BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Curse

edited September 2012 in BoyzStories
salam, ini cerita keduaku. ga byk2, cm 3 bagian. setiap bagian punya tokoh2,setting n alur yg berbeda, namun masih berada dalam satu tema, yaitu 'The Curse'.
enjoy.

Part 1, The Curse Begins

Dahulu kala, ketika dunia masih muda dan segala hal berjalan sesuai dengan jalannya, hidup seorang putra bangsawan yang gagah dan rupawan. Dengan segala kelebihan yang ia miliki, ia bisa mndapatkan semua yang ia inginkan, termasuk wanita. Dia paham betul dengan ketampanan dan kemapanannya, dan ia tahu betul bagaimana mengunakannya. Ia suka bermain perempuan.

Sudah tidak terhitung wanita yang ia kencani dan ia campakkan begitu saja. Hingga akhirnya ia mengencani wanita yang salah. Ia telah menjalin hubungan dengan seorang penyihir yang cantik dan wanita itu pada akhirnya bernasib sama seperti gadis-gadis lainnya. Dicampakkan. Marah karena dicampakkan dan melihat pemuda itu dengan mudah menggaet wanita lain sedangkan ia sendiri sudah dihilangkan keperawanannya oleh Sang Putra Bangsawan, akhirnya ia pergi menuju hutan sambil menangis.

Di jantung hutan, dia menggoreskan simbol-simbol dan mantra di tanah hingga membentuk sebuah pola pentagram. Dan di pusat pentagram, ia menikam jantungnya sambil berteriak,

“Aku mengutukmu wahai Putra Bangsawan! Begitu darah ini merasuk kedalam bumi, jiwamu akan teracuni oleh darahku. Selamanya kau tidak akan bisa mencintai wanita lagi. Mata dan hatimu hanya akan terpaut pada pria, makhluk yang selamanya tidak akan membalas cintamu. Dan seluruh putra dari setiap wanita yang kau tiduri, hanya akan menghasilkan keturunan yang membawa kutukan yang sama dengamu. Selamanya... selamanya kau tidak akan pernah merasakan cinta sejati! Selamanya..!!"

Dan penyihir itupun tumbang. Seluruh darahnya meresap masuk kedalam tanah dan pentagram berisi simbol dan mantra-mantra itu berubah berwarna merah. Dan pada detik itulah, kutukan mulai berjalan.

Keesokan paginya, Sang Putra Bangsawan itu bangun dengan perasaan hampa. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, seakan ada sesuatu yang hilang dalam hatinya. Ia pun segera berbenah diri dan pergi menemui wanita barunya.

Aneh, ketika ia sudah bersama wanita barunya itu, dia tidak merasakan gejolak yang ia alami beberapa waktu sebelumnya saat ia bertemu dengannya. Ia pikir ia sudah bosan, ia pun meninggalkan wanita itu dan mencoba mencari wanita lain yang bisa membuatknya tertarik. ia tidak peduli bahkan saat wanita itu merayap di tanah memohon dia kembali.

Hingga beberapa bulan, ia tak kunjung mendapatkan wanita yang membuatnya tertarik. Secantik apapun, seindah apapun tubuhnya. Ia justru tertarik pada seorang pemuda putra pedagang sayur di pasar.
Semula ia mencoba menampik perasaan itu, namun semakin hari, perasaan tertarik itu semakin kuat. ia bingung dengan perasaannya sendiri, kenapa dia bisa begitu menyukai pemuda itu.

setiap harinya ia berjalan melewati gerobak tempat pemuda itu dan ayahnya berjualan sayur. sesekali ia menghampirinya, berpura-pura membeli sayur hanya sekedar untuk mengobrol dan mengetahui lebih banyak tentang pemuda itu. Semakin lama, ia tidak mampu lagi membendung perasaannya, hingga akhirnya pada suatu malam di bawah bulan purnama, diam-diam ia meminta pemuda itu datang menemuinya di tepi hutan.

Begitu Pemuda Pedagang Sayur itu tiba, dengan ragu Putra Bangsawan itu pun mengutarakan maksudnya. Si Pedagang terkejut. Dengan wajah pucat ia berjalan mundur dan akhirnya ia berbalik dan berlari meninggalkan Putra Bangsawan.

Sang Putra Bangsawan yang sudah termakan nafsu pun segera menarik tubuh pemuda itu dan di hutan itulah dia menyentuh pemuda itu layaknya wanita-wanita yang ia sentuh. Si pemuda mencoba melepaskan diri dari bintang buas itu namun sia-sia saja karena tenaga Sang Putra Bangsawan lebih besar.

Di bawah bulan purnama, kutukan itu berjalan. Dengan tubuh letih ia pandangi pemuda yang masih terbaring di tanah. Ditariknya belati dari sakunya dan ia balikkan tubuh pemuda itu hingga akhirnya wajah mereka saling bertemu. Agak lama Sang Putra Bangsawan memandang wajah pemuda yang rupawan itu. Belati sudah terhunus tepat di atas jantung pemuda itu, namun tangannya gemetar. Entah kenapa meski nafsunya terpuaskan, ada sesuatu yang lain. Suatu perasaan yang menahannya untuk membunuhnya. Ia tahu resikonya jika membiarkan pemuda itu hidup. Jika pemuda itu memberitahukan hal ini pada orang-orang, dia bisa dihindari bahkan jiwanya terancam. namun wajah itu, wajah pemuda itu seolah telah menyihir dirinya. cintanya pada pemuda itu, telah mempermainkan Sang Putra Bangsawan bagai marionnete.

Dengan lembut ia mengusap pipi pemuda itu, dengan senyum tipis dan mata yang basah ia bertanya, “apakah kau mencintaiku?”

Pemuda itu diam dengan wajah getir. Ia menggeleng pelan.

Tak terasa, mata Sang Putra Bangsawan semakin basah dan setetes air mata meluncur menuruni pipinya. Dengan bibir bergetar, ia melepaskan pemuda itu. Ia harus sadari, kalau dia terlalu berharga baginya. Ia tidak sanggup untuk membunuhnya. Meski ia telah lukai hatinya, meski ia mungkin saja membeberkan perbuatannya.

ia berdiri dia sana melihat pemuda itu memakai lagi pakaiannya yang terkoyak. Dan ia masih berdiri disana, menyaksikan pemuda itu berlari meninggalkannya. Dia masih berdiri disana ketika tubuhnya sudah menghilang dalam gelapnya malam, yang bahkan sinar rembulan tak mampu menangkapnya lagi. Ia masih berdiri disana, ketika hatinya telah dibawa pergi oleh pemuda itu. dan belati perak yang ada ditangannya perlahan terlepas dan jatuh, menghempaskan dedaunan kering di lantai hutan.

Dengan hati hancur, ia berjalan bagai mayat hidup menuju rumahnya. Disana ia melihat kerumunan di depan rumahnya yang besar. Dan ditengah kerumunan itu ia melihat wajah pemuda pedagang sayur yang telah ia nodai.

Ya, putra pedagang sayur itu segera memberitahu orang tuanya, dan kabar itu dengan cepat menyebar mengingat orang yang pemuda itu maksud adalah seorang putra dari bangsawan paling tersohor di kota itu.
Sang bangsawan sangat malu dan marah. Putranya telah menyimpang dari kebiasaan yang ada. Bahkan dia telah menodai seorang pemuda belia. Terbakar oleh amukan warga, ia pun mengusir putranya dan menganggap dia bukan putranya lagi.

Putra bangsawan itu pun diusir dari kota. Orang-orang menolaknya. Ia dibuang seperti anjing yang kumuh dan berpenyakit.
Dengan terseok-seok ia pun menjalani hidupnya sendiri dan terkucil. Ia hidup tak berharta karena tak ada orang yang mau menerimanya untuk bekerja.

Akhirnya ia pergi ke dalam hutan. Disana ia menangisi nasibnya. Hidup dengan dikucilkan dan terbuang, tak berharta dan kelaparan, semua hal itu seolah turut menari-nari mengitari penderitaannya. Derita karena tak bisa mencintai orang yang ia cintai. Kini ia merasakan bagaimana pahitnya cinta. Dan cinta itu tumbuh pada orang yang salah. Cinta yang tak ‘kan berbalas.

Sayup-sayup, ia mendengar suara. Suara seorang wanita. Ia mengenal suara itu, suara wanita yang pernah ia campakkan. Ya, itu suara wanita penyihir.

Suara kutukan yang ia ikrarkan saat ia sekarat, terus menggema di tiap penjuru hutan.
“aku mengutukmu wahai putra bangsawan, begitu darah ini merasuk kedalam bumi, jiwamu akan teracuni oleh darahku. Selamanya kau tidak akan bisa mencintai wanita lagi. Mata dan hatimu hanya akan terpaut pada pria, makhluk yang selamanya tidak akan membalas cintamu. Dan seluruh putra dari setiap wanita yang kau tiduri, hanya akan menghasilkan keturunan yang membawa kutukan yang sama dengamu. Selamanya... selamanya kau dan putra-putramu tidak akan pernah merasakan cinta sejati! Selamanya..!!’

Sang putra bangsawan jatuh bersimpuh dan menangis, “hentikan.. aku menyesal.. aku menyesal telah mencampakkanmu. Kumohon.. hapus kutukan ini.. kenapa kau tidak membunuhku saja? Kenapa kau memberikan kutukan yang sepedih ini? Aku kini bagai makhluk tak berhati, dadaku berlubang dan hampa. Wajahku bagai penuh dengan coreng dan nanah, setiap orang menolak melihatku. Tak ada lagi tempat untukku.”

Ia terus meratap hingga akhirnya suara-suara itu perlahan merdeup dan menghilang. Sejenak ia berhenti meratap. Ia menengadah kelangit dan melayangkan pandang kesekitar, mencoba mencari kemana perginya suara-suara itu. Hingga akhirnya ia sadar, kalau suara itu telah tiada, meninggalkan ia dalam keputus-asaan.

Ia menundukkan wajahnya, membiarkan air matanya jatuh ke atas bumi dan iapun merogoh sakunya. benda berharga satu-satunya yang ia miliki, yang tak pernah rela ia jual meski ia sendiri sekarat karena lapar. Sebuah belati yang sempat ia hunuskan di hadapan pemuda yang ia cintai.

“selamanya aku mencintaimu, hatiku telah kuberikan padamu tapi aku tak ‘kan bisa meraih hatimu. Kini aku adalah lelaki tak berhati. Aku hidup namun bagai tidak hidup. Lalu untuk apa aku hidup?”

Dan belati itu pun menembus jantungnya. Mengakhiri hidupnya yang tragis dan penuh penyesalan. Dengan darah yang bercampur dengan air mata.
***
part 1, The Curse Begins, end.
«134

Comments

  • cerita colosal yah. seru juga. konflik batin c putra bangsawan kurang banyak. hehe..

    ditunggu apdet selanjutnya..
  • Seru... Kangen nih q dengan ceritanya @zalanonymouz
  • mana nih lanjutannya??
  • keren..mana cerita lainnya.
  • Cerita baru nih, monggo di lanjut...
  • Mana nih cerita selanjutnya....
  • waduh maap nih tmn2, aku sibuk bgt akhir2 ini, plus aku ada cerita lain yg msh dlm pngerjaan, jadi crita ini agak terabaikan. smoga tmn2 mrasa nyaman dgn critaku kali ini yg mngkin agak aneh. trimakasih jg dah mau baca :)
  • dikit dulu ya..

    The Curse Part 2, The Curse is Real


    Evan menutup buku berjudul “The Curse” itu dan setengah melemparnya di meja. seorang lelaki paruh baya berjalan dari arah belakang dan duduk di depannya sambil mengambil secangkir teh.

    “bagaimana kisahnya?”tanya pria itu sambil menghirup tehnya.

    Evan mengangkat alisnya sambil menghembuskan nafasnya, “yah.. menggelikan sebenarnya. Pecinta lelaki? Heh..”

    Lelaki paruh baya itu tersenyum di bibir cangkir tehnya. Ia meletakkan lagi cangkir itu dan terkekeh pelan.

    “apa yang lucu yah?”tanya evan sedikit heran.

    “harusnya ayah yang bertanya padamu, apa yang lucu?”

    Evan mengangkat alisnya, “Tentu saja buku ini. Ini adalah cerita paling konyol yang pernah aku baca”

    Ayah Evan tersenyum lalu menatap serius ke arah evan. “apa kau pernah jatuh cinta, nak?”

    Evan tampak menahan tawa, “tentu saja, kalau tidak, bagaimana aku bisa menggandeng Milady?”

    “lalu, kira-kira apa yang kau rasakan jika Milady adalah seorang lelaki. Sama sepertimu?”

    Evan terdiam. Senyumnya seketika hilang. “aku tidak mungkin mencintai milady jika ia seorang lelaki.”

    “tapi bagaimana jika kau ternyata mencintainya?”

    “itu tidak mungkin yah.”

    Ayah evan tersenyum lalu beranjak dari kursi berlengannya. “dalam sebuah cerita, semuanya bisa menjadi mungkin, nak. Saat kau membaca sebuah cerita, kau harus menganggap semua yang ditulis itu adalah benar dan kau ada didalamnya.”

    Evan mencoba mencerna kata-kata ayahnya dan mengambil cangkir tehnya. Ia menoleh sesaat ketika ayahnya menepuk pundaknya.

    “percayalah nak, ketika cinta tumbuh, kau tidak akan bisa terlepas darinya. Dan cinta bisa tumbuh pada siapa saja.”

    Evan menatap heran kearah ayahnya,”apa termasuk pada sesama jenis?”

    “bisa jadi. hahaha” Ayah evan pun tersenyum nakal lalu berjalan meninggalkan ruangan.

    Evan hanya menggeleng-gelengkan wajahnya dan kembali mengangkat cangkir tehnya.

    “tapi jika itu sampai terjadi padamu, percayalah, kau akan bernasib sama seperti tokoh dalam cerita itu!” seru ayah evan dari kejauhan.

    Evan seakan ingin tersedak mendengar kata ayahnya itu. “dasar kaktus tua, bicara sembarangan saja”

    Evan masih tersenyum-senyum kecil saat menyusuri jalanan kota. Kisah yang ia baca tadi cukup konyol untuknya. ‘kenapa harus mengutuk orang menjadi ‘pencinta sejenis’? kenapa tidak mengutuknya menjadi monster saja?’

    “hei... “

    Tiba-tiba saja dari arah belakang ada seseorang yang menepuk pundaknya dan bergelayut manja di bahunya.

    “hei.. gadis nakal, apa yang kau lakukan disini?” tanya evan yang kini meraih tangan milady dan menggaetkannya pada lengannya.

    Gadis itu tersenyum manis,”harusnya aku yang bertanya, ingin kemana kau dengan wajah seperti itu?”

    Evan mengeryitkan alisnya,”hmm? Memang ada yang salah dengan wajahku?”

    Milady tersenyum lagi, “tidak, kau sempurna..” ujarnya sambil menyandarkan pipinya pada bahu evan.

    Evan hanya tertawa kecil. Sambil berjalan, dengan gemas ia mencubit pipi milady.

    “BRRUK..!”

    Tiba-tiba bahu Evan tertubruk oleh seseorang. Evan yang tersinggung segera saja berbalik dan berteriak pada orang yang menabraknya.

    “hei! “

    Seketika orang itu membalikkan badannya, seorang pemuda dengan usia kira-kira sebaya dengan Evan.

    “ma.. maaf tuan, saya tidak sengaja.”ucapnya gugup sambil membungkuk-bungkuk.

    Untuk sejenak evan masih memandanginya dengan tatapan marah, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menahan kemarahan di dadanya.

    “sudah.. lupakan saja, kamu juga yang salah evan..” ujar milady sambil memegang bahu evan untuk berbalik.

    Evan hanya diam dan menuruti kata-kata milady. Ia pun berbalik dan kembali melanjutkan jalannya bersama milady.

    “ckck... jangan terburu amarah, sayang..”ujar milady kalem sambil mengusap lengan evan.

    “iya..”jawab evan dengan senyum tipis.

    Mata evan kembali menerawang jalan didepannya dengan kosong. Entah kenapa hatinya tidak tenang. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan pemuda itu. Namun dia segera memejamkan matanya rapat-rapat dan menghapus perasaannya itu dan kembali mencoba menikmati waktunya bersama milady.
    ***

    Hari sudah berganti menjadi malam ketika evan baru saja mengantarkan milady pulang ke rumahnya. Ia lihat kereta pribadinya sudah menjemput dan menantinya di depan gerbang. Dengan agak keras ia jatuhkan tubuhnya di kursi kereta. Kakinya letih sebab telah menemani milady berjalan berkeliling kota, mengunjungi butik satu ke butik lain, restoran, dan taman kota. Milady memang gadis yang aneh, dia tidak terlalu suka mengendarai kereta hanya untuk berjalan-jala di kota. Dia lebih suka berjalan kaki dan menggaet lengan evan, berjalan dibawah satu payung.

    Kereta sudah berjalan dengan pelan. Evan bisa mendengar suara tapak sepatu kuda yang berirama. Dia alihkan perhatiannya pada jalanan kota yang mulai sepi. Perlahan matanya terasa agak berat dan sesekali pandangan evan meredup. Letih yang hebat sudah menggantung di kelopak mata dan menindih tubuhnya. Hingga mata evan menangkap sosok yang ia kenal. Seketika mata evan kembali terang. Ia palingkan wajahnya dari jendela.

    ‘dia.. dia orang yang menabrakku tadi..’ gumam evan dalam hatinya yang perlahan mulai berdegub kencang.

    Untuk sejenak evan terdiam tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hingga ia mengetuk dinding kereta dan berkata agak lantang pada kusir.

    “berhenti!”

    Langkah kuda pun terhenti oleh komando dari si kusir, dan evan pun segera turun dari kereta. Dia berdiri disana dengan memasukkan kedua tangannya yang dingin dalam saku mantelnya. Dia menunggu kedatangan si pria yang menabraknya tadi. Rupanya kereta evan sudah agak jauh meninggalkannya.

    Perlahan sosok pria itu semakin dekat. Evan bisa melihat wajah pria itu yang agak canggung saat melihat kehadirannya. Begitu juga evan yang semakin canggung saat pria itu semakin mendekat.
    Hingga akhirnya pria itu berjalan di depan evan dengan wajah menunduk.

    “hei..” panggil evan padanya.

    Pria itu menghentikan langkahnya. Dengan ragu ia membalikkan badannya kearah evan. Masih menunduk.

    Dalam temaram lampu jalan evan memperhatikan sosok pria itu. Jaketnya yang berwarna coklat sudah lusuh dan terlihat beberapa jahitan di beberapa tempat sempat membuat evan merasa iba. Evan pun mengulurkan tangannya pada pria itu. Pria itu sepertinya cukup kaget ketika melihat uluran tangan evan.

    “aku.. minta maaf, atas kejadian tadi siang.”ujar evan datar.

    Perlahan pria itu mendongakkan wajahnya. Lagi-lagi muncul perasaan tidak nyaman di dada evan saat melihat wajahnya.

    “aa.. ayo.. aku sudah meminta maaf padamu!”ujar evan sambil menghentakkan lagi tangannya yang belum disambut pria itu.

    Pria itu pun menyambut tangan evan. “y..ya tuan.. saya yang salah, seharusnya saya yang minta maaf.”

    Untuk sejenak evan terdiam saat tangan mereka saling bertemu. seperti ada suatu perasaan hangat mengalir dari tangannya menuju jantungnya.

    “ya sudah, bagus kau sudah sadar. berarti tidak ada masalah lagi. Aku pergi.” Evan dengan cepat melepas tangan pria itu dan berbalik menaiki kereta.

    “jalan!” ujar evan lantang dari dalam kereta.

    Kereta itupun berjalan meninggalkan pria itu. Sesaat, evan melihat pria itu dari jendela. Pria itu masih berdiri disana memandanginya sambil tersenyum. Evan tidak membalas senyuman itu dan menutup tirai jendela keretanya.

    Di dalam kereta itu, mata evan menerawang kosong. Letih hebat yang ia rasakan tadi telah pergi entah kemana. Dengan perlahan ia mengangkat telapak tangan yang disalami pria tadi. Ia rasakan telapak tangannya agak berdebu. Ya, tangan pria itu tadi begitu kasar dan berdebu. Mungkin dia bekerja di pekerjaan kasar seperti kuli, tukang kayu atau yang lainnya.

    Evan pejamkan lagi matanya rapat-rapat dan ia kepalkan telapak tangannya itu. Hingga ia turunkan lagi tangannya dan membiarkan matanya terpejam, merelakan kantuk dan letih menguasai tubuhnya. Berharap kejanggalan di hatinya itu turut hilang disantap letih. meskipun, samar-samar wajah lelaki itu bersinar temaram di kegelapan rongga matanya yang terpejam.
    'ada apa dengan lelaki itu? atau.. ada apa denganku?'
    ***

    Mata evan agak silau ketika cahaya mentari pagi membasuh wajahnya. Dengan perlahan ia buka matanya dan ia bangun. Samar-samar ia mendengar suara pelayan dari balik pintu.

    “tuan, tuang besar sudah menunggu andan untuk sarapan..”

    Evan menghembuskan nafasnya dengan berat. Ia pun beranjak dari ranjangnya yang nyaman dan segera bersiap untuk mandi.
    Setelah ia telah selesai berbenah diri, ia keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan.

    Di ruang makan, tampak ayahnya sedang sibuk mengunyah makanannya. Melihat kedatangan anaknya, ia segera menelan makanan di mulutnya.

    “lama sekali kau! Terpaksa ayah makan dulu.”tegur ayah evan.
    Evan hanya diam dan menggeser kursi lalu mendudukinya.

    “biasanya juga begitu, bukan?”

    “berbeda, kali ini kau lama sekali. Apa saja yang kau lakukan semalam?”

    Evan yang semula hendak mengambil minuman, untuk sesaat menghentikan gerakannya. Lalu ia kembali meraih minuman dan meminumnya.

    “tidak ada, aku hanya letih setelah menemani Milady berbelanja.”jawab evan datar.

    Ayah evan sontak tertawa kecil, “hahaha.. kau harus kuatkan dirimu nak, milady adalah gadi yang kuat. Kau jangan sampai kalah dengannya.”

    Evan menanggapi gurauan ayahnya dengan senyum tipis sambil tangannya sibuk mengiris daging panggang di piringnya.

    “hei..”

    Evan menoleh mendengar suara ayahnya. Ia lihat tubuh ayahnya sudah condong ke arahnya.

    “ada apa yah?”tanyanya.

    “kau tahu, ayah akan mendapat sesuatu yang lebih berharga daripada 100 peti emas, nanti malam..!”wajah ayah evan tampak bersinar.

    “apa? Jangan katakan ayah menerima suap!”tuduh evan.

    “hahahaha.. tentu saja tidak!”ujar ayah evan sambil terbahak.

    “lalu apa?”

    Sejenak ayah evan menhentikan tawanya dan mengiris lagi daging panggang di piringnya.

    “nanti malam kau akan tahu.”

    Evan mendengus mendengar jawaban ayahnya. Apapun yang ayah evan coba sembunyikan biasanya bukan sesuatu yang besar. Evan memlilih untuk tidak memikirkannya dan kembali menyantap makanannya.

    Sementara itu ayah evan berdendang pelan sambil mengunyah makanannya.

    “jangan bersenandung saat makan yah!”
    ***

    Suara langkah derap kuda dan kereta evan menggema pelan di jalanan kota. Tampak evan termenung di dalam kereta. Entah kenapa dia sedang tidak ingin mengunjungi milady hari ini. Masih belum hilang rasa letih yang menderanya dan ia tidak ingin menambah rasa letih itu. Yang ia butuhkan adalah menikmati suasana kota sendiri dan menikmati minuman di sebuah kedai minuman favoritnya.

    “sudah sampai tuan.”ujar si kusir sambil membukakan pintu kereta.

    Evan pun turun dari kereta itu dan membenahi pakaiannya sebelum memasuki kedai. Tiba-tiba dari evan mendengar suara keributan. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah suara ribut itu.

    “hei..! bagaimana kau ini! Sudah kubilang hati-hati, kenapa masih ceroboh juga?!”

    Tampak seorang lelaki gendut memarahi seorang lelaki kurus yang sibuk membungkukkan badannya. Di dekat kakinya tampak beberapa karung gandung yang tumpah dan berceceran isinya dan lelaki kurus itu berusaha memunguti gandunm itu dengan tergesa-gesa.

    “sekarang bagaimana ini?! Ini gandum kelas atas, meski kau pungut lagi, kualitasnya juga pasti menurun. Pembeli pun tak akan mau beli! Kau tahu harga sekarung gandum ini?!! Bahkan gajimu setahun tak akan mampu membelinya!"

    Lelaki itu tampak mengangguk-angguk sambil terus memunguti gandum itu. Sejenak evan terdiam. Dia merasa mengenali sosok lelaki itu. Dengan perlahan ia berjalan mendekat.

    “hei! Sudah kubilang percuma!! Sekarang kau ganti saja gandum itu!”bentak lelaki gendut itu.

    Lelaki itu masih terus memunguti gandum yang tercecer.

    “sudah kubilang percuma!”

    Dengan keras, lelaki gendut itu menendang karung berisi gandum yang lelaki pungut itu hingga isinya berhamburan lagi. Lelaki itu tampak termenung dan menunduk memandangi bulir-bulir gandum yang tercecer di tanah.

    “kau harus membayar sekarung gandum itu, bagaimanapun caranya! Dan satu lagi, mulai sekarang kau tidak bekerja disini lagi! “ bentak pria gendut itu sambil menunjuk-nunjuk wajah lelaki kurus yang tertunduk.

    “cukup!”

    Seketika keributan itu berhenti. Seluruh mata yang tadinya tertuju pada pria gendut dan lelaki kurus itu kini berpaling pada sumber suara itu.
    ***


    bersambung.
  • yaahhh kentang lagi
    berhentiii>>>>>!!!
  • jiahhhh... benar benar berhenti... lanjut capcus cyinn.. ;))
  • Terusin...
  • Ih parah beut, d potongnya pas seru
    Ih lanjut atuh kang
    Pliiissss
  • “cukup!”

    Seketika keributan itu berhenti. Seluruh mata yang tadinya tertuju pada pria gendut dan lelaki kurus itu kini berpaling pada sumber suara itu.

    Tampak evan berjalan menembus kerumunan dan menghampiri pria gendut yang segera membungkukkan badannya dengan gugup.

    “tuan..”ujarnya lirih.

    Begitu juga orang-orang lain menunduk padanya, seorang putra walikota yang terhormat.

    Perlahan lelaki kurus mendongakkan wajahnya. Ia mengenali suara itu dan ia sedikit terkejut melihat sumber suara itu adalah orang yang semalam menjabat tangannya.

    Evan menangkap pandangan lelaki kurus itu dan ia palingkan lagi pandangannya pada si pria gendut.

    “ada apa ini?” tanya evan dengan nada datar khas dirinya.

    “err.. begini tuan, lelaki ini telah menjatuhkan dan membuat gandum berkualitas tinggi saya tercecer di tanah. Tentu saja ini membuat saya rugi, tuan.”

    Evan terdiam sesaat. Dia membungkukkan badannya di depan wajah lelaki kurus itu dan memungut beberapa gandum yang tercecer. Tampak lelaki kurus itu menunduk saat evan membungkuk di depannya.

    Sejenak evan memperhatikan bulir gandum itu.

    “gandum ini tampak biasa saja. Apa yang membuatnya begitu mahal? Bukankah kau masih bisa membersihkannya?”

    Si pria gendut hanya menunduk malu dan tidak bisa menjawab pertanyaan evan. Melihat gelagat si pria gendut, evan mendengus kesal. Dia membuang bulir gandum yang tadi ia pegang lalu merogoh sakunya.

    “berapa kerugianmu? Biar aku yang membayarnya.”

    Sontak seluruh orang yang berkumpul disana menjadi terkejut. Suara-suara bisikan menciptakan suatu dengungan pelan di sekitar tempat itu. Tampak pria gendut melongo heran, begitu juga lelaki kurus yang mendongakkan wajahnya pada evan dengan tatapan tidak percaya.

    Evan terkenal sebagai putra walikota yang dingin. Dia tidak pernah mengungkapkan emosinya keluar dan bersikap hangat pada rakyat. Meskipun diketahui bahwa evan beberapa kali menyumbangkan sebagian hartanya pada rakyat miskin, itupun dilakukan oleh bawahannya. Dia tidak pernah turun tangan langsung.

    Oleh karena itu, sikapnya kali ini membuat rakyat menjadi heran. Evan mau berbaik hati pada seorang lelaki menyedihkan di jalanan? Ini seperti mimpi.

    “hei, aku tanya berapa kerugianmu?” sentak evan.

    Si pria gendut tampak terkejut dari kebingungannya. Dengan canggung ia tersenyum sambil membungkukkan badan. “tidak perlu tuan, ini tidak ada hubungannya dengan tuan..”

    “tentu ini ada hubungannya denganku. Sikapmu tadi membuatku muak hingga menghilangkan selera minumku.”
    Kata-kata yang diucapkan dengan nada datar oleh evan membuat wajah si pria gendut menjadi pucat.

    “aku tidak suka keributan. Jadi lebih baik kita selesaikan masalah ini dan aku bisa minum dengan tenang.”tambah evan.

    Tampak mata si pria gendut bergerak-gerak bingung. Hingga akhirnya ia tersenyum tipis pada evan. “er.. ya tuan, anggap saja masalah ini tidak pernah terjadi. Saya tidak akan memungut bayaran, tuan..”

    Evan memandangi dengan tajam mata si pria gendu itu. Lalu ia alihkan matanya pada dompetnya dan ia keluarkan sejumlah uang pada si pria gendut itu.

    “tu... tuan.. saya tidak memungut bayaran tuan.. dan jumlah uang ini juga terlalu besar..” ujar si pria gendut saat melihat segepok uang yang disodorkan padanya.

    “ini bukan untuk gandum itu. Ini untuk membebaskan budakmu itu.”
    Mata evan menunjuk pada lelaki kurus yang masih berlutut di dekat kakinya itu. Lagi-lagi muncul dengungan dalam kerumunan itu.

    Evan kembali menyentakkan uang di tangannya di hadapan si pria gendut.
    “terima atau kubuang uang ini di tanah!”sentaknya.

    Si pria gendut pun dengan ragu menerima uang itu. Dan setelah itu ia menengok ke sekeliling kerumunan.
    “sudah.. sudah... pergi.. pergi sana.. tidak terjadi apa-apa disini!” ujar si pria gendut sambil mengusir kerumunan.

    Kerumunan itupun berangsur memecah dan pergi, masih dengan berbisik-bisik. Sementara itu si pria gendut itu tersenyum pada evan sambil membungku-bungkuk.
    “terimakasih tuan..”

    evan tidak menggubrisnya dan ia berbalik menuju kedai minuman yang tadi ingin ia kunjungi. Namun baru beberapa langkah kakinya melangkah, si lelaki kurus itu menghadangnya dan membungkuk padanya.

    “terimakasih tuan.. saya tidak tahu bagaimana saya harus membalas kebaikan tuan..”ujarnya.

    Evan diam dengan wajahnya yang datar, hingga akhirnya ia menepuk pundak lelaki itu.
    “kau bisa menemani aku minum.” Ujar evan sambil berjalan menuju kedai.

    Lelaki itu tampak terkejut. “tapi tuan, saya..”

    “kau mau, atau kau bayar uang pembebasanmu tadi?”
    Mendengar ultimatum evan, akhirnya lelaki itu pasrah dan berjalan mengikuti langkah evan.


    Di kedai, lelaki kurus itu tampak canggung, terlebih saat beberapa mata para orang berada yang melirik kearahnya dengan tatapan risih. Tampaknya lelaki itu menangkap tatapan tidak enak itu dan segera ia palingkan wajahnya dan meminum minuman yang ia pesan tadi.

    Dia memang terlihat berbeda sendiri dibanding pengunjung yang lain. Bajunya berwarna putih kusam dan terlihat beberapa lubang disana-sini. Celananya yang berwarna cokelat juga tampak kotor dan penuh tambalan dan jahitan. Kulitnya yang sebenarnya putih tertutup oleh debu dan badannya tampak kurus, meskipun wajahnya tetap tampak tampan dan polos.

    “hei.”

    Lelaki itu mendongakkan wajahnya pada evan.

    “ya tuan?”

    “aku belum mengetahui namamu sebelumnya.”

    Evan memandang lelaki itu sambil menghirup minumannya.

    “saya Fillan tuan.”

    Evan manggut-manggut mendengar jawaban Fillan. “aku Evan.”

    Fillan tersenyum kecil. “ya, saya sudah mengetahui hal itu tuan.”

    Evan tertawa kecil mendengar kata-kata fillan,”haha.. ya..ya.. tentu saja..”

    Keduanya pun tertawa kecil, lalu kembali diam.

    “ehmm.. maaf tuan, saya sudah merepotkan tuan tadi.”

    Evan yang semula menghirup pelan minumannya, kini berhenti dan meletakkan gelasnya di meja.

    “tidak perlu minta maaf dan berterimakasih, sejak awal kau memang selalu menimbulkan masalah.”

    Fillan tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia akui, dia memang agak ceroboh.

    “jadi, selama ini kau bekerja pada orang itu?” tanya evan sambil menuang minuman di gelasnya.

    “ya.. saya bekerja pada tuan Jacob sepanjang hari, dan malamnya saya bekerja di pelabuhan untuk mengangkut barang-barang.”

    Mendengar jawaban Fillan, kini evan tahu mengapa ia bisa bertemu dengan fillan malam itu. Mungkin dia baru saja pulang dari pelabuhan.

    “jadi kau.. bekerja siang dan malam sebagai kuli?”

    Fillan mengangguk.

    “apa kau tidak lelah?”

    Lagi-lagi fillan tersenyum mendengar pertanyaan evan, “lelah itu pasti. Tapi itu lebih abik daripada mati kelaparan, bukan?”

    Evan terkekeh. Meski ada sedikit rasa iba di dadanya.

    “lalu, bagaimana? Kudengar tadi Jacob memecatmu.”

    Senyum fillan kini berubah menjadi getir. Dia alihkan pandangannya pada gelasnya dan ia raih gelas itu lalu memainkannya.

    “entahlah, tapi masih banyak pekerjaan disana yang bisa aku masuki. Kuli adalah pekerjaan yang mudah dan hampir semua orang membutuhkannya. Jadi, aku tidak perlu khawatir lagi.”

    Evan tersenyum, menganggap kata-kata fillan itu lucu baginya. Ia tahu jika di kota, tidak semudah itu mendapatkan pekerjaan. Kuli tidak hanya satu, tapi puluhan bahkan ratusan, dan jumlahnya pasti akan bertambah sedangkan jumlah lapangan pekerjaan juga tidak sebanyak itu. Fillan hanya menghibur diri ditengah rasa frustasi yang terpendam.

    “baiklah.. berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?” evan mengacungkan gelas minumannya pada fillan.

    Fillan tersenyum dengan canggung dan ia mendentingkan gelasnya pada gelas evan dan keduanya pun menenggak minuman masing-masing.

    Evan menghabiskan minumannya dengan cepat dan ia letakkan gelasnya di atas meja. ia melirik pada fillan yang masih menghabiskan minumannya.

    “jika kau butuh bantuan, kau bisa mendatangiku.”ucap evan sambil bangkit dari kursinya.

    Fillan-pun menghentikan menenggak minumannya dan memandang evan dengan heran. Sementara evan menuju si pemilik kedai dan membayar kedua minuman yang ia pesan. Saat ia berbalik fillan juga beranjak dari kursinya.

    “tuan, terima kasih atas minumannya.”ujarnya.

    “ya.”jawab evan datar sambil terus berlalu meninggalkan tempat itu.

    “tuan,,”panggil fillan lagi, membuat evan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah fillan.

    “apa lagi?”

    “er.. anda sudah terlalu baik pada saya.. saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan tuan.”

    “sudah kubilang jangan terlalu banyak berterimakasih.. suatu hari nanti aku harus membayarnya.”ujar evan sambil berpaling dan berjalan meninggalkan kedai itu. Sementara fillan masih berdiri di belakangnya dengan tatapan kagum juga heran.
    Lebih dari itu, tanpa ada yang tahu, evan menyunggingkan sebuah senyum kecil di bibirnya. Sebuah senyum yang menyiratkan sesuatu, dan hanya dia yang tahu arti senyum itu.
    ***


    Mata evan bergerak-gerak dengan malas saat menyusuri rangkaian kata-kata di buku yang ia pegang. Hingga akhirnya ia menutup buku itu dan membantingnya di meja. ia urut pelan dahinya dengan telapak tangannya. Dia bingung dengan dirinya sendiri. Kalimat-kalimat yang terangkai dengan indah pada buku yang ia baca tadi sama sekali tidak bisa ia cerna. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

    ‘apa yang salah dengan diriku?’

    Dan sekali lagi, bayangan sosok fillan kembali muncul di benaknya. Lelaki dengan rambut hitam, mata kelabu cerah, wajah yang cerah dan halus bak dipoles. Dia tampak begitu menyenangkan untuk dipandang dan begitu sulit untuk dilupakan. Dengan pakaiannya yang lusuh dan tubuhnya yang tertutup debu bahkan tidak bisa menutupi kerupawanan lelaki itu. Entah kenapa dia tampak seperti sebuah patung mahakarya Michael Angelo yang terbungkus kain lusuh.

    Dengan cepat evan memejamkan matanya rapat-rapat dan ia urut pelan dahinya. Untuk sekian kali ia coba hapus bayangan itu. Bayangan wajah fillan semakin sering muncul dan semakin jelas, tidak sekedar bayangan kabur seperti saat pertama kali bertemu. Mata lelaki itu, yang berwarna abu-abu cerah, berhasil menarik perhatian dan pikiran evan.

    Evan pun beranjak dari kursi malasnya dan melangkah gontai menuju beranda. Langit tampak gelap dan bintang bertaburan dengan mewahnya, dan bulan bertengger anggun, berpendar putih suci membasuh wajah evan yang getir.

    Agak lama mata evan menerawang bulan itu. Bulan yang masih setengah bulat. Pada bulan, evan menanyakan seluruh kegundahan yang ada di hatinya. Tentang pemuda yang cukup mengusik pikirannya.

    “evaann..!!”

    Evan tersadar dari lamunannya karena suara yang ia kenal. Ia pun palingkan pandangannya dari langit dan berjalan kembali menuju ruang baca.

    Pintu ruang baca terbuka dengan kasar dan muncul sosok ayah evan datang dengan tergesa-gesa. Evan mengeryitkan alisnya melihat ayahnya. Ayah evan datang dengan sebuah peti kecil ditangannya dan wajahnya tampak bersinar cerah.

    “ada apa yah? Ini sudah malam, kenapa berisik seperti itu?”tanya evan sambil menghampiri ayahnya yang berjalan menuju kursi.

    Di kursi malas, ayah evan duduk dan meletakkan peti ditangannya di atas meja. evan pun duduk di depan ayahnya. Evan bisa melihat peti kecil dari kayu berpoles dengan beberapa ornamen sulur-sulur emas di beberapa sudutnya.

    Ayah evan tidak menjawab pertanyaan evan dan hanya tersenyum riang. Dirogohnya saku celananya, sementara evan masih menatap peti itu dengan penuh selidik.

    “ini apa?” tanyanya.

    Ayah evan melirik mata evan sesaat lalu tersenyum lagi sambil mengeluarkan sebuah kunci kecil yang agak berkarat.

    “kau akan mengetahuinya sendiri.”ujar ayah evan sambil memasukkan kunci itu kedalam lubang kunci di peti kecil.

    ‘klik..’ peti itu terbuka.

    Mata ayah evan tampak makin bernafsu. Dengan perlahan ia ulurkan tangannya pada tutup peti itu dan ia buka perlahan.
    Evan tampak makin penasaran dengan isi peti itu, sementara dia tidak bisa melihat isi peti.

    “akhirnya..” bisik ayah evan pelan.

    “ada apa yah?” tanya evan yang semakin penasaran dan mencondongkan tubuhnya untuk bisa melihat isi peti itu.
    Dan akhirnya mata evan berhasil menangkap kilau benda di dalam peti itu. Sebuah belati yang tampaknya terbuat dari perak. Di pegangannya tampak seperti sebuah tulisan. Begitu kecil hingga evan tidak bisa membacanya.

    “belati?”

    Ayah evan masih terpaku pada belati itu. Dengan hati-hati ia angkat belati itu dan ia dekatkan pada wajahnya.

    “ini bukan belati biasa evan.. butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk menemukan belati ini.”

    evan menggaruk-garuk pelipisnya yang tidak gatal dengan ujung telunjuknya saat mendengar kata-kata ayahnya yang kini tengan mengelus pelan mata belati itu. Di mata ayahnya terlihat sinar antusias yang begitu kuat pada belati itu.

    “sebenarnya apa keistimewaan belati itu hingga ayah dapat begitu gilanya pada benda itu?”

    Ayah evan menoleh pada evan sesaat lalu ia berdiri dan berjalan mengambil kaca pembesar di sebuah rak lalu ia kembali di kursi. Ia sorot ukiran tulisan pada pegangan belati itu.

    “ini adalah belati yang dimiliki oleh walikota pertama kota ini, leluhur kita. Lord Louis Ivanesch Pavell.” Ujar ayah evan sambil membaca tulisan di pegangan belati itu.

    “hanya itu? Hanya karena itu peninggalan walikota pertama? Heh..” evan kembali merebahkan dirinya di kursi malas sambil tersenyum sinis.

    Mata ayah evan menyorot marah ke arah evan, “tidak hanya itu! Belati ini merupakan hadiah dari Ratu yang sekaligus menjadi tanda berdirinya kota ini!”

    “ooh..” evan menunduk sambil tersenyum.

    “masih ada satu lagi..!”

    Mata evan kembali menatap ayahnya.

    “ayah tahu, bagimu ini mungkin lucu, tapi konon, belati ini adalah belati yang muncul dalam kisah ‘The Curse’ yang kau baca waktu itu.”

    Jantung evan seakan berhenti sesaat. Matanya bergetar pelan menatap ayahnya. Tidak ada tanda kebohongan dalam mata ayahnya.

    “maksud ayah? Ayah ingin bilang jika kisah itu.. nyata?” tanya evan sedikit ragu.

    “begitulah kata orang-orang.. lord pavell diketahui memiliki seorang putra, namun dia diusir oleh Lord Pavell karena membangkang pada orang tua. Cukup lama dia menghilang, hingga akhirnya tubuhnya ditemukan telah tak bernyawa dengan belati ini menancap didadanya. Cukup mirip kan? Banyak yang menduga, alasan putra lord pavell itu diusir karena memiliki kelainan seksual, tapi entahlah.. sampai saat ini tidak ada bukti yang mendukung dugaan tersebut, meskipun banyak orang yang mengira belati ini adalah belati yang sama yang ada dalam kisah The Curse dan menganggap cerita itu nyata.” Terang ayah evan.

    Evan menatap wajah ayahnya dengan tatapan kosong. Jari jemarinya mengepal dan bergetar.

    “apakah.. ayah mempercayai anggapan itu? Bahwa kisah itu nyata?” tanya evan dengan ragu, jantungnya berdegub tidak teratur selama menunggu jawaban ayahnya.

    Ayah evan berdiri dari kursinya dan berjalan ke sebuah lemari kaca. Ia buka lemari itu dan meletakkan peti berisi belati itu di dalamnya. “ayah mencoba untuk percaya, evan. Mengetahui bahwa belati ini pernah mencicipi darah seorang pemuda yang terkutuk, bahwa belati itu telah menjadi legenda selama ratusan tahun... itu adalah hal yang paling mengesankan bagi kolektor benda antik sepertiku. Namun aku juga tidak bisa menampik fakta, bahwa hal itu tidak pernah terbukti. Kisah The Curse sendiri tidak diketahui siapa nama penulisnya, jadi aku hanya bisa menghayal bahwa hal itu benar. Seperti saat kau terbangun dari tidurmu dan menyadari bahwa semua yang kau lakukan sebelumnya hanyalah mimpi.”

    Evan terdiam di kursinya. Kata-kata ayahnya mampu membuat gemetar di tangannya berhenti.

    “hei.. kenapa kau tidak tertawa? Tidakkah hal yang kubicarakan tadi cukup lucu untukmu?”tanya ayah evan yang kini berbalik dan berjalan menuju kursi di depan evan.

    Evan menundukkan wajahnya sejenak dan memilin jari-jemarinya. “entahlah, kurasa hal itu tidak sekonyol yang kubayangkan.”

    Ayah evan mengeryitkan alisnya sambil tersenyum tipis. “oh ya? Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?”

    Evan menoleh pada ayahnya yang mengerling tanda ia harus menjawab. Evan pun menghembuskan nafas agak panjang lalu berkata, “aku mencoba merenungkan kata-kata ayah sebelumnya. Bahwa saat membaca suatu kisah, kita harus menganggap apa yang terjadi di dalam kisah itu benar adanya. Aku mencoba untuk memahami perasaan dan keadaan sang putra bangsawan. Aku juga mencoba merefleksikan pada diriku sendiri. Saat kau melihat seseorang, dan kau merasa tertarik padanya hingga akhirnya kau dilanda cinta gila padanya.. mungkin hal itu tidak mustahil jika kita terjebak dalam cinta itu. Siapapun dia, kita tak akan mampu lepas darinya. Bukankah begitu yah?”

    Mendengar penjelasan dari anak semata wayangnya itu, ayah evan menjentikkan jarinya. “tepat sekali. Tepat sekali evan.. terlepas apakah dia berbeda jenis kelamin atau tidak, dan bila cinta bisa hinggap pada siapa saja, begitu kita terlanjur jatuh cinta pada seseorang, kita tak kan bisa begitu saja lepas dari cinta itu, meskipun kita tahu hal itu salah. Semakin dalam cinta mengakar di hati kita, makin dalam pula luka yang dihasilkan jika kita paksa tarik cinta itu. Begitulah kejamnya cinta nak.. terutama cinta yang buta, yang tidak melihat perbedaan kelamin, status sosial, ekonomi, kepercayaan dan lain sebagainya. Tapi kau harus menggaris bawahi yang pertama, perbedaan kelamin. Itu penting sekali.”

    Evan memperhatikan dengan seksama penjelasan ayahnya. Tidak pernah ia seserius ini menanggapi kata-kata ayahnya, namun kali ini dia merasa dia harus memperhatikan.

    Ayah evan pun melanjutkan kata-katanya, “diantara berbagai rintangan yang ada, cinta yang melanggar batasan gender, cinta sesama jenis, merupakan hal paling mustahil yang pernah ada. Tidak ada toleransi tentang hal itu. Ketika seseorang lelaki memiliki ketertarikan khusus terhadap lelaki lain, hidupnya tidak akan tenang. Hidupnya akan dihantui oleh kegelisahan, kesedihan, dan penyesalan pada hidup. Mengapa? Karena dia tahu dia tidak akan mendapat cinta yang ia inginkan. Lelaki yang ia dambakan belum tentu memiliki ketertarikan yang sama dengannya. Belum lagi reaksi masyarakat. Jika masyarakat tahu, dia ‘menyimpang’ bisa-bisa dia akan dikucilkan, dipandang sebelah mata dan beberapa orang akan takut padanya. Mengerikan bukan? Itulah kenapa kutukan itu yang dipilih. Bukan dikutuk untuk sakit, berubah menjadi sosok mengerikan, atau bahkan mati. Penyihir itu ingin membuat sang putra bangsawan dapat merasakan penderitaan yang lambat. Penyihir itu ingin ia merasakan menderitanya dicampakkan oleh orang yang ia cintai, dikucilkan oleh orang lain karena telah kotor dan tidak bisa kembali lagi.”

    Ayah evan menghentikan kata-katanya dan menuangkan teh yang tersedia di depannya di cangkir. Sementara evan mendengarkan ayahnya dengan seksama, meskipun sebenarnya di bawah meja, tangannya kembali gemetar. Ketakutan sedikit demi sedikit mulai menjalar di tubuhnya.

    “lalu... jika ayah berada di posisi sang putra bangsawan, apa yang ayah akan lakukan?”

    Ayah evan mendongak ke arah evan saat ia sedang menhirup tehnya. Ia pun menelan tehnya dan meletakkan cangkir di atas meja.

    “hmm... itu bukan hal yang mudah. Hidup dalam situasi seperti itu, diperlukan kekuatan yang sangat besar. Mungkin satu-satunya cara adalah dengan pencegahan.”

    “pencegahan?”

    “ya, jangan perkenankan rasa suka tumbuh subur di hatimu. Begitu ada ketertarikan pada orang yang tidak mungkin kita cintai, lupakan dia, tinggalkan dia. Jika setitik cinta mulai tumbuh, injak perasaan itu keras-keras. Karena jika kau terlena, dan rasa suka tumbuh subur menjadi rasa cinta, kau tidak akan bisa lepas dari itu. Percayalah, itu akan sangat sulit dan menyiksa. Mungkin hanya kematian yang bisa membunuh cinta itu. Setidaknya itulah yang sang putra bangsawan pikirkan.”

    Ayah evan kembali meraih cangkit tehnya. Sementara evan terdiam seribu bahasa. Matanya menerawang kosong pada peti di lemari penyimpanan. Peti yang terbuka dan sebuah belati perak yang berpendar angkuh di dalamnya.

    ‘apakah ini? Apakah yang kurasakan ini adalah ‘sesuatu’ yang ayah bicarakan ini? Jika kisah itu benar-benar nyata.. apakah aku.. apakah aku terkutuk?’
    ***
    bersambung
  • Koq gak di mensen yak ?...

    Lanjooot... Hehe
  • @4ndh0, hehe maap, pertama krn aku g smpat,
    kedua krn aku g enak sm kalian, kesanx aku maksa kalian baca critaku ntar..
    maaf yoo... :)
Sign In or Register to comment.