Dear D

Requiem

D,

Entah bagaimana kita, kini, bisa sampai di sini? Selaksa
‘seandainya’ bisa kita lempar dan kita tanya. Mungkin
juga kita punya jawabannya. Salah. Kita pasti tahu
jawaban-jawabannya. Aku hafal garis tanganmu
seperti kau hafal titik-titik geli di tubuhku.

Tapi, kamu dan aku sama-sama paham itu sama sekali
tidak perlu.
Seperti tadi, sekitar 2 jam lalu sebelum W
menjemputmu. Kita hanya berjarak 30 senti, duduk
bersila di depan perapian depan. Cahaya api bermain-
main di wajah kita. Wajahmu tersenyum dan aku tahu
hatimu juga. Mata kita bertukar sinar, saling bertautan.
Lama. Ruang tamu itu jadi hangat pertama-tama bukan
karena api, tapi karena dialog di antara mata-mata
kita. Seakan tatapan kita menjelma aksara, kita sama
sekali sunyi. Hanya jengkerik yang berkoar-koar di
luar, meningkahi suara kertak kayu di perapian.

“Aku masih mencintaimu, E,” katamu.

“Aku juga,” sahutku dalam hati, berusaha keras
mengirimkan kawat itu ke hatimu lewat pandanganku
yang tak kunjung lepas dari matamu.

Tapi, hatimu sudah berubah biru muda sementara
hatiku kini merah hati. Dunia kita dulu sama-sama
kuning cerah. Tapi kini kau memilih oranye dan aku
lebih nyaman dengan hijau tua. Hubungan kita dulu
selalu kuning gading. Anak SD saja paham kalau tak
ada gading yang tak retak.

Kenapa kita bisa lupa itu?

Andai aku siap dengan perekat, kau mungkin masih
disini, bersamaku, bercinta. Maaf. Aku mulai
berandai-andai.

Kau lalu mulai menangis. “Kenapa?” tanyamu. Ah! Kau
tak tahu betapa nyerinya ulu hatiku pada detik
pertama bulir pertama airmatamu terbit. Lebih nyeri
lagi karena aku tak tahu.

Kau tarik tanganku dan aku menyerah. Kau
mengajak berdansa a capella. Amat perlahan. Aku tahu
lagunya. Lagu kesukaanmu, ‘kan? I Can’t Make You Love
Me. George Michael. Tubuhmu menempel lekat
selekat-lekatnya padaku. Sisa-sisa cinta kita jadi
bekas jejak di lantai kayu itu. Hidungku hafal aroma
khas yang selalu tercium kuat di belakang telingamu.
Aroma yang membuatku mabuk kepayang.

I can’t make you love me if you go…

Kau menangis semakin kuat. Aliran airmatamu yang
membasuh pundakku membuatku juga menangis. Titik-
titik terakhir yang kupunya kuhabiskan hanya untukmu,
D.

We almost cross the line. My lips were in yours already.
Our tongues intertwined. You know exactly how easily
it is to turn my lust button on. You know that perfectly
well.

But, in this chapter of our live, you stopped and then
you go. You’re the one who went. He picked you up and
you left me there dancing alone, partnerless in the
burning room. No. Actually, he picked you up and you
left me alone in the room...

completely soulless.

Now, there’s only a zombie in this room because you
took with you…

my breath…
my love…
my life… my
heart…
and my mind…
away from me.

I’m hoping that you know that. No, I’m not complaining.
I know that it’s the final curtain for us. I’d just have to
find another you. Maybe in my next life.

So, until then, so long… I wish you happiness.

justtian13

Enough this time!

Give another of your writing.

chycko_cho

masih meraba-raba maksud dari
"Tapi, hatimu sudah berubah biru muda sementara hatiku kini merah hati. Dunia kita dulu sama-sama kuning cerah. Tapi kini kau memilih oranye dan aku lebih nyaman dengan hijau tua. Hubungan kita dulu selalu kuning gading."

dan masih bingung, ko disambung dengan "Anak SD saja paham kalau tak ada gading yang tak retak."

arieat

Terganjal deng kata w di kalimat

"Seperti tadi, sekitar 2 jam lalu sebelum W
menjemputmu."

justifie

ikut sedih bacanya. Good job!

justifie

arieat wrote: »

Terganjal deng kata w di kalimat

"Seperti tadi, sekitar 2 jam lalu sebelum W
menjemputmu."

W itu another initial utk orang yg ngambil D dari E

reinert

sangat suka sama ini...