanya kondite, maka aku harus menambah lima minggu. Total menjadi lima belas minggu.

    Tertangkap kedua kalinya, kondite yang diberikan semakin berat. Sanksi yang kudapatkan adalah mengulang penuh dua stase yang aku curangi. Saat itu aku stase di Ilmu Bedah yang normalnya harus kujalani delapan minggu. Dengan adanya kondite, aku harus menambah delapan minggu penuh plus sepuluh minggu Ilmu Penyakit Dalam.

    Dan yang ketiga, yang paling berat. Aku tertangkap di stase Ilmu Kesehatan Anak. Karena ini yang ketiga kalinya, bagian pendidikan memutuskan untuk menghanguskan seluruh stase yang sudah kulewati. Padahal stase yang tersisa Cuma tinggal dua: Ilmu Kesehatan Mata dan Ilmu Kedokteran Jiwa, dua stase yang nyantai dan masing-masing cuma empat minggu.

    Tamatlah riwayatku, setahun lebih kerja kerasku hangus. Aku harus mengulang dari awal. Karena sangsi itulah akhirnya aku bertemu mengulang bareng Jemmy dan Leo, adik tingkat dua tahun di bawahku.

    “Mau gimana lagi Ko, aku butuh duit,” memang mau bagaimana lagi? Aku butuh duit. Bermula dari hilangnya laptopku, aku berniat membeli lagi tanpa membebani ayah. Kukumpulkan semua daya dan upaya yang ada, hasilnya tak seberapa. Hingga datanglah tawaran dari salah seorang teman untuk terjun ke dunia hitam ini dengan menjadi joki jaga malam. Awal mula tarifku 200 ribu semalam. Makin profesional tarifku makin naik. Saat ini kuhargai jasaku 20 ribu per jam dengan tambahan 10 ribu per dokumen pasien baru yang kukerjakan atas nama pemakai jasa. Dan dari joki itulah aku bisa membeli kebutuhan-kebutuhanku, bahkan keinginan-keinginan yang tak terlalu mendesak.

    Sejak mendapatkan keputusan dari bagian pendidikan tentang penghangusan masa staseku, aku berniat untuk bertobat. Sungguh aku bertobat. Aku tidak pernah lagi menerima tawaran joki. Tapi seminggu ini, tidak ada hal lain yang kupikirkan selain menjadi joki. Aku butuh duit. Dan aku sungguh terpaksa.

    Semalam Jemmy memakai jasaku. Bukan karena dia sedang butuh, tapi karena dia tidak tega setelah aku merayu dan mengemis kepadanya.

    “Butuh berapa?” tanyanya melunak melihatku berkaca-kaca. Aku tertunduk, ada cairan asin mengalir di hidungku menuju kerongkonganku.

    “Ini ce jing untuk yang semalam,” sambungnya setelah Mas Cahyo pergi meninggalkan kami. Kuterima sepuluh lembar Soekarno-Hatta yang diberikannya. Sebutir air asin terjatuh dari sudut mataku. Perasaanku kacau.

    “Sorry...” dia menggenggam tanganku. Pertahananku runtuh. Air asin itu semakin deras berjatuhan dari sudut mataku.

    “Aku nggak mau kamu di-DO gara-gara njoki,” lanjutnya. Tentu aku juga tidak mau didrop-out. Aku tidak mau susah payahku menempuh pendidikan selama lebih dari enam tahun tiba-tiba hangus. Aku juga tidak mau ayah semakin kecewa dengan kondisiku. Tapi aku sungguh tidak ada pilihan lain.

    ”Kamu butuh berapa?” tanyanya lagi. Bukan dengan nada ketus atau meremehkan. Tapi dengan nada bersahabat. Aku terdiam tak menjawab. Air asin itu masih berjatuhan meski tinggal satu satu. Tangan kirinya masih menggenggam tanganku. Sementara tangannnya mengusap air asin di sudut mataku.

    “Kalau kamu butuh bantuan, aku siap. Kamu nggak harus njoki lagi,” dia mengangkat wajahku yang tertunduk. Menatapku lekat-lekat. Berusaha meyakinkanku bahwa dia serius ingin membantuku. Sementara aku masih terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

    “Koko nggak mau kehilangan kamu,” deg... dia menjatuhkan kepalaku di dadanya dan memelukku. Aku tersirap tak tahu apa yang harus kulakukan. Rasa aneh menguasai tubuhku, aku tak tahu apa itu. Serupa rasa aman setelah terlepas dari bahaya. Sehangat rasa nyaman di bawah selimut tebal saat hujan. Apakah ini yang dinamakan bahagia? Atau kah ini rasanya jatuh cinta?

    Tidak! Aku tak pantas mendapatkan ini. Selama ini dia sudah terlalu baik. Sudah terlalu sering membantu. Aku tidak ingin menyusahkannya lagi.

    “Koko sayang kamu,” dia semakin memperat pelukannya. Aku semakin tersirap. Apakah barusan artinya dia menyatakan perasaanku padaku? Apakah itu artinya dia menuntutku untuk balik menyatakan perasaanku padanya? Apakah itu juga berarti bahwa dia memintaku untuk menjadi kekasihnya? Argh.... pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang di rongga kepalaku. Memantul-mantul menghasilkan gema yang menggaung dari ujung ke ujung.

    Tidak! Aku meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Yang kuharapkan, sekaligus yang kutakutkan terjadi. Aku sudah tahu dia memiliki rasa unik ini kepadaku sejak lama. Sudah sering dia menunjukkan sign dan symptompnya. Aku saja yang tak mau tahu. Bukankah dia satu-satunya orang yang datang menghiburku saat vonis dijatuhkan oleh Dekan? Apalagi yang aku ragukan darinya? Dia cukup baik, bahkan sangat baik untuk dijadikan kekasih. Apa yang harus kuragukan lagi?

    Itu dia! Dia terlalu baik. Dia layak mendapatkan yang lebih baik dariku.

    Aku terus meronta. Percuma, dia semakin erat menenggelamkanku dalam pelukannya. Dan aku pun semakin tenggelam dalam perasaan aneh yang menguasai tubuhku. Aku menyerah, tak lagi meronta. Aku tidak harus berkata dan berbuat apa. Kubiarkan saja waktu mengalir perlahan. Andai aku bisa melengkungkan ruang-waktu, aku ingin melengkungkan waktu hingga memanjang atau bahkan kalau perlu sampai waktu berhenti, aku ingin seperti ini selamanya. Tapi aku tak bisa.

    Perlahan dia melepaskan pelukannya.

    Aku juga sayang Koko. Hatiku memerintahkanku untuk menjawabnya. Tapi sayang, yang berkuasa atas diriku adalh segumpal masa lunak berwarna putih-keabuan di dalam rongga tengkorakku. Dan segumpa massa itu memerintahkan lidahku untuk diam.

    Rasional saja, apa yang bisa diharapkan dari hubungan yang akan kalian rajut? Seperti biasa, super ego selalu berusaha memberikan pertimbangan yang rasional dan tentunya tidak melanggar aturan.

    Lihat nanti sajalah. Si Inner Child tak mau kalah, seperti biasa dia akan ngotot dan merengek agar keinginannya segera dituruti. Walau pun aku tau ia tak punya argumen untuk apa aku harus menuruti keinginannya.

    Kamu bisa bahagia bersamanya. Kali ini memberikan argumen yang cukup masuk akal dan menggoda.

    Ya aku bisa bahagia bersamanya. Bukankah saat ini adalah saat-saat paling bahagia dalam hidupku? Seseroang yang sudah lama kudambakan ternyata memiliki perasaan yang sama denganku.

    Apa definisi bahagia? Yang kau rasakan saat ini tak lebih dari serangkaian reaksi kimia yang melibatkan serotonin di otakmu. Kembali Super Ego mengajukan argumennya.

    Bahagia? Apakah itu bahagia? Bukankah memang bahagia adalah serangkaian reaksi kimia dalam rongga kepala?

    Lha itu dah terjawab. Yang kita butuhkan kan memang serangkaian badai serotonin, berlanjut dengan dopamin,endorfin juga boleh. Inner Child tak mau kalah.

    Ah entahlah... aku tak tahu. Bahagia? Apakah ada kebahagian dalam jalan yang akan tempuh? Atau kah kesenangan semu yang sesaat?

    “koq diam?” tanyanya Ko Jemmy membuyarkan lamunanku. Dia menatapku dengan matanya yang berpendar jenaka. Wajahnya mendekat. Apa yang dia lakukan? Apa dia bermaksud ...

    “Silahkan ...” celetuk Mas Cahyo mengagetkannya. Dia membawa makanan-makanan yang dipesan Ko Jemmy tadi.

    “Arigatou Gozaimasu” jawab Ko Jemmy terbata. Kami sama-sama tersenyum kikuk. Mas Cahyo tahu situasi, dia segera pergi. Kami kembali saling bertatapan.

    “aishiteru. Do you? ” bisiknya pelan. Tangannya masih menggenggam jemariku. Dan aku masih terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Aku sangat tahu bahwa ini salah. Tapi aku sangat menginginkannya. Apa semua harus dilihat dari kacamata benar dan salah? Tidakkan lebih dunia dan kehidupan akan lebih indah bila dilihat dari kacamata nyaman atau tidak, menyenangkan atau tidak? Tapi ... apakah semua keinginan, semua kenyamanan dan semua ksenangan harus dipenuhi? Bukankah apa yang kira indah, belum tentu indah pada hakikatnya?

    “kamu tak harus menjawabnya sekarang...” sepertinya dia tahu apa yang terjadi dalam semesta pikiranku. Tapi apa dia tahu, seberapa lama pun dia memberikan waktu, aku tak akan bisa menjawab pertanyaannya. Aku tahu jawaban yang benar, tapi aku tak ingin jawaban itu.

    “yang lahap gih...” dia segera menyumpit dan melahap sushi salmon favoritnya. Ekspresinya sungguh menggemaskan. Menatapnya sungguh membuatku merasa nyaman. Kunikmati tiap detik momen ini. Kurasa itu lah yang bisa kulakukan, menikmati tiap detik momen singkat bersamanya.

    “eits...” aku mendahului menyumpit sushi salmon yang terakhir.

    “aku duluan wekkk.... hap..” kumasukkan sushi salmon yang kusumpit ke dalam mulutku. Dia melongo heran. Aku hanya tersenyum.

    “ish....” tampaknya dia mau memprotes.

    “aishiteru too...” potongku sebelum dia melayangkan protesnya. Dia menatapku hangat, matanya berpendar dan senyumnya merekah. Tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati momen sesaat ini. Berusaha mengukir bahagia dari cinta yang tak sempurna yang kurasakan detik ini. Ya, hanya detik ini, detik lain mungkin semua yang kurasakan menguap entah ke mana.

    Apakah aku bahagia dengan cinta yang tak sempurna yang kurasakan saat ini? Lalu kebagaian sendiri itu apa? Ah entahalah, biar waktu yang akan menjawab. Mungkin saat ini aku belum menemukan jawabannya. Tapi aku yakin suatu saat nanti aku pasti akan menemukan jawabannya. Saat aku berani melangkah untuk menerima kebenaran.

    FIN


    Chawan mushi = masakan jepang terbuat dari putih telur yang diuapkan, ditambah beberapa bumbu dan bahan seperti jamur dan ayam.

    ocha = teh hijau

    washabi = pasta hijau pedas, teman makan sushi
  • Salam.

    mau buka lapak baru. isinya cerpen2 karanganku. monggo dibaca dan dikomentari.

    terima kasih.
  • gud !

    tapi lebih tepat lagi kalo berada dibilik boyzstories
  • boyzstories di sebelah mas
  • suka suka suka suka.
    Lanjutkan!!! ;) [-O< X_X
  • eh eh eh ....

    hehehehe salah masuk.
    masih gaptek.

    maaf ...
Sign In or Register to comment.