Kedua ibu jariku berhenti di udara, persis di depan layar Blackberry miliknya. Setelah beberapa jenak, ku putuskan juga untuk menulis kata-kata selamat untuk hari ulang tahun perkawinan kita untukmu.
Pikiranku melayang ke satu potongan kecil kenangan. Suatu kejadian yang terjadi kira-kira 5 tahun yang lalu yang meningkahi suara tak-tuk halus pertanda ibu jariku bekerja.
Kau tampak luar biasa. Luar biasa berantakan. Seperti biasa, aku si tukang omel melancarkan serangan kalimat yang keluar begitu saja selancar senapan perang begitu melihat puluhan kertas musik dengan not-not tulisan tanganmu bertebaran di seluruh kamar kerja itu; di sofa, di sekitar piano, di kolong lemari. Tapi kau tetap tenang menghadapiku, menciumku dengan sepasang bibir dahsyat itu, lalu pergi begitu saja.
Selepas itu, ah… tidakkah itu satu kenangan yang indah? It was our fifth anniversary. Kamu memang, lama sebelumnya, sudah mengutarakan maksudmu itu. Tak kusangka sama sekali kau bisa mewujudkannya. Kau yang selalu santai dan tampak tak pernah siap untuk apa pun, selalu berhasil menguasai keadaan dengan caramu sendiri. Dua kursi kecil di spot terbaik di restoran fine-dining yang berada di pinggir tebing Dago Pakar itupun jadi saksi kemesraan kita yang bahkan wanginya masih bisa kita hirup di udara setelah 8 tahun. Aku pun tak peduli lagi dengan kau yang berantakan. Pemandangan kerlap-kerlip lampu-lampu kota Bandung di tengah gelap malam melenyapkan misuh-misuhku seketika.
(Sebetulnya dia tidak terlalu berantakan. Aku hanya tak suka dasi yang longgar dan rambut panjang. Itu saja.)
"Kamu itu Hitler versi Tionghoa," begitu katamu selalu.
Hitler mati bunuh diri. Jadi, dia jatuh karena dia memutuskan untuk menyerah pada dirinya sendiri. Dan kamu yang selalu bertindak bak alter-ego ku, pada akhirnya selalu mampu ‘membunuh’ku dengan cara-caramu; dengan musikmu.
Ketika pesan singkat BB ini kau baca, entah bagaimana caranya, aku ingin kau tahu bahwa tak satupun hari lewat tanpa aku yang memikirkan keadaanmu. Barang-barangmu selalu kurapikan setiap hari. Tak apa, ya? Tetap kubiarkan di tempatnya, kok. Hanya kubuat lebih artistik sedikit.
Celana panjang batik yang sudah robek lebar di bagian selangka itu-yang selalu kubenci-kini adalah ‘seragam’ tidurku. Kau tahu masalah tidur ku, ‘kan? Nah, celana itu kini punya efek macam Xanax dosis tinggi. Hahaha… Aku selalu tenang begitu celana itu sudah terpasang di pinggang.
Kamu memang selalu sulit dimengerti, Jo. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kutemukan sebagai latar belakang kejadian malam itu, ketika kau memutuskan untuk lompat dari kursi spot kita yang persis di ujung tebing. Kalau kau ada sekarang, ingin kujewer sampai copot kuping caplangmu itu. Kutinggal kau sebentar ke kamar kecil dan kau bunuh diri.
Ibu jari kananku melayang di atas tombol enter. Pertama kalinya setelah 5 tahun, ucapan itu urung kukirim.
Aku teramat rindu padamu, Jo. Aku mencintaimu sampai sesak dadaku. Tak satu haripun lewat tanpa memikirkan dirimu, menebak-nebak alasanmu.
Namun sekarang, pergilah kau dengan tenang.
(Kulempar BB miliknya itu ke tebing tempat ia meregang nyawa. Untuk pertama kali setelah 5 tahun, kubiarkan diriku mengisak…untuk pertama kali setelah 5 tahun, kuputuskan untuk pergi dari situ dan bertekad tidak akan pernah kembali lagi. Lima tahun lewat dan itu-kuputuskan-sudahlah cukup.)
Restu dan cintaku menyertaimu, bangsat manisku.
Comments