BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

"The Paper Planes" * (Sheet 6) Arrived ^.^"

edited December 2012 in BoyzStories
530483_385996401486210_1617824739_n.jpg





"The Paper Planes * (Sheet 1)"


By : Kiki Wellian



Fb : Nell Leander Atharein (Add Ya! :D )



Blog : flipflop-delvetian.blogspot.com









“The Paper Planes”









Tak perlu kertas kualitas atas

Tak perlu keahlian seniman terkenal

Tak perlu jemari tangan indah

Tuk melipatmu menjadi bentuk

Tuk membuatmu ada

Menjadi sebuah “Pesawat Kertas”

Yang sederhana namun pekat akan makna



Tak perlu perhitungan matang

Tak perlu kecerdasan insinyur

Tak perlu mesin-mesin canggih

Tuk membuatmu mengangkasa

Membumbung tinggi melintasi langit biru



Hanya tinggal melipat dan terus melipat

Melipat dengan segenap harap

Tuk membuatmu menjadi bentuk



Hanya tinggal berlari dan melesatkan

Melesatkanmu dengan penuh kekuatan

Tuk membuatmu tinggi mengangkasa



Layaknya sebuah kehidupan,

Kita takkan pernah tahu

Akan setinggi apa ia mengangkasa

Melintasi langit biru

Kita takkan bisa menduga

Kapan ia akan terjatuh

menghempas tanah gersang

Yang penuh debu memilukan






Seperti biasa, dering ponsel bututku menggugahku dari tidur nyenyak. Aku pun terbeliak. Tenggorokanku terasa begitu tercekat. Aku segera bangkit mengambil segelas air dan meminumnya. Pikiranku masih tertinggal di rumah lamaku. Luka itu masih menganga, melenakanku dalam pedihnya kehidupan yang harus ku jalani kini. Mengejarkanku merasakan kehidupanku yang penuh juang.

Perjuangan hidup yang belum pernah ku rasakan.



Aku terduduk lemas di depan layar monitor. Semalam aku memutuskan untuk tidur di warnet sahabatku. Lelaki yang setiap malam menjadi penjaga warnet itu, aku telah lama mengenalnya. Sedikit ku bagi rasa pedih itu bersamanya. Ia terhenyak dan menyarankanku untuk tidur di warnet nya malam itu.



Aku melangkah keluar dari bilik warnet dan menemuinya. Ia tetap terlihat begitu menawan walau semalaman seperti biasa ia begadang untuk menjaga warnet milik kakaknya. Pandangan kami bertemu sesaat. Ia tersenyum simpul ke arahku dan melambai, menyuruhku duduk di sampingnya.



“Elo udah baikan?” tanyanya penuh kekhawatiran. Aku hanya mengangguk sekadarnya lalu tersenyum datar padanya.



“Ngga’ usah ngerasa ngga’ enak! Elo boleh tidur di warnet kakak gue untuk sementara waktu. Nanti gue bakal ngomong sama dia. Dan gue yakin, dia ngga’ akan keberatan. Lagian gue seneng karna ada lo. Gue jadi ada temen yang bisa nemenin gue waktu jaga warnet.” sergahnya. Ia seperti dapat membaca pikiranku. Aku hanya tersenyum simpul lalu duduk di sampingnya.



“Hmmm… Sorry, bukannya gue ikut campur. Gue penasaran, kenapa bokap lo tega ngusir lo dari rumah?” tanyanya. “Ngusir anak semanis dan sebaik lo” tambahnya. Aku hanya terdiam. Memaksa pikiranku tuk kembali ke saat-saat itu. Memaksaku kembali membuka album-album masa lalu ku yang begitu menyakitkan. Aku merasakan rasa sakit itu lagi ketika mencoba mengingatnya.



“Ngg… Ngga’papa kok kalo’ emang lo ngga’ mau cerita.” ujarnya merasa bersalah.



“Bukannya gitu, tapi…” sela ku menjelaskan. Entah mengapa perutku tak dapat ku ajak bersandiwara. Bertepatan dengan itu perutku berbunyi. Aku mengerutkan kening, menahan malu. Sedangkan Rion tergelak. Membuat rona merah dipipiku semakin jelas terlihat.



“Tenang-tenang! Gue udah pesen ini dari tadi, tapi lo ngga’ bangun-bangun. Elo sih tidurnya kayak kebo!” ujarnya. “Ehmmm… Sorry kalo’ udah ngga’ hangat.” sambungnya.



Aku hanya mengernyitkan kening. Tak terima dikatakan kebo olehnya. Kalau aku kebo, lantas kau apa?



“Ayo, makan!” pintanya.



“Elo?”



“Gue udah makan tadi.” balasnya. “Ya udah, kalo’ lo udah selesai makan ntar cerita sama gue! Siapa tau gue bisa bantu. Sekaligus lo bisa lebih baikan, karna udah ngebagi beban lo sama gue.” sambungnya sembari tersenyum manis. Selalu saja terlihat menawan. Bahkan senyuman itu membuatnya semakin menawan. Selalu saja melenakanku sejenak. Menikmati keindahan nyata di hadapanku.



Ya… Kau benar! Kini aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Berkat adanya kau, aku jadi lebih tenang. Aku merasa aman. Aku merasa nyaman. Dalam dekap perhatian dan pengorbananmu.



Aku memakan sebungkus burger dan sekotak french fries tersebut tak tersisa. Rion menatapku dengan pandangan yang sulit ku artikan. Entah iba, atau apalah aku tak perduli. Yang pasti aku berterimakasih. Kini rasa lapar itu telah pergi.



“Udah?” tanyanya. Aku mengangguk, lalu memasukkan bungkusan tersebut ke dalam tempat sampah. “Sekarang cerita sama gue! Ada apa?” tanyanya menyelidik. Ada pendar kekhawatiran dimatanya.



Bukankah ketika kita mulai iba

Bukankah hanya dengan rasa khawatir

Rasa itu perlahan akan muncul

Menyelinap dalam hati tanpa permisi

Membiarkan angan menghias mata hati



Aku menghela nafas. Membuka album-album lama itu. Rasa sakit itu kian ku rasakan. Tapi aku tetap bertahan. Perlahan mulai bercerita…





Kisahku di mulai ketika aku masih belum mengerti segalanya.

Aku seorang anak semata wayang dari Mama ku. Bagiku ia begitu berharga. Ia merawat dan mengasuhku sejak kecil. Ia memberiku nama yang begitu indah.



Rama Sandhitya… Itu lah namaku. Aku biasa dipanggil Rama oleh orang-orang sekitar, juga keluargaku. Namun nama itu begitu bertolak belakang dengan kehidupanku. Bukankah Mama memberiku nama itu agar kelak aku menjadi Rama, yang berati Ayah. Agar menjadi sosok lelaki sekaligus Ayah yang dapat diandalkan, dibanggakan.

Menjadi sosok lelaki sekaligus Ayah yang dapat membimbing buah hatiku kelak. Mengajarkannya akan segala yang tak dapat diajarkan oleh seorang Ibu.

Berperan sebagai sesosok Ayah yang semestinya bagi nya.



Namun bagaimana bisa? Siapa sosok Ayah yang akan mengajarkanku menjadi lelaki sekaligus Ayah yang baik kelak?

Sejak aku kecil aku tak pernah mengenal sosok seorang Ayah. Sosok yang hadir sebagai kepala keluarga. Sosok yang hadir sebagai pelindung dan pencari nafkah. Sosok yang seharusnya hadir sebagai seseorang yang ikut andil dalam membentuk kepribadianku, mengajarkanku akan berbagai hal yang tak dapat dilakukan seorang Ibu, serta memberikanku kasih sayang akan sosok seorang Ayah yang juga takkan dapat diberikan oleh seorang Ibu.



Setiap kali aku bertanya pada Mama, ia selalu menjawab. “Ayahmu sedang bekerja di luar sana, Sayang! Mencari sesuap nasi untuk kita.”

Telah lama aku menantinya kembali. Namun setiap aku bertanya kapan Ayah akan pulang, Mama selalu menjawab. “Ayah di sana sibuk, Sayang! Ia harus membanting tulang untuk mencari nafkah. Untuk menghidupi kita. Percayalah, ia akan segera pulang!” jawabnya kala itu, sembari menyembunyikan bulir air mata yang menghiasi wajahnya yang semakin lama semakin menua.



Aku tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Ayah hingga usiaku tujuh tahun.

Ketika itu Mama ku memutuskan untuk menikah lagi. Ia meminta persetujuanku.

Tentu aku begitu senang. Aku yang saat itu tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah, aku yang saat itu hanya seorang bocah yang selalu iri akan cerita kawan sebayaku tentang betapa hebatnya sosok seorang Ayah bagi mereka. Sudah sewajarnya aku mengangguk bersemangat kala itu. Mama tersenyum penuh haru padaku. Ada pendar bahagia di sana, yang tak pernah ku lihat selama ini.



“Terimakasih, Sayang!” katanya kala itu. “Sebentar lagi kau akan memiliki seorang Ayah!”. Namun ada yang ganjil dalam benakku. “Memangnya Ayah Rama yang dulu kemana? Kapan pulangnya?” cecarku. “Kalo’ Mama nikah lagi, Ayah Rama ada dua dong?” tanyaku polos.



Mama terhenyak kala itu. Berusaha membangun dinding ketegaran untuk mengatakan hal itu padaku. Hal pahit yang hingga kini masih dapat ku bayangkan betapa sakitnya mendengar kalimat itu. “Ayahmu tak akan pernah pulang Sayang.”. Aku terhenyak kala itu. Dihantam berbagai bongkahan pertanyaan yang merong-rong namun urung ku tanyakan satu per satu karena air mata Mama telah membisukanku kala itu.



***





Saat itu aku masih TK. Jam pelajaran kala itu kosong…

Aku duduk-duduk dibangkuku sembari menggambar seorang anak kecil bersama kedua orangtuanya. Ada Ayah dan Ibu yang berada dikedua sisi anak kecil tersebut sembari bergandengan tangan penuh bias bahagia.



“Kamu gambal apa, Lam?” tanya teman sebangkuku. Ia masih cadel kala itu. Sungguh menggemaskan. Dengan semangat aku menjawab, “Aku lagi gambar aku sama Ayah, sama Mama jalan-jalan ke taman bermain.”



“Tapi kamu kan ngga’ punya Ayah. Jadi harusnya kamu gambarnya ngga’ usah pake’ Ayah!” sahut temanku yang lain. Senyumku yang merekah bak bunga dimusim semi kala itu melayu. Aku terhenyak. Ada segenggam kenyataan yang menyelinap naik ke permukaan. Menyadarkanku akan realita pedih yang selalu saja ku tutupi.



Ayah… Aku ingin bertemu Ayahku. Walau hanya sejenak…



“Iiiiih…! Jangan dihapus!” omelku kala itu. Aku berusaha mencegahnya. Aku menarik-narik pundaknya dengan kedua tanganku. Berusaha merebut penghapus karet berbentuk doraemon yang kala itu direnggutnya.

Namun aku terlamabat. Ia telah berhasil menghapusnya. Ia menghapus gambar sesosok Ayah yang telah susah payah ku gambar hingga tak tersisa. Hingga hanya tersisa seorang anak kecil dan Ibunyayang sedang bergandengan tangan.



Entah mengapa dadaku begitu sesak. Tenggorokanku tercekat. Hatiku berkecamuk kala itu. Rasa sakit itu mulai muncul perlahan. Tangisku pecah kala itu.



“Udah, sana kamu pelgi! Tuh kan gala-gala kamu, Lama nangis!” omel teman sebangkuku dengan suara cadelnya yang khas.



“Udah, jangan nangis!” hibur teman sebangkuku kala itu. Ia merapat. Mengusap kepalaku. Lalu menunjukkan sebuah pesawat kertas dari dalam tas mungilnya.

Aku mengamatinya. Ia bangkit, lalu menerbangkannya.



Pesawat itu benar-benar terbang. Ia melaju tinggi memutari ruang kelas kala itu. Terbang tanpa beban. Ditemani sejuknya angin yang ikut turut dalam membantunya terbang. Dan akhirnya pesawat itu mendarat di lantai.

Aku terhenyak… Perlahan rasa sakit itu mereda. Temanku kala itu tersenyum manis padaku. Ia memberiku pesawatnya yang satunya. Yang baru diambilnya dari ranselnya.



Aku menatap pesawat kertas pemberiannya dan mengamatinya.



“Coba terbangin!” pintanya bersemangat. “Yang tinggi ya!” sambungnya.



Aku pun mulai tersenyum. Mengusap air mataku sembari bangkit. Untuk pertama kalinya aku mencoba menerbangkan pesawat kertas itu.

Aku melompat setinggi mungkin. Segera kuluncurkan pesawat kertas tersebut.

Ia membumbung tinggi dan terbang hingga melewati jendela kelas yang kala itu terbuka. Aku semakin takjub. Pesawat itu terbang, membumbung tinggi melintasi langit biru, lalu mendarat tepat di dedaunan pohon mangga dan tersangkut di sana.



“Ngga’ usah diambil!” cegah temanku kala itu. “Ayo kita buat lagi? Sekalian aku ajalin kamu cala bikinnya.” ajaknya, masih dengan suara cadelnya yang menggemaskan.



Dengan sabar ia mengajariku membuat pesawat terbang. Aku begitu senang kala itu. Melipat dan terus melipat. Mengikuti tiap-tiap tahap yang diajarkannya kala itu.



“Bukan gitu! Tapi gini,” ia membetulkan pesawatku. Aku tersenyum senang dan tak sabar ingin menerbangkannya.



Setelah beberapa menit, aku pun dapat membuat pesawat kertas tersebut. Ia mengajarkanku dengan penuh kesabaran hingga aku dapat membuatnya.



“Gampang kan?” ujarnya. Aku mengangguk senang.



“Makasih!” sahutku. “Emang yang ngajarin kamu bikin pesawat terbang siapa?”



“Ayahku…” jawabnya. Rasa iri yang sejak dulu membelenggu kini merayap naik.



“Pasti enak ya punya Ayah?” desahku getir. Ia mengangguk pelan.



“Enaknya punya ayah apa sih?” tanyaku.



“Kalo’ aku sih seling diajalin ngelipat keltas. Kemalin balu diajalin bikin pesawat keltas. Telus aku kalo’ mainan di lumah, ditemenin sama Ayah kalo’ dia udah pulang kelja. Kadang juga jalan-jalan sama Ayah, sama Bundaku juga. Aku juga seneng digendong sama Ayah dipundaknya.” terangnya.



“Terus apa lagi?”



“Pokoknya banyak! Telus pokoknya kalo’ punya Ayah itu enak.” jawabnya. Aku terhenyak.



“Kamu kenapa?” tanyanya cemas. “Kamu ngga’ usah sedih ya? Suatu saat kamu pasti dikasih Ayah sama Tuhan... Kata Bundaku kalo’ kita doa, sama Tuhan pasti dikabulin.” hiburnya.



“Beneran?” sahutku bersemangat.



“Iya!” serunya meyakinkan. “Ayo kita beldoa sama-sama, supaya kamu dikasih Ayah sama Tuhan?” ajaknya polos.



Akhirnya kami berdua berdoa bersama kala itu…

Semenjak saat itu, setiap sebelum tidur aku selalu berdoa agar diberi Ayah oleh Tuhan. Hingga suatu ketika Mama bertanya, aku berdoa apa saja? Apa saja yang ku pinta?

Dengan polos aku menjawab, “Rama pengen Mama sehat terus. Ngga’ sakit lagi kayak waktu itu. Terus, Rama pengen Tuhan ngirimin Ayah buat Rama.”.

Tangis Mama pecah kala itu. Ia memelukku erat…





Rion terhenyak… Ia menatapku lekat sembari menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. “Gue ngga’ nyangka, ternyata lo masih inget.” ujarnya.



“Iya! Walaupun itu udah lama banget, tapi gue masih inget waktu itu. Waktu lo ngajarin gue bikin pesawat kertas bareng. Waktu lo nyeritain ke gue sampe’ gue ngerti, enaknya punya Ayah tuh kayak apa. Elo…” Tangisku pecah. Hingga aku tak dapat melanjutkan perkataanku. Rion menggenggam tanganku lebih erat dan mengusap air mataku yang mulai pecah. Ia berusaha menenangkanku. Ia seperti ikut hadir merasakan apa yang ku rasa. Seperti apa sakit dan pedih yang ku rasa kala itu.



“Ceritakan lagi!” pintanya.





***





To Be Continued...
«13

Comments

  • wow. Your story is rocked
  • WOW. Your story's rocked
  • ayo.. ceritakan lagi.. ;)
  • @hwankyung69 > ikuti terus ya ceritanya ! :)


    @yuzz > Iyah!
    :)
  • edited December 2012
    "The Paper Planes * (Sheet 2)"


    By : Kiki Wellian



    Fb : Nell Leander Atharein (Add Ya! :D )



    Blog : flipflop-delvetian.blogspot.com









    “The Paper Planes”









    Tak perlu kertas kualitas atas

    Tak perlu keahlian seniman terkenal

    Tak perlu jemari tangan indah

    Tuk melipatmu menjadi bentuk

    Tuk membuatmu ada

    Menjadi sebuah “Pesawat Kertas”

    Yang sederhana namun pekat akan makna



    Tak perlu perhitungan matang

    Tak perlu kecerdasan insinyur

    Tak perlu mesin-mesin canggih

    Tuk membuatmu mengangkasa

    Membumbung tinggi melintasi langit biru



    Hanya tinggal melipat dan terus melipat

    Melipat dengan segenap harap

    Tuk membuatmu menjadi bentuk



    Hanya tinggal berlari dan melesatkan

    Melesatkanmu dengan penuh kekuatan

    Tuk membuatmu tinggi mengangkasa



    Layaknya sebuah kehidupan,

    Kita takkan pernah tahu

    Akan setinggi apa ia mengangkasa

    Melintasi langit biru

    Kita takkan bisa menduga

    Kapan ia akan terjatuh

    menghempas tanah gersang

    Yang penuh debu memilukan




    ***





    Aku pun melanjutkan ceritaku…



    Ketika aku berusia tujuh tahun, akhirnya Mama menikah dengan lelaki pilihannya.

    Aku tersentuh melihat kebahagiaan yang terlukis di wajah Mama kala itu. Ia begitu bahagia. Begitu pula aku, karena sebentar lagi aku akan memiliki seorang Ayah baru. Rasa iri itu takkan menyelinap lagi. Rasa sakit itu akan terobati dengan kehadiran Ayah baruku.



    Namun kenyataan berkata lain. Dua tahun kemudian Ayahku berubah. Kebahagiaan selama dua tahun yang terlanjur ku rasakan perlahan mulai lenyap.

    Ia bukan lagi sosok Ayah yang ku kenal dulu. Yang begitu aku banggakan.

    Setelah ia kehilangan pekerjaannya, ia berubah menjadi seseorang yang suka mabuk-mabukan. Bahkan Mama kala itu tak dapat mengubahnya walau Mama sering sekali mengingatkan dan menyadarkan Ayah kala itu. Sempat juga aku pernah mendapati Ayah bersama wanita lain. Namun aku terpaksa merahasiakan hal ini karena tak kuasa untuk mengatakannya pada Mama yang kala itu bekerja kerasa demi menghidupi keluarga kami dan terkadang sakit-sakitan. Disisi lain, aku tak mau keluarga kami hancur lagi.



    ***





    Satu-satunya penghidupan kami kala itu hanya berasal dari Mama. Ia bekerja keras, banting tulang sendirian. Keluarga kami kala itu sangat kekurangan.

    Tunggakan uang untuk pembayaran buku-buku pelajaran dan SPP sekolah ku kala itu belum juga dilunasi. Kala itu sekolah masih belum gratis. Masih ada biaya SPP yang harus dibayar setiap bulan dan tiap bulannya akan membengkak apabila tak kunjung dilunasi. Hingga lima bulan aku belum membayar biaya SPP ku.

    Akhirnya aku memutuskan untuk ikut membantu Mama secara diam-diam. Aku menjadi penjual koran, pengamen, dan lain sebagainya. Apapun itu yang penting dapat menghasilkan uang. Sebagian uangnya aku tabung dan sebagiannya lagi aku gunakan untuk membayar tunggakan sekolahku. Cukup lama aku bekerja, hingga suatu hari Mama mengetahuinya dan memarahiku habis-habisan. Kata-kata yang masih terngiang ditelingaku hingga kini, “Mama masih ada. Mama masih bernafas, Nak! Kamu masih tanggungan Mama. Kamu ngga’ usah ikutan kerja nyari uang. Itu tugas Mama! Tugas kamu hanya belajar! Bikin Mama bangga dengan prestasi kamu!

    Gara-gara kamu jualan koran, nilai-nilai kamu menurun. Mulai sekarang kamu ngga’ usah bantu Mama. Biar Mama yang ngurus semuanya!”.



    Aku hanya dapat menuruti perkataan Mama kala itu, walau sebenarnya pendapatan Mama masih tergolong belum meraih kata cukup untuk kehidupan keluarga kami. Namun yang dapat ku petik, yang aku sadari dan yang aku pelajari dari sosok Mama ialah kesabarannya, perjuangannya, semangatnya yang tak pernah berkurang kala itu. Ia wanita pertama dan terakhir dalam hidupku yang begitu hebat. Begitu aku banggakan. Begitu aku sayangi dengan sepenuh hati.

    Walau aku nyaris tak percaya, namun berkat kerja keras Mamaku seorang diri, ia dapat membiayai kebutuhan makan kami setiap hari. Ia juga dapat menyekolahkanku hingga lulus SD hingga kini, aku telah menginjak bangku SMP.



    ***





    Aku tumbuh menjadi sosok lelaki remaja yang tangguh, mandiri dan terbiasa hidup menderita dan serba kekurangan. Orang yang begitu berharaga yang ku miliki saat itu hanyalah Mamaku dan sahabatku, Rion.



    Ya… Katakan aku durhaka, terserah katakan apapun tentangku. Memang aku tak menganggap Ayahku. Aku begitu membencinya. Setiap hari kerjaannya hanya mabuk-mabukan dan jadi pengangguran tak berguna di rumah. Tak jarang aku melihatnya bersama wanita lain saat Mama tidak ada di rumah karena harus bekerja dari pagi hingga malam. Aku hanya dapat terdiam, meringkuk di bawah pintu kamarku kala itu. Aku terbiasa mengenal kasih sayang darinya berupa tamparan, pukulan, atau apapun itu. Namun setiap ia membentak apalagi memukul Mama, aku tak terima. Aku takkan membiarkannya menyentuh Mamaku sedikitpun. Hal itu lebih menyakitkan daripada menyandang lebam di sekujur tubuhku. “Lebih baik kau memarahiku, memukulku, bahkan membunuhku sekalipun. Asalkan jangan Mama! Jangan kau sentuh Mamaku! Aku takkan membiarkannya.” hardikku kalap kala itu, yang selalu ku ucapkan kala ia berani memarahi apalagi memukul Mamaku.



    Saat aku menginjak kelas tiga SMP, aku mengenal tetangga baruku. Ia seorang lelaki yang sudah ku anggap sebagai kakak kandungku sendiri. Melalui dirinya aku dapat mengenal kasih sayang sosok seorang Ayah, melaluinya pula aku dapat merasakan perlindungan dari sosok seorang Ayah. Ia berusia dua tahun diatasku. Namanya Ito.

    Kami berdua begitu dekat kala itu, hingga karena adanya dirinya aku sempat melupakan sahabatku, Rion.

    Ia seorang anak semata wayang dari keluarga terpandang. Ia memiliki segalanya yang tak pernah ku miliki. Ia dilimpahi banyak fasilitas oleh orangtuanya. Namun sejak kecil ia jarang mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Ia sering ditinggal orangtuanya bisnis diluar kota, bahkan diluar negeri. Aku yang kala itu menjadi sahabat sekaligus adiknya selalu diminta untuk menemaninya saat ia kesepian di rumah. Di rumahnya, aku sempat merasakan nikmatnya menjadi orang yang bergelimang harta. Sedikit mengobati segala penderitaan yang ku lalui selama ini. Juga sejenak melenakan…

    Di rumahnya ada fasilitas yang begitu lengkap. Kami sering main PS bersama, berenang bersama, menonton dvd film-film terkenal bersama, dsb. Di sana juga terdapat banyak makanan dan minuman lezat. Yang pastinya mahal. yang tak pernah ku makan dan ku minum selama ini.





    Semakin lama kami semakin akrab. Hingga suatu hari, seperti biasa ia memintaku menemaninya. Namun ada hal ganjil darinya yang tak ku mengeti kala itu. Setelah sekian lama, baru kali ini ia menggenggam tanganku, memelukku dan mencumbuku penuh nafsu. Aku yang saat itu merasa aneh atas perlakuannya langsung meronta dan memandangnya penuh kebencian. Namun aku kalah kuat, ia berhasil menguasai keadaan. Ia berhasil menguasai tubuhku. Ia berhasil merasakan setiap pori tubuhku. Akhirnya hal yang tak pernah terbayangkan oleh ku itu pun terjadi.



    Aku merasa begitu kotor,

    Aku merasa begitu hina!

    Aku telah diperkosa,

    Aku telah digagahi!

    Aku bodoh, aku lemah…



    Aku beranjak dari ranjangnya dan memutuskan untuk mandi. Berusaha mengusir, berusaha membersihkan noda itu. Namun tak kunjung hilang. Noda yang terlanjur melekat erat dan takkan pernah hilang walau diguyur air berkali-kali.

    Aku merintih kesakitan kala itu, sembari membasuh tubuhku dengan air.

    Rasa sakit itu masih terasa memilukan hingga kini.

    Tak terasa air mataku mengalir. Rasa sakit dihatiku lebih menyakitkan daripada rasa sakit yang kurasakan atas perbuatan kejinya. Hubungan ini keliru. Hubungan seperti ini kotor. Hubungan seperti ini hina!

    Aku merasa lebih rendah dari pelacur murahan, lebih rendah dari binatang.

    Aku merasa telah dikhianati…



    Perlahan aku keluar dari kamar mandi hanya berbalutkan handuk putih dipinggangku. Aku sedikit kesusahan saat berjalan kala itu. Ito yang sedang terbaring kemudian bangkit dan mendekat. Ia menatap ku lekat. Ada pendar penyesalan di kedua matanya. Matanya berkaca-kaca kala itu.



    “Maafin gue, dek! Gue emang kakak yang ngga’ berguna!

    Harusnya gue ngelindungin elo, bukannya malah nyakitin lo. Gue udah dibutakan sama nafsu. Elo pantas benci sama gue. Elo boleh hukum gue!” racaunya penuh penyesalan kala itu. Lalu memelukku erat. Aku terhenyak beberapa saat. Tanpa sadar tangisku pecah. Disisi lain kebencian itu semakin pekat. Namun disisi lain aku tak berdaya. Aku begitu menyayanginya.



    “Lupakan!” jeritku kalap penuh kebencian kala itu sembari berjalan tertatih menuju ranjang. Ia sigap menopangku, membantuku berjalan. Aku merasa jijik disentuhnya, ditopangnya, dipeluknya. Namun aku tak kuasa tuk menjauhkannya dari tubuhku.

    Aku butuh ditopang!



    Sembari berjalan tertatih. Perlahan…

    Melawan rasa sakit yang merong-rong hati dan tubuhku.



    Saat aku melepas handukku, aku begitu terkejut melihat noda merah di sana. Ito terlihat begitu cemas dan penuh penyesalan. Ia berniat menelfon dokter namun aku melarangnya. Aku takut orang lain akan mengetahui aib ini seandainya ia memanggil dokter kemari.



    “Masih sakit?” tanyanya cemas. Aku hanya mengangguk sembari memeluknya erat.

    Aku begitu ketakutan kala itu.



    “Maafin kakak dek! Maaf…” ujarnya penuh penyesalan. Air matanya pecah kala itu.



    “Arrrgghhhh…” rintihku kala itu, merasakan sakit yang kian lama kian bertambah.



    Suhu tubuhku juga meninggi kala itu. Ito begitu cemas! Dengan sabar ia merawatku. Ia membersihkan darah-darah yang keluar. Ia mengompresku. Ia membuat dan menyuapiku semangkuk bubur, segelas teh hangat dan memberiku obat pereda rasa nyeri. Ia melakukan apapun semampunya dan tetap setia berada disisiku.



    Setelah aku agak baikan, ia menyelimutiku dan menyuruhku istirahat. Aku terbaring tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhku. Hanya selimut ini yang menutupi tubuhku. Begitupun ia…



    “Maafin kakak dek…” ujarnya sembari memelukku erat. Ia mengecup keningku. Entah mengapa aku merasa lebih tenang kala itu. Aku pun mulai tertidur dalam pelukannya.



    Hingga beberapa jam kemudian aku terbeliak. Terdengar suara seseorang yang memanggil-manggil namaku. Suara seseorang yang tak asing bagiku.

    Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Aku dan Kak Ito terbeliak kala itu. Terdiam mematung saat melihat Ayahku telah berada diambang pintu.



    “Ayah cari kemana-mana tapi kamu ngga’ ada. Kata tetangga, seperti biasa kamu main ke rumahnya Ito! Ternyata ini yang kalian lakukan selama ini? !

    Ternyata hubungan laknat semacam ini yang kalian jalani dan sembunyikan selama ini? !” amuk Ayah kalap kala itu.



    Hatiku berkecamuk! Takut, sakit, perih, kecewa, bergumul menjadi satu kala itu. Menjadi sebuah tikaman yang langsung meluluh lantakkan hati kecilku kala itu. Kak Ito segera menenangkan Ayah dan berusaha menjelaskan, namun ia malah dihajar habis-habisan oleh Ayah. Aku tak kuasa menyaksikan Ito diperlakukan seperti itu. Aku mendekat ke arah mereka dan memisahkan Ayah darinya.



    Karena peristiwa itu, antara keluarga kami dan keluarga Kak Ito bertengkar hebat. Saling menghina, mencecar, saling menyalahkan. Namun sementara ini kami tetap memakai jalur musyawarah antar dua keluarga.



    “Kalo’ kalian masih memperpanjang masalah ini, kalian yang bakalan malu sendiri!” sergahku kala itu. Kesabaranku habis. Tak kuasa lagi melihat dan mendengar perdebatan mereka. Jenuh karena sebelumnya aku hanya membisu.



    “Terutama elo!” aku menatap ayahku penuh kebencian.



    “Biar aku aja yang pergi dari sini! Biar kalian semua ngga’ malu.

    Coba bayangin kalo’ kalian tetep memperpanjang masalah ini? Yang ada malah kalian sendiri yang bakalan malu. Kalian bakalan terus tinggal di sini. Kalian juga bakalan terus nanggung malu kalo’ terus aja memperpanjang masalah ini. Tapi kalo’ kalian ngga’ memperpanjang masalah ini dan ngebiarin aku ninggalin tempat ini, kalian ngga’ akan malu. Aib itu ngga’ akan pernah muncul ke permukaan. Orang-orang ngga’ akan ada yang tau.” sambungku. Sejak mendengar keputusanku kala itu, perdebatan itu pun berakhir. Setelah mereka semua menimang-nimang, keputusanku memanglah yang terbaik. Walau sebenarnya Mama dan Kak Ito kala itu menjadi dua orang yang sangat menentang keputusanku kala itu. Yang lainnya menatapku penuh kemenangan. Menganggapku penjahat, menganggapku lelaki murahan, yang pantas mendapatkan semua itu. Padahal aku lah yang dijahati, aku lah yang digagahi, aku lah orang tak bersalah yang harus mendapatkan hukuman dan cacian yang tak pernah pantas ku dapatkan.



    Sejak saat itu aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ayahku mengusirku dari rumah, sedangkan Mama masih saja tak rela saat aku meninggalkannya. Tangisnya pecah, ia merintih tak berdaya kala itu. Aku pun tak kuasa meninggalkan Mama sendirian bersama lelaki seperti Ayahku.

    Sedangkan Kak Ito, orangtuanya tak mengusirnya. Dengar-dengar, orangtuanya menyuruhnya pindah sekolah di Bandung. Ia tinggal sendirian di apartment.

    Hingga kini orangtuanya menganggap aku sebagai penyebab aib itu dan pembawa pengaruh buruk bagi putra semata wayangnya. Padahal sebenarnya putra mereka sendiri lah yang telah dikuasai oleh belenggu nafsu sesaat dan karena dia, masa depanku hancur. Hidupku berantakkan. Dan kini aku harus meninggalkan Mamaku. Orang yang begitu berharga bagiku.



    Aku tak tahu harus tinggal dimana. Saat itu hanya Rion yang ku miliki. Hingga akhirnya semalam ia menyuruhku datang ke warnet milik kakanya.



    Tak tahu sekuat apa nanti aku akan dapat menjalani kehidupan ku yang semakin sulit. Namun yang ku tahu pasti, dengan adanya Rion aku dapat lebih tegar dalam menjalani hidup. Aku merasa aman bersamanya. Dalam dinding kokoh yang dibentuknya. Dalam hangat perhatian yang disuguhkannya.



    ***



    Aku mengakhiri ceritaku. Tak terasa air mata yang sejak tadi ku bendung lagi-lagi pecah.



    “Elo tenang aja! Sekarang ada gue yang bakalan selalu ada buat lo.” gumamnya. Matanya berkaca-kaca.



    ***





    To Be Continued...
  • bagian terakhirnya itu seharusnya gk ada disitu..
    bagian akhir dari part seharusnya berisi hal yg bisa membuat pembaca penasaran apa yg akan terjadi di part selanjutnya.. biar ada gregetnya... ;)
  • seharusnya pengenalan tentang warnet ada di awalan, cz pas awalnya menerangkan tokoh utama berada dalam warnet
  • iya bagian akhirnya agak lbh baik di bagian pengenalan warnet, tapi gue langsung jatuh cinta nih sama cerita ini, updet terus ya :')

    Oiya kenalin, gue tadinya @dirpra, tapi skrng udah berubah :))
  • Malem gays!

    Slama ini Kiki sibuk kerja jd crita yg dulu itu g pnh keurus. Mmpung skrg2 lg nganggur dirumah krna blm dpt2 krjaan, mau post lanjutannya dan mau update terus sklian mga bs bntu ngeramaiin page ini. Dibaca ya! :)
    Dibaca aja Kiki udah sneg bgt!
  • edited December 2012
    "The Paper Planes * (Sheet 3)"


    By : Kiki Wellian



    Fb : Nell Leander Atharein (Add Ya! :D )



    Blog : flipflop-delvetian.blogspot.com









    “The Paper Planes”









    Tak perlu kertas kualitas atas

    Tak perlu keahlian seniman terkenal

    Tak perlu jemari tangan indah

    Tuk melipatmu menjadi bentuk

    Tuk membuatmu ada

    Menjadi sebuah “Pesawat Kertas”

    Yang sederhana namun pekat akan makna



    Tak perlu perhitungan matang

    Tak perlu kecerdasan insinyur

    Tak perlu mesin-mesin canggih

    Tuk membuatmu mengangkasa

    Membumbung tinggi melintasi langit biru



    Hanya tinggal melipat dan terus melipat

    Melipat dengan segenap harap

    Tuk membuatmu menjadi bentuk



    Hanya tinggal berlari dan melesatkan

    Melesatkanmu dengan penuh kekuatan

    Tuk membuatmu tinggi mengangkasa



    Layaknya sebuah kehidupan,

    Kita takkan pernah tahu

    Akan setinggi apa ia mengangkasa

    Melintasi langit biru

    Kita takkan bisa menduga

    Kapan ia akan terjatuh

    menghempas tanah gersang

    Yang penuh debu memilukan



    ***


    Aku mengakhiri ceritaku. Tak terasa air mata yang sejak tadi ku bendung lagi-lagi pecah.

    “Elo tenang aja! Sekarang ada gue yang bakalan selalu ada buat lo.” gumamnya. Matanya berkaca-kaca. Sejak saat itu aku tinggal di warnet bersama Rion. Warnet tersebut berupa sebuah ruko yang cukup besar. Dibagian bawah sebagai warnet, sedangkan dibagian atas sebagai kamar untuk tidur. Terdapat juga sebuah dapur dan kamar mandi.
    Hingga beberapa bulan lamanya aku tinggal bersama Rion. Kakaknya memberiku pekerjaan agar aku dapat membiayai kebutuhanku dan tetap bisa melanjutkan sekolahku yang sempat tertunda. Setiap setelah pulang sekolah hingga malam hari, aku menjadi seorang waiter di café miliknya. Selain usaha warnet ini, Kakaknya memiliki usaha sebuah café.

    Café tersebut berada di tempat yang strategis dengan suasana dan desain interior yang begitu cozy. Aku tak terlalu paham dengan desain interior, namun menurutku desain Café tersebut bertema kan seperti rumah-rumah yang interiornya serba kayu seperti pada jaman-jaman Inggris tempo dulu.
    Dindingnya tetap dari campuran semen dan bata, hanya saja bagian luarnya dilapisi dengan kayu-kayu cokelat yang tertata rapi dan terlihat mengkilat. Sehingga kesan yang kita dapat, rumah tersebut seperti terbuat dari kayu. Di setiap dinding di hiasi dengan lukisan-lukisan yang memukau mata. Namun dibagian depan hampir tidak memiliki dinding. Seperti café-café biasanya, bagian depannya terdiri dari kaca-kaca bening, lebar dan begitu tinggi sehingga orang-orang di luar yang lewat dapat melihat area dalam café tersebut.
    Lantainya pun juga dilapisi dengan kayu, seperti di film-film yang pernah ku tonton. Meja-meja, kursi-kursi, semua perabotan serba kayu.

    Di bagian langit-langit dihiasi dengan tanaman anggur yang merambat sempurna dan ditata sedemikian rupa memenuhi seluruh atap dengan dibantu oleh kerangka dari kayu. Sedangkan untuk lampu, seluruh lampunya menurutku seperti lampu-lampu Belanda di jaman klasik yang dibuat menempel permanen di dinding. Ada juga yang berbentuk seperti tiang, layaknya lampu taman di jaman-jaman belanda, namun menurutku ini versi mini nya atau semacam desain saja, karena tak setinggi lampu taman yang sebenarnya.
    Saat malam hari, di setiap meja dihiasi dengan lilin-lilin cantik beserta tempat lilin klasik.

    Cukup itu saja yang dapat ku jelaskan. Aku tak terlalu paham dengan desain interior atau apa lah itu.


    Awal aku bekerja di sini, aku benar-benar frustasi. Aku harus menghafalkan ratusan tipe dan rasa roti, kue, juga puluhan minuman dalam 7 hari. Yang benar saja!
    Aku juga harus belajar mengoperasikan mesin pembuat kopi, latte, alat untuk foam fresh milk dan masih banyak lagi hanya untuk membuat Hot Cappucino, latte, C. Macchiato, dan kawan-kawannya yang lain. Aku selalu saja gagal membuatnya pada tahap foaming fresh milk. Entah untuk apa? Namun yang cukup ku tangkap, foaming fresh milk bertujuan untuk membuat susu tersebut lebih creamy, padat dan berbusa. Sehingga ketika akan menuangkan susu tersebut ke dalam cangkir yang berisi kopi, susu tersebut akan memberikan peranan tersendiri dalam membentuk suatu image pada latte tersebut, atau yang biasa disebut dengan “Latte Art”. Seperti yang ada di berbagai media, latte biasanya dihiasi dengan latte art berbentuk love, bunga, teddy bear, dll. Namun menurutku foaming fresh milk tak hanya sebagai desain, namun juga menambah rasa juga tekstur. Tapi entahlah… Aku hanya karyawan baru di sini, aku belum tahu banyak tentang kopi, aku belum bisa foaming fresh milk dan parahnya lagi aku tak suka kopi. Tapi anehnya aku bekerja di sini dan mau tak mau aku harus belajar juga untuk menjadi seorang Barista. Benar-benar gila! Menyukai kopi saja aku belum bisa, bagaimana bisa jadi Barista?
    Masalahnya yang ada difikiranku begitu simple. Hanyalah kerja-kerja saja dan uangnya untuk kebutuhanku dan biaya sekolah. Itu saja!


    Hingga suatu hari,

    “Jangankan bikin latte art yang bagus, foaming fresh milk aja gue belum bisa!
    Selalu aja gagal. Entah keenceran, entah berbuih terlalu besar. Kadang juga terlalu creamy dan akhirnya susu yang creamy dan berbusa ngendap di bawah gelas takar dan susu yang encer ada di atas permukaan. Akhirnya pas dituang ke dalam mug, hasilnya malah kayak kopi susu yang ada di warkop pinggir jalan. Ngga’ combine sama kopinya dan ngga’ bisa dibikin latte art. Ah! Setres gue!” keluhku frustasi pada suatu sore. Sedangkan Rion hanya terbahak.

    “Udah 13 kali lo gagal. Lama-lama bangkrut nih café kalo’ lo gagal mulu dan buang-buang bahan aja dari tadi.
    Ya udah, sini! Gue ajarin sekali lagi.” timpal Rion mulai menyerah

    “Udah lah! Gue emang ngga’ bakat jadi Barista, Coffe Maker atau apapun itu. Kenapa sih harus pake’ mesin aneh kayak gitu? Bikin kopi aja ribet amat.
    Kenapa juga susunya harus difoam segala? Kenapa ngga’ manual aja kayak di warkop itu tuh. Susunya langsung dicampurin gitu aja! Beres dah!
    Toh rasanya juga ngga’ jauh beda. Cuman beda di tekstur aja menurut gue.” sambung ku. Namun Ia malah mencubit pipiku.

    Aku mengerutkan kening, lalu dengan kesal mengoleskan bubuk kopi yang cukup banyak di pipi kirinya.
    “Sialan! Berani lo sama gue!” seru nya sembari tersenyum licik. Ia tak mau kalah, seperti biasa Ia membalasku dengan mengelitik kedua pinggangku. Hal yang sejak dari dulu selalu menjadi kelemahanku, dan hanya dia lah yang tahu.

    “Ampun-ampun!” rengekku sembari menahan sakitnya perutku karena terlalu banyak tertawa.

    “Enak aja! Makanya lo jangan macem-macem sama gue!” balasnya. Ia malah memperkuat kelitikannya. Sontak aku tertawa semakin kencang dan menggeliat kegelian di atas lantai.

    “Mas!”

    “Mas!”

    “Eh, iya! Maaf Bu!” Rion segera bangkit dari lantai dan menuju mesin cash register.

    “Akur amat! Ade nya Mas?” celetuk Customer tersebut

    “Eh, Bukan! Hmmm… Temen kerja Bu! Sekaligus temen sekolah juga. Sekali lagi maaf ya Bu!” jawab Rion kikuk

    “Iya, ngga’papa kok!” timpal Customer tersebut sembari tersenyum manis

    “Ada tambahan lain Ibu?” tanya Rion, mulai fokus pada pekerjaan.

    “Sudah, ini aja!”

    “Saya posting dulu ya pesanannya!
    Hot Cappucino nya dua, Tiramisu Latte nya satu, Croissant cheese nya satu, White Choco Almond nya satu, sama Smoked Beef Sandwich nya dua ya!
    Totalnya Rp. 116.000,00.” kata Rion, menyebutkan pesanan satu per satu sembari menekan-nekan tombol mesin cash register. Ibu itu pun langsung mengeluarkan debit card. Rion segera menggesek card tersebut dan meminta Ibu itu memasukkan no. pin.
    Tak lama kemudian bill paper keluar dari mesin tersebut, Rion mempostingnya pada cash register dan bill paper juga keluar dari mesin itu.

    “Terimakasih! Silahkan datang kembali!” seru Rion ramah.

    Aku pun segera menghampirinya, “Ajarin gue juga dong! Kayaknya enak juga tuh jadi Kasir. Keren!”

    “Keren-keren… Kepala lo peyang?
    Mesin cash register nya ada finger print nya. Elo kan karyawan baru, jadi belum didaftarin.”

    “Ribet amat!” desahku.

    “Ya emang gitu, biar safety. Lagipula lo kan belum ahli, belum pernah diajarin pula. Kalo’ ntar banyak void kan berabe juga!” ejeknya sok ketus

    “Void apaan?” tanyaku polos. Ia hanya menghela nafas.

    “Hadeh! Void tuh yang jualan ketoprak di deket rumah kita tuh!”

    “Hah? Itu mah Bang So’id. Seriusan kek! Ditanyain baik-baik juga!” omelku. Ia hanya terbahak. Lagi-lagi seperti ini. Selalu saja kalau giliran kami berdua bekerja di café ini pada shift yang sama, pasti lebih sering bercandanya dari pada profesional kerja.


    ***



    -Author P.O.V-

    Disisi lain,

    Di sebuh rumah yang begitu mewah dan berdiri megah, dilengkapi dengan berbagai fasilitas lengkap dan segala kemewahan yang melenakan.

    •♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦


    Tok! Tok! Tok!

    “Den, bangun…!”

    “Deeen... !”

    “Ehmmmp... !” lenguh seseorang di dalam kamar tersebut, lalu menutupi kepalanya dengan bantal.

    “Maaf Den, tapi Aden mesti cepet siap-siap trus berangkat sekolah!”

    “Deen...?”

    “Berisik! Pergiiii...!” hardik seseorang di dalam kamar itu. Pembantu itu pun berlalu dengan perasaan cemas. Sesampainya di teras, wanita setengah baya tersebut segera menemui seorang lelaki berumur 20 tahun’an yang tengah sibuk membersihkan mobil.

    “Mas!”
    “Maaas...!” teriak pembantu setengah baya itu dengan nafas tersengal-sengal dan terlihat begitu letih.

    “Iya, ada apa Bu?” sahut seorang sopir yang sedang membersihkan kaca mobil, lalu menghampirinya.

    “Maaf kalo’ Ibu minta tolong lagi. Tapi kayak biasanya, susah sekali ngebangunin...”.

    “Ngga’papa Bu!” potong sopir tersebut ramah.

    “Makasih banyak, Mas!” ujar pembantu itu, lalu mereka berdua segera memasuki rumah.

    “Sini Bu, naik lift aja biar cepet nyampe!” ajak si sopir

    “Aduh, Ibu takut kalo’ naik lift. Naik tangga aja Mas!”

    “Ya udah kalo’ gitu!”

    “Maaf ngerepotin, Mas!”

    “Ngga’papa, Bu!” sahut si sopir, lalu dengan sabar mulai menaiki tangga bersama pembantu setengah baya tersebut hingga sampai di lantai dua

    “Ehmmm…!” lenguh Bu Rahmi sembari mengusap peluhnya

    “Bu, biar saya aja! Ibu ngga’ usah ikut, Ibu istirahat aja!”

    “Ta... Tapi Mas, ini tugas saya.”

    “Ngga’papa, Bu! Mulai sekarang yang ngebangunin dia biar saya aja! Dia baru mau bangun kalo’ saya yang ngebangunin. Bu Rahmi ke dapur aja ngelanjutin kerjaan Ibu yang lainnya atau istirahat aja! Ibu udah kecape’an banget.” bujuk si sopir

    “Ma... Makasih banyak, Mas!” ujar wanita setengah baya itu. Ia begitu tersentuh dengan kebaikan hati si sopir sekaligus sedikit bernostalgia karena teringat dengan anak laki-lakinya yang telah meninggal dunia. Seandainya anak laki-lakinya masih hidup, mungkin sekarang akan seperti si sopir, karena kebetulan mereka berdua sebaya.

    “Sama-sama. Ya udah, Ibu istirahat aja!” timpal si sopir. Wanita setengah baya itu hanya mengangguk, lalu mulai menuruni tangga. Sedangkan si sopir segera menuju lift dan menanti hingga sampai di lantai lima.
    Perlahan Ia melangkah melewati koridor di lantai lima. Ia tak lagi gugup seperti hari-hari sebelumnya saat baru pertama kali membangunkan anak majikannya tersebut.

    Tok! Tok! Tok!

    “Eh, bangun!” serunya sembari mengetuk pintu dengan keras!

    “Whoy! Budheg ya?” bentaknya kasar

    Hening... Tak ada jawaban.

    “Oke, kesabaran gue udah abis. Gue mending dimusuhin sama lo daripada gue sama Bi Rahmi mesti dipecat sama bokap lo cuman gara-gara ngga’ bisa ngebangunin anak manja macem elo!
    Asal lo tau aja, tiap pagi Bi Rahmi mesti naik tangga sampe ke sini cuman buat ngebangunin lo. Elo ngga’ kasihan apa?” kata si sopir. Namun seseorang yang berada di dalam kamar tersebut tak menghiraukan perkataan si sopir dan kembali mencoba untuk tidur lagi. Si sopir hanya menghela nafas, lalu mulai mengetuk pintu lagi dengan ketukan yang lebih keras dari sebelumnya.

    “Oke, kesabaran gue udah bener-bener abis! Terserah lo mau benci sama gue, yang penting gue sama Bi Rahmi ngga’ dipecat sama Bokap lo seperti pembantu-pembantu yang sebelumnya cuman karna ngga’ bisa ngebangunin elo!” sambung si sopir

    “Eh, bangun nggaaaak? ! Bangun whoy!
    Elo budheg atau gimana sih?” bentak si sopir sembari menggedor-gedor pintu.

    Kini Ia mulai jengah.

    “Anjrit!” damprat seseorang yang baru saja membuka pintu kamar. “Elo udah bosen idup ya? Berani banget ngebentak gue! Elo siapa, hah? Inget, lo tuh cuman sopir di rumah ini. Sopir kemaren sore pula!” sambungnya, lalu membuka pintu kamar.

    “Bodo amat! Yang penting gue ngga’ dipecat sama Bokap lo! Yang berwenang buat mecat kami semua tuh dia, bukannya anak manja kayak elo yang bisanya cuman ngadu dan ngabisin duit aja!” balas si sopir tak mau kalah. Kali ini intonasinya lebih tinggi dari sebelumnya.

    “Cepet mandi!” bentak si sopir sembari menatap tajam anak majikannya itu.

    “Siap Bang!” seru lelaki itu, kemudian segera berlalu

    “Tumben nih anak nurut? Cepet amat nurut? Biasanya mesti keluarin otot dulu baru nurut.” gumam si sopir heran.

    Namun tiba-tiba,

    Byuuur!

    “Arrggghhhh! Ehmmmmmp... !
    Haaah!” lenguh si sopir kelabakan sembari mengusap wajahnya yang basah kuyup.

    “Makan tuh! Sebelum lo nyuruh gue mandi, elo mesti mandi duluan!” cetus lelaki tersebut sembari menggenggam gelas kosong yang tadinya berisi air mineral.

    Si sopir begitu kesal...
    Namun ia mengurungkan niatnya untuk membalas. Ia hanya dapat menerima perlakuan buruk dari anak majikannya itu.

    Seperti itulah pemandangan setiap pagi di rumah mewah tersebut…

    (Author : Oh iya, lupa cerita. hehehe… Fb ku yang dulu kan nick nya Kiki Wellian sekarang-sekarang ini aku ganti jadi Nell Leander Atharein tuh karna aku ngefans banget sama tokoh baru ini. Jadi, aku ganti nick Fb bukan berarti tokoh baru ini adalah aku secara sifat, gambaran fisik, dls. Bukan begitu!

    Nell tetaplah Nell… Aku hanya menciptakan tokoh seperti Nell dan akhirnya mengidolakan tokoh itu, sampe-sampe Fb ku aku ganti nick nya karna saking ngefansnya.
    Kalo’ ngga’ dijelasin gini ntar salah paham. Dan ngiranya aku tuh Nell.)


    Okay, Back to Story…

    -Author P.O.V-

    Sebut saja Nell. Itulah nama panggilan lelaki itu. Nell berasal dari bahasa yunani, yang memiliki arti : sinar / bersinar. Memang nama tersebut begitu sesuai untuk lelaki itu. Ia nyaris sempurna, ia memiliki segalanya. Dan ia-lah yang paling bersinar dalam segala hal baik dikalangan seluruh keluarga besarnya, dikalangan sekolah, dikalangan teman-temannya, dsb.
    Ia memiliki wajah yang begitu rupawan. Tampan, namun tersimpan keindahan dan kecantikan seorang perempuan dalam tiap ukiran wajahnya yang rupawan. Terdapat kecantikan yang nyata dalam tubuh lelakinya. Ia berambut cokelat pirang lurus. Rambutnya begitu indah dan lembut.
    Ia beralis tebal, yang menggantung begitu menawan diatas matanya. Ia juga memiliki bulu mata yang lentik dan mata cokelat yang begitu indah. Tatapan matanya memiliki kekuatan tersendiri. Setiap orang seakan terbius saat menatap keindahan matanya. Hidungnya mencuat indah, melengkapi keindahan parasnya. Bibirnya tipis dan merah menawan, melengkapi kecantikan yang tersimpan dalam paras tampannya.

    Alur yang membentuk hidung, bibir dan dagunya demikian rupawan. Lesung dikedua pipinya menambah kesempurnaan parasnya. Selain itu tubuhnya ideal, begitu indah dan seputih susu. Bahkan kulitnya terlalu halus dan lembut untuk seorang laki-laki. Tingginya 170cm. Jemari tangan dan kakinya lentik. Walaupun ia seorang lelaki, namun ia begitu cantik. Ia bukan hanya tampan, ia cantik. Kecantikan perempuan yang berbaur begitu indahnya dengan ketampanan seorang laki-laki.
    Selain kesempurnaan fisik, ia juga cerdas. Ia memiliki banyak bakat dalam berbagai hal. Melalui ayahnya pula, ia dilimpahi materi yang lebih dari sekedar kata cukup. Sehingga bakat-bakat yang dimilikinya dapat tersalurkan dengan begitu baik. Banyak orang yang menyayanginya, banyak yang menyanjung dan mengidolakannya, juga banyak yang ingin mendapatkan hatinya. Walaupun tak ada manusia yang sempurna, namun sebagai seorang manusia ia nyaris dapat dikatakan sempurna. Hanya saja ada satu hal yang tak sempurna bahkan begitu buruk dari nya. Yang membuatnya belum dapat dikatakan sempurna. Hanya karena satu hal...

    Tak lain dan tak bukan ialah perangainya...

    Seandainya saja perangainya seindah fisik yang dimilikinya, secemerlang kecerdasan yang dimilikinya.
    Namun kenyataan berkata lain, Nell tetaplah Nell. Takkan dapat memiliki perangai sebaik Rama.

    •♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦•♦

    Setelah beberapa detik tersenyum puas karena telah mengerjai sopirnya, Nell pun segera memasuki kamarnya.

    Kamar tersebut begitu mewah, begitu luas. Dengan desain interior yang begitu indah khas eropa dan ukiran-ukiran yang memukau menghiasi dinding-dinding dan segala perabot yang ada di dalamnya. Selain itu, kamar itu juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas canggih nan mewah.
    Di dinding-dinding kamar terpajang beberapa poster-poster dan foto-foto Nell.
    Nell seorang model terkenal dan telah sering mengikuti pemotretan diberbagai merk majalah fashion terkenal.
    Dari sekian banyak kemewahan di kamar itu, yang lebih mengagumkan lagi ialah lantai dan atapnya yang terbuat dari kaca bening, tebal. Dibawah lantai kamar tersebut terdapat kolam ikan yang begitu indah, sehingga ketika kita melangkah seakan kaki kita memasuki air kolam tersebut. Air kolam itu begitu jernih, dihiasi berbagai jenis ikan-ikan hias dan disempurnakan oleh keindahan tanaman dan karang-karang yang menghiasi dasar kolam tersebut.

    Dikala malam, Nell selalu merebahkan tubuh letihnya di ranjang, ditemani dengan keindahan nyata di atasnya. Melalui atap kacanya, Ia sembari menikmati indahnya bintang yang berhamburan dan menghiasi langit malam. Atap tersebut terbuat dari kaca bening tebal berbentuk lingkaran atau bola layaknya planetarium. Ketika siang hari, penutup canggih yang terbuat dari besi dan baja yang begitu kuat digunakan untuk menutupi atap kamar dari panasnya terik mentari di siang hari. Namun disisi lain dari keindahan dan kemewahan kamar tersebut kamar itu begitu berantakkan. Komik-komik, majalah-majalah, keping-keping DVD, baju-baju, dsb. berserakan ditiap-tiap sudut kamar.

    ***

    “Jam berapa sekarang?” tanya Nell

    “Tau’ ah!” jawab si sopir ketus sembari sibuk dengan bajunya yang basah karena siraman air dari Nell tadi.

    “Arrrgghhh!” lenguhnya kesal sembari mencari-cari jam wekernya.

    “Sial!” serunya saat menyadari bahwa jam wekernya rusak karena tanpa sadar tadi pagi telah dibantingnya di sudut ruangan saat jam weker tersebut berdering.

    “Tenang aja, ntar beli lagi! Orang kaya gitu!” sindir si sopir.

    “Diem lo!” amuk Nell

    “Ini kan baru jam setengah enam!” serunya kesal setelah mengecek jam di layar ponselnya.
    Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan melucuti seluruh pakaiannya, lalu bergegas masuk ke dalam bath tube.

    Saat ia mandi, tak lama kemudian terdengar suara telfon berbunyi.

    “Ganggu aja! Siapa sih telfon pagi-pagi gini?” serunya kesal sembari meraih telfon dinding yang tengah berdering.

    “Halo?”

    “Eh, elo ngga’ sekolah? Buruan berangkat!
    Sekarang kan hari senin.” kata seseorang diseberang sana

    “Sial! Gue lupa kalo’ sekarang hari senin. Gue kira sekarang bukan hari senin jadi masuknya jam tujuh.”

    “Parah! Hari aja lupa! Elo telat bangun lagi ya? Elo pasti juga belum nyiapin buku buat pelajaran hari ini kan? Ah! Kebiasaan lo tuh!” omel seseorang diseberang sana

    “Diem ngga’! Omongan lo udah kayak Bi Rahmi yang kampungan dan sok ngatur itu!
    Kalo’ ntar gue telat lagi, lo mesti temenin gue cabut!”

    “Enak aja! Ini udah yang ke berapa kalinya lo ngajakin gue cabut sama anak-anak? Lama-lama gue bisa kena...”

    “Pokoknya lo harus nemenin gue cabut kalo’ gue ntar telat! Ajak juga anak-anak kayak biasanya. Oke!” potong Nell

    “Ah, tapi Nell...
    Iya elo mah enak, kan elo anak dari pemilik sekolah jadi seenaknya aja cabut. Nah gue ama anak-anak gimana?”

    tut… tut… tut…

    “Oh, shit!” seru Nell kesal, lalu segera mencari-cari telfon tersebut di dalam bath tube nya

    “Aduh! Bisa dimarahin Papa nih!” komentarnya saat melihat telfon tersebut basah dan penuh busa. Lalu Nell pun segera melanjutkan mandinya.

    Beberapa menit kemudian...

    Tok! Tok! Tok!

    “Nell, cepetan! Udah hampir jam enam nih!
    Elo luluran yah?” teriak si sopir tadi.

    “Enak aja! Emang gue cowok apaan pake luluran segala.
    Entar... Sabar napa! Yang penting kan gue udah usaha.” omel Nell yang baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengusap-usap rambut basahnya. Lalu Ia pun mengalihkan pandangannya pada si sopir yang tengah berdiri di hadapannya dan hanya mengenakan celana dalam.
    Sejenak Nell terdiam. Memandangi tiap lekuk tubuh si sopir itu.
    Ia memiliki paras yang rupawan, dengan lekuk wajah yang tegas khas lelaki dewasa. Tubuhnya terlihat begitu menawan dengan otot-otot yang tercetak jelas di tiap-tiap lekukannya. Dadanya yang bidang, perutnya yang atletis dan lengan-lengannya yang menawan melenakan Nell untuk beberapa saat.
    Terlihat bulu-bulu ketiak yang menyembul dari kedua sisi lengannya dan menambah keindahan tubuh si sopir tersebut.

    Lengkap sudah keindahan fisik si sopir tersebut yang sejenak melenakan dan membuat Nell terbius.

    “Ngapain lo ngeliatin gue?” tanya si sopir menyelidik. Namun Nell hanya terdiam.

    “Heh?” bentak si sopir.

    “Ah! Engga’! Sapa juga yang ngeliatin elo!
    Gue cuman… Cuman…”

    “Cuman APA?”


    ***



    To Be Continued...
  • Cuman nafsu liat loe hahahaha
  • Ntu kata terakhir nya kan
    "cuman apa?"
    dari pada tanggung gak ada yang jawab mending ku jawab aja,, macam ntu,, aku yakin cowok cantik yang ndak ada nama nya ntu juga mo jawab macam ntu,,, hehehe
Sign In or Register to comment.