BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Bahasa Tanpa Kata By Desem

edited August 2012 in BoyzStories
ni cerpen nasibnya juga sama dengan cerpen sebelumnya. ditunggu komentarnya. terima kasih.


Malam semakin dalam mencengkramkan kuku-kukunya yang beku ke tulang belulang orang-orang yang kalah. Membuatnya meringkuk nyaman di bawah kehangatan selimut tebal. Melenakannya dengan sejuta mimpi esok hari. Tapi tidak bagi kami. Nafas kami saling beradu, jantung kami saling berpacu. Keringat bercucuran membahasahi tubuh kami yang membara. Tanda bahwa metabolism tubuh kami sedang meningkat. Dia tersenyum dengan matanya yang memendar jenaka. Aku membalasnya. Dan dia semakin menenggelamkan tubuhku dalam rangkulannya. Dan aku semakin terbius oleh aroma kejantanannya.

Namanya Rengga Pabrev Kamardikan. Kami bertemu bulan Mei tahun lalu. Saat itu aku sedang bingung sekaligus marah. Kawan-kawan yang mengajakku telah meninggalkanku sendirian di tengah keramaian festival Malang Tempo Doeloe.

“Jiiyan…”umpatku dalam hati, tapi tak kuteruskan. Aku tak terbiasa dengan kata J, meskipun di Surabaya itu sudah menjadi sapaan sehari-hari. Apa yang bisa kuperbuat selain terus menunggu mereka di depan Gereja, seperti kesepakatan sebelumnya.

Malam semakin larut, dinginnya udara malam kota Malang semakin menusuk, dan kawan-kawanku masih tak tentu di mana rimbanya, sementara beberapa stand sudah mulai tutup. Muda-mudi di sekitarku pun mulai menghilang satu satu, entah mereka pulang, entah pindah ke tempat yang lebih ‘memungkinkan’. Dan aku masih mematung di depan gereja sendirian.

“Mau?” Tawarnya saat itu sambil menyodorkan gulali merah bertabur wijen. Sempat curiga sih, di jaman sekarang yang serba duit dan penuh dengan kriminalitas, mana ada orang menawarkan sesuatu tanpa hidden agenda di baliknya.

“No such things as free lunch, begitu kira-kira kata orang Amerika. Nggak ada makan siang gratis.” Sambungnya seperti bisa membaca pikiranku. “Tapi tenang, gua bukan orang Amerika koq Bro. Gua asli Bandung.” Matanya ramah, ada pendar ketulusan di dalamnya. Dan itulah yang kubutuhkan saat ini, saat kawan-kawanku hilang entah ke mana. Aku mengambil lolly pop tradisional itu. Masih ada ragu saat aku mulai mengulumnya, jangan-jangan ada mantra gendamnya. Ah tapi peduli amat, toh aku tidak membawa barang berharga selain hape bundas. Tapi gimana kalo ternyata dia menginginkan tubuhku? Jangan-jangan dia akan memotong-motongnya dan menjual bagian per bagian?

“Tenang, gua juga bukan pemburu dan penjual organ manusia.” Ups… koq dia bisa tahu yang ada di dalam pikiranku? “Hahah… Cuma menebak aja, kau terlalu mudah ditebak dari raut wajahmu.”

“ Mmm…” Aku hanya bergumam, mencoba menikmati gulali merah yang mulai lumer di mulutku.

”Nikmatilah Loly pop dengan sepenuh hatimu, karena kamu akan merasakan sensasi yang sangat sensual saat bibirmu mulai menyentuhnya untuk pertama kali, dan ketika lidahmu bermain di setiap bagian itu akan terasa asam dan manis, tekstur warnanya membuat kamu akan semakin bergairah untuk segera melumat dan mengahabiskannya hingga jilatan terakhir

“Ini kan gulali”protesku datar.

“Hehehe…lu punya selera humor juga.”balasnya.

“Rengga…” sambungnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Rengga Pabrev Kamardikan…”lanjutnya saat aku menyambut tangan kanannya. “elu?”

“Panggil saja saya Angga” jawabku.

“hmm… Angga. Nama kita mirip, mungkin kita jodoh.” Katanya asal. Aku hanya membalasnya dengan senyuman cegek.

“Sekaranga apa rencanamu? Masih menunggu teman-temanmu?” bagaimana dia bisa tahu bahwa aku sedang menunggu teman-temanku? Jangan-jangan dia beneran bisa baca pikiranku.

“Cuma nebak aja! Lu benar-benar orang yang polos dan mudah ditebak.” Benarkah aku semudah itu ditebak?

“Yup… lu memang orang yang mudah ditebak hahaha… pasti lu bertanya benarkah aku mudah ditebak? Ya kan?”dia menatapku tajam. Matanya yang tadi berpendar ramah sekarang berubah menjerat dan mengexplorasi.

“Nama lengkap lu Gyatso Satria Airlangga, bapak lu tentunya salah seorang penggede Unair makanya namalu ada airlangga-airlangganya. Dan tentunya ibulu seorang pemuja HAM dan pengagum Dalai Lama, makanya dia menambahkan Gyatso sebagai nama depanlu. Dipanggil Gyatso terlalu aneh untuk lidah Jawa, maka ibulu memanggilmu Ai, nama kecillu. Tapi bapaklu memanggillu Satria. Elu sendiri mungkin lebih suka di panggil…. Mmm… “dia berhenti sejenak, seperti sedang berfikir. “Lolly Pop...”

“Weekkk…” aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku atas tebak-tebakkannya yang nyaris sempurna. Tapi kenapa endingnya jelek sekali. Lolly Pop… kenapa nggak sekalian aja Gulali?

“Hahaha bercanda,” Tawanya pecah. “ Sudah lah mending lu ikut ke kost gua aja. Dekat sini koq.” Aku nggak tahu apakah ini sebuah bencana ataukah anugerah, bermalam dengan orang yang baru kukenal dan terlalu pintar menebak.

“sudah gua bilang gua bukan pemburu dan penjual organ manusia. Tapi sebagai cowok, lu terlalu polos, lugu dan manis. Gua jadi nafsu pengen merkosa lu…”

GLUDAK…

“Hahaha… bercanda koq Bro. ikut nggak?” Dia menatapku sebentar dengan tatapannya yang ramah, lalu berbalik dan meniggalkanku. Aku masih tertegun ragu.

“Kau tahu mengapa abah gua menamakan gua Rengga Pabrev Kamardikan?”dia bertanya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku, yakin banget kalo aku mengikutinya.

“Rengga sebenarnya adalah akronim dari dua kata Bahasa Jawa. Ireng dan Gagah. Ya sesuai denga fisik gua yang lu liat sekarang, hitam dan gagah. Exotis kan?” Ya sekilas dia memang menawan, atau exotis dalam bahasanya. Hitam, sebenarnya lebih tepat coklat, dan gagah. Tingginya kira-kira 170an, tidak gempal seperti bina raga, tapi kurasa liat dan atletis seperti pemanjat tebing. Bahunya lebar tapi dadanya tipis, seperti Arjuna dalam ikonografi pewayangan Jawa. Dengan kemeja slim fit yang dikenakannya, dia memang benar-benar terlihat Ireng dan Gagah. Ah aku terseret dalam permainan tebak-tebakannya.

“Pabrev dari akronim pahlawan besar revolusi. Pemberian kakekku ” jelasnya menggantung tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, seperti memberiku kesempatan untuk menebak-nebak. Hmm… pastilah kakeknya seorang penggemar Bung Karno. Mungkin dia juga lahir di bulan Juni. Aku makin tertarik dengan permainan tebak-tebakan ini.

“Abah gua yang lahir di bulan Juni. Gua bulan Agustus. Tepatnya 17 Agustus, itulah yang menjelaskan kata ketiga dari rangkaian nama gua. Nah sudah sampai, dekatkan kos gua Bro…” Akhirnya dia menoleh ke arahku.

“Kenapa kau begitu yakin aku mengikutimu?” Sepatah kalimat yang mewakili segala keherananan dan ketakjubanku atas dirinya yang ajaib.

“Karena lu, gua, kita sudah terikat.” Jelasnya bersemengat, tanganya menggenggam satu sama lain meyakinkanku bahwa kami benar-benar sudah ditakdirkan untuk terikat. “Gua tahu tentang elu, dan sebenarnya elu pun tahu tentang gua. Elu, gua, kita ditakdirkan untuk terikat!”

Krik … krik… krik… aku memandangnya cegek. Cowok yang aneh. Ah biarin lah, yang penting dia nggak ada maksud jahat. Aku pun mengikutinya masuk, pengen cepet-cepet pipis, cuci muka, sikat gigi lalu tidur. Malam itu menjadi malam pertamaku tidur berdampingan dengannya. Tentunya bukan malam terakhir. Sejak perkenalan kami yang sungguh aneh bin ajaib itu, entah karena tersugesti kata-katanya yang bagai hipnotis, aku merasa memang benar kami telah terikat sejak kami ada.

Dan sejak itu, secara rutin tiap weekend kami bergantian saling mendatangi. Kadang aku yang ke Malang, kadang dia yang ke Surabaya. Ada-ada saja yang kami perbuat jika bertemu. Mulai dari berburu noni-noni Belanda yang katanya sering keluyuran malam-malam di Aula kampusku, NIAS[ii], merekam adegan mesum di Taman Bungkul, nggodain cewek-cewek jilbaber yang sering nongkrong di Masjid Al Hikmah UM, mewawancarai tamu-tamu wisma di gang doli, hingga bermain-main dengan aparat seperti malam ini.

Ya malam ini kami mengerjakan proyek gila yang sudah kami rencanakan. Sebenarnya bukan benar-benar proyek gila buatan kami sendiri. Kami mengkopas dengan sedikit modifikasi dari ide teman-teman Bandung. Bermula dari kejengkelannya terkait audiensinya yang tak digubris dewan terkait West Madura Offshore. Dalam keyakinannya, semua energi termasuk yang tambang minyak yang ditemukan di laut sebelah barat Pulau Garam itu, seharunya menjadi milik rakyat. Penguasa, dalam hal ini Pemprov Jatim maupun Pemkab-Pemkab se-Madura hanya sebagai pengelolah. Sedangkan perusahaan swasta baik asing maupun lokal hanya sebagai pekerja. Maka sebagaimana konsepnya, minyak yang dihasilkan seharusnya menjadi milik rakyat. Pemerintah tidak berhak menjual apalagi mengambil keuntungan darinya. Apalagi perusahaan-perusahaan itu. Mereka hanya mendaptkan imbalan sesuai kerja yang mereka lakukan. Dan pada akhirnya rakyatlah yang harus menikmati energi itu secara murah, kalau bisa cuma-cuma. Kalau toh harus membayar, maka tak boleh lebih dari biaya produksi. Betapa hancurnya dia, tatkala audiensi itu, dewan malah sibuk mengatur pembagian jatah antara pemprov dan pemkab-pemkab Madura.

Dalam keadaan dongkol itulah, dia mengajakku “honey moon” ke kampung halamannya, Bandung, tanpa sepeser uang pun. Awalnya aku menolak, lha emang mau jalan kaki ke Bandung? Terus makannya darimana? Nyolong?

“Lu tenang aja lah Bro, gua bukan maling koq” seperti biasa dia menebak apa yang ada di kepalaku dan menjawabnya. “kita akan bawa ini…” katanya bangga sambil memamerkan gitarnya yang penuh sticker. Salah satu sticker yang terbaca olehku dan masih terngiang sampai saat ini adalah “Revolting is not crime: Bergerak berkali-kali karena mati hanya sekali”.

Dan dari perjalanan itulah aku mengenal sisi lain dari si Ireng Gagah. Ternyata dia memang suka main tebak-tebakan, dan permainan itulah dia bisa begitu akrab dengan orang lain. Termasuk pengamen-pengamen di atas kereta. Dan dari pengamen-pengamen itulah kami mendapatkan segala fasilitas perjalanan ini. Memang tidak gratis betul, kami ikut rombongan mereka untuk menyanyikan lagu-lagu “kebangsaan”.



Di sini negri kami, tempat padi terhampar

Samudranya kaya raya, tanah kami subur tuhan

Di negri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka

Anak buruh tak sekolah, pemuda desa tak kerja.



Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami, tuk membabaskan rakyat

Bunda relakan darah juang kami, padamu kami berjanji

Dengan sedikit improvisasi, dia menyanyikan lagu Darah Juang-nya band Marjinal. Lagu yang semula terkesan cadas itu menjadi lebih soft dan sedikit mellow. Aku mengernyit heran walaupun tentu lebih menyukai versi ini daripada versi aslinya.

“Perjuangan itu milik rakyat banyak, jadi buatlah supaya mudah diterima oleh orang banyak. Tidak mengubah esensi, hanya mengubah sedikit nada.” Jawabnya ringan. Aku tersenyum saja. Dia tampak semakin menawan di mataku.

Sesampainya kami di Bandung, kami mampir sebentar ke rumah keluarganya. Yup benar-benar sebentar. Hanya beberapa saat, tak sampai tiga jam kurasa, mandi, makan, lalu sedikit bermanis-manis ke keluarganya. Setelah itu kabur, entah ke mana. Bahkan kami tak semalam pun tidur di rumah keluarganya.

“Yang kaya abah ma mamah gua. Gua sendiri masih nggembel, kayak yang lu liat!” sindirnya ketika aku merasa cegek dengan kondisi rumahnya yang mewah. Aku hanya tersenyum mengiakan.

Kami di Bandung tak lebih dari tiga hari. Menginap di sebuah kontrakan teman-teman si Ireng. Para begundal-begundal intelek yang unik. Mereka menamai kontrakan mereka Gubug Derita dan menyebut penghuninya Rebelito, Pemberontak Jantan. Benar-benar komunitas yang unik, terdiri dari tiga orang yang benar-benar berbeda. Mulailah aku main tebak-tebakan dengan mengamati dan menganalisis namanya satu persatu.

Penghuni pertama memperkenalkan diri sebagai Taqiyosky, melihat cara berpakaian dan blackhole di jidatnya, kurasa namanya dari Bahasa Arab yang di-paksa-Rusia-kan. Taqiy, artinya orang yang bertakwah. Ya, dialah si social religious, mengimani Muhammad sekaligus mengagumi Marx. Agak sulit dijelaskan memang, tapi ada. Aku lebih suka memanggilnya dengan versi Arab, Taqiy.

Penghuni kedua menyebut dirinya Togog, dalam ikonografi wayang Jawa, dia adalah salah satu Pana Kawan yang membela Kurawa. Baginya tahta Astinapura seharusnya menjadi milik Kurawa sang rakyat kebanyakan, bukan Pandawa si minoritas yang tiran. Kurasa dia seorang yang akan bergargumen bahwa Indonesia sekarat karena demokrasi telah disandera oleh pemuja neolib, segelintir pemodal-pemodal kaya yang ia sebut Pandawa. Bukan karena cacat bawaan demokrasi sebagaimana diucapkan Plato, sang bapak demokrasi, bahwa demokrasi an sich adalah sebuah Imperfect Society yang mengerikkan. Ya dialah Si Pemuja Demokrasi Sejati.

Penghuni ketiga suka dipanggil Yoyo, nama yang sederhana seperti sebuah permainan yang membutuhkan skill untuk memainkannya. Maka seperti permainan itu, dia pun kecil tapi lincah dan terus bergerak. Ide-ide terus mengalir dalam tubuhnya yang relative kecil, pemikiran-pemikirannya membadai: dekonstruksi dan rekonstruksi tanpa ujung. Ya dialah Si Pembadai Otak, Brain Stormer.

Menurut pengakuan mereka sendiri, Rebelito adalah komunitas dalam komunitas. Mereka berinduk pada komunitas Panas Dalam atau yang lebih sering disingkat Pandal, sebuah komunitas yang sudah masyhur di kalangan barudak Bandung. Anggotanya tidak hanya mereka bertiga, tapi puluhan, termasuk si Ireng Gagah yang ada di sampingku, yang sudah menghilang sejak dua tahun yang lalu dari orbitnya di Bandung.

“Gyatso!” begitu jawab Si Ireng singkat, seperti biasa, tanpa ada yang menanya.

“Hmm… Dalai Lama[iii] dong? Kapan-kapan kalo lu pulang ke Lhasa ajak-ajak ya. Hehehe … ” Canda Yoyo, Si Pembadai Otak berwajah Baby dengan mata yang jenaka, lebih jenaka dari si Ireng.

“Ya…! Perempuan memang pemicu perang, pengoyak kedamaian dan penghambat revolusi. Memang sebaiknya kau dengan dia saja. Hahaha….” Sambung si Togog. Mendadak ada rasa aneh diperutku di ruang antara hati dan jantung, saat mendengar komentarnya. Apakah dia menyangka bahwa aku dan Ireng BFan?

“Sudah makan?” tanya Taqiyosky. Kurasa dia satu-satunya yang masih berfenotipe orang normal dari sekumpulan Rebelito yang unik. Tanpa menuggu jawaban kami dia sudah mengeluarkan air mineral gelasan dan sekotak snack. Mungkin perasaanku saja, ada pendar asing di mata si Ireng saat melihat Taqiy. Dan tentunya ada rasa penuh yang mencekik leherku saat melihat pendar itu juga ada di mata Taqiy.

“Gua ke Salman[iv] dulu. Ada diskusi ma Barudak HATI. Kalo mau bisa nyusul.” Jawab Taqiy kikuk, ada getaran aneh di nadanya.

“Hmm… makin alim ya?” tanya si Ireng, dengan nada yang tak kalah aneh, ada getaran tak terdefinisikan olehku. Apakah mereka…?

“Itu dulu.” Jawabnya tanpa kutanya. Leherku semakin terasa penuh. Aku menatapnya dengan mataku yang terasa semakin panas. Aku tahu, masih ada rasa di antara mereka.

“Ya. Dan jangan tanya lagi. Pergilah cuci muka!” kata-katanya datar, aku sama sekali tak mengenal lelaki yang ada di sampingku. Tanpa menunggu Yoyo dan Togog menyadari ketegangan di antara kami, aku langsung ngabur ke kamar mandi. Mencuci muka, mendinginkan kepala dan dada, membuang segala tanya.

Saat aku kembali, suasana sudah mencair kembali. Yoyo menceritakan aksi-aksi yang ia rancang dan laksanakan dengan urutan yang acak adut. Sementara Togog hanya bengong mendengki karena tak punya ide dan pengalaman secemerlang Yoyo.

“Langsung aja gua embat tuh barang polisi. Masak gara-gara nggak nyalain lampu motor siang hari gua di palak goban? Hina banget tuh polisi.”

“lebih hina elu lah, masak ngembat barangnya orang hina? Hahaha… barang apa yang lu embat?” Akhirnya Togog bersuara, bosan mendengarkan cerita tentang direct action yang dibangga-banggakan Yoyo. Tawanya pecah, memenuhi Gubug Derita. Herannya si Yoyo malah ikut tertawa lepas, seperti tak tau kalau si Togog sedang berusaha menikamnya.

“Minggu lalu kita bikin toilet circle” Togog berusaha mengambil kendali kisah mereka. “Nggak ketinggalan si Cimenk dan Meong. Cuma Si Alim aja yang nggak ikut.” Aku mengernyit nggak ngerti. Tanpa kuminta si Togog pun menjelaskan dengan berapi-api, aksi mereka saat itu. Malam-malam, melawan dinginnya udara Bandung, mereka menyusur beberapa jalan dan mendatangi “Lubang Bertuah”, sebuah lubang yang konon katanya sudah menelan banyak korban kecelakaan lalu lintas tapi pemkot tak jua membuntu. Dengan cat sprai seadanya mereka berempat menggambar gravity di aspal sekitar lubang tersebut, lalu menulisi dengan huruf yang mencolok: “Silahkan Kencing dan Berak di lubang ini. Gratis!”

“Gila lu!” komenku terkagum-kagum keisengan mereka. Tanpa sadar aku sudah menggunakan bahasa lu-gua. “Trus nggak ketauan?”

“Sempat ketauan, tapi kita berhasil kabur ha ha ha ha …” Togog mengakhiri kisahnya. Barulah kutahu keunggulan Togog dibandingkan Yoyo, selain masalah fisiknya yang nyaris perfect, dia punya retorika yang dahsyat. Tentunya dia jadi incaran mojang-mojang Pandal.

“Sayang si Alim nggak ikut. Huh katanya revolusi dimulai dengan pemikiran bukan dengan tindakan iseng. Emangnya kita nggak berfikir waktu merencanakan dan menjalankan Toilet Circle Project ini?” sambung Togog ketus. kembali ada aura tidak menyenangkan keluar dari si Ireng tiap kali ada yang menyebut si Alim yang tak lain adalah Taqiyosky.

Sepulangnya dari Bandung, kami mulai merencanakan Toilet Circle Project. Target kami bukan jalan-jalan berlubang di Surabaya. Tapi sebuah gedung yang berseberangan dengan Masjid Takmiriyah di Jalan Rajawali, ya gedung DPRD Jawa Timur. Terdengar konyol dan gila, tapi itulah satu-satunya hal yang terpikir kami untuk membalas penghinaan mereka kepada rakyat Jawa Timur. Dan malam inilah eksekusi pembalasan itu.

Tepat malam itu kami bergentayangan membawa cat sprai. Aku yang mengintai, memastikan suasana benar-benar aman, sementara dia mulai menggambarkan gravity ke jalan di depan gerbang gedung DPRD. Beberapa goresan merupa hasil semprotan spray yang dia pegang. Aku menunggu dalam cemas.

“Let us therefore rejoice while we are young. After our pleasant youth, after troublesome old age, the ground will hold us. Our life is brief. It will shortly end. Death comes quickly, cruelly snatches us. No one is spared[v]” dia terus menyenandung mantra favoritnya dalam gumam, sementara spray di tangannya terus menggoreskan pola-pola yang semakin jelas bentukannya.

Tak berapa lama, gravity selesai ia buat. Aku tersenyum legah, hmm nggak terlalu jelek. Tapi aku membaca sesuatu yang lain di matanya. Dan dia mengangguk. Adrenalin kembali membanjiri pembuluh darahku. Dia memutuskan untuk membuat gravity di tembok pagar. Aku tak setuju, terlalu dekat dengan pos keamanan. Terlalu berbahaya. Tapi dia tak menghiraukanku. Dia terus mendekat ke pagar dan mulai menggambarkan lingkaran toilet yang ada dalam kepalanya. Nafasku memburu, mungkin nafasnya juga. Dan tepat sesaat setelah dia menyemprotkan goresan terakhir, lampu senter menyorotnya.

Beberapa saat aku terlempar antara sadar dan tidak, seperti tindihan, sleep paralyze. Apa yang kulihat dan kudengar tumpang tindih dengan yang kubayangkan, tumpang tindih dengan yang kutakutkan. Rasanya ingin berlari, tapi kaki serasa mati. Ingin berteriak tapi lidah terasa kelu. Hanya igauan nggak jelas. Aku tak sadar.

“ssstt…. Kita sudah aman” Desisnya di tengah nafasnya yang masih memburu saat melihatku mulai membuka mataku. Dia merangkulku sambil terus mengusap dahiku. Aku menatap wajahnya dalam gelap. Ada rasa aneh makin tumbuh di ruang antara hati dan jantungku, rasa yang sama tiap kali aku menatap wajahnya, merasakan hangat tubuhnya atau mengendus aroma tubuhnya yang jantan. Rengga semakin menenggelamkanku dalam pelukannya. Aku semakin terbius.

Semalaman kami berdekapan di bangku Stasiun Semut. Tanpa suara, tanpa kata, hanya hati yang bicara, bahwa kami saling mencinta. Benarkah? Terbayang kembali tentang Taqiyosky si Alim, kekasihnya yang lalu. Apa aku mampu menggantikannya?

“Dulu mereka sepasang…” ucap Yoyo saat itu. “ Apa ya? Sulit menjelaskannya. Jika sekedar sahabat, rasanya terlalu dekat. Jika kekasih, hmm… bukankah mereka sama-sama lelaki. Kecuali mereka seperti …” Yoyo melirik ke arah Togog yang sibuk berkaca, memperhatikan pakaian dan gayanya seolah ada di atas mimbar orasi.

“kenapa emangnya dia?”

“Bi… sex” bisik si Yoyo. Lalu dia berupaya menahan tawa.

“lalu mengapa seperti ada tembok tebal antara mereka?” tanyaku.

“ hm… “ Yoyo mendehem pelan. “ rumit. Cinta, jika memang mereka saling mencinta lho ya, bertabrakan dengan ideology. Maka harus ada yang mengalah jika tidak ingin kalah. Dan nyatanya keduanya mengalahkan cinta demi ideology masing-masing. Tapi menurutku, Taqiyos yang memulai perseteruan itu. Dia semakin mendekat ke anak-anak Salman, dan menjauh dari Rebelito dan Pandal, dan tentunya menjauh dari Rengga. Aku tak tahu motiv dasarnya, mungkin arogansi, mungkin rasa sakit hati, mungkin merasa dihianati atau mungkin cemburu, Rengga akhirnya menjauh darinya, mulai menyebut Taqiyos sok alim. Saat itu hampir tak ada hari tanpa keributan yang dibuat dua makhluk ajaib itu. Sampai akhirnya Rengga memutuskan untuk kabur ke Malang. Taqiyos demam selama seminggu, setelah kepergiannya. Hmm… Kira-kira begitu ceritanya”

“Cinta? Ideology? Masih nggak ngerti.”

“hm…” dia kembali berdehem, memilih diksi yang pas untuk menjelaskan kerumitan di dalam kepalanya. Tak seperti gayanya yang biasa ceplas ceplos. “Mending kamu tanya langsung ke orangnya. Dulu kukira kamu kekasih Rengga yang baru heheheheh…”

“Nggak cuma teman.” Ya kami hanya teman. aku sudah bertanya dalam hati, dan dia sudah menjawabnya, dia masih mencintai Taqiyosky, kekasih lamanya. Lalu aku?

“Revolusi dimulai dari pemikiran dan diwujudkan dengan langkah-langkah edukatif politis. Bukan kekonyolan yang sporadic.” Jelas Taqiy saat kutanya apa yang membuat mereka “berseteru”. Dia belum menjawab dengan jujur. Aku tahu.

“Hanya perbedaan seputar langkah revolusi?” tanyaku pura-pura heran.

“Kadang kita boleh memilih antara dua hal yang sama-sama diperbolehkan. Tapi kadang kita harus tegas memilih yang boleh, dan meninggalkan yang tak boleh.” Jawabannya mulai mengarah, aku diam menunggu.

“Ide-ide dan langkah-langkah konyol hanya akan membuat fokus kita terpecah, membuat kita lengah dan lupa pada tujuan yang sebenarnya, membuat kita sibuk dan lelah tanpa makna. Sementara sistem yang ada tetap meraja.” Jawabnya kembali mengambang.

“Kau suka dia?” tanyaku langsung. Dia tampak terkejut, tapi hanya sekejap.

“Dulu…” jawabnya memberat, dia menghela nafas panjang.

“Sekarang?” Desakku. “Kulihat dia masih menyimpan perasaan itu untukmu.” Aku mulai tak sabar dengan jawabannya yang terus mengambang.

“Ya aku masih menyukainya, seperti aku menyukaimu, menyukai Togog, Yoyo, Cimenk, Meong, Riang, Pepey, Japrak dan kawan-kawan yang lain.” Jawabnya tergesa, tampak sedikit emosi.

“Cinta?” Desakku tanpa memberi jedah. Dia menatapku tajam. Aku membalas sewajarnya. Beberapa saat dia terdiam, aku pun diam menunggunya.

“Ya aku masih mencintainya…” Desahnya nyaris tak tertangkap membran timpani telingaku. “Tapi aku lebih mencintai Ideologi-ku.” Tegasnya melenggang pergi. Dia masih mencintai Rengga, Rengga juga masih menyimpan perasaan untuknya. Apa aku masih punya harapan?

Tentu! Tentu aku masih punya harapan. Aku harus segera mengutarakan perasaanku ke Rengga, segera! Secepatnya. Tapi ternyata mengutarakan perasaan tak semudah merencanakannya. Beberapa kali pertemuan dengannya setelah kepulangan kami dari Bandung seperti menguap sia-sia. Aku hanya bisa menatapnya penuh harap. Mengapa dia tak menebak apa yang ada di hatiku seperti biasa? Apa dia tak menyadarinya? Atau dia pura-pura tak menyadarinya? Dan kukira inilah saatnya. Ya pagi ini, pagi setelah kami berdekapan semalaman.

“Reng…” panggilku lemah. Kondisiku belum sepenuhnya pulih dari peristiwa semalam yang mengejutkan.

“ya..” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, masih sibuk menyiapkan sarapan. Dia sudah hafal betul letak barang-barang di kamar kosku. Kuamati punggungnya yang lebar gagah.

Rengga Pabrev Kamardikan, aku sungguh mencintaimu! Teriakku dalam hati, apa dia mampu mendengar seperti biasanya?

“Rengga…”

“sst…. Jangan bergerak dulu.” Dia datang menghampiriku, membawa semangkuk bubur ayam dan segelas susu vanilla. Tanpa memintaku dia sudah menyuapiku.

“Aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Aku sudah tahu.” Jawabnya tak lagi menggunakan gua-lu. “aku tahu apa yang ada dalam dirimu. Kamu juga tahu apa yang ada dalam diriku. Bukankah sudah kukatan, bahwa kita sudah terikat sejak kita ada?”

“Tapi … Aku ingin …”

“ssstt…” Dia meletakkan telunjuknya di bibirku. “Tak semua rasa bisa terungkap indah oleh kata. Kamu tahu, aku tahu, maka cukup waktu yang bicara.” Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Nafasnya menerpa wajahku, menyatu dengan nafasku. Kupejamkan mata. Ada sesuatu yang lembut menyentuh bibirku, sesuatu yang manis, sesuatu yang …

“aah…. Ireng… jahat!” kulempar ia dengan bantal.

”Nikmatilah Loly pop dengan sepenuh hatimu, karena kamu akan merasakan sensasi yang sangat sensual saat bibirmu mulai menyentuhnya untuk pertama kali, dan ketika lidahmu bermain di setiap bagian itu akan terasa asam dan manis, tekstur warnanya membuat kamu akan semakin bergairah untuk segera melumat dan mengahabiskannya hingga jilatan terakhir” teriaknya menghindar bantal yang melayang.

Ya, terkadang rasa itu lebih indah tatkala terasa, bukan terucap bahasa. Saat bahasa mewujudkan rasa dalam kata, sebagian makna akan menguap lenyap. Seperti misteri yang telah terpecahkan. Kamu tahu, aku tahu, maka cukup waktu saja yang bicara dalam bahasa tanpa kata.

FIN









Filosofi sponsor lomba J



[ii] NIAS = Nederland Indische Artsen School = Sekolah Kedokteran Hindia Belanda. Sekarang menjadi FK UNAIR.



[iii] Dalai Lama, pemimpin spiritual sekaligus kepala Negara versi Negara Tibet. Versi China, dia adalah pemimpin pemberontak yang ingin melepaskan Tibet dari RRC. Lhasa: kota terbesar di Tibet. Dalai Lama ke-14 bernama Tenzin Gyatso.



[iv] Masjid Salman, masjid kampus ITB. HATI = Harmoni Amal Titian Ilmu, sebuah unit kegiatan mahasiswa (UKM) bidang pemikiran dan politik di ITB.



[v] Translasi lagu De Brevitate Vitae (Gaudeamus Igitur).
«1

Comments

  • beneran lolypop emang enak di jilat dan di emut, he he gaya bahasa yg indah.
  • sebagai orang yg awam banget ..Bahasanya berat bro, ngk ngerti gw.. hahha tapi lanjutkan gan :D punya ciri khas, etapi sekali2 boleh bikinlah cerita yg simple aja gan bwat orang2 seperti gw. :)
  • wow bagus baget
  • bhasanya gak ngerti aku
  • Cerpen yang bagus banget. Permainan teka teki... Tersirat apa yang tersurat, idiologi banyak tumbuh korban tak terkecuali CINTA. Dunia dan cerita memang berputar,hanya pelakonnya saja yang berganti.
  • Ini keren banget!!!
  • edited August 2013
    Hellow,

    Baca ini gara2 liat nama @DarrenHat di komen yg terakhir dan begitu baca, WOW!!!

    Cerpen ini punya potensi buat dijadiin cerita panjang dan aku udah bs ngebayangin banyak bgt adegan dan dialog yg bisa dipakai. Bahasanya nggak sulit cuma banyak istilah yg jarang didengar dan tema yg cukup serius.

    Terlepas dr typo dan bnyk yg harus dibenerin, aku salut bgt sama bro @desem yg berani nulis cerita yg nggak umum seperti ini. I want more!!!!! Ayo bikin cerita kayak gini lg!

    Coba narik @totalfreak kesini. What do you think? :)
  • Eh, bli @abiyasha main ke sini juga. Belom kelar yah cuti nulis twenty four nya? Hehe,.,

    Buat mas @desem memang cerita ini keren banget dari segi cerita, point of view maupun gaya nulisnya. Suka! Keep it up.
  • Iyaa.. bangus bangett.. :D
  • good read. terima kasih! :D
  • edited August 2013
    Abiyasha wrote: »
    Coba narik @totalfreak kesini. What do you think? :)

    bang @Abiyasha nariknya g muncul di notif, tp untungnya q serba tau. lol

    pendapatku? simple, tp pembawaannya yg agak g dibikin biasa2 aja. kyknya udh khas bgt klo desem bkin crita pake nama tokoh yg unik, byk istilah g umum, dkit nasionalisme n politik,

    bgus sih, tp cma 1 yg ganjel, wktu baca ttg lolypop, jd lgsg keinget cerpen 'The Boy W/ A Lolypop in His Left Hand' kata2nya mirip bgt 100 persen. ya sbnernya sah2 aja sih klo misal bkin satu hal yg dpake buat bbrapa critamu, tp klo persis bgt malah jadinya bkin enggk puas. jd wkt bca bagian it lgsg ada kesan 'krik2' kyk 'ini bukanya udh dipake d ceritanya yg laen ya? mirip bgt lg kata2nya' nah gt lho mksdku. jgn smpe reader brpikir klo km slalu ngandelin satu hal atw kalimat unik yg sama itu2 aja, kalaupun mau pake akan lbh seger klo km rombak atw improv dgn yg beda. karena pda knytanya km kn kliatan kreatif n unik d crita2mu. itu opiniku, jd lanjut!
  • totalfreak wrote: »
    Abiyasha wrote: »
    Coba narik @totalfreak kesini. What do you think? :)

    bang @Abiyasha nariknya g muncul di notif, tp untungnya q serba tau. lol

    pendapatku? simple, tp pembawaannya yg agak g dibikin biasa2 aja. kyknya udh khas bgt klo desem bkin crita pake nama tokoh yg unik, byk istilah g umum, dkit nasionalisme n politik,

    bgus sih, tp cma 1 yg ganjel, wktu baca ttg lolypop, jd lgsg keinget cerpen 'The Boy W/ A Lolypop in His Left Hand' kata2nya mirip bgt 100 persen. ya sbnernya sah2 aja sih klo misal bkin satu hal yg dpake buat bbrapa critamu, tp klo persis bgt malah jadinya bkin enggk puas. jd wkt bca bagian it lgsg ada kesan 'krik2' kyk 'ini bukanya udh dipake d ceritanya yg laen ya? mirip bgt lg kata2nya' nah gt lho mksdku. jgn smpe reader brpikir klo km slalu ngandelin satu hal atw kalimat unik yg sama itu2 aja, kalaupun mau pake akan lbh seger klo km rombak atw improv dgn yg beda. karena pda knytanya km kn kliatan kreatif n unik d crita2mu. itu opiniku, jd lanjut!

    cerpen ini dan juga the boy with a lolypop awalnya mw diikutkan lomba di sebuah grup fb tp telat. .lombanya harus ada kata" lolypop. .kalo aja ga telat mungkin aja ngalahin salahsatu admin BF yg jadi pemenangnya
  • terima kasih buat senior2 yang udah mampir :) @blue_gay, @nabhan, @jerukbali, @romeoborneo, @darrenhat, @abiyasha, @boysfath, @msdos, @totalfreak

    maaf bru bisa balas, baru berhasil log in setelah lama gagal log in :)

    special buat ayah @inlove
Sign In or Register to comment.