It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Trus yg tidung cintu kayaknya seru tuh klo di bikin full storynya . )
bagus!! aku suka yg black swan
Good job,,, makasih dah dimention @alabatan, lain kli mention lagi ya.
Oh iya, kpan ni cerbung yg kemren dilnjut? Aku masih tetap menunggu.
SUMPAH KEREN..
SAMPE NANGIS DEH..
@angelofgayangelofgay @adzharadzhar . hehe. maf blom lanjutin yang spatula ya. masih rada males ini teh
@masdabudd. baca di dkn ato di fb?
@congcong. maicih ya..
@sebenernya dulu niatnya mau bikin miniseri. tapi ntar aja dulu deh.
@desem. yap. yang waktu tu ditagg
@tyo_ary . aigo..lo mesti ikut ke bandung y ntar
@xanxan. kanjut?? jeng jeng
@Beepe. coba tempatin diri kita di posisi dia. mungkin kita memang harus lakuin yang terbaik sebelumnyhesel nanti
@andrekho01 cerbungnya kalo mood dateng ya. haha
Cerita ini berkisah tentang cinta Jiwa pada Perak. Jiwa sang penyair harus merelakan Perak sang ksatria yang diutus oleh raja untuk menyelamatkan anaknya, Jibril sang bidadara. Dan ternyata Perak terpesona oleh kerupawanan dan juga baik hatinya Jibril. Dan sesampainya di kerajaan Azzuri, Jiwa yang mendapati Perak bersanding dengan Jibril akhirnya memilih
Tapi Perak tersadar, hatinya adalah milik Jiwa. Dia hanya mendapati kebahagiaan yang semu dengan Jibril. Melihat keteguhan Perak, Jibril akhirnya melepas Perak untuk mencari Jiwa.
Jiwa bersembunyi di tengah hutan bersama kawannya, Merpati. Melihat Perak yang begitu tersiksa mencari Jiwa, Merpatipun memberitahu dimana Jiwa tinggal. Awalnya Jiwa menolak, tapi mereka berdua sadar, cinta mereka jauh lebih kokoh dari apapun. Dan mereka pun mengahbiskan sisa hidup mereka di tengah hutan itu, jauh meninggalkan istana.
sok lah, langsung dikripik aja ya
*****
PERAK, JIWA DAN JIBRIL
Adalah Azzuri, negeri dalam dongeng yang dilimpahi kemakmuran. Kastilnya menjulang tinggi dan runcing, laksana Gothik yang memukau, seolah seribu malaikat menebarkan sinarnya melingkupi kastil nan menawan itu. Pilar-pilarnya kokoh bak kaki Goliath, menancap menerkam bumi. Menaranya melengkung indah, dipeluk oleh patung-patung cupid yang lucu, yang tersenyum meski dikejar Poseidon.
Awan bertumpuk melayang seperti kapas, bergelembung yang indah, berkejaran dan saling menubruk, menebar cipratan air yang berbutir-butir mengilap. Mengawani kilat yang menyemburat, menutup jingga di barat yang memesona dengan sinar matahari yang berlesakan diantara celah-celah awan.
Rumput dan ilalang yang meliuk-liuk seperti penari perut bercengkrama dengan angin yang menghembus menggelitiki setiap yang dilewati, menebar aroma wangi dari bunga yang bercumbu dengan serangga. Bul bul berjinjit diantara dahan-dahan perdu apit, mencuri dengar jerejak yang bernyanyi merdu, menidurkan jangkrik yang terkikik.
Jiwa, sang penyair terduduk meratap, menebar kata dari lisannya yang dalit. Mengucap ratap dan doa atas orang yang dilimpahi seluruh hatinya. Hari ini mendung memayungi bumi, seperti kelam yang mendera hatinya. Betapa riuh kalbunya, sosok yang menyandera hati dan pikirnya kini mendekapnya, meminta restu atas kepergiannya.
“Aku, Prahara. Aku adalah bunga tanpa nama, entah bagaimana aku bisa memiliki warna indah, mungkin karena airmata yang membasahi akar-akarku setiap waktu. Aku tak paya saat kau tiada. Aku ingin murka saat kau luput dari mataku” Jiwa sang penyair meratap.
Perak, sang ksatria berzirah merangkul erat, mencumbu lekuk leher yang jenjang itu, menyingkap jubah halus berbulu cerpelai yang hangat itu.
“Aku adalah mendung yang teduh, engkau memintaku menghalau terik namun tak kau izinkan aku menuangkan hujan. Sulit memahami kemauanmu, cintamu penuh syarat.” Perak bertutur meminta restu.
“Aku adalah kata-kata cinta, bersamamu aku merentang menjadi bait-bait syair, lalu engkau pergi merangkai cerita di lembaran hati lain, dan tinggalah aku menjadi coretan-coretan, tak bermakna” Jiwa kembali meratap, ketakutannya atas keelokan sang tertawan menggoyahkan keyakinannya.
“Dan bila kau melangkahkan kakimu, sungguh, aku adalah bintang yang hancur, pecahanku menembus bumi, menjauh dari galaksimu, menghilang dari peredaran. Selamanya.” Jiwa mengimbuhinya dengan desah.
Perak merangkul erat, menggenggam jemari Jiwa yang kisut, bergetar karena cinta yang meluap. Dan pada masa itu, angin bertiup membawa air mata Jiwa yang sendu dalam diam, tak sepenuhnya memberi restu atas kepergian Perak.
“Aku pergi. Aku kuat dalam tekadku. Hatiku padamu adalah kokoh seperti baja, jiwaku akan tetap milikmu seperti embun dan halimun.” Perak mengecup Jiwa, melunturkan air mata Jiwa yang deras seperti Gangga.
Perak pun berlalu mengibas zirahnya yang mengilat, mengokang temali yang melintangi kuda yang gagah itu. Berlari menderas kerikil, mengarungi deras sungai, menerabas halimun gemunung yang membekukan itu, demi titah sang raja, menyelamatkan Jibril sang bidadara yang rupawan.
Debu-debu senja terjun dari tumpukan awan yang berkejaran, memerahi persemedian penat dan melarungkannya di atas angin yang berputaran. Perak mulai mengitari imaginasi, bersetubuh dengan ketelanjangan intuisi.
*****
Matahari berganti purnama, sabit memunggungi gerhana, berbulan Perak tak kunjung kembali. Mengisutkan Jiwa yang dilanda rindu yang mengosongkan pikirannya, memenuhinya dengan satu nama, Perak.
Dia merindu sosok yang gagah itu, merindu saat dia berjinjit nakal, mengecup bibir yang manis seperti cerry itu, beradu dengan hidung yang menjulang seperti Vesuvius, membaui lekuk tubuh yang sewangi kesturi, mengilat seumpama cermin, melarutkan diri dalam gairah surga. Bergelut dan bergelung, menyatu dalam lenguh dan desah. Meremas yang indah, menggenggam nan erat, dan menggigit yang nikmat.
“Merana adalah karibku, kental dan tak pernah menjauh. Aku masih menggenggam pena ini, menggoresnya diatas kertas yang basah oleh air mataku. Aku mencintai sepi, meratapi kekasih setiaku yang tak pernah menepi.” Jiwa terisak dalam diam, lelah bertanya pada nuri yang bertengger diatas balkon yang menjorok, menghadap hamparan yang teduh.
*****
Perak berkawan dengan dentingan mata pedang yang beradu, berteriak menantang kawanan lawan yang menyandera Jibril sang bidadara, si anak Raja. Peluh menepi, darah mengucur, lengkingan menghentak. Sampai akhirnya semua lawan tumbang oleh pedangnya yang terhunus.
Jibril terpukau, terpesona oleh Perak yang gagah. Perak memangkas pagar yang mengurung Jibril dalam sangkar. Perak memangku Jibril, mendudukannya pada kudanya yang kokoh itu. Berjalan perlahan melintasi gemunung yang berbukit-bukit. Dekapan hangat Perak yang mengokang temali dibelakang Jibril, menyemai rasa itu, rasa yang tak pernah Jibril rasakan.
Perak sang ksatria mencarikan buah untuk Jibril yang lapar. Tapi menjangan melintas, meluluhkan Jibril, membuatnya mengulurkan tangan ke mulut menjangan itu. Menjangan itu makan buah dari tangan putih Jibril dengan rakusnya.
Jibril mengisahkan mimpinya pada Perak. Semua tentang inginnya lari dari megahnya istana untuk berdiri diantara para anak matahari. Pewaris bumi.
“Aku adalah pagi yang cerah, malam memintaku datang untuk memberikan jalan bagi para pemimpi mewujudkan bunga tidurnya. Akulah siang yang bergelora, pagi membaiatku sebagai altar tempat kaki-kaki kecil demi mimpi besar mereka. Dan akulah malam yang anggun, senja menghiasku dengan anak-anak matahari tempat para pemimpi menggantungkan harapan mereka.”
Perak membisu. Tercekat oleh pesona Jibril yang rupawan. Hatinya tertawan oleh kata-kata yang tertutur dari mulutnya yang mungil itu. Dan untuk saat ini, Jiwa luput dari hatinya.
******
Jiwa bertopang dagu menatap gerbang kastil. Matanya terus mengedar, mencari sosok yang merenggut waktu tidurnya. Merpati datang, mengisahkan pengkhianatan dan nikmat cinta yang menghilang. Perak telah terjerat cinta sang Jibril. Sang ksatria tunduk oleh pesona bidadara yang menyerupa Yusuf. Bening air mata Jiwa menetes, menghujani bumi yang mulai gersang. Nasib malang dari hati yang di buang, seperti menerka firasat dalam ribuan tanda bimbang.
“Aku tahu, kesetiaan dan ketulusan tak cukup berharga dari lekuk syahwat yang menantang, tak cukup menarik dari tubuh-tubuh tegap yang telanjang.” Jiwa berkeluh pada merpati yang ikut mengiba.
Airmata menjadi satu-satunya bulir tirakat, lelehan rasa yang mengerti bahwa Jiwa merintih sekarat. Lalu apa yang paling bernilai untuk cinta? Jika kesungguhan hanya di anggap sebagai pemanis kata-kata?
******
Terompet bersahutan, bergantian dari bubungan ke bubungan, menyambut sang ksatria kembali dari medan perang. Elu-eluan membahana dari setiap mulut, mengalirkan pujian yang menderas. Senyum itu terulas di bibir Perak. Dialah pahlawan negeri, menyelamatkan Jibril dari cengkram raja yang nista itu.
Jiwa menatap sendu dari sudut istana, menatap keduanya yang senyumnya mengembang. Perih hatinya tak sejalan dengan derai tawa mereka. Pelupuk matanya seperti segara yang tak sanggup menahan laju bening air matanya. Hatinya hancur, tapi pekik itu tertahan, seperti jantungnya tercerabut dengan paksa.
Perak membatu, melihat Jiwa yang merana. Langit runtuh diatas raga Jiwa, bumi melesak dalam lubang tak bertepi, memerosok dalam kegelapan yang pekat. Jiwa bernafas, tapi pikirannya telah mati. Jiwa hampa. Kosong tak bertuan.
Perak mendekat, mendekap Jiwa yang beku. Bersujud dan menciumi tangan Jiwa yang sekarang ringkih, hanya tulang berbalut kulit. Dagingnya tergerus rindu yang teramat pada ksatria yang menawan hatinya.
“Entah aku yang terlalu bodoh, atau hujan yang teramat cerdas. Ditenggelamkannya bibirku dalam kekakuan berterus terang. Aku diseret arusnya tanpa ampun. Aku tak bisa tolak titah itu. Aku adalah pion yang lemah.” Perak memasrahkan diri.
Jiwa melepas genggaman Perak yang kokoh. Menatapnya dengan sendu. Kedatangannya tak seperti dalam mimpinya. Perak telah menarik sauhnya dan melabuhkannya di lain dermaga.
“Kudengar senda gurau hujan dari barisan titik air pada dinding kaca. Kulukis sebentuk hati dengan segurat luka yang membaginya menjadi dua bagian. Ya, itulah hatiku sore ini” Jiwa menahan agar butiran itu tak lagi menjatuhi bumi. Jiwa lebur hatinya.
“Dalam lenguh panjang, aku menebas nafas yang menjauh terbang. Tak ada yang lebih baik selain memahami diri sendiri. Terlalu banyak hal yang menguras emosi dan tak berarti. Aku menutup mata, mendengar melalui nurani. Hati ini perlu dilindungi” Jiwa meneruskan tangisnya.
Jiwa pun pergi, meninggalkan Perak yang sesak oleh sesal. Mengutuki diri tak bisa melawan hirarkhi. Kedua tangannya merengkuh lutut, merasa lemah karena cinta. Dia ksatria, tapi dia masih manusia. Kini kabut menutupi Azzuri, seperti air mata yang menumpuk di pelupuk Perak.
*****
Gubuk sederhana itu tersembunyi dibalik rimbun yang pekat, diatas daun-daun yang terserak. Purnama bertengger berselimut awan, menggantung indah tanpa temali yang memancang langit. Gemintang berkedip, menghias berpadu dalam rasi yang indah tak terperi.
“Aku hanyalah pendulang malam, ksatria syair yang memanah rembulan dengan mata pena. Kulesatkan cinta sepiku ke kawanan bintang, biar hanya yang memercayai keajaibannya yang kuizinkan untuk memetiknya. Jiwaku terlalu lama berhampa. Biar! Biar rasa ini disana, tak tergapai siapapun.”
Jiwa meratap, memupus harapan atas ksatrianya yang gagah. Mencoba berikhlas memang tak mudah, tapi tuhan itu berkuasa. Dia punya segala mau. Dia tahu segala ingin. Burung hantu merias malam dengan pekurnya yang sepi. Angin memutar menuruni lembah, menghaturkan kerinduannya yang mengkristal pada Perak. Dan nama itu terucap dalam lirih.
Perak terbangun. Bulir-bulir peluh menepi di dahinya. Nafas memburu terdengar bising, meracaukan kata yang selama ini tertahan untuk terucap. Rindu, Perak rindu pada Jiwa yang selalu bersenandung indah agar dia terlelap, mengusap helaian rambutnya yang legam. Membelai pipinya yang kini cekung. Rindu itu menghisap raganya. Bahagia yang dia rasa ternyata semu.
Perak terjaga. Meraih zirah yang tersampir di kaitan gading yang mungil itu. Jibril terperanjat, menyaksikan Perak yang ketir karena rindu. Jibril mendesah, mencoba mengulas senyum, meski pahit merajai lidah. Kelu menyerupa permen yang tertahan di mulut, perih mengakar dalam mata.
“Jangan lagi kau kupas kesedihan dari raut wajah tampanmu atau aku akan terhempas dari keindahan sederhana yang kau miliki itu. Senyummu serupa barisan pelangi yang disematkan bidadara di gumpalan awan. Maka biarkan aku terus mengagumimu tanpa perlu menyentuhmu, karena tak semua hal indah itu harus dimiliki.” Jibril melepas Perak. Dia tahu hatinya hanya milik Jiwa sang penyair.
Perak mengecup Jibril dalam kening yang halus bak pualam itu. Menerima restu dengan sungging yang hampir meledak. Dia berlari mengibaskan temali, kembali menunggangi kudanya menderas malam. Perak tahu bahwa hatinya tertawan Jiwa. Jibril hanyalah pesona yang tak pantas untuk hatinya. Jibril pasti akan mendapat bidadara yang setahap dirinya. Bukan dia yang harus terus berjuang di medang perang.
Perak bertanya pada embun yang mulai turun, berteriak pada seluruh penjuru mata angin yang delapan. Dan merpati sahabat Jiwa terenyuh mendengar tangsinya di depan telaga, air mata Perak mengeruhkan beningnya telaga itu, membangunkan ikan-ikan yang terjaga.
Merpati berkisah dimana Jiwa mengendapkan rindunya, terbang rendah menuntun kuda gagah itu menderas ilalang. Sampai pada pohon berakar sepinggang, dibalik rimbunan pohon yang menjulang.
Perak tersungkur di kaki Jiwa yang beku. Meratap dalam bahasa kalbu yang lirih. Memohonkan pengampunan atas kekhilapannya. Jiwa bergeming, menatap lurus matahari yang mulai menyemburat, memancarkan cahaya terang nan hangat.
“Cinta bukan sekumpulan ciuman tabu, bukan ragam pelukan-pelukan menggebu.
Cinta adalah ketaklukan, pengabdian jiwa dengan penuh kerelaan. Lalu sejauh mana kita meneladani sebuah hati jika kita masih saja mampu melukai?” Jiwa kukuh dalam dukanya.
Perak menabar kenangan. Kalbunya berkisah tentang asmara yang indah, menggebu dan membakar malam. Kelopak bunga itu tertabur di pembaringan, harum itu tercium kembali, air susu itu terasa mengepul kembali.
“Seperti mega mendung yang mengakar di kaki fajar. Aku adalah wujud rindu yang mengejawantah. Naik mengepul diangkat kekhawatiran, turun merendah digiring kepasrahan cinta. Tak bisakah kau baca isyarat air sebelum gerimis menjadikannya hujan? Aku memujamu seperti malam pada rembulan. Aku mencitamu laksana ikan pada telaga”
Jiwa luluh, mengalah pada rindu yang pekat. Batinnya runtuh oleh sesal. Dan kalbunya kalah oleh cintanya yang menggunung. Dia meraih Perak dan merangkulnya erat. Mata indahnya menintikkan air mata bahagia. Pujiannya terpanjat pada tuhan yang mengumpulkan doanya dan menghujamkan padanya pagi ini.
“Cinta yang dewasa itu mensyukuri. Rindu yang matang itu mengerti. Dan aku masih mencintamu seperti matahari dan pagi”
Perak merengkuh Jiwa, seolah tak ingin lepas. Dan mereka meregang cinta pada sisa umur yang mereka miliki.
sekarang w coba posting oneshoot perdana yang w bikin. haha. ngakak masa waktu pertama bikin cerpen. pusing banget milih kata-katanya.
W memaksa diri untuk membuat sebuah cerpen untuk mengikuti sebuah loma cerpen dan hasilnya, dua orang yang w minta untuk menilai, memberikan respon, BIG NO NO NO. Jelek pake banget. haha.
Jujur saja, membuat sebuah one shoot itu jauh lebih sulit dari sebuah cerbung. Tapi tak apa lah. Sok welah dibaca yah.
DIAROMA CINTA
By Abi Zaenal (Alabatan)
Angin kehidupan itu selalu bertiup tak terduga. Tak bisa diramalkan seperti cuaca, dan tak bisa diprediksi dengan kata-kata. Seperti apa yang terjadi padaku. Misteri waktu akhirnya menenggelamkanku dalam dimensi yang tak kuduga. Dulu, waktu aku masih kecil, aku menyangka bahwa hidupku akan seperti kebanyakan orang. Menjalani masa muda yang penuh warna dengan romantika cinta remaja yang gila, sekolah tinggi-tinggi dan berhasil menjadi dokter atau pilot seperti cita-citaku dulu.
Tapi ternyata tidak. Kadang takdir berlaku semaunya, tanpa peduli apa yang telah kita rancang, atau apa yang kita impikan. Kalau dulu aku bercita-cita ingin menjadi pilot, tapi ternyata kehendak takdir menghempaskanku disini. Aku ingat titik nol dimana aku menjadi seperti ini.
Aku ingat, saat itu umurku masih 19. Belum genap beberapa minggu lebih tepatnya. Berawal dari sebuah pesan singkat yang masuk ke hapeku karena aku memajang nomerku di forum penyuka sesama jenis. Sebenarnya aku hanya iseng saja, karena aku penasaran dengan stensilan-stensilan cabul yang sering kubaca tanpa pernah merasakan langsung. Sampai ada yang menarik perhatianku lewat pesan-pesan singkat yang masuk dengan derasnya ke penyerantaku, disertai gombalan-gombalan basi sebenarnya, norak tapi romantis. Tapi bukankah ketika seseorang sedang jatuh cinta, norak itu bisa diartikan romantis? Setidaknya buatku begitu.
Sampai pada akhirnya dia mau datang ke kotaku yang kecil dan sepi.
Namanya Darko. Dia seorang yang berkulit gelap dengan kesempurnaan fisik seorang lelaki. Nama yang lucu untuk sebuah raga yang kokoh dan gelap namun indah. Dark yang gelap, tapi memukau. Dan seorang dia, orang yang pertama mengenalkan tentang kenikmatan cabul itu, rupanya telah menjadi candu buatku, candu yang membutakan. Candu yang membuatku nekad mengorbankan pendidikan formal serta meninggalkan keluargaku dan meraih tawarannya untuk tinggal satu atap dengannya di kota tempat dia tinggal.
Aku cinta dia dengan sangat. Dia dengan segala rupa kesederhanannya yang istimewa, dengan kesempurnaan fisiknya dan kepandaiannya ketika membuatku lemas berpeluh keringat. Dia kelinci bagi kaum adam dan hawa. Tapi dia berikrar untuk menjadi setia denganku.
Aku akhirnya bekerja di sebuah pabrik kecil untuk beberapa saat. Cukup lah untuk membayar petakan bulananku dan juga mengisi celenganku untuk suatu cita-cita yang naif, cita-cita yang aku sendiri malu menyebutkannya. Baiklah, kuberitahu saja, aku menabung agar suatu hari nanti aku bisa menyatukan diri dengan dia yang kusayang itu di negeri yang dulu mengangkangi kita, Belanda.
Tapi sekali lagi, tuhan punya kehendak lain. Manusia hanya punya mau, tapi tuhan punya kehendak. Perusaanku bangkrut dan mencari pekerjaan tak semudah menjadi kuli panggul di pasar. Aku dengan segala keterbatasan fisikku tidak memungkin kan untuk bekerja kasar, dan tentu saja dia yang kusayang tak pernah mengizinkanku untuk itu.
Saat itu dia menyuruhku melanjutkan pendidikanku yang tertunda. Demi masa depanku katanya. Dan tentu saja aku menolaknya karena alasan paling klise dan klasik. Ekonomi. Dia dengan strata pendidikan yang tak tinggi hanya mau membuat kami berdua makan cukup, tak mewah. Sedang gelarku yang belum teraih dan fisikku yang lemah membuatku tak kunjung mendapat pekerjaan baru.
Aku masih ingat, saat itu aku berjalan sambil memegang tali tas selempangku selepas pulang dari kampus. Dari tempatku berjalan terlihat seorang pria berjaket sedang duduk sambil merokok. Dia terlihat asik dengan hapenya.
Hapeku bergetar lagi.
“Iya, pokoknya ayang tenang aja. Darko yang traktir..”
Aku tersenyum dan rasanya ingin berlari menghampiri lelaki berkulit gelap yang sedang merokok itu. Kupercepat langkahku dan akhirnya aku tersenyum ketika sudah sampai didepannya. Dia mendongak dan tersenyum juga sambil menginjak rokoknya karena aku tak bisa mencium bau rokok. Aku tatap matanya, sebenarnya aku sudah sangat ingin memeluknya, tapi saat ini puluhan pasang mata pasti akan memandang kami dengan tatapan aneh. Aku masih harus mengendalikan diriku. Dia pun tersenyum penuh arti. Tak ada kecup kening, atau cium tangan, hanya tatapan dengan berjuta ungkapan.
Setelah mengenakan helm yang dia sodorkan, aku lantas naik ke jok belakanganya. Untuk beberapa saat aku masih memegang pahanya saja. Baru setelah cukup jauh, aku mulai memeluknya erat, erat sekali.
Sampai akhirnya kami tiba di sebuah restoran yang ada di tepi danau. Di tempat yang romantis ini, dia pesankan makanan yang belum pernah masuk dalam perutku. Nama yang aneh, harga yang selangit, dan suasana yang begitu wah ini membuatku tak mampu menahan lidahku untuk bertanya. Darimana dia punya uang sebanyak ini?
Dia hanya tersenyum. Senyum yang rumit. Senyum yang tak bisa kuartikan. Aku pun hanya bisa bicara lewat mataku saja meski aku sedikit kecewa, bukan kecewa, tapi bertanya-tanya lebih tepatnya. Darimana dia punya uang sebanyak ini diantara tagihan biaya kuliahku, tapi ini akan merusak suasana. Dan akhirnya aku menelan kembali tanya itu.
Dan disaat bersamaan, datang seorang tua, gendut dan botak dengan senyum nakal menghampiri kami. Pandangan mata tanpa kata itu membuatku merasa ada yang tak baik. Dan benar saja, dia menjelaskan semuanya di toilet. Dia tukar lendir dengan lembaran rupiah, demi membiayai kuliahku dan aku yang penyakitan. Hatiku ambruk. Ingin aku berteriak, mengapa dia seperti ini. Tapi dia katakan ini semua demi aku, demi aku. Apa aku berhak marah? Aku tak tahu.
Setelah pergi meninggalkan restoran mahal dengan sisa makanan yang banyak karena selera makanku raib, aku bersikukuh ikut ke tempat dia akan menemani om-om gendut botak itu meskipun dia melarangku.
Dan di pub itu, baru kali ini aku melihat dia dengan hina. Di tengah musik yang berdentum-dentum, dia menanggalkan semuanya dan menari meliuk-liuk. Air mataku tumpah berderai-derai tak mampu kubendung. Lemparan rupiah berjatuhan dari dalam cawat sempitnya dengan keringat menetes dari seluruh tubuhnya. Dan berakhir dengan remasan, jamahan dan sapuan pada pusakanya yang kupuja itu.
Aku gemetar di kursi pojok diluar ruangan itu. Tak sanggup aku melihat orang yang kusayangi direndahkan seperti itu. Aku mengutuki diriku sendiri karena keadaanku. Setelah ketika dia menghampiriku dan berbisik...
“Besok kamu lunasin tunggakannya ya..”
Tuhan..hentikan mimpi buruk ini. Bangunkan aku tuhan. Bangunkan aku. Sesak, sesak sekali aku melihat ini semua. Suaranya yang berat dan merdu kini terdengar begitu memekakkan. Ingin kupukul wajahnya, tapi atas dasar apa? Dia lakukan ini ini semua demi aku. Dia menanggalkan harga dirinya demi aku yang rapuh ini. Hingga sampai rumahpun aku hanya diam. Air mataku yang mengambil alih dan bicara.
Bodoh, kenapa aku biarkan dia melakukan ini semua? Kenapa aku tak tahu bahwa dia melakukan ini demi seorang aku yang lemah? Tuhan, aku sayang dia. Dan aku tak mampu lepas dari dia. Kenapa? Apa karena dia telah memberikan sebuah desah panjang yang membuatku lupa ibuku? Ya, dia begitu piawai melambungkanku. Tapi semua yang telah dia lakukan membuatku tak mampu tinggalkan dia. Dia adalah layar dari bidukku yang kecil ini. Aku memang tak mampu bedakan benar dan salah. Tapi aku tak rela harus berbagi dia dengan yang lain, meskipun itu hanya raganya saja. Dia hanya milikku, hanya seorang aku yang boleh menjamahnya.
Aku terdiam dengan lelehan air mata yang tak mau berhenti mengalir. Dia menghampiriku, mencium tengkukku. Dia mengucapkan maaf beribu-ribu kali karena tak pernah mau jujur. Tapi maaf buat apa? Dia lakukan ini semua buat aku yang selama ini hanya menjadi benalu buatnya. Aku sayang dia, dan rasa sayang ini pasti mampu memaafkan sebagaimanapun salahnya dia. Dia berjanji akan berhenti setelah aku lulus dan kami bisa hidup lebih layak karena dia menyadari betapa dia tak mampu bersekolah tinggi dan bekerja berdasi-dasi.
Sampai ketika aku lulus, akupun telah berdasi. Tapi dia semakin merasa rendah. Dia berubah. Dia tak pernah mau menerima apapun yang kuberikan. Dia pulang larut malam dan memunggungiku yang kering oleh sapuan lidahnya.
Dua tahun sudah aku tinggalkan kampung halamanku. Dan di suatu petang yang temaram, iseng kubuka surat elektronikku yang telah lama tak pernah kubuka dan aku terhenyak, banyak sekali pesan masuk menjejali. Kubuka satu persatu, pesan itu datang dari seorang kawan dekat wanitaku, yang pernah utarakan rasa sukanya padaku. Dan pesan terakhir yang kubaca, Ibu menyuruhku pulang. Adikku yang tak tahan diolok-olok telah menghilangkan nyawa teman sekelasnya. Sekarang dia menginap di hotel prodeo, tempat pengap dan penuh penistaan, meninggalkan ibuku sendiri dengan luka dalam, teramat dalam. Jahat, jahat sekali aku. Setelah ayahku yang seorang tokoh masyarakat yang dulu disegani meninggal karena jantung setelah kubalurkan kotoran ke wajahnya dengan kepergianku. Aku dilanda rasa bersalah yang sangat. Aku lah terkutuk, mahluk paling nista dari segala mahluk yang bernafas.
Dan kulihat wajah orang yang tidur disebelahku. Wajah tenangnya yang teduh. Tapi sebandingkah pengorbanan Darko dengan penderitaan wanita yang mengandung dan menyapihku?
Aku hanya bisa menangis di sepertiga malam setelah lama kutinggalkan. Kubuka lembaran mushap yang berdebu. Aku mohonkan petunjuk dari tuhan yang telah lama kulupakan keberadaannya, kuacuhkan dalan desah nafasku. Dan paginya aku terus mencari alasan untuk bisa meninggalkannya. Meski tak ada alasan untuk meninggalkannya. Mencampakan orang yang begitu menyayangku dengan begitu rupa. Meninggalkan orang yang begitu banyak berkorban untukku, sampai menanggalkan harga dirinya.
Dan ketika kutemukan sebuah pesan pendek di penyerantanya, dia hanya bilang, lelaki itu hanya seorang biasa. Bukan tak mau bilang, dia hanya akan bilang disaat yang tepat. Aku pura-pura marah, aku meminta pisah dari dia.
Dia memohon, memelas dan mengiba. Dia yang kokoh kini berlutut dikakiku. Hatiku ambruk melihat dia bersimpuh. Aku sayang dia tuhan, sayang dia dengan sangat. Jahatkah aku jika aku lebih memilih bersujud di kaki ibuku daripada memeluk dan menghapus air matanya sekarang?
“Aku tak mau memulai sebuah cinta dari nol lagi. Bukan karena aku tak mau merasakan sakitnya. Aku hanya ingin memperbaiki cinta yang telah lama diperjuangkan. Mungkin takkan sama, tapi setidaknya, dengan cinta itu aku bisa bertahan.”
Nafasku tercekat. Aku hanya mampu terisak. Dia memelukku kakiku dengan deras air mata. Sampai dia tertidur dalam pelukku. Dan besoknya, kutinggalkan surat dengan tetesan-tetesan air mata yang telah mengering.
“Aku pergi, jangan cari aku...”
Hanya itu yang mampu kutulis. Tanpa ada permintaan maaf. Aku tak pandai merangkai kata maaf karena aku merasa tak pantas untuk kamu maafkan. Aku yang hina, aku yang tak tahu diri. Maaf ini hanya terucap lewat hati di setiap hariku setiap aku ingat dia, sampai detik ini. Maaf karena aku tak pamit dengan mencium keningnya, maaf karena tak ada penjelasan tentang ibuku yang sebatang kara dan terbaring lemah diatas ranjang reyotnya. Maaf karena aku tak sanggup menatap matanya, menatap wajah kecewanya.
Dan sekarang aku yang brengsek ini bahkan tak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia telah menemukan penggantiku? Harus. Dia harus mendapatkan seorang yang jauh lebih baik dari aku yang tak tahu diri dan balas budi ini. Aku hanya bisa mintakan pada tuhan agar dia diberikan yang terbaik.
Aku disini masih dengan rasa sayangku yang sangat padanya, hanya untuknya. Karena gadis sholehah ini belum bisa gantikan posisinya di ruang hatiku yang telah penuh dijejelali rasa sayangku padanya.
Aku disini bukan karena aku tak sayang kamu..tapi karena aku terlalu takut kehilangan maaf ibuku..
“A, makan dulu, kerjaannya dilanjutkan nanti...”
Aku menoleh, seorang wanita berkerudung panjang tersenyum menghampiriku sambil membawa secangkir teh yang tampak masih mengepul. Wanginya memenuhi kamarku, menebar aroma hangat kedalam paru-paruku. Senyum tipisnya itu selalu tersungging di setiap harinya, membuatku malu pada tuhan. Tuhan yang begitu baik hati pada orang sepertiku.
Lantas perempuan itu menghampiri seorang ibu yang sekarang sudah tak muda lagi yang terbaring di ranjang. Setelah ayah meninggal dan adik lelakiku menghuni hotel prodeo, ibu jatuh sakit, dan meminta gadis baik hati itu untuk menyuruhku pulang. Dan permohonan ibu yang terakhir untuk menyuntingnya, membuatku tak mampu menolak. Hanya ibuku yang kupunya sekarang, orang yang senantiasa membuka pintu maaf untuk anaknya.
“Kapan kamu kasih cucu buat Ibu, Neng?”
Gadis yang beberapa bulan lalu kusunting itu tersenyum ke arahku. Sementara aku hanya bisa tersenyum kaku. Pertanyaan yang hampir setiap hari terlontar dari mulut beliau. Membuat kami berdua kaku. Bingung harus menjawab apa.
Aku kembali ke kursiku. Menghadap komputerku. Iseng kubuka lagi surat elektronikku. Ada pesan masuk dari akun baru yang tak kukenal.
“Bawel...kenapa????? Adilkah ini untukku????”
Bawel? Itu..panggilannya padaku karena mulutku seperti mercon ketika melihatnya merokok atau tak langsung bergegas ke kamar mandi sepulang kerjanya. Dan kata ‘kenapa’ dengan beberapa tanda tanya telah menjabarkan sejuta pertanyaannya. Kenapa, kenapa, kenapa?
“Aku hanya ingin bertanya, kenapa? Apa masih kurang apa yang kulakukan untukmu? Apa aku tak pantas untuk mendampingimu mewujudkan mimpimu? Aku rindu pesan singkat darimu, ‘ loph u jelek...’ itulah kata-kata romantis yang paling indah di telingaku ”
“Uang yang kamu taruh diatas meja sudah kusumbangkan untuk panti. Dan satu lagi, aku sudah beli sebuah rumah kecil, rumah yang kuikrarkan dalam janji kecilku sebagai hadiah untuk ulang tahunmu. dan lelaki yang yang kira itu, dia adalah adikmu. Adik yang dulu katanya begitu membencimu tapi rasa rindunya padamu mampu mengalahkan rasa kecewanya. Dia akan kupertemukan denganmu di hari ulang tahunmu yang tinggal menunggu hari...Dan kusampaikan pesan darinya, mohonkan maaf buat ibu karena dia tak sanggup pulang karena malu. Dan mohon maaf padamu karena dia ingin menggantikan posisinya disisiku.
Telingaku berdengung. Dadaku sesak. Mataku terasa pedih sekarang. Dan air mata ini dengan derasnya membasahi pipi dan berjatuhan ke papan ketikku.
Aku hanya bisa jawab lewat hatiku. Ibuku, ibuku, dan ibuku. Sudah cukup aku durhaka hingga tuhan menjemput ayah tanpa aku bisa mendapat maafnya. Dan sekarang aku lebih memilih kembali bersimpuh pada ibuku yang pemaaf ini, dan menyunting gadis yang mau menerima aku yang seperti ini. Meskipun sekarang aku hanya bisa menghabiskan waktuku dirumah karena tak tahan cemoohan orang sekitarku sampai aku memutuskan untuk membawa istri dan ibuku ke tempat baru.
Tidak, aku tak mampu membalas pesannya. Aku tak sanggup. Dan sekali lagi, aku tak sanggup, bahkan hanya untuk sekedar membalas pesannya dengan hanya kata maaf. Aku tak tahu yang kulakukan ini benar atau salah. Tapi aku selalu mintakan pada tuhan yang terbaik. Tapi tuhan, kenapa Kau uji aku dengan adikku? Kenapa Kau ganti aku dengan adikku disisinya? Tapi apa dan bagaimanapun kehidupan ini berjalan, aku hanya mahluk, tak punya kuasa atas apapun.
maaf buat yang gak kemensyen. w copas soalnya. hehe
itu yg Jiwa,Perak dan Jibril pernah di post jg kan??
tgl 2 minggu lagi, mau ngrampok dmana coba bi, hadehdehduh