BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Graha, and I love you...

edited August 2012 in BoyzStories
Namaku Graha, dan aku sedang bekerja di Wedding Organiser. Dan sekarang? Aku sedang bekerja di sebuah gedung serbaguna di kawasan Supratman, Bandung. Di acara nikahan dengan tamu undangan sekitar 3000 tamu, kalangan pejabat dan public figure, dan yang paling penting adalah ini nikahan Regha. Regha Tito Adams, CEO PT. Sawit Nugraha; owner Chardonnay, sebuah wine lounge di Dago Pakar; pengurus salah satu club mobil bermerek di Bandung. Yang harus di garis bawahi selanjutnya adalah: Regha MANTAN PACARKU. Iya, mantan pacar, my ex boyfriend. Aku mengenal istrinya, seorang gadis dari Kuningan, juga anak salah satu pejabat dan pemilik perusahaan ekspor impor terkenal. Yang pasti, mereka adalah boneka keluarga. Pion catur.
***
Aku mengambil sejumlah uang dari Beben. Gajiku kemarin, lumayan bisa makan Nasi Chicken Katsu di kantin. Aku masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa semester akhir di salah satu sekolah tinggi di kota kembang.
"Graha, ieu kumaha atuh next event teh? Maneh bisa nya?", tanya Beben sambil menghitung sisa uang dari dalam amplop.
"Siipp lah, ntar BBM aja.", ucapku sambil memasukkan dompet ke saku celana seragam.
"Eh, urang nginjem lah eta tugas Men Power. Urang teu ngarti yeuh."
"Ah, lo mah pacaran mulu."
"Ah, da kumaha deui. Masih anget."
"Anget anget tai ayam?", aku mengangsurkan selembar kertas folio yang berisi catatan mata kuliah Men Power.
"Henteu, anget anget bogem aing ka maneh! Urang nginjem heula nya! Bye!"
Aku mengangguk. Melanjutkan berjalan ke arah kantin menyusul Hendra dan Tika yang sudah duluan kesana. Chicken Katsu, come to papa.

"Jadi ini teh beneran, Ha?", tanya Tika sambil mengaduk Mie Ayamnya. Ia menambahkan kuah ceker kedalam mienya, diikuti sambal dan kecap.
Aku mengangguk.
"Si Regha ngga belok lagi?", Hendra memastikan.
"Gue kan udah sering bilang. Dia tuh pion caturnya bokap nyokapnya. Mana mau sekarang harta bokap nyokapnya ga jelas juntrungannya. Makanya juga dinikahin sama Anita."
Hendra dan Tika manggut-manggut memaksa mencerna penjelasanku. Aku meraih handphoneku, membuka messenger dan memberikan pada Hendra serta Tika. Pesan dari Regha.
"I saw you on the party last night. Let's meet up. Chardonnay, 3 pm."
"Terus?"
"Yaaa, let's see aja."
"Lo udah setaun putus sama Regha, tapi kenapa dia masih ngehubungin lo terus sih?", tanya Tika.
"Ngga tau juga gue. Tapi gue pernah denger dia nyebut nama gue pas telepon sama nyokapnya."
"Apaan katanya?", tanya Hendra.
"Ngga tau, ga jelas. Dia nelponnya di luar."
Aku berbohong, padahal Regha berkata pada ibunya bahwa dia telah memilihku.
***
Tempat ini masih sama seperti setahun yang lalu. Sofa-sofanya masih menawarkan kelembutan yang sama. Aku hanya melihat ada LCD proyektor dan layarnya yang baru, dipasang di pojok ruangan dan juga sebuah coffee maker baru. Aku ingat coffee maker itu memang keinginan Regha. Kami sempat survey bersama. Suasana masih lengang. Lounge ini hanya buka dari pulang kantor hingga waktunya tidur.
"Nih Graha, gue masih inget kesukaaan lo. Bentar yah, Regha masih di jalan katanya.", Vani menaruh satu loyang pizza margaritha dan juga segelas coklat panas dengan cinnamon powder diatasnya. Vani bekerja sebagai Store Manager. Umurnya masih 28, berkulit coklat dengan rambut panjang yang selalu dicepol. Kacamata membuat tampilannya makin terlihat chic and smart.
Aku mengambi satu potong pizza. Masih sama rasanya. Membuat pikiranku melayang, Regha pernah meyakinkanku untuk menyukai pizza ini dengan caranya. Merasakan bibirnya setelah ia mengunyah pizza ini. Dan menelannya tentu. Jijik? Tapi buatku ini romantis. Dan coklat panas ini? Regha yang membuatkan ketika aku demam gejala typus dan harus ngungsi ke rumah Regha karena dia kukuh untuk merawatku. Daripada kenapa-kenapa dikosan katanya.
Lounge ini sebenarnya juga muncul karna campur tanganku. Berbekal ilmu-ilmu yang aku dapat di kampus dan juga pengalaman training, aku dengan pede menjadi 'konsultan' untuk bayinya Regha ini. Mulai dari menentukan konsep, menu, pangsa pasar, strategi pemasaran, pekerja, hingga maintenancenya. Regha juga memberi beberapa masukan yang membantu, mengingat dialah yang mempunyai modal sepenuhnya. Sepupuku juga membantu dalam membuatkan facade bangunan, eksterior dan interior. Sepupu Regha juga memberi arahan untuk furniture. Hingga lounge ini hadir, sampai hari ini. Bahkan aku sempat melihat di sebuah majalah yang memasukkan lounge ini ke daftar 10 tempat hang-out terbaik di Bandung, ngga tanggung-tanggung, masuk deretan 3 teratas.

"Sorry, I'm late.", Regha duduk diseberangku. Menaruh tas dan jasnya di sampingnya. Ia bersandar, melepas penat.
"It's OK.", ujarku.
Vani menghampiri meja kami dengan membawa segelas air putih dengan irisan lemon dan mint. Regha's special beverage.
"So, kenapa lo nyuruh gue kesini?", tanyaku.
"I miss you."
"And then?"
"Ngga ada. Aku cuma kangen kamu."
Aku membuang muka. Capek-capek kesini dan di cuma bilang gitu?
"Graha, my choice", aku jengah mendengar Regha memanggilku dengan embel-embel "My Choice."
"Move with me ya?"
Apa-apaan ini?
"Your wife?"
"Move to Boutique."
"Apartment?"
Regha mengangguk.
"How come, Gha? Ntar kalo nyokap gue ke Bandung apa kabar? Gue harus bilang kalo gue udah pindah ke apartment? Apartment Regha? Regha mantan gue?"
"I'll pay your room. But, please move to my apartment."
"It's not about the money, Gha. Ini itu tentang cara lo minta ke gue. Gue bukan barang, Gha. Please. Gue udah bukan barang lo lagi.", ucapku berkata lirih. Aku termenung. Apa Regha selalu menganggapku seperti ini?
"I can't live without you."
Aku menatap muka Regha. Muka itu masih sama, malah matanya makin terlihat lelah. Pipi dan dagunya bersemu abu-abu, tanda ia tak punya waktu untuk shaving.
"Ada proyek apa?", tanyaku.
"Mau buka kebun lagi."
"Sleep please. Lima jam aja, Gha."
"Nggak, aku ga bisa tidur."
"Lo selalu nyuruh gue tidur. Lewat jam sebelas aja lo udah nyuruh-nyuruh gue tidur."
"Iya, makanya please move with me. Biar ada yang bawel buat nyuruh aku tidur, biar ada yang nyubitin pipiku kalo aku harus kerja, biar ada yang ngomel-ngomel kalo pas jam makan siang, biar ada yang..."
"Shut! Realise please, Gha. Gue udah bukan siapa-siapa lagi. Dan istri lo kan bisa ngebawelin lo."
"It's different. I already tried. Malah, aku yang ngga nyaman. So, move with me."
"Ngga, Gha.. Apa kabar....."
"Istri? Dia mau lanjut ambil Master di Perth."
"So what? Jakarta-Perth sekarang udah ada penerbangan non stop kali. Air Asia udah ada. Ga perlu ngais-ngais tabungan buat naik SQ atau Qantas."
"No, she will live in there. I will live in here. With you."
For the God's sake! Kalo bukan karena Vani bolak-balik ngeliat ke arah kami, aku udah ngelempar samua bantal dan bahkan piring ke Regha.
"Ya, Graha?"
Aku diam. Nggak bisa mikir.
"Okay, diam berarti iya."
***

"Gue duluan yah!", aku mengambil jas seragam dari kursi dan menyambar tas. Handphoneku sudah bergetar dari tadi. Aku melirik layarnya, Regha.
"Hmm?"
"Aku udah di gerbang kampus lagi beli cilok."
"Hm mm. Lagi jalan keluar."
"Okay."
Aku berjalan tergesa, tersenyum ke adik-adik kelas yang menyapa. Bukan karena kenal, tapi karena jas yang kupakai ini pertanda aku adalah salah satu mahasiswa semester atas dan wajib hukumnya untuk menyapa kakak kelas.
"Mau nggak?"
Aku menggeleng.
"Mau kemana?"
"Boutique."
"Sekarang?"
"Kalo bisa detik ini juga."
Aku terpaksa masuk ke mobilnya. S class dua pintu. Mobil yang selalu dibawanya kalau kita pergi bersama. Mobilku, katanya. Aku hanya membuang muka waktu itu, perasaanku tidak seharga mobil dua pintu.

Regha membuka pintu kamar. Melangkah masuk sambil menggandengku. Hanya satu yang membuatku diam ditempat. Semua posisi furniture bahkan gelas di maja makan masih sama seperti dulu ketika aku sering ke sini. Fotoku dengan Regha ketika di Bali dengan muka agak tipsy masih terpajang di dalam pigura perak diatas meja, vas bunga berisi casablanca merah sedang mekar disebelahnya. Bunga ini dulu aku bawa dari salah satu nikahan di gedung yang sama tempat Regha menikah. Patung Bunda Maria dari perak hadiah Natalku tahun lalu masih terletak di sana, di sebelah Alkitab berbalut sampul kulit coklat. Alkitab ini yang selalu digunakan Regha untuk beribadah di Sabtu sore. Merenungi ayat-ayat dalam firman-Nya. Berdoa memuji syukur pada-Nya.
"Kenapa? Heran?", tanya Regha. Aku mengangguk.
"Welcome home.", Regha merengkuhku. Mencium keningku.
Aku menaruh tasku di sofa, membuka jasku juga dasi. Menggulung lengan kemeja. Ah, akhirnya bebas juga. Jadi ini yang disebut rumah menurut Regha? Sebuah ruangan dengan satu kamar berbalkon ke arah selatan Bandung, satu kamar mandi, dapur yang menyatu dengan ruang makan sekaligus ruang kerja. Satu set sofa dipojok dengan TV layar datar 21 inch yang selalu menyiarkan CNN atau ChannelNewsAsia. Jadi rumah bukanlah sebuah istana lengkap dengan kolam renang dan sopir 24 jam yang ditempati ayah ibunya? Aku memerhatikan sebuah pigura di samping kulkas. "God, please fill our home with Your love, joy, and happiness."
"That's my pray. Rumah ini ga akan lengkapa tanpa kamu."
«1

Comments

  • Jadilah aku sekarang, mengepak barang-barangku seperlunya. Menatap ke arah pintu merah yang digunakan sebagai akses keluar masuk penghuni kosan yang selalu bergantung lonceng dan mistletoe ketika Natal, ketupat ketika lebaran, dan juga barongsai dan mercon-merconan ketika Imlek. Menatap salib diatas pintu yang selalu membawaku kesan you are home. Nyaman, hangat, terlindungi.
    Aku memasukkan backpack dan koper kedalam bagasi mobil Regha.
    Sesampainya di rumah, masih sebuah ruangan berkamar satu. Aku menaruh barang-barangku di dalam lemari. Lemari ini memang kosong karena hanya aku yang meletakkan barang-barangku. Di sampingnya ada lemari lagi yang berisi baju-baju Regha, yang kebanyakan pilihanku atau hadiah dariku. Aku menatap ranjang double yang berlapiskan selimut berwarna krem. Dengan seprei berwarna coklat. Aku masih terbayang Regha, dengan koran yang terbuka dan mata mengamati kolom-kolom indeks saham, sementara aku membaringkan tubuhku didadanya. Bernapas sesuai tarikan nafasnya.
    "Makan yuk!", ajak Regha. Aku mengikuti Regha. Biasanya aku yang memasak. Pulang kuliah, ganti baju, cuci muka, langsung masak. Nanti kalau Regha pulang sekitar jam 7 aku yang menyiapkan makannya. Sudah naluri, bukan naluri sebagai pasangan, naluri berterima kasih karena aku bebas melakukan apapun. Bahkan menggunakan satu kartu kreditnya yang tak pernah ku pakai.
    Regha memasak balado telur dan tumis kangkung. Dua masakan yang menurut kami simple.
    "Lidah lo masih sama yah?", tanyaku sambil mengambil gelas yang berisi air putih. Lidah Regha lebih menitikberatkan rasa pedas dan manis, sementara aku rasa asin dan gurih.
    Regha tertawa, "Lidah kamu juga sama. Lidah kucing."
    Aku melihat perubahan di wajah Regha. Matanya sudah memberikan semburat semangat. Senyumnya hangat dan nyaman.
    "Gha, ntar gue tidur dimana?", tanyaku sambil mencuci piring. Regha sedang memasukkan sisa makanan ke dalam lemari es untuk dihangatkan kembali esok pagi. Sebenarnya aku sendiri tidak suka menyisakan makanan untuk esok pagi. Aku lebih suka masakan yang baru dimasak, bukan masakan kemarin yang dihangatjan kembali. Lain dengan Regha yang akan menyimpannya, apalagi kalau itu bolognaise sauce buatanku.
    "Tidur di kamar lah."
    "Kamar mana? Kamar mandi?"
    "Kamar biasa."
    "Hah? Terus aku tidur dimana?"
    "Aku?", Regha memandangku tersenyum. "Terserah."
    "Kamu tidur sama aku. Sebelahku."
    "Hm mm.", aku bergumam.

    Regha masih membaca koran. Sementara aku mengambil guling dan menaruhnya di tengah-tengah.
    "Ini batas yah. Sekali lo ngelanggar satu buku jaripun, liat aja!"
    Regha melirik ke arahku, menaruh korannya, dan meraihku.
    "Liat apa? Kamu kenapa sih?"
    "Iihh! Lepasin!"
    "Nggak."
    "Iiih! Nyebelin!"
    "Biarin."
    "Reghaaa.."
    "Apa?"
    Aku mencubit perutnya.
    "Argh!", Regha langsung berdiri. "Sakit tau!"
    "Biarin. Abisnya dibilangin ga mau denger."
    "Graha, masa tega sih aku tidur di sofa depan?"
    Aku diam, meraih handphoneku.
    "Graha, I promise, aku ga akan nyentuh kamu. Ga akan ngapa-ngapain kamu. Tapi aku boleh tidur disini ya?"
    "Tidur-tidur aja, ranjang-ranjang kamu!"
    Regha membaringkan tubuhnya lagi. Mengambil koran dan menatapku. Aku tak menghiraukan tatapannya. Membalik badan dan memejamkan mata. Berdoa semoga malam ini mimpi indah.

    Tapi, malam itu hanya Regha yang tau. Graha menggamit lengan Regha sepanjang tidurnya. Menempelkan pipinya di bahu Regha. Regha tersenyum. ***

    Aku menatap Regha dari atas ranjang. Ia sedang berganti pakaian. Celana hitam, kemeja biru langit, dasi biru senada, dan jas hitam. Ia mengambil tas kerjanya.
    "Kuliah?"
    Aku menggeleng. Harusnya ada mata kuliah hari ini, tapi ditiadakan karena materi sudah selesai.
    "Okay then, I'll pick up you for lunch."
    "Males."
    "Kenapa? Let's see. 90 Gourmet or Sushi Tei?"
    Regha tau kelemahanku: tidak bisa menolak makanan Jepang dan, sayap ayam. Siapa yang bisa menolak chicken wings? Aku mengedikkan bahu. Berbalik badan. Regha mendekatiku, mengelus rambutku.
    "Aku kerja dulu ya.."
    Aku diam tak membalas pamitnya. Wangi parfumnya masih tertinggal dikamar ini. Aku menghirupnya tak mau wangi ini hilang. Setelah memastikan bahwa Regha telah berangkat, aku keluar kamar. Menyalakan TV dan menggantinya ke channel TV nasional. Aku melirik ke arah meja makan dan mendapati sebuah mangkuk yang ternyata berisi lontong kari. Pasti ini Regha yang membelikan sambil lari pagi. Aku mengambil sendok dan mambawa mangkuk ke sofa. Sambil mengunyah lontong, aku membolak-balik koran. Korannya Regha apalagi kalo bukan koran bisnis dan dalam bahasa Inggris. Aku melipat kembali koran itu tak mengerti. Ngapain nih gue?

    "Salmon roll, dragon roll, sashimi, dan sekarang tempura don?", tanya Regha sambil mengunyah Salmon sashiminya.
    "Dragon roll gue kan elo yang ngabisin.", ujarku sambil mengunyah natsu, terong Jepang. Regha tertawa.
    "Gha, Nita kok ga pernah nyariin elo sih?"
    "Ngapain? Dia udah tau kok gue sama siapa."
    Aku meletakkan sumpitku. "What?"
    "Iya, dia tau kok. Kita kan cuman boneka bapak ibu aja."
    "Tapi kan...."
    "Nggak, Gha. Nita memang istriku. Tapi kamu yang ada disini.", Regha menunjuk dadanya. "Kamu yang ada di daftar do'a ku."
    "Terus lo bakal milih siapa? Gue apa.... dia?", tanyaku lirih.
    "Aku milih..... Halo?", Regha meraih handphonenya yang berbunyi.
    Aku mengambil sumpit dan meneruskan makan. Jangan pilih aku, Gha.
    ***
  • Loh? Mana lanjutannya bang? >.< pasti graha dong yg dipilih!
  • lagi.... ^^
  • lanjut..
  • lagi proses yah :)
  • Hohoho... Jd stalker nya @bitter_ballen ahh...
    #nguntit kemana aja.. B-)
  • setuju tuh, jangan pilih aku, karena aku bukan pilihan, tapi mutlak, hehehe
  • great! lanjut....
  • Pilih aku aja om regha hehe *nyengir* lumayan dapet japanese food tiap hari.. Wah updatenya kilat ya bang :)
  • updatenya mana???
  • up up up
  • lanjuuut...
  • "Iya, jadi besok ya pak saya kirim berkasnya. Iya. Iya, pak. Baik pak, selamat siang.", Regha menutup teleponnya. "Grahaa..", Regha memanggilku manja. Aku keluar dari kamar mandi.
    "Apa?"
    "Lama amat kamu mandinya? Mau ehem ehem yah?", tanya Regha sambil tersenyum jahil dan mesum.
    "You wish!", aku menjemur handukku di balkon. By the way, sudah lama nih aku nggak nongkrong di balkon. Nongkrong aaah..
    "Grahaaa..", Regha memanggilku. Aku diam sengaja tidak menyahut. Biarin, siapa suruh ngga jelas.
    "Eh, disini toh.", ucap Regha sambil mengusap rambutku.
    Aku diam. Terus menatap pemandangan Bandung Selatan.
    "Gha, gue ga tega sama Nita.", ucapku tanpa memandangnya.
    "Kenapa?"
    "Gimanapun status kalian, kalian itu sah sebagai suami istri. Aku takut juga sama..."
    "Mama?"
    Aku diam. Ya, aku takut dengan beliau. Seorang wanita paruh baya yang tidak berekspresi. Kaku cenderung dingin.
    "Graha, I love you gimanapun statusku. Denganmu, aku bisa merasakan hal-hal positif dalam hidup. Kamu membawa aura positif buatku."
    "Nita juga kan, Gha?"
    "No, you are different."
    "Apa yang buat aku beda?"
    "Karena kamu yang ada disini.", ucap Regha sambil menunjuk dadanya.
    ***
    Aku sedang mengerjakan tugas Manajemen Pemasaran, ketika Tio, teman sebangkuku selama dua setengah tahun ini bertanya sesuatu: "Lo balikan lagi sama Regha?"
    Dahiku berkerut. "Gosip darimana lo?"
    Tio memberikan headsetnya. "Dengerin deh."
    "Jadi, lo sama dia balikan lagi? Dan tinggal satu apartemen? Waaah, great then!". Aku tau suara siapa ini. Broadcaster yang kadang aku dengar suaranya bareng Tio.
    "Iya, gue sadar gue ga bisa hidup tanpa dia. I love him so much.", suara berat Regha.
    "What the heck?", aku memandang Tio. Tio mengedikkan bahu. "Do I know?"

    "Are you crazy or something?", tanyaku. Regha is on the line.
    "Yes, I'm crazy of you."
    "Gimana kalo Nita denger? Gimana kalo mama denger?"
    "Ga akan. Udah yah, got to go.", Regha mematikan hubungan. Handphoneku bergetar. Unknown number.
    "Halo?"
    "Graha? Ini Nita. Bisa ketemu hari ini? Lunch time di Bucks Cihampelas ya?"
    Aku diam. Mampus gue.
    "Graha? Are you there?"
    "Oh, iya. Oke, lunch yah? Klik!"
    Aku mendengus kesal. Memandang junior housekeeping yang sedang membersihkan urinoir. "Kenapa?"
    "Ng.. Ngga papa, Kak."
    ***

    Entah karena Bandung yang akhir-akhir ini dingin atau karena AC sebuah kedai kopi di Cihampelas ini disetel di suhu paling dingin, aku gemetar. Di depanku, seorang gadis yang kurang lebih berusia dua puluh sekian sedang memotong Opera Cakenya dengan anggun. Kemeja putih bersih dipadankan dengan pencil skirt berwarna abu dengan peep-toe yang aku tahu itu Jimmy Choo asli membuat penampilannya makin anggun.
    "To the point aja ya, kamu masih ada hubungan sama Regha?"
    Okay, she's kind of to-the-point girl.
    "Mmmm...", aku berusaha memikirkan apa yang harus kukatakan.
    "Regha maksa kamu, buat pindah ke Boutique?"
    Aku mengangguk.
    "I knew it kok. Jaga dia yah? I'll fly to Perth on Monday."
    "Cepet amat?"
    "Hahahah.. Kenapa?"
    "Gue ga ada alasan lagi buat ngehidar dari Regha kalo lo pergi, Mbak."
    "Hahahahha. Graha, you are his choice. Jadi, mau kemanapun, pasti Regha ngintil. Tuh!", Nita menunjuk kearah pintu dengan dagunya. Aku menoleh. Regha is here.
    "Mbak, kok?"
    "Iya, aku bilang mau meet up sama kamu disini."
    "Hey!", Regha duduk di sebelahku. Aku diam, mengambil Green Tea Frappeku.
    "I'll fly on Monday.", Nita.
    "Okay, then. Minta dong!", Regha mengambil minumanku. Aku mengernyitkan dahi.
    "Beli napa?"
    "Beliin.", Regha.
    "Parah Gha, masa Graha yang harus beliin?", Nita.
    Apa-apaan nih? Kenapa dialog mereka kaya orang temenan gini sih?
    "Kalian berdua beneran nikah?", aku. Mereka berdua menatapku. Oops, lose control.
    "Maksudnya?", tanya Nita.
    "I.. Iya. Pemberkatan?"
    Nita mengangguk.
    "Hanya untuk orangtua dan harta mereka.", ucap Regha.
    Aku menggelengkan kepala.
    "Nanti kamu juga ngerti kok.", kata Nita. "Ga pesen, Gha?"
    "Pesen geura.", aku mengambil gelasku. "Ih, abis dong!"
    Regha bengkit dari duduknya, berjalan ke arah barista dan membawa Espresso untuknya, dan Green Tea Frappe untukku.
    "Duh, sayangnyaaa..", Nita tertawa.
    ***
  • Regha pagi-pagi sekali sudah meninggalkan apartment. Hari ini Anita berangkat ke Perth, jadi Regha harus ke bandara bersama keluarga Anita yang lain. Aku baru membuka mata, dan menyadari kalau suhuku tidak normal. Memegang leher, okay aku demam. Dan tenggorokanku sakit. Radang tenggorokan. Aku mengambil HP dari meja. 3 BBM, satu dari Regha, satu dari Tito, dan satu request. Display namenya asing. Ghana Adi Susantyo. Accept.
    Aku membka BBM dari Tito, another morning gossip. Sekarang tentang si Lia, anak prodi sebelah yang ketahuan selingkuh. So? Do I care? BBM dari Regha yang membuatku sebal, dia akan pulang ke Bandung sekitar pukul 1 siang, dan memaksa untuk ditemani lunch meeting dengan kliennya.
    "Ga bisa, Gha.", aku membalas BBMnya.
    "Kenapa?", dua menit kemudian.
    "Males ah."
    "C'mon."
    "Ga enak badan."
    Lima detik kemudian handphoneku bergetar, nomor Regha.
    "Halo?"
    "Kamu kenapa?"
    "Mmm, nothing."
    "Sakit? Aku pulang sekarang deh."
    "Ngga! Ngga! I'm okay."
    "No, I know that you are not. I'm going home now."
    "Gha...", terlambat. Regha sudah memutuskan telepon.

    Aku membuka pintu dan mendapati Regha membawa sebuah kantong.
    "Are you okay?", tanyanya sambil menaruh bungkusan itu diatas meja pantry. Tangannya menyentuh dahi dan leherku.
    "Demam doang kok. Udah minum Paracetamol tadi."
    "Makan dulu nih, aku bawain Bubur Ta Wan."
    Aku memandang bungkusan itu tak berselera. Aku menggeleng.
    "Mau tidur.", aku melangkah ke sofa. Merebahkan badanku.
    "Sini ukur dulu.", Regha membawa thermometer badan. Aku mengerjap malas.
    "Ga usah deh, Gha. Ga demam-demam banget kok."
    "Ngga, kamu mau sakit kaya dulu lagi? Typus?"
    "Kok lo ngedoain gue sih?!"
    "Ngga, sayang."
    "Reghaa."
    "Hmm?"
    "Ga ada Nita, lo mau ngapain?"
    "Kerjalah."
    "Oooh."
    "Emang kamu maunya aku ngapain?", tanyanya sambil memasukkan thermometer ke ketiakku. Dingin. Aku meringis.
    "Ya mana gue tau. Lo meeting jam berapa?"
    "Cancelled."
    "Why?"
    "Aku mau disini aja. Jagain kamu."
    Aku diam. Sampai thermometer berbunyi. 39,8 derajat celcius.
    "Ngapain ih? Udah sana rapat."
    Regha menatapku. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku. Hangat, lembut.
    "I love you. Dan aku ga akan ninggalin kamu.", ucapnya sambil membelai dahiku. Aku merasa pipiku makin memerah. Aku memejamkan mata. Bibirnya menyentuh bibirku lagi.
    ***
  • Maaf baru bisa update lagi :( Lagi sibuk sama Tugas Akhir nih.. :) Makasih yang masih nunggu :D
Sign In or Register to comment.