It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pondok indah, Jakarta.
Alexander Wijaya
Desahan itu pun tak tertahan lg keluar dari bibirnya. Sepertinya dia akan mencapai klimaksnya. Akupun begitu.
"Ah oh ah. Aku mau keluar, kau?"
"Akupun begitu, dgn beberapa kenikmatan disini sepertinya sebentar lg." sahutku.
Aku masih tetap saja memaju-mundurkan tubuh. Gerakan sejajar yg ku buat selalu bisa membuatnya meleguh. Aneh rasanya, tp ini bukan pertama kalinya. Mereka yg sebelum-sebelumnya berhubungan dgn ku mengatakan, jika aku memang pantas diacungi jempol untuk urusan yg satu ini. Malah banyak dr antara mereka yg ingin "nambah", tp aku menolak untuk urusan yg satu ini.
"Ssst ah, oh ah."
aku makin tak tahan.
Secepat mungkin aku gerakkan tubuhku maju mundur. Diapun tak mau kalah, malah dia sengaja memegang bokongku dan memaju-mundurkannya. Hal itu membuat kami makin bersemangat untuk menikmati permainan ini.
Satu detik dua detik tiga detik dan benar saja, cairan putih kental itu keluar dari barang miliknya.
"Aku keluar, terserah padamu mau kau keluarkan dimana my Alex." katanya padaku.
Lalu ia, memelukku dan menarik agar tubuhku mendekat padanya.
Cup! Nikmat nya surga telah ku genggam. Ya, aku keluar didalam. Harusnya aku tak lakukan ini. Tapi dia telah mendahuluiku agar aku keluar didalamnya. Sial!!!
***
"Apa kau puas sayang?"
Aku menoleh, dia baru saja keluar dari kamar mandi. Tampak segar dan juga... Tampan. Ya, harus kuakui. Tapi anehnya aku tak merasakan apapun padanya. Hanya sebatas partner seks, lalu aku akan melupakannya.
"Kau membuat merasa lebih baik ren, permainan tadi membuatku sedikit merasa lelah. Padahal sehabis ini aku harus ke kampus lagi." aku beranjak dari tempat tidur masih dalam keadaan setengah telanjang.
Kubuka kulkas kecil yg memang sengaja aku tempat di kamarku. Kuambil air mineral dan meminumnya.
"Apa setelah ini kita masih bisa bertemu? Dan jika aku beruntung, aku masih bisa merasakan tubuhmu?"
"Apa sekarang kau mengharapkan ku?"
"Siapa sih lex yg ga mengharapkan mu? Banyak lelaki diluar sana yg berusaha mendapatkan hati dan tubuhmu? Satu orang, dua orang, tiga orang? Bahkan lebih banyak dari itu."
"Bukannya perjanjian kita hanya sebatas patner tanpa campur tangan perasaan? Apa perlu aku ingatkan lg"
"Ga perlu lex. Aku ingat kok. Tapi sepertinya sekarang aku sangat ingin memiliki mu dan aku selalu bisa mendapatkan hal itu."
Dia berjalan mendekatiku, tangannya menyentuh bibirku, lalu mendekatkan wajahnya dan menciumku kembali. Ciuman yg hanya sekejap kurasakan.
"Aku janji akan mendapatkan hatimu lex." bisiknya.
*****
Bogor, Jawa barat.
Monica Rahayu
Tut. Tut. Tut. Telepon yang anda tuju sedang sibuk.
"Ih, ini orang kenapa si gue telponin ga bisa bisa." aku kesal.
Sudah berkali-kali aku mencoba menghubunginya tapi selalu saja sibuk. Ini bukan yang pertama kali yg kurasakan.
Sejak dua bulan ini, dia selalu saja menghindariku. Telpon dan smsku selalu saja diabaikan. Kalaupun dibalas itu hanya sekedarnya saja dengan jawaban "Ya" dan "Engga" hanya itu. Bertemu pun jarang, hanya seminggu sekali dan bahkan sampai dua minggu sekali.
Sebenarnya apa sih yg dia sembunyikan, hal itu selalu saja menggangguku. Apa dia udah ga cinta lagi atau dia sudah punya yg lain.
"Arghh." teriakku karna tak tahan lg.
Handphoneku berdering. Dilayar tertulis, "Nando memanggil..."
Aku menghela napas. Kenapa baru sekarang yg satu ini membalas telponku.
"Halo."
"Hehe maaf ya mon, gue baru sempet telpon lu. Tadi lg ada kelas"
"Hemmm. Iya gapapa. Terus skrg lg sibuk?"
"Engga kok mon, ada yg mau lu ceritain?"
Aku menghela napas lg untuk yg kedua kalinya.
"Ini soal raymond ndo."
"Emang raymond kenapa? Ada masalah lg sama hubungan kalian?"
"Sabar ya mon. Setiap masalah pasti ada jalan keluar, sama kaya masalah lu saat ini. Mungkin raymond punya alasan tersendiri kenapa dia menjauh dari lu. Engga mungkin tanpa sebab akibat dia menjauh dari lu dan hubungan kalian."
"Tapi apa? Apa dia udah engga sayang lagi ama gue atau mungkin dia udah punya cewek lagi? Udah cukup sabar gue menjalani hubungan ini."
"Jangan terlalu negatif thinking dulu. Saran dari gue, lu seharus omongin masalah ini baik-baik sama dia. Kalian mulai hubungan dengan baik-baik dan kalaupun harus berpisah, itu juga harus baik-baik."
"Ya akan gue coba ndo. Kalaupun nantinya gue sama dia harus putus, gue mau kita putus tanpa meninggalkan masalah."
"Nah, gitu dong. Itu baru namanya sepupu gue."
"Makasih ya ndo, lu selalu membantu gue dan pastinya ngasih saran yg bermutu." aku tertawa kecil.
"Iya mon, sama-sama. Emmm... Bukannya semua saran gue selalu bermutu? Hitung-hitung sidejob jadi pemberi saran."
"Iyain aja. Takut lu nangis entar! Eh, libur semester ini gue main ke rumah ya? Kangen kan ama lu."
"Oke, gue tunggu. Udah dulu ya mon, gue udah ada kelas lg ini."
Tut...
Sekarang aku merasa lega, karena udah bisa menceritakan semua masalah itu sama nando. Dia selalu bisa membantu setiap masalah yg sedang aku hadapi, juga dengan semua sarannya itu.
"Masalah ini harus tuntas." Aku bertekad dalam diriku.
"Kak monic dipanggil mama. Cepetan!" suara aldy yg kelihatannya berasal dari ruang tv.
*****
Bekasi, Jawa barat.
Fernando Andrean
Mikrobiologi, sebenarnya aku malas sekali jika harus berhadapan dengan mata kuliah ini. Bukannya tidak suka atau benci pada mata kuliah ini, tapi aku sangat tidak menyukai dosennya. She's bad, itu kupikir saat pertama kali tahu cara mengajarnya.
Dari SMA semua guru biologi selalu mempunya trik ampuh, yg selalu membuatku selalu menantikan pelajaran. Bahkan pelajaran ini menjadi salah satu the best favorite bagimu. Ada seorang guru yg selalu berkata kepadaku, "Murid itu akan suka atau tidak suka suatu pelajaran tergantung dari gurunya itu sendiri." Hal itu tepat sekali dengan apa yg kuhadapi sekarang.
"Fernando tolong kamu jelaskan tentang enzim pada mikroba!" perintah dosenku.
Entah apa yg ada dipikiranku, aku sama sekali tidak konsen dengan perintah itu.
"Fernando."
"Fernando Andrean." teriak dosen itu. Hampir saja teriakan itu membuat jantung ku copot.
"Eh iya bu, kenapa deh?" tanyaku polos. Aku masih belum mengerti perintah dosenku.
"Kamu fernando!" sambil menunjukku dengan jarinya. "Maju kedepan jelaskan tentang enzim pada mikroba dengan jelas dan tanpa kesalahan." katanya, sambil menekankan dua kata teraktir yg dia ucapakan.
"Saya bu?" Aku maju kedepan. Ini dosen maunya apa sih, bikin gue malu aja, kataku dalam hati.
"Oke semua, jadi enzim pada mikroba itu... Bla Bla Bla..." aku menjelaskan sebisa ku saja.
***
"Jadi gimana rasanya jd asdos yg KW?" tanya dimas, yg tiba tiba saja duduk dibangku sebelahku.
"Lu ngeledek?" Aku menoleh padanya dengan tatapan tajam.
"Hehe." dia tertawa kecil. "Jangan ngambek kali sayang." daguku dicoleknya.
"Sayang pala lu peyang. Ini lagi colek-colek, dikira sabun colek kali gue!"
"Yaudah, yaudah jangan ngambek dong. Jalan yuk anterin gue, entar gue traktir."
"Kemana? Lu lupa teraktir kali lu traktir gue itu pas makan KFC metmall, eh malah gue yg bayarin gara-gara alesannya lu ga bawa dompet."
"Udah engga usah dibahas lg, kali ini gue teraktiran beneran. Mau ya?"
"Ya" kataku sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas.
"Cepetan kek" tanpa menunggu yg masih memegang buku, dia menarik tanganku dengan erat.
Tak ada kisah tentang cinta
Yang bisa terhindar dari air mata
Namun kucoba menerima hatiku membuka
Siap untuk terluka
***
Sebenarnya aku malas sekali untuk pergi kemana-mana. Mood sedang tidak bagus hari ini, tp dimas memaksaku. Ada saja alasan yg dia gunakan untuk memaksa. Aku heran, kenapa harus selalu aku yg dia ajak padahal kalau dipikir baik-baik masih banyak temannya yg lebih baik; dalam artian lebih sederajat dengannya.
Ya harus kuakui aku cuma seorang dari kalangan menengah kebawah. Ibuku hanya bisa berdagang, di warung yg ia dirikan dari hasil jerih payahnya. Ia harus bekerja keras untuk membiayai kehidupan aku dan adikku. Ya, kami cuma bertiga. Ayahku telah meninggal lima tahun yg lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Aku tidak habis pikir bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kecelakaan yg merenggutnya dari aku, ibuku dan adikku.
Semua itu telah berlalu, hanya tinggal menjadi kenangan. Bagaimanapun kehilangannya, toh hidup harus tetap berjalan seperti biasa. Sekarang ibuku sudah bisa membiayaiku sampai aku duduk di bangku universitas dan adikku di bangku sekolah menengah pertamanya. Aku beruntung sekali, karena aku masih bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat ini. Tapi karena alasan itu juga lah yg membuat ibu dan adikku harus meninggalkan bekasi untuk menetap di medan, kampung halaman ayahku. Beliau berasalan, beliau dapat bekerja lebih baik disana dan mendapatkan sesuatu yg lebih baik pula. Dikarenakan adikku yg memang tidak bisa jauh dari ibuku, alhasil mereka berdua yg akhirnya menetap di medan. Sebenarnya aku ingin sekali ikut dgn mereka, tp ibuku tidak mengijinkan. Beliau mengatakan, aku harus tetap disini untuk menuntaskan kuliahku.
"Kamu harus tetap di bekasi menuntaskan kuliahmu dan soal biaya kamu tidak perlu khawatir. Ibu tetap akan mengirimkannya tiap bulan." begitu kata beliau.
Karena hal itu, akupun harus tinggal sendiri dirumah dulu pernah kami tinggali bersama-sama. Rasanya hampa tanpa seorang selain diriku dirumah itu. Tapi hal membuat aku bisa hidup mandiri tanpa campur tangan siapapun. Kalau dipikir-pikir, ibu sering sekali mengusulkan bahwa monic dapat tinggal disini untuk menemaniku. Tapi aku mengatakan kalau sekolahnya belum selesai, jadi tidak bisakah dia maenyelesaikan sekolahnya itu yang tinggal satu semester lg. Pada akhirnya ibuku hanya bisa berkata, "Baiklah, kalau begitu."
***
"Gimana enak engga makanannya?" tanya dimas antusias.
"Ya lumayan enak. Apalagi dibayarin kan sama lu."
"Doyan banget lu ama yg gratisan? Kan itung-itung nebus utang gue itu kan."
"Iya. Eh, emang bener ya lu lg pedekate ama dina? Itu juga gue tahu dari anak-anak fakultas kita." tanyaku, diam-diam menyelidik.
"Dina mana? Anak Fakultas ekonomi itu? Eh, iya ehm... Gue ama dia cuma temen ko." jawabnya gugup.
"Oh gitu." Aku pura-pura tak peduli.
Dimas hanya menganggapku sebagai temannya saja, tapi aku menganggap dia lebih. Aku ingin sekali memilikinya, menjadi seseorang yg sangat penting, menjadi satu-satu orang untuknya. Aku tahu itu tidak mungkin. Dia straight. Akupun mengerti itu. Mengerti bahwa, dia mungkin menerimaku untuk menjadi miliknya yg penting. Sudah lama aku menyukainya, sejak awal aku tahu kami satu fakultas dan satu jurusan. Berkali-berkali ku coba memendam ini semua. Mencoba menghapus sesuatu yg memang berbeda dari kebanyakan orang. Tapi sepertinya semua itu sia-sia. Dia selalu ada dalam bayang-bayang pikiranku. Perhatiannya, pengertian dan juga semuanya telah membuat ini menjadi salah. Walau mungkin semua itu ditujukan nya, sebagai seorang teman.
"Abis ini kita mau kemana lg?" tanyanya.
"Pulang aja lah, udah mendung juga cuacanya."
"Oh, yaudah. Gue bayar makanannya dulu ya" dia bergegas untuk membayar makanan yg kami makan.
"Sip." aku berjalan pelan keluar restoran, sambil menunggunya.
Dimas sepertinya ingin sekali mampir, tapi dia beralasan kalau sebentar lg akan hujan dan dia masih ada urusan lain yg mendesak. Akupun paham akan hal itu. Setelah dia beranjak pulang dari rumahku, aku menidurkan tubuhku di kasur. Aku lelah dgn aktifitas hari ini.
"Baru jam 4." kataku, saat melihat jam di handphone.
Sambil melihat langit langit kamar, aku mulai merasa kantuk menyerang. Satu detik, tiga detik, lima detik, akupun tertidur pulas tanpa mengingat apa yang hari ini terjadi.
Insyaallah besok di lanjut.