Sayangku,
Begitu kau terima surat ini, mungkin sekali langsung kau koyak-koyak kertasnya hingga mikroskopis. Tak kusalahkan kamu. Aku sepenuhnya mengerti kesalahanku.
Namun, apabila aku cukup beruntung dan kau membaca sampai kalimat ini, maka, kumohon, teruskan sayang…
Begini.
Aku baru saja selesai membaca buku cerita Calon Arang milikmu. Ingat? Kau beli waktu kita baru pulang dari Bali. Kau begitu terkesan pada rasa ajaib yang meliputi seluruh cerita itu sehingga tiap kali kau membicarakan cerita itu, pipimu yang kuning langsat itu selalu merona merah; kedua biji matamu yang bulat besar seperti sepasang mutiara hitam itu juga bersinar-sinar. Sampai kita akhirnya ambil cuti dari kantor untuk pergi lagi ke satu dusun di Bali khusus untuk menonton tarian yang ditarikan hanya satu tahun sekali itu.
Entah. Buatku warna cerita itu selalu pilu. Masih begitu pendapatku setelah membaca kalimat terakhirnya. Yakin aku kau sudah membaca seluruh buku Pramoedya itu dari muka sampai belakang. Kau juga pasti ingat bagian dimana Baradah akhirnya meluluskan permintaan Calon Arang untuk menyucikan dirinya?
Pilu, sayang, pilu. Sepertinya dagingku ini terluka tergores sembilu dan ada yang meneteskan sari jeruk nipis dan garam ke atasnya, lalu menekannya dengan telunjuk sekuat mungkin. Pilu tak tertahankan.
Perempuan itu cuma ingin hidup damai dan tenang. Ia tahu bahwa ia telah hidup dalam kenistaan, tapi ia tidak paham bagaimana cara berbalik. Kau ingat bagian dimana Janda Girah itu melumat Baradah dengan api besar dari mulutnya, dari tubuhnya, dengan niat membunuh si empu yang awalnya menolak permintaannya. Baradah-di tengah-tengah api-hanya berkata singkat, “mati kau Arang,” dan Calon Arang pun tergolek lemas di tanah. Tak bernyawa.
Adegan berikutnya membuatku memiliki pendapat yang sedikit berbeda sekarang. Kutuliskan di bawah ini.
Sang Maha Pendeta masih beridiri di tempatnya. Dipandanginya mayat itu diam-diam. Kemudian ia berkata pada dirinya:
“Ini tidak baik. Tidak ada gunanya kalau ia mati begitu saja sebelum jiwanya dibersihkan. Ini artinya pembunuhan.”
Setelah berkata pada diri sendiri ditiupnya mayat itu pelan-pelan. Segera Calon Arang bangun kembali.
“Hai, Pendeta Lemah Tulis!” teriak perempuan itu. “Untuk apa kau hidupkan aku lagi? Bukankah lebih baik aku mati?”
“Mati adalah gampang, Calon Arang. Tetapi mati itu tidak berguna kalau tidak membawa kesucian. Baiklah kusucikan jiwamu dahulu,” kata Empu Baradah.
…Empu Baradah memberi pelajaran tentang budi-pekerti yang baik pada janda Girah itu. Pelajaran itu membuat tukang sihir itu insaf akan segala keburukan hati dan perbuatannya. Itulah sebabnya ia girang sekali. Kemudian tukang sihir itu menyembah Empu Baradah dengan takzim.
Aku tadi berdiam lama di situ. Aku harus minta maaf juga sebab halaman itu kini basah karena air mataku.
Aku ini Arang, sayang. Calon Arang-mu. Akulah si janda Girah itu, dan kamulah Empu Baradahku.
Kamu menyucikan jiwaku. Kamu menyegarkanku dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh setetes air pun di bumi ini. Kamu mencintaiku dengan cara yang tidak akan pernah bisa dilakukan perempuan manapun di muka bumi ini.
Ya, aku yakin itu. Tak perlu aku melakukan tes untuk memastikan. Aku yakin secara buta sebab kau telah percaya buta juga padaku yang, kau sendiri tahu, nista ini.
Aku ingin mati. Dulu. Kau ingat, ‘kan? Kau juga bilang, mati adalah terlalu gampang.
Aku lemah kau kuatkan. Aku bagai buluh lunglai yang kau tegakkan; pendar lilin pudar yang tak kau padamkan. Aku tak bisa berjalan, kau menjadi tongkat penopang. Aku tak bisa bernapas kau menjelma paru-paru. Bila musnah segala harta milikku, tapi kau masih di sampingku, maka itu cukuplah bagiku.
Cintamu mencukupkan. Cintaku-semoga-melengkapinya. Cinta kita mengabadikan.
Aku tahu besarnya kesalahanku. Aku pun tahu bahwa kali ini kau mungkin tak akan memaafkanku. Tapi aku perlu tahu, sayang. Aku hanya perlu tahu jawabanmu. Ya atau Tidak.
Satu kata saja, maka itulah ketokan palu final bagiku.
Aku mencintaimu. Terlalu mencintaimu. Kumohon, maafkan aku, Baradahku.
Comments