It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Fiuh......
akhirnya bisa membuka dunia maya juga. sori utk bro n sis yg udah nunggu - nunggu cerita romantisnya Antoni dan Alif di Romeo Black Vow.
maaf, baru bisa buka komputer. maklum, saya baru selesaai melaksanakan UKK (Ujian Kenaikan Kelas), Selesai Prakerin (Praktek kerja Industri), selesai melaksankan big event OSIS, selesai memperbaiki blog, dan sekarang sedang sibuk persiapan LDKP dan pmebentukan AD/ART MPK.
sekali lagi saya minta maaf atas keterlambatan ini. saya harap saya tidak kehilangan pembaca setelah `kejadian` ini.... hehehe..... ngomong - ngomong yang mau protes, bisa secara lgsg lewat BF atau di blogger saya (http://holicmerahputih.blogspot.com/) disitu sudah ada kontak FB, twitter, dan google+. dan untuk yang masih menanti..... terimakasih...
Penulis terhebat adalah yang karyanya selalu dinantikan oleh orang banyak......
“Bagaimana? Sudah mendapatkan kabar terbaru?” tanya Kartika saat itu di markas kepolisian.
“Belum ada kepastian, tapi sepertinya keluarga Rahman dan Pratama memang harus di coret sebagai daftar tersangka.” Gumam Aswan di meja duduknya sambil menatap layar komputer.
“Kenapa?” tanya Kartika.
“Aku dan Fabian sudah menyelidiki kedua orang itu. Dan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa mereka patut dicurigai.” Kata Aswan. Kartika manggut – manggut.
“Abimanyu?” tanya Kartika.
“Fabian kemarin baru saja menyelidiki orang itu, meski tidak sampai pewawancaraan. Tapi, katanya dia terlibat perkelahian dengan Alif di bar Sabtu malam kemarin.” Kata Aswan. Kartika sedikit terkejut.
“Perkelahian? Lalu bagaimana keadaan mereka berdua?” Tanya Kartika.
“Parah! Alif mengalami pendarahan di kepala karena terkena serpihan botol yang diarahkan oleh Abim. Dan Abim mengalami kebutaan sebelah matanya akibat serpihan kaca yang diarahkan oleh Alif. Katanya sih, Alif dibawa oleh seseorang sesaat setelah keluar dari bar. Dan Abim… entah kemana.” Kata Aswan.
“Kira – kira siapa yang memulai perkelahian?” tanya Kartika.
“Abim. Karena modus cemburu! Setidaknya itu masih prediksi sementara.” Kata Aswan. Kartika terdiam.
“Itu berarti ada kemungkinan Abim lah pelaku utamanya?” tanya Kartika berasumsi.
“Entahlah. Tapi kita tak yakin.” Kata Aswan. Untuk sesaat Kartika terdiam.
Disudut ruangan, Jaka, tampak sedang terdiam mendengarkan pembicaraan mereka. wajahnya tampak sayu dan seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Seolah ia baru mendengar sesuatu yang terjadi tapi sulit diterima akal sehatnya.
Apa yang sedang dipikirkannya? Kita tak tahu itu. Tapi yang jelas, lamunannya membuatnya tak sadar akan tatapan yang sedang dilemparkan seseorang di seberang ruangan.
“Tuan Jaka.”
Jaka terdiam.
“Tuan Jaka!” Panggil Kartika sedikit berteriak.
Jaka terkejut mendapati Kartika sudah berada didepannya dan mengacung – acungkan tangannya. Pria bertubuh gempal dan berwajah wibawa itu kini malah tampak bingung melihat tatapan yang ditujukan Kartika dan Aswan. Kartika mengernyitkan dahi.
“Kau tak apa – apa?” tanya Kartika.
“Tak apa. Kenapa memangnya?” tanya Jaka.
“Sedari tadi kutanya tentang kasus ini kau hanya melamun.” Kata Kartika.
“Oh ya? Maaf, aku hanya sedang tidak konsen. Memangnya apa yang kau tanyakan?”
“ Aku tanya bagaimana dengan Raisa Maharani. Bukankah itu yang ingin menjadi tugasmu untuk meyelidikinya? Apakah dia patut kita masukkan sebagai daftar calon tersangka?” tanya Kartika. Jaka kemudian terdiam sesaat. Dan kemudian, melamun untuk beberapa waktu. Kartika menunggu dengan tidak sabar!
Sebelumnya, senior polisi yang dikenal wibawa dan memiliki jabatan penting di badan kepolisian itu memang sudah berinisiatif untuk menyelidiki gadis keturunan Aceh bernama Rani itu. Namun sepertinya, pria empat puluh tahunan itu tampak memiliki kejanggalan di otaknya yang membuatnya tidak konsen. Bahkan saat Kartika menanyakan tentang kabar terbaru dari Rani, Jaka tak mendengarkannya.
Untuk beberapa saat, Jaka terdiam.
“Tidak! Dia bukan pelakunya.” Gumam Jaka. Namun ucapannya seolah menggantung sebuah makna tersirat.
“Kau yakin?” tanya Kartika meyakinkan.
Jaka mengangguk.
“Kenapa?” Tanya Kartika. Untuk sesaat, kembali Jaka terdiam.
“Susah untuk dijelaskan. Tapi percayalah, bukan dia pelakunya.” Jelas Jaka. Kartika hanya terdiam, sesungguhnya ia masih tak yakin dengan jawaban Jaka. Namun, dia membiarkannya karena Kartika tahu ada sesuatu yang disembunyikan seniornya itu. Jaka tersenyum penuh kewibawaan khas pria yang sudah puluhan tahun berpengalaman di karirnya. Seolah menutupi sesuatu dan meyakinkan Kartika bahwa ia tak apa – apa.
“Maaf, aku harus segera pergi.” Gumam Jaka. Ia kemudian bangkit dan pergi setelah sebelumnya mengambil jaket yang berada di gantungan jaket dekat pintu. Kartika merasa Jaka memiliki sesuatu yang disembunyikannya.
BLAM!
Hening. Kartika dan Aswan hanya terdiam melihat tingkah aneh inspekturnya. Kartika menatap Aswan yang masih berada didepan komputer. Aswan juga menatap bingung kearah Kartika.
“Kenapa dia?” tanya Aswan.
“Entahlah. Masalah rumah tangga mungkin.” Kata Kartika beragumentasi.
“Apa kau percaya Raisa Maharani bukanlah pelakunya?” tanya Aswan. Kartika terdiam. Ia juga tampak tak yakin dengan jawaban Jaka tadi karena Jaka tidak menjelaskan pendapatnya secara jelas.
Akhirnya, Kartika harus memilih keputusannya.
“Untuk sementara, kita selidiki dulu Abimanyu karena dia pelaku terkuat dugaan pembunuhan. Tolong kau cari dimana sekarang keberadaan Abimanyu.” Gumam Kartika tergas. Aswan hanya mengangguk.
*****
¬Suara Hati Antoni…
Menyadari ibuku seorang Skizofrenia dan mengidap leukemia bukanlah satu – satunya hal yang membuatku merasa mendapat beban berat. Tubuh baru yang diberikan Tuhan ini sekarang juga menjadi beban berat tersendiri bagiku.
Mungkin bagi pria – pria macho yang biasa melatih tubuhnya atau membentuknya hal tersebut sangat menggangu jika ternyata tubuhnya berubah menjadi selemah wanita kurus langsing seperti kurang makan. Huh!
Meski sudah dua tahun bersekolah di SMA 18, namun aku tetap menjalani minggu – minggu pertamaku sebagai seorang murid baru. Mendapatkan ruang loker baru, wali kelas baru, dan tentu saja, teman baru. Yang notabenenya adalah teman wanita populer tapi penggosip yang mendekatiku. Dan salah satu dari mereka adalah… Riska si Iblis Betina! Huh!
Yup, semenjak kedatangan seorang siswi yang kata orang – sangat cantik seperti Yoona SNSD yang terdampar di sekolah yang… biasa saja, banyak orang yang membicarakannya, bahkan beberapa pria mulai mengajak kenalan dengannya.
Dan tebak siapa siswinya…..?
Yup! Aku! Cuih!
Semenjak kedatanganku kesekolah ini, aku seperti menjadi primadona dikalangan pria, dan menjadi inspirasi dikalangan wanita. Banyak pria yang menanyakan nomor telepon, alamat Facebook, minta di follback Twitter, atau berkirim sapa lewat E-mail. Tapi sayangnya, aku tak punya jaringan komunikasi yang mereka tanyakan. Ya memang, aku punya Facebook, ataupun E-mail. Tapi itu semua ber-nickname…Antoni Hendrawan! (Of course). Satu – satunya yang menjadi alat komunikasi ku hanyalah telepon genggam pinjaman dari Elise.
Pernah suatu ketika, ada beberapa orang cowok yang mencari tahu alamat rumahku. Lebih tepatnya, biara. Namun ketika mereka mencoba mendatangi biara untuk ngajak jalan, yang ada mereka malah dihadang oleh kedua kakak angkatku, Fabian dan Valent yang menatap sangar kearah cowok yang `telah berani` mengajak adik mereka nge-date! Dan setelah itu, aku dikenal sebagai seorang wanita yang memiliki kakak – kakak hyperprotective.
Statusku sebagai seorang muslim di lingkungan biara tidak membuat sebuah kontroversi yang berarti dikalangan pengagumku. Itu semua ditutupi oleh... kecantikan fisikku! Oh god, sejak kapan agama dapat dibutakan oleh kecakapan fisik semata?!
Karena kecakapan fisik seorang wanitaku, aku pun mulai dikenal oleh beberapa siswi narsis bin eksis, atau lebih tepatnya nyari eksis disekolah. Beberapa geng wanita yang dikenal sangat populer sampai – sampai menurutku mirip dengan girlband amatiran kalau mereka sedang berjalan bareng, mulai mencoba merekrutku sebagai anggota baru. Tapi tentu saja, aku menolak semuanya. Dan ketika aku menolak tawaran mereka, mereka hanya mencibir sambil berujar sinis!: “gak cewek banget sih lo!”
God, please! gue emang BUKAN CEWEK!
Dan tentu saja, yang paling parah dari mereka adalah… Riska! Kenapa? Karena dia selalu menguntitku dan mencoba untuk menarikku menjadi anggota cheersnya! Hello…! Gue tuh anak gym, masa iya disuruh jingkrak – jingkrak sambil nari pom – pom?!
Selain itupun, pamor ku disekolah juga~ denger – denger ~karena dua orang cowok yang berantem ala The Raid yang memperebutkanku! Dan dua orang cowok itu adalah… Abim dan Alif!
Astaga, entah kabar itu benar atau tidak, tapi katanya, ada pihak polisi yang menyelidiki kasus tersebut! Separah itukah?!
Dan yang makin membuatku tambah penasaran adalah, baik Alif maupun Abim, tiga hari ini tak ada yang masuk. Kudengar dari Pratama sih, Alif dibawa ke-kost-annya dan luka dikepalanya telah membaik. Namun… kemanakah Abim setelah hari itu? Kudengar dari Kartika, Alif membutakan sebelah matanya!
“Hei, ngelamun aja!” Sebuah suara cempreng nan centil menganggu pendengaranku. Riska! Oh god!.
Saat itu, aku sedang berasik mahsyuk duduk sendirian di kantin sambil menyantap nasi goreng guna mengisi perutku sebelum jam pelajaran pertama; olahraga dimulai. Dan aku ingin duduk sendirian tanpa ada seorangpun yang mencoba mengganggu perenunganku tak terkecuali makhluk jadi – jadian ini.
Riska langsung nyerobot dan duduk dihadapanku dengan cengengesan. Ia bahkan menarik piring nasi gorengku dan langsung menyuapkannya ke mulutnya dengan santai. Aku yang belum siap dengan tingkahnya hanya bengong dengan mulut yang terbuka sambil menatapnya.
“Nggak marah kan aku ambil. Kita kan temen.” Kata Riska sambil dengan santainya menyuap nasi gorengku. Temen?! Iyuwh. Jijay, Bajay, Bawang Bombay dech!
“Terserah kamu deh, Ris.” Kataku mencoba masa bodoh dengan iblis penguntit ini. Aku menyeruput es jerukku. Dan kemudian aku tidak berselera makan lagi.
“E, lo tau ga…?” Gumam Riska disela – sela kunyahannya.
“Enggak!” Kataku sebelum Riska sempat menyelesaikan ucapannya.
“Ih! Entar dulu! Belom selesai ngomong nih gua!” Kata Riska. Aku memutar bola mata.
“Emang apa?” kataku malas. Membiarkan Riska bercerita.
“Si banci itu udah kembali.” Kata Riska sinis. Aku mengernyitkan dahi.
“Banci? Siapa?” tanyaku.
“Alif.” Kata Riska sambil mengekspresikan ke jijik-an.
“Hah?! Maksudnya balik kesekolah?” Kataku kaget. Riska sampai terlonjak karena kaget mendengar suaraku yang tiba – tiba meninggi.
“Duh! Biasa aja kali. Iya, balik ke sekolah. Masa iya balik ke hutan!” Kata Riska kesal.
“Maksud kamu, dia masuk sekolah lagi, gitu?”
“IYA!” Kata Riska jengkel.
“Koq aku nggak liat dia sih daritadi!” kataku mencoba mengatakan secara halus bahwa Riska hanya membual.
“Ya ampun, Honey… ya iyalah lo gak liat. Secara jam pelajaran kita langsung olahraga, otomatis kelas kita di tutup karena pelajaran olahraga di lapangan. Lu tau sendiri lah anak – anak kelasan pada kelayaban kemana tau sebelum jam olahraga. Gua aja ngeliat dia pas di pintu gerbang.” Kata Riska rada kesal. Aku mematung. Alif, masuk sekolah lagi. Setelah sekian hari masuk tanpa keterangan.
“Terus keadaan dia gimana sekarang?” Kataku mencoba bertanya.
“Keadaan apaan maksud lo?”
“Lho, katanya Alif habis terlibat perkelahian sampai bonyok parah?!”
“Oh… itu. Iya, keadaannya penuh dengan luka dan perban di kepalanya. You know lah, mirip kayak Danzo di film Naruto. Tapi sayangnya matanya nggak ditutupin sebelah. Cuma jidadnya doang.” Kata Riska. Ia kembali lagi menyuap nasi gorengnya. (Lebih tepatnya, punyaku!)
Aku mematung. Aku bertanya – Tanya dalam benakku mengenai keadaan Alif sekarang.
“By the way, emang bener Alif sama Abim berantem gara – gara ngerebutin lo?” Tanya Riska menyelidiki.
“Hah! Kata siapa?” Tanyaku mencoba menutupi kegugupan akan pertanyaan Riska.
“Anak – anak pada ngomongin tuh!” Kata Riska.
“Ah, pada ngibul kali.” Kataku menyembunyikan fakta. Riska terdiam dan menyelidikiku. Matanya seolah hendak menelanjangiku.
“Tapi, saran gua nih ya, El. Mending jangan pilih Si banci itu deh.” Kata Riska berbisik.
“Banci? Alif maksud kamu? Emangnya kenapa?” Tanyaku heran.
“Dia itu… gay.” Kata Riska berbisik sambil menekankan kata `gay` seolah itu memiliki arti yang spesial.
Hmmmm… Ris, semenjak aku belum deket sama kamu, aku juga udah tahu Alif itu gay!
“Oh…” Jawabku singkat.
“Lho, koq `oh` doang sih?” Kata Riska jengkel.
“Terus gua harus guling – guling ala teletubbies sambil bilang WOW gituh?” kataku.
“Ah, sebodo amat lah El. Gua udah ngingetin lu ya pokoknya.” Kata Riska. Akhirnya dia kembali menghabiskan nasi gorengnya.
Aku terdiam. Alif, apa kabar kau sekarang? Sudah lama kita tak berjumpa. Apakah kamu merasakan aku pada tubuh ini? Tubuh asing bagimu?
“Aku pergi duluan ya.” Seketika ada sesuatu yang harus kulakukan dan terlintas baru saja di otakku.
“Kemana?” Tanya Riska.
“Mau ganti baju. Kan bentar lagi olahraga.” Kataku membela. Aku kemudian segera berbalik dan mencoba untuk menghindari pertanyaan Riska selanjutnya. Riska hanya cuek dan menghabiskan nasi gorengnya.
Tapi sebelum itu, aku berbalik dan menghadap Riska.
“Ngomong – ngomong, ini nasi gorengnya belum kubayar. Tolong bayarin ya, sekalian sama es jeruknya.” Kataku lalu pergi dengan cengengesan.
Samar – samar terdengar Riska sedang merutuk – rutuk.
*****
Suara hati Alif…
Aku menatap wajahku di cermin ruang ganti. Wajahku yang masih diliputi luka – luka kering itu tampak menyedihkan dibalik kaca. Sedikit pitak terlihat dipelipis kiriku dan kelopak mataku agak bengkak. Tapi siapa yang peduli?
Pratama sialan! Bisa – bisanya dia berhasil membujukku untuk masuk sekolah hari ini. Untungnya aku masih belum pulang kerumah. Pratama memberikan sebuah persyaratan padaku, aku diizinkan tinggal sementara di kost-nya namun aku tetap harus bersekolah. Huh! Padahal aku sudah berniat untuk berhenti!
Namun, senakal – nakanya diriku pun, aku masih menghormati tempat seseorang yang aku tumpangi tinggal. Terlebih lagi, orang itu telah menyelamatkan nyawaku, meskipun aku tak menginginkan kehidupanku didunia ini lagi.
Menurutku, hanya Pratama yang mungkin masih memperdulikanku setelah semuanya terungkap! Setelah aku dan Antoni menghadapi kenyataan pahit. Setelah kami ditinggal keluarga dan sahabat, bahkan Tuhan pun tak merestui kami!
Mungkin hanya Pratama lah, orang yang masih menjadi pendorongku untuk masih hidup.
Aku menghela nafas. Seteleh memakai pakaian ganti, aku keluar dari ruangan yang pengap itu. Beberapa murid melihatku dengan heran menatap wajahku. Seolah menatap luka – luka diwajahku. Mungkin mereka semua tak tahu kejadian pada saat malam aku berkelahi dengan Abim hingga mengakibatkan luka diwajahku. Atau mungkin, mereka sedang mencari tahu? Ah, aku tak peduli.
Dan semua kejadian itu, kejadian yang membuat aku sekarat dan nyaris mati adalah, gara – gara perempuan itu! Ya… siapa namanya? Oh iya… Elia! Kenapa setiap perempuan itu selalu mendatangkan masalah dalam hidupku?! Elia sama saja dengan Riska! Sama – sama mendatangkan bencana dan beban bagiku! Padahal aku sama sekali tak memiliki rasa dengan mereka. Namun, karena merekalah, Abim cemburu! Karena kecantika Elia dan Riska lah yang membutakan mata Abim hingga berani membekukku!
Ah… wanita, mereka hanyalah beban hidup bagi makhluk Adam dibumi. Sudah untung diberi tulang rusuk! Malah meminta tulang punggung! Mereka selalu meminta emansipasi dan toleransi. Bahkan ingin diperlakukan layaknya ratu untuk bisa menindas budak – budak prianya. Dan senjata utamanya hanyalah paras mereka yang cantik. Huh! Begitulah Riska dan Elia serta semua wanita yang pernah kutemui.
Aku keluar dari ruang ganti. Tak jauh dari pintu, kudapati Pratama sedang mengobrol dengan seseorang dan membelakangiku. Kudengar dari suaranya, sepertinya ia sedang mengobrol dengan seorang wanita. Tampak asik sekali. Ah… Pratama, ingin rasanya kuselami dunia heteromu.
“Pratama.” Panggilku.
Pratama berbalik mendengar namanya dipanggil. Seketika itu, tubunya berputar memperlihatkan dengan siapa dia berbicara.
Gadis yang kini sedang aku kesali. Elia!
“Alif! Sudah selesai ganti baju rupanya.” Kata Pratama menyapaku. Namun aku seolah tertuju pada tatapan gadis itu yang menatapku sendu. Mata kami beradu dalam diam.
“Nnnggg… ini…” Pratama menyadari ada sesuatu diantara kami. Ia mencoba menengahi. “Namanya Elia. Pindahan baru dan satu kelas sama kita.” Kata Pratama.
“Ya, aku udah tau koq.” Kataku dingin. “Gadis yang menjadi penyebab luka diwajahku.” Kataku mencoba membuatnya sakit hati. Elia hanya menunduk.
“Maaf. Aku nggak bermaksud…” Gumam Elia pelan.
“Simpan alasanmu untuk kamu jelaskan sendiri pada Abim!” Kataku dingin. Elia terdiam.
“Sssttt… udah – udah! Jangan bawa masalah pribadi disini!” Kata Pratama. Aku menatap dingin Pratama. Menyelidiki wajah polosnya. Semudah itu kah dia membela Elia? Orang baru itu?!
“Jangan bilang kamu juga naksir sama dia! Kayak Abim.” Kataku.
“Aku…? naksir…? hahaha… nggak mungkin…” Kata Pratama gugup. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya menatapnya dingin.
“Sudahlah. Aku malas ketemu gadis pembawa bencana kayak dia!” Kataku tajam. Elia menunduk. Aku kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua dan mencoba tak menoleh untuk meminta maaf.
Samar – samar kudapati Pratama berkata.
“Maaf ya Elia. Alif emang lagi gak mau diganggu. Aku harap kamu ngerti.” Kata Pratama.
Of course, Pratama naksir Elia.
*****
“Elia… oper kesini…!”
Suara ramai dilapangan membuat orang tampak bersorak – sorai dan bertepuk tangan mendukung para siswi yang sedang tanding basket saat jam olahraga. Mereka menggunakana konsep 3 on 3 dalam permainan bola keranjang itu. Pagi itu, cuaca agak sedikit mendung namun tak menunjukkan tanda akan hujan. Hanya ada hawa sejuk yang dibawa sang bayu sehingga suasana saat itu tampak meriah.
Para pria menepuki siswi yang sedang tanding basket itu. Namun, hanya satu yang menjadi primadona bagi mereka. Elia tentu saja. Karena Elia sangat cantik dan juga tampak jago dalam bermain basket. Tentu saja, Elia itu kan Antoni. Atlit basket di sekolahnya.
Elia seolah menjadi bintang saat bermain basket. Jika dipikir secara logika, Elia tentu lebih jago menghadapi wanita – wanita tersebut karena Elia adalah Antoni. Namun, siapa sih yang menyadarinya?
Saat bola masuk keranjang, Elia tampak mendapatkan sorakan heboh. Ia selalu berhasil mencetak three point untuk menghasilkan skor. Para siswinya yang sedari dulu ingin dekat dengan Elia, mulai meneriaki nama Elia sambil meneriakan pom – pom dan berteriak alay. Terutama Riska pastinya. jikapun sisiwnya hingga bersorak mendukung, bisa dibayangkan para siswanya seperti apa?
Namun dibalik itu semua, ada orang yang tampak dingin melihat wanita itu bersinar. Seorang kurus yang memilih duduk jauh dari keramaian dan jauh dari lapangan. Ya, Alif.
Alif tampak tak menyukai Elia. Entah mengapa, ia jadi menganggap Elia adalah bencana. Ia tampak sinis ketika melihat Pratama dan Riska meneriaki nama Elia.
`Apa hebatnya Elia? Hanya jago basket?! Atau hanya cantik?!` Alif mencibir. Dalam penglihatannya, Elia mengingatkan Alif dengan Antoni. Antoni yang jago main basket, Antoni yang jadi bintang lapangan. Dan entah mengapa, melihat Elia, seolah membuka kembali sakit hati Alif akan masa silam.
Elia. Gadis itu seolah membuatnya kembali sakit hati. Alif merutuk dalam hatinya. Ia menunduk dalam menyembunyikan rasa sakit yang terpeka diwajahnya.
Tiba – tiba saja sebuah bola menggelinding tepat kearah kakinya. Alif tersadar dan segera mengambil bola itu yang menyentuh kakinya. Sebuah bola basket.
“Alif! Tolong lemparkan padaku!” Pekik Elia di tengah lapangan sambil melambai dan tersenyum pada Alif. Elia dan teman – teman lainnya menunggu lemparan Alif.
Seketika Alif tak senang dengan wajah Elia. Entah mengapa, ia kesal dan seolah ada rasa marah yang masuk kedalam relungnya. Wanita pembawa bencana!
Dengan kesal, Alif melemparkan bola basket itu dengan keras. Elia yang tak siap dengan serangan itu tak sempat menangkap bola itu hingga…
BUG!
Bola itu mengenai wajah cantiknya. Untuk sesaat, kepalanya pening hingga keseimbangannya oleng. Dan kemudian… bruk!
Elia terjatuh dan pingsan ketika semua orang datang mengerumuninya.
*****
~apa yang membuatmu marah padaku hingga kau berhak membenciku. hukum aku dengan tanganmu, asal jangan bunuh aku dengan cintamu... - ELIA ~
Ahahahay,,,
Mksih @holicmerahputih yg telah sudi tuk mlanjutkan cerita ini. Tetap semangat, DAN ku tunggu secepatnya lanjutan cerita ini,,,
TQ..udah mantion Gw..
Wlau butuh Extra buat ngingat alur crita y..krn sking lama y..br update!
Tapi Gw seneng llo masih mau nglancutin crita y..
Smangat ya..
Plz jgn terlalu lama. Mati penasaran dgn cerita ini. Kerennn bangatttttt.
29. Church, God and Supper
Pemuda jangkung dan matang itu memasuki gerbang sekolah SMA 18. Dengan menggunakan kaos biru muda polos dan celana simple pants permanent nya ia tampak begitu maskulin dan terbilang cukup menawan. Matanya tajam memandang setiap orang namun senyumnya begitu kharismatik. Wajah kedewasaan terlihat jelas di mukanya yang begitu tegas namun wibawa.
Semua memandangnya seolah ia makhluk dari planet lain. Para gadis berbisik-bisik nakal sementara para pria menatapnya dengan iri. Dengan tubuh yang atletis serta sikap yang dewasa ia tampak gentlemen. Pemuda matang itu, Valent. Ia berhasil menjadi idola di sekolah adiknya sendiri.
Namun yang namanya Valent adalah pria yang cuek dan tidak minat dengan gadis remaja yang hanya menyukai keindahan fisik belaka. Sehingga ia hanya berjalan santai tanpa peduli pada gadis yang mengaguminya di sekitarnya. Saat ia sampai didepan lobby, ia celingak – celinguk seolah mencari jalan.
“Hey Val, tungguin dong!.” Pekik seorang perempuan yang terbilang sangat cantik dan dewasa. Wanita itu berambut agak kemerahan dan wajahnya sangat cute. Mirip seperti Barbie. Ia mengenakan sebuah kaos dibalut cardigan berwarna cokelat muda yang netral. Dipadu padankan dengan jeans ketat yang membuat lekukan tubuhnya sangat sempurna. Kali ini, para siswa yang melihatnya tampak kagum sementara wanitanya merasa iri melihat `Barbie` berjalan itu.
“Yee. Lagian ada – ada aja sih! Ke sekolah pake sepatu high!” gumam Valent.
“Aku tuh harus tetap modis Val!” Kata wanita itu.
“Kita kan cuma mau ngejemput Elia yang katanya pingsan! Bukan mau jadi model yang jalan di catwalk!” Kata Valent.
“Janetta emang gitu, Val!” satu lagi pemuda yang wajahnya terlihat lebih muda tampak datang dengan santai. Ia mengenakan sweater pendek yang menutupi kemeja putihnya. Ditambah dengan sisiran spiky dan celana bahan warna hitam.
“Dia emang selalu nganggap tiap hari adalah `stylist event` buat dia.” Kata pemuda itu mengejek Janetta. Saudari angkatnya.
“Apaan sih Bi, mau ikut campur aja!” kata Janetta kesal. Fabian hanya tertawa.
Disebelah Fabian, terdapat seorang wanita mungil berambut pendek dan berwajah childish. Ia hanya mengenakan kaos putih dan di tutupi dengan jaket cokelat yang digulung tangannya. Levis ketat menjadi celana kebangsaannya. Ia menggandeng lengan Fabian seolah mereka sedang berjalan menuju pesta prome nite. Matanya yang bulat tampak mengawasi setiap sudut sekolah itu.
“Hmmm… sepertinya ditempat inilah akan terjadi sesuatu yang besar.” Gumamnya sok cenayang.
“Owh! Come on Elise! bukan saatnya untuk mendengar ocehan peramalmu!” Kata Janetta kesal.
“Tapi aku melihatnya Jane! Banyak polisi, ada pesta, dan ada tragedi disini nantinya.” Kata Elise.
“Polisi? Di SMA? Emangnya ada tawuran ya?” Kata Fabian yang seolah menjadi tertarik dengan ocehan Elise.
“Yah, Abi! Jangan ikutan menghayal juga dong!” Kata Janetta kesal.
“Sudah – sudah, ribut aja sih! Jadi jemput Elia gak nih?” Kata Valent menengahi sebagai kakak tertua.
“Oh iya! Yuk capcus.” Kata Fabian dengan gaya ngondek.
“Yuu…” Sambut Valent dengan gaya ngondek juga. Alhasil, mereka mendapat jitakan kepala dari Janetta.
*****
Suara hati Antoni…
Aku tersadar beberapa menit kemdian. Mataku kurasakan masih berkunang – kunang dan kepalaku masih terasa pening. Seolah ada sesuatu yang berat menghantam kepalaku. Astaga, rasanya kepalaku seperti hendak copot!
Kudapati diriku terbaring di atas ranjang berseprei putih dan masih mengenakan seragam olahraga. What happen aya naon, nih?!
“Lo udah bangun, El?” Gumam seseorang. Riska! Dan disebelahnya, ada Pratama dan mereka mendekatiku. Setitik rasa khawatir terlihat jelas di wajah dua orang itu.
“Kamu masih sakit?” Tanya Pratama. Aku menggeleng sambil meringis dan memijit kecil kepalaku yang terasa pusing.
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Alif…” Gumam Pratama pelan.
“Dia sengaja ngelempar bola basket kearah lu sampe lu pingsan.” Kata Riska. Aku bergeming. Alif? Sengaja melakukan itu padaku? Kenapa?
“udahlah, El. Gak usah dipikirin.” Kata Riska seolah membaca pikiranku.
“Kalian nungguin aku?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Kami nungguin kamu dari jam pelajaran olahraga.” Kata Pratama.
“Lho? Kenapa? Ini kan udah masuk pelajaran ketiga! Udah mau jam istirahat, lagi!” kataku sambil menengok kearah jam dinding yang menempel tak jauh dari tempat tidur.
“Kita… cuman khawatir sama kamu.” Kata Pratama.
JLEB! Astaga! Pratama! Riska! Mengapa kalian begitu empati kepadaku? Bukankan aku hanyalah seorang murid baru dimata kalian?
Aku terdiam. Dalam hati aku berterima kasih ada yang memperdulikanku dan merekalah orangnya.
“Gua udah ngehubungin keluarga lo.” Kata Riska. “Tadi sengaja gua cari kontak nomer HP keluarga lo yang bisa dihubungi dari ponsel lo.”
“Tapi… aku nggak punya keluarga.” Gumamku. Riska terdiam.
“Maksudnya, keluarga kamu yang dari biara.” Kata Pratama menjelaskan. Aku mengangguk paham.
TOK TOK!
Sebuah ketukan pintu mengisi suasana sepi di UKS. Kami bertiga menoleh kearah empunya suara yang telah mengetuk pintu. Dan tentu saja kami sedikit terkejut. Orang yang mengetuk pintu itu adalah… Alif!
“A… Alif!” Gumam Pratama tampak terkejut. Alif tampak angkuh dan membuang pandangannya. Ia hanya terdiam.
“Ngapain lo kesini?!” Gumam Riska. Sangat jelas ada nada kesal disana.
Alif hanya terdiam. Untuk beberapa saat suasanan menjadi serba canggung.
“Nnnggg… mendingan aku bikini kamu teh.” Gumam Pratama. Ia segera bangkit dan mencoba keluar menuju dapur UKS. Tapi kutahu, Pratama hanya ingin keluar dari suasana canggung itu dengan beralasan demikian. Karena ia tahun Alif butuh ketiadaannya untuk membicarakan sesuatu. sepertinya.
Alif masih terpaku ditempatnya. Terdiam. Sementara Riska masih menatap tak suka kearah Alif. Aku menghela nafas.
“Lebih baik kamu keluar dulu deh sebentar.” Kataku pada Riska. Riska mengernyitkan dahi.
“lo yakin?” Tanya Riska.
“Aku nggak apa – apa koq Ris.” Kataku meyakinkan Riska kalau aku akan baik – baik saja. Riska masih tak yakin. Tapi aku mengangguk dengan halus supaya dia bisa mempercayaiku.
Riska akhirnya nyerah. Dengan menghel nafas, ia akhirnya memilih bangkit dan meninggalkan kami berdua. Sekilas kudapati tatapan benci Riska saat melewati Alif.
Dan kini, hanya ada kami berdua. Dalam suasana canggung. Alif masih saja membuang pandang dariku namun aku mencoba menatap matanya.
“Ada apa Alif? Tidak mungkin kau kesini hanya untuk minta maaf.” Kataku membuka percakapan. Alif terlihat canggung. Ia menggaruk kepalanya dan membuang tatapannya. Aku mengernyitkan dahi. Menunggu jawabannya.
“Sebenarnya…” Alif membuka suaranya. “Ya. Aku kesini hanya untuk meminta maaf.” Kata Alif. Aku mengangkat alis.
“Kau yakin?” kataku memancing. Ia mengangguk. Aku tersenyum. Alif masih saja menjadi anak yang introvert. “Kemarilah. Duduk sebentar. Mungkin masih banyak yang harus kita bicarakan.” Kataku.
Diluar dugaanku, ia menurut dan berjalan mendekatiku. Terlihat menunduk dengan tatapan dingin. Sesaat setelah ia sampai di kursi dekat dengan kasurku, aku mendapati wajahnya sangat sayu tersiksa. Astaga Tuhan! Sinarnya memang telah hilang dari wajahnya yang rupawan. Ia tampak kurus dan pucat! Apakah ini semua akibat kematianku?
“Apa kau membenciku?” Tanyaku. Alif mendongak kaget mendnegra pertanyaanku yang tiba - tiba.
“Apa maksudmu?” tanyanya
“Kau melempariku dengan bola itu dengan kesal. Apa kau membenciku? Apa aku berbuat salah kepadamu?” Tanyaku lagi. Alif menunduk dingin.
“Aku tak membencimu. Aku hanya… hanya…” Alif tampak bimbang.
“Hanya apa?” pancingku. Tapi Alif tak menemukan kata yang pas untuk melanjutkan kalimatnya. Ia akhirnya hanya memilih diam.
“Jadi, kau benci padaku?” tanyaku lagi.
“Tidak!” sergahnya cepat.
“Lalu? Kenapa kau melakukan itu?” kataku. Alif lagi – lagi menunduk.
“Baiklah... Aku marah. padamu!” Kata Alif. Aku mengernyitkan dahi.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Yang pasti rasa kesal ini begitu memuncak ketika aku melihatmu. Kau… begitu mirip dengan… Antoni. Dan aku kesal mengapa sampai sekarang aku tak bisa melupakannya.” Gumam Alif sendu. Aku terdiam.
“Jadi maksudnya… kau marah pada… Antoni?” Tanyaku. Untuk sesaat Alif terdiam.
“Sepertinya begitu.”
“Kenapa?”
“Karena dia sangat berharga! Hingga saat dia pergi… aku tak pernah bisa merelakannya!” katanya sedikit tegas. Aku terbelalak mendengarnya. Aku nyaris saja menangis mendengar perkataan Alif. Dia masih saja mengingatku. Hingga tanpa sadar, ingatan itu menjadi beban berat di pikirannya.
“Dengar…” Aku berkata sendu kearah Alif. Alif menatapku. Untuk sesaat seolah kami sedang berbicara lewat pandangan. Saling menatap dan mencoba untuk memasuki dunia kami masing – masing. Aku dapati tatapan penuh siksa dan dera di mata sayu Alif. “Tidakkah kau dapat belajar merelakannya?" Kataku sendu.
“Jika aku mampu, pasti telah kulakukan…” Katanya membalas sendu.
untuk sesaat akmi terdiam. menatap satu sama lain.
“Tidakkah kau merasakannya? Antoni juga menangis saat kau tampak sedih dan tersiksa! Dia menangis untukmu! Biar kematian ditanggung olehnya, asal kau jangan mati bersamanya…” Kataku sendu.
Aku berkata sebagai Antoni yang mencintaimu, Alif!
Alif terdiam. Tatapannya tampak mengiba. Setitik airmata terjatuh dari kelopak matanya yang kering. Aku menghapusnya pelan. Tak sadar, jemariku mengelus wajah tirus Alif. Sensasi sentuhan yang selalu kurindukan. Aku terus menatapnya sementara telapakku kini memegang pipinya. Alif hanya terpaku.
“Alif… dia hanya minta kau melupakannya! Tak berarti menyuruhmu untuk berhenti mencintainya. Lanjutkan hidupmu, jangan biarkan bayangan masa lalu Antoni menghukummu. Biarkan itu menjadi kenangan… asal jangan biarkan kau hidup didalamnya.” Kataku. Seketika airmataku jatuh. Aku sesenggukan sambil mengelus pipi dan turun ke leher Alif. Ingin rasanya aku menangis dalam pelukannya.
“Kenapa kau menangis?” kata Alif sendu. Ia mengusap pipiku dan menghilangkan butir airmata yang seolah menjadi lambang pilunya hatiku melihat perjalanan rumit kekasih hatiku semenjak kepergianku. “Wajah secantik ini tak sepatutnya menangisi makhluk hina macam diriku.” Kata Alif. Aku menunduk.
Saat tangannya mengusap pipiku, sontak aku langsung menangkapnya dan menggenggamnya erat. Menggenggam kedua tangan Alif yang penuh sekali dengan luka sayatan. Aku menatap nanar pada kedua tangan Alif. Alif hanya mengikuti arah pandanganku. Tiap ia merasa sakit hati, ia selalu menorehkan segalanya diatas dagingnya hingga tangannya menjadi memar seperti ini.
“Aku hanya… tak ingin melihatmu menyiksa dirimu hingga seperti ini!” Kataku memandang tangannya yang kini rusak!.
“Aku ingin melihat lagi wajahmu yang katanya dulu seindah dewa matahari. Begitu cemerlang dan rupawan. Tidakkah kau sadar, ada banyak orang yang menangisi kepergian Alif yang dulu?” kataku sendu. Alif terdiam. Untuk sesaat kami bermain – main dalam pikiran kami masing –masing untuk beberapa waktu yang cukup lama. Terdiam dan sunyi.
“Apa benar kata Abim. Kau… mencintaiku?” Tanya Alif tiba - tiba. Aku terdiam cukup lama.
“Bukankah itu sudah jelas.” Jawabku singkat tanpa berani memadangnya. Tersirat sebuah makna didalam kalimatku barusan. entah seperti apa Alif mengartikannya. yang jelas, biarkan dia yang memikirkan sendiri maksud ucapanku.
“Jika itu yang terjadi, maafkan aku. Aku… tak bisa menerima cintamu.” Kata Alif.
Aku terdiam. Aku tahu dan selalu tahu kau akan mengatakan itu kepada orang lain selain Antoni. cintamu selamanya untuk Antoni. untukku! cintamu hanya untukku sebagai Antoni, bukan sebagai Elia.
“Tak mengapa. Aku sudah tahu kau akan menjawab itu.” Kataku.
Untuk sesaat kami terdiam. Aku kembali menatap wajahnya lewat mataku yang sembab.
“Jangan pernah membenciku! Hanya itu… satu yang kuminta darimu.” Kataku. Lagi – lagi terdiam. Tapi aku tahu Alif tampak menyetujui permintaanku lewat tatapannya.
Untuk sesaat aku kembali mengelus wajahnya yang tirus. Kutatap lekat dirinya hingga jarak wajah kami hanya beberapa inci. Tak ada pemberontakan yang berarti. Kami membiarkan tubuh kami bergerak secara reflex. Ah… bibirnya sedari dulu memang selalu menggoda. Meskipun kini telah berubah menjadi kehitaman akibat rokok. Tidakkah dibalik wajah kusam itu, masih tersimpan wajah seindah Apollo?
“Elia! Jangan sekarang!”
Tiba – tiba suara nyaring merubah segalanya. Suasana haru dan sendu seolah pecah berkeping – keping oleh keempat makhuk yang tiba – tiba muncul di depan pintu UKS. Aku langsung terbengong. saat - saat romantis itu telah hilang! seolah bunga - bunga sakura yang bermekaran, menjelma dan membusuk menjadi bunga bangkai! Akh! perusak suasana datang!
Seketika Alif menarik wajahnya dari tanganku. Ia segera mengusap airmatanya yang tersisa dan mencoba kembali berekspresi datar. Sementara aku, dengan jengkelnya kembali terbaring sambil mengusap airmataku yang juga masih tersiksa. Akh! Kakak – kakak yang menyebalkan!
Janetta langsung berlari menghampiriku.
“Elia… jangan ciuman dulu! Belom cukup umur, kamu!” Seloroh Janetta. Valent dan Fabian hanya tertawa terkikik sambil mencuri – curi padang kearah aku dan Alif yang masih berdiri. Mereka tahu, janetta pasti telah merusak saat - saat indahku dengan Alif. Huh! nyaris saja saat itu terjadi lagi!
Elise dengan tampang anehnya menoleh kearah Alif dan memperhatikannya seperti anjing yang sedang mengendus. Alif canggung mendapat tatapan seperti itu.
“Kau akan memiliki dua anak kembar nantinya. Satu bernama seperti Romawi, dan satunya lagi dinamakan seperti nama lain dari matahari.” Kata Elise kepada Alif. Alif mengernyitkan dahi seolah mengatakan `aneh` pada Elise. Elise, please, jangan permalukanku!
“Ayolah Elise, jangan membuatku malu disini!” Kata Janetta sambil mencuri pandang kearah Alif. Kau juga Jane, berhenti membuatku malu dengan omonganmu yang nyablak mengenai aku!
“El, dia ganteng. Serasa pernah ketemu dimana gitu pas aku lagi ke mall. Tapi bedanya, yang ini rada kucel.” Bisik Janetta padaku dengan nada ganjen. Aku memutar bola mata. dasar cewek!
“Sudah kubilangkan UKS berada di samping sanggar!” Kata Fabian pada Janetta.
“Aku juga sudah bilang begitu padamu!” Bela Janetta.
“Apaan?! Tadi kau nyaris nyasar ke kantin, tahu!” Fabian tak mau kalah.
“Enak saja! Jangan salahkan aku! Salah siapa sekolah ini tak memiliki papan penunjuk!” Kata Janetta sewot.
“Sudah – sudah. Yang penting kan kita berhasil menemukan ruang UKS dan Elia.” Kata Valent menengahi. Bagus Val, nyaris saja terjadi perang bacot antara Abi dan Jane. Fiuh! “Ngomong – ngomong, gak kenalin temen mu nih.” Seloroh Valent sambil melirik kearan Alif.
“Oh iya, maaf. Alif, kenalin, ini keempat kakakku yang dari biara. Itu ada Valent yang sebelumnya pernah kau temui saat kamu ke biara ku. Fabian, yang kudengar kalian sudah saling kenal. Dan dua kakak perempuanku, Elise dan Janetta. Dan kenalkan, itu Alif, temanku.” Kataku memperkenalkan mereka semua. Alif hanya tersenyum simpul dan ragu.
“Jadi kau Alif! Kau tahu, saat Elia pertama kali datang kesini, dia menyebut-nyebut namamu dalam mimpinya.” Celetuk Elise. Aku membelalak. Elise apa – apaah sih?!
.Alif melirikku dan aku tersipu malu. “Jadi, inikah pemuda yang dibawa dalam mimpimu itu? Yang kau panggil-panggil namanya saat kau ditemukan pingsan disini?, di cukup tampan juga.” kata Elise padaku yang menurutku terkesan ceplas-ceplos. aku hanya menunduk risi. Janetta , Valent dan Fabian hanya ber `cie – cie` ria. Alif tampak menaikkan sebelah alisnya dnegan ekspresi datar. Aku bersemu merah. Elise sialan!
“Jadi… ini ya yang waktu itu main ke biara.” Kata Valent menoleh pada Alif. Alif hanya menunduk. Ternyata Valent masih mengingat saat Alif keluar dari biara beberapa minggu yang lalu.
Fabian hanya menatap selidik kearah Alif. Aku tahu apa yang ada dipikiran Fabian. Tentu saja soal pembunuhanku yang sekarang sedang diselidiki oleh Fabian, Kartika dan rekan tim nya. Seketika itu, pandanganku dan pandangan Fabian bertemu. Fabian mengangkat alisnya sambil melirik kearah Alif seolah mengatakan `ini kan orangnya?`. Aku menganggukkan kepala seolah berkata `ya. Dia orangnya`.
“Apa kabar Alif?” Tanya Fabian mencoba berakrab ria sembari tersenyum. Alif tampak gugup dan dingin.
“Baik.” Jawabnya singkat. Fabian tersenyum. Sepertinya mereka sudah saling kenal. Kudengar mereka jalan bareng saat Fabian sedang menyelidiki Alif.
“Ngomong – ngomong, katanya kamu pingsan, El?” Tanya Janetta.
“Ya. Barusan. Aku sudah siuman sekarang. Meski masih agak pusing.” Kataku. “Kalian… nagapain kesini?” tanyaku. Aku sudah ingin menanyakan ini sedari tadi.
“Menjengukmu!” kata Fabian kalem.
“Whats! Menjenguk? Kak, aku tuh cuman pingsan doang! Gak usah empat – empat nya dateng dong!” kataku kesal.
“Yah, El. Namanya juga khawatir.” Kata Valent.
“Ya. Kau kan keluarga kami juga.” Timpal Elise. Aku terdiam.
“ Terlalu lebay dan berlebihan. Tapi… terimakasih ya telah mengkhawatirkanku.” Kataku. Mereka tersenyum.
“Jadi… kenapa kau bisa pingsan?” Tanya Valent.
“Aku dilempar bola sampai aku pingsan saat jam olahraga.” Kataku polos.
“Apa?! Kamu pingsan gara – gara di lempar bola?!” Kata Jenetta kaget. “Siapa orang yang berani ngelempar kamu pakai bola?! Mana orangnya?! Biar kukasih pelajaran ke dia?!” Katanya ngomel kayak emak - emak kehilangan kutangnya.
Aku ceming. Tak menyangka Janetta aka merespon seperti ibu – ibu yang lagi ngedumel gak karuan. Aku melirik Alif yang tampak membuang mata.
“Gak tau apa sakitnya ditimpuk bola?!”
“Nngg… Jane…” Panggilku mencoba untuk menghentikan ocehannya.
“kayak tuh orang mau minta maaf dan bertanggung jawab!”
“Jane…!”
“Siapa sih orang yang nimpuk kamu? Pengen ku tonjok mukanya!”
“Janetta…”
“Aku harap tuh orang mukanya jelek, gingsul, jerawatan, bantet, kuntet…”
“JANE!” Panggilku tak sabaran karena Janetta tak menghentikan ocehannya.
]
“Apa?” Tanya Janetta polos. Kali ini matanya tertuju padaku.
“Aku pelakunya.” Kata Alif dingin. Semua menoleh kearahnya. Janetta yang sedari tadi menyemprotkan omelannya, kini tampak membungkam mulutnya dengan ekspresi tidak enakan pada Alif. Valent , Elise, dan Fabian hanya mengulum senyum.
“Oops…” Gumam Janetta. Untuk beberapa saat ia terdiam. “Tak apalah… setidaknya kau baik – baik saja sekarang. Ya, kan El?” Kata Janetta kali ini lebih pelan suaranya dan memandang kerasan kearahku. Hahaha, ekspresi wajahnya lucu kala itu. Seperti menahan sembelit. Kulirik Alif, dia hanya diam saja tanpa ada ekspresi yang berarti.
Tiba-tiba suara cempreng seorang gadis manis memasuki ruang UKS dengan membawa secangkir teh. “Elia, sori teh nya lama! Air panasnya abis soalnya! Aduh… lo ngerepotin aja sih!! Capek tau mapah lo ke UKS!! Untungnya gua lagi baik hati.” kata Riska yang ngedumel tentang kejadian saat ia harus mengantarku ke UKS karena aku pingsan. Ia mendekati sebuah meja kecil di samping ranjang untuk menaruh teh hangatnya. Sepertinya ia tak sadar sedang ada perkumpulan keluarga yang sedang berlangsung disini. Keempat kakakku hanya cengo melihat tingkah Riska yang bahkan tak sadar dengan kehadiran mereka karena sedari tadi ia berjalan sambil menunduk kearah cangkir teh.
“iya-iya maafin aku. Oiya, thanks ya udah bawa aku ke UKS dan udah buatin aku teh.” Kataku tulus sambil tersenyum. Baru kali ini aku berterimakasih pada musuhku sendiri. Aku melirik sedikit kearah Valent. Sekilas wajahnya tampak mengagumi kemanisan wajah Riska yang datang dengan suara mezosofran-nya.
“oke-oke. Tapi kalo sekali lagi lo ngerepotin gue, nggak ada ampun buat lo!!, hahaha!!!.” Riska tertawa cempreng ala mak lampir. Aku juga tertawa hambar sambil menutup telinga.
Valent masih tak berpaling dari Riska meski Riska tampak tak peduli atau bahkan tak menyadari kehadiran Valent. Dan ketika Riska berbalik… senyumnya hilang. Ia tampak asing dengan keempat kakakku. Dan kemudian, ia terdiam menatap mereka satu - satu. Hahaha! bru sadar kan lo banyak orang!
“Dor…” Celetuk Fabian yang menertawakan Riska karena masuk tanpa menyadari kehadiran orang baru di UKS. Riska cengo.
“by the way, Ris. Kenalin, ini kakak - kakak angkatku. Janetta, Elise, Fabian dan… Valent.” Valent tampak tersenyum berkarisma ketika namanya disebut olehku. Tampak jelas ia ingin kenalan dengan Riska. Aku mau muntah. “Dan para kakak sekalian, kenalin ini temanku Riska.” Kataku memperkenalkan Riska pada mereka.
“Ops. Sori – sori. Gua kira cuman ada Elia doang disini. Ternyata ada kakaknya ya.” Kata Riska merasa bersalah dan merasa kurang sopan. Wow, Riska ternyata bisa mencoba sopan juga, ya.
“Nggak apa – apa koq. Kami yang harusnya minta maaf karena datang disaat yang tidak tepat. Pas jam pelajaran sekolah, lagi.” Seloroh Valent sambil tersenyum. Fabian mengangkat alis melihat tingkah Valent.
“Tampaknya ada yang sedang jatuh cinta.” Gumam Elise. Aku mengulum senyum mendengarnya. Riska tertunduk malu. Valent kalem meskipun kutahu ia juga sedang gugup.
“Dan kenalkan satu lagi temanku. Pratama.” Kataku menunjuk seseorang yang berdiri diambang pintu. Pratama datang secara tiba - tiba dengan tampang polosnya dan berdiam diri didepan pintu seolah bingung antara masuk ke UKS atau tidak. Namun sudah terlanjur, semua orang sedang menatapnya kini.
Pratama memberikan senyum ramahnya meskipun gaya jaimnya terkesan terbaca dan kaku. Aku sekali lagi memperkenalkan kakak – kakakku kepada Pratama.
“Maaf mengganggu kalian.” Gumam Pratama canggung dengan wajah polosnya.
“El… dia, ganteng! Manis!” Kata Janetta berbisik. Sepertinya… Janetta tampak terhipnotis dengan pesona Pratama. Haduh… Valent dan Janetta sepertinya naksir teman – temanku!
“Jadi… kalian semua teman – teman Elia ya?” Tanya Fabian.
“Yah… bisa dibilang begitu.” Kata Riska.
“Waah… kebetulan sekali. Hari ini di biara kami ada acara. Sebagai tamu kehormatan dan teman Elia, maukah kalian datang ke acara kami nanti sore?” Tanya Fabian. Janetta berbinar.
“Oh iya aku nyaris lupa. Hari ini kan ada acara bulanan St. Louis.” Kata Janetta. Fabian tersenyum.
Whats?! Tumben – tumbenan nih Fabian ngajakin teman – temanku? Ada apakah gerangan? Modus kayaknya nih! apakah ini tak tik penyelidikan juga?
Riska menoleh padaku dan mengernyitkan dahi tanda tak mengerti.
“Mmm, sepertinya aku belum cerita tentang kegiatan rutin kami setiap sebulan sekali. Kami sering melakukan supper bersama setiap malam. Setidaknya ini acara bulanan kami yang dilakukan keluarga besar katedral St.Louis dalam rangka bakti sosial. Karena supper kali ini mengajak anak – anak jalanan dan panti asuhan. Beruntung kalian diajak malam ini.” Kataku menjelaskan.
“Ya. Dan kurasa Elia sangat menginginkan kalian untuk ikut.” Bujuk Janetta. Aku mengangguk mantap. Kapan lagi kan aku bisa makan malam besar – besaran bersama keluarga dan sahabat – sahabatku? Terutama Alif. Yah, meskipun feelin ku berkata `ada udang dibalik batu` dari ajakan Fabian.
“Kau yakin kami boleh ikut? Bukankan ini acara gereja?” Tanya Pratama.
“Jangan khawatir. Acara ini terbuka untuk umum.” Jelas Fabian.
“Please… kalian ikut ya.” Bujukku.
“Baik. gua akan ikut kalo Pratama juga ikut.” Kata Riska sambil menatap Pratama.
“Dan aku akan ikut kalau Elia yang ngebujuk. Hehehe.” Gumam Pratama sambil tersenyum kearahku.
“Asik!” Sambutku. Seketika kulirik Alif. Alif tampak terdiam dengan tatapannya yang dingin.
“Alif… kamu ikut, kan?” tanyaku. Alif hanya melirik sekilas.
“Udah ikut aja. Elia ngarepin kamu banget lho…” Canda Elise jahil. Aku melempar tatapan galak padanya.
“Udah Lif, ikut aja. Daripada di kost-an! Sepi!” Bujuk Pratama. ALif berpikir sejenak.
“Mmm… oke.” Gumamnya singkat.
“Yes…” Sambutku singkat. Dan disambut godaan dari Fabian dan Valent.
“Huh! Bakal jadi acara yang gak ngenakin nih!” Gumam Riska kecil. Tapi aku masih mendengarnya. Sepertinya Riska sangat membenci Alif.
Huhu, semoga ini jadi batu loncatan buatku untuk `ngebenerin` Alif lagi.
*****
Jam empat sore selepas sekolah.
Mobil itu akhirnya sampai di pekarangan sebuah gereja katedral yang bergaya roma. Pratama cukup takjub memandangnya, seperti sebuah kastil abad pertengahan dengan nuansa modern yang begitu ramai. Atapnya yang kerucut mengingatkannya pada bangunan sekolah Hogwarts. Tak disangka, dibalik keramaian Jakarta ternyata menyimpan sebuah tempat seindah ini. Sebuah gereja bergaya spanyol.
Untunglah kami berangkat selepas pulang sekolah. Padahal aku menginginkan kami langsung berangkat tadi pagi dengan izin alih – alih ada urusan mendadak atau mengantarku kerumah sakit kepada guru piket. Tapi Valent menolak keras dengan mengatakan kami baru berangkat selepas pulang sekolah. Huh!
“oke kita sudah sampai, kuharap Ana memasak sup sapi ala Belanda hari ini. Dan untuk kalian bertiga, tak keberatan kan jika kita masuk gereja terlebih dahulu?” Kata Elise pada Alif, Pratama dan Riska. Pratama hanya berdecak kagum melihat sebuah gereja yang bergaya gothic.
“Tentu tak apa.” Kata Riska.
Kami memasuki pelataran gereja yang terbuat dari batu marmer dan cadas yang seolah diukir secara sempurna. Lorong-lorong gereja terkesan kuno namun bergaya modern. Kami berjalan melewati beberapa orang yang sepertinya baru selesai beribadah. Sesekali Elia dan keempat kakaknya memberi salam pada para biarawati dan beberapa pastur. Alif sedikit tak percaya, seorang muslim seperti Elia dapat beradaptasi secara sempurna digereja katholik.
Mereka melewati sebuah pintu yang tampak seperti mihrab. Disinilah sebuah biara tempat para biarawan dan biarawati menjaga gereja St.Louis. terdapat beberapa anak-anak kecil yang dibawah umur sedang bermain-main bersama kawan-kawan sebayanya.
“mereka adalah anak-anak adopsi Agustinus dan beberapa biarawati lainnya. Mereka dipungut dari jalanan dan diberi kehidupan yang layak disini.” Kata Elia menerangkan tentang anak-anak itu.
“Seperti dirimu?” Bisik Alif pada Elia. Elia cukup terkejut mendengar Alif mengajaknya ngobrol kala itu. Namun Elia mencoba santai.
“Mmm… tidak juga.” Kata Elia. Alif terdiam.
“Boleh aku bertanya?” kata Alif sesaat ketika mereka berada dibelakang rombongan.
“Apa?”
“Apa betul yang dikatakan Elise adalah benar?” Tanya Alif.
“Yang mana?”
“Yang tadi dikatakannya di UKS. Kau… menyebut – nyebut namaku ketika kau ditemukan pingsan disini.” Tanya Alif. Elia terdiam.
“Aku… tidak tahu. Aku tidak sadar waktu itu.” Kata Elia.
“Boleh aku bertanya lagi?” Tanya Alif lagi.
“Tentu.”
“Mengapa kau… di temukan terkapar di luar gereja?” Tanya Alif. Lagi – lagi Elia terdiam.
“Itu nnnggg….” Elia tampak tak bisa menjawab. Seolah ada sesuatu yang disembunyikannya. “Aku… lupa. Kejadian itu sangat traumatis untukku.” Kata Elia berkilah. Alif memutar bola matanya.
“Syndrome amnesia memang menjadi alasan yang bagus untuk menghindari pertanyaan.” Sindir Alif.
“Hehe. Suatu saat kau pasti akan mengerti.” Kata Elia. `suatu saat kau akan memahaminya, Alif`. Gumam Antoni pada diri Elia.
“Oke kita sudah sampai. Aula yang akan dipakai untuk perjamuan besar.” Gumam Elise yang menjadi pimpinan rombongan.
Mereka semua masuk kedalam sebua pintu besar mirip mansion dan mendapati sebuah aula makan malam yang, sekali lagi mirip dengan aula makan malam di Hogwarts! Beberapa biarawati dan pekerja gereja sedang menyiapkan meja – meja panjang yang melingkupi tengah – tengah aula. Setiap deretan meja terdapat ratusan kursi yang diposisikan secara berhadap – hadapan. Dan didepan barisan, tepatnya diatas sebuah lantai yang lebih tinggi, terdapat lagi sebuah meja panjang yang khusus disediakan untuk beberapa pastur, uskup dan biarawati penting di gereja st. Louis.
Pratama sekali lagi berdecak kagum. Riska terpukau sementara Alif hanya mengangkat alisnya sambil melirik kesana – kemari.
“Kalian boleh duduk ditempat yang telah kami sediakan sementara kami berempat harus ke kamar dulu untuk mempersiapkan diri. Elia akan menemani kalian.” Kata Janetta sambil tersenyum dan melirik – lirik kearah Pratama. Pratama hanya memberikan senyum simpulnya.
Sesaat mereka telah pergi meninggalkan Elia dan kawan – kawan, mereka akhirnya memilih untuk duduk di kursi tengah dekat dengan deretan kursi depan. Keempat rival itu duduk berhadap – hadapan. Elia disebelah Alif berhadapan dengan Riska disebelah Pratama. Suasana masih cukup sepi. Hanya ada segelintir orang yang memang memilih untuk datang lebih awal kala itu. Dan lagu – lagu gereja tampak mengaung mengiringi para pekerja di ruangan itu.
“Hei, kakak lo si Valent, nggak benar – benar suka sama gue, kan?” kata Riska membuka sesi obrolan.
“Kenapa memangnya? Bukankah dia cukup tampan.” Kata Elia sambil terkikik menggoda.
“Ah, cowok ganteng sama aja! Cuman fisiknya doang sempurna, tapi ujung – ujungnya malah bikin sakit hati! Kebanyakan cowok ganteng tuh cuman ada dua tipe di dunia ini! Kalo nggak bajingan ya… Homo!” Nyess. Riska seperti hendak menohok seseorang lewat kata – katanya. Elia melirik Alif. Alif pura – pura membuang muka dan tidak mengacuhkan. Riska tampak melirik berharap sindirannya akan mendapat respon.
“Tenang, Valent nggak kayak gitu kok.” Kata Elia mencoba menengahi. Berharap sindiran Riska tak berbuntut panjang.
“Ya, semoga aja begitu.” Kata Riska mendengus. “Tapi ngomong – ngomong, siapa tadi kakak lo yang cewek. Yang paling cantik dan berambut panjang?” Tanya Riska sambil tersenyum.
“Janetta?” kataku.
“Iya, dia! Kayaknya, dia juga naksir Pratama deh.” Kata Riska sambil melirik menggoda kearah Pratama. Elia terkikik. Pratama hanya memberikan senyum simpulnya.
“Ah, biasa aja kali.” Kata Pratama kalem.
“Lho, koq biasa aja, sih? Janetta itu kan cantik. Atau jangan – jangan lo juga sukanya sama cowok lagi?” Kata Riska sambil melirik kearah Alif. Alif memalingkan wajahnya. `Riska! Kenapa sih, lo demen banget nyindir orang? Ngerasa kesindir juga nih guanya!` Kata Antoni membenak.
Pratama hanya tersenyum simpul. Untunglah Pratama dapat peka terhadap keadaan, kalau tidak, pasti akan berbuntut panjang. Dasar Riska sialan!
*****
Suara hati Antoni…
“Hei, El.”Seseorang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh. Seorang wanita anggun yang tidak cantik namun wajahnya sedap dipandang. Ia tampak berbeda, dengan rambut yang dikuncir kuda dan memakai kaos putih dengan cardigan berwarna pink tua. Dipadukan dengan skinny pants berwarna gelap dan tapak anggun dengan sepatu high. Kartika tampak feminin ketika melepas seragam dinasnya.
“Lho? Kartika! Ngapain disini?” Gumamku.
“Aku diundang sama Fabian.” Kata Kartika. Aku hanya mengangguk – angguk. Seketika sebuah pikiran berkelebat didalam otakku. Ada Kartika, ada Fabian, ada Alif, ada Riska dan Pratama. Sepertinya, ini modus! Tuh kan bener! Fabian ada maunya ngundang mereka semua!
Kartika duduk disebelah kiri Elia dan otomatis berhadapan dengan Pratama.
“Kenalin, ini Kartika, teman kakakku.” Kataku mengenalkan Kartika pada ketiga sahabatku. “Dan Kartika, kenalkan, itu sahabatku Pratama…” Sambil menunjuk orang yang berada dihadapannya. “Temanku Riska…” Smabil menunjuk wanita yang nyengir. “Dan ini…” Menunjuk pria yang ada disebelah kananku.
“Alif.” Gumam Kartika. Tentu Kartika tahu. Ia melirikku dengan mengulum senyum. Aku menunduk malu.
“Dasar Romeo.” Kata Kartika terkikik.
Kudengar disebelah kananku, Alif tampak mendengus. Sepertinya ia tak suka dengan kehadiran detektif itu. Apalagi ditambah dengan kehadiran Fabian dan Riska! Satu meja lagi! Beuh! Entah seperti apa perasaan Alif nanti.
“Lo keliatan tua!” Gumam Riska polos.
“Memang aku tua.” Kata Kartika nyantai. Padahal pertanyaannya terdengar sangat ambigu dan murahan banget!
“Oh! Kerjaan lo paan?”
“Polisi. Juga sebagai psikologi otopsi.”
“Widih! Maen tembak – tembakan dong!” Gumam Riska polos. Kartika hanya memberikan seulas senyuman. Aku memutar bola mata.
“Plis deh Ris, jangan kelewat norak deh!” Kata Pratama. Riska menatap Pratama galak. Dan seterusnya, adu bacot deh! Huhu!
“Ngomong – ngomong aku nggak sendirian lho!” Bisik Kartika padaku. Mengalihkan perhatianku dari perdebatan Pratama dan Riska didepanku.
“Oh, iya?!” Kataku membesarkan mata. “Sama siapa?” tanyaku. Kartika hanya mengulum senyum.
“Lihat aja sendiri.” Kata Kartika. “Tuh orangnya dateng!” Kata Kartika sambil menunjuk kebelakangku. Aku menoleh kebelakang.
Sesosok pemuda berbaju merah ketat. Ia berjalan dari arah pintu aula kearah kami. Pemuda itu memiliki kumis tipis yang nyaris tak terlihat. Kulitnya lebih putih, agak kurus namun berisi dan tinggi. Mirip dengan… Antoni
“Aditya!” Pekikku kaget bercampur senang. Untuk sementara pekikanku berhasil membuat Pratama, Riska dan Alif menoleh pada pemuda itu. Dan respon mereka sama terkejutnya sepertiku. Riska tampak terperangah, Pratama bahkan tak berkedip dan Alif tampak nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sepertinya mereka semua satu pikiran; Aditya mirip Antoni!
“Apa cuman gua disini yang ngerasa kalo cowok itu mirip almarhum Antoni?” Bisik Riska padaku. Aku tersenyum.
“Bukan cuman kamu yang ngira dia Antoni. Aku juga.” Kata Pratama. Sekilas aku melirik Alif. Alif tampak tertunduk malu dan memerah. Sepertinya dia nyaris menganggap Aditya adalah Antoni.
“Dia mirip kan?” bisikku pada Alif. Alif melirik sekilas dalam tundukannya.
“Siapa?” Tanyanya.
“Aditya. Mirip sekalid dengan Antoni, kan?” Kataku jahil. Alif hanya menunduk. Aku tertawa melihatnya. Baru sekarang Alif tampak malu – malu.
“Hei Elia.” Sapa Aditya sesaat setelah ia akhirnya ia datang ke meja kami.
“Aditya! Mengapa kau bisa kesini?” Tanyaku.
“Sebenernya kami berangkat bareng.” Kata Kartika. “Kebetulan tadi Aditya kumintai memarkir mobil cukup jauh dari sini dan aku turun duluan.” Kata Kartika sambil tersenyum. Oke, sekarang aku yakin seratus persen. ada Fabian, Kartika dan beberapa relasiku, pasti ini tekait dengan penyelidikan.
“Tadinya aku nggak mau ikut acara ini. Tapi selama ada Elia, akhirnya aku mau – mau aja. Hehe.” Kata Aditya polos dan tertunduk malu. Aku mengangkat sebelah alis.
“Sepertinya, dia menyukaimu, El.” Gumam Kartika berbisik. Sesaat kemudian ia terkikik geli. “Kayaknya selain gay, bakal ada hubungan insest nih. Hehehe.” Gumam Kartika nakal. Aku menarik rambutnya yang dikuncir kuda. Kartika hanya meringis kesakitan sambil menahan tawa.
“Silahkan duduk Dit. Oh iya, kenalin, mereka teman – temanku. Pratama, Riska, dan Alif. Dan kalian bertiga, kenalkan, Aditya Hendrawan…” Gumamku memperkenalkan satu sama lain. Semua menatapnya sebelum aku melanjutkan perkenalan Aditya. “ Adiknya almarhum Antoni Hendrawan.” Lanjutku.
Sontak semuanya terkejut. Pratama membelalak dan Riska sampai tersedak. Alif bahkan mendongakkan kepalanya hingga dapat kulihat ia sangat terkejut dengan kenyataan yang baru kusebutkan. Aditya adiknya Antoni.
“Lho? Koq gua nggak tau sih kalo Antoni punya adik?!” Tanya Riska.
“Sebenarnya aku udah denger sih kalo Antoni punya saudara kandung. Tapi nggak nyangka aja bisa ketemu langsung.” Kata Pratama. Aditya hanya tersenyum.
“Ya, aku dan kakakku emang udah dipisah semenjak sekitar usia tujuh tahun. Jadinya aku nggak terlalu dikenal deh sama temen – temen kakakku.” Kata Aditya polos.
“Adiknya Antoni lumayan cakep juga ya. Mirip – mirip dikitlah sama abangnya. Bedanya yang ini lebih tinggi, lebih putih, dan yang pasti sepertinya… gak homo!” Bisik Riska padaku. Hei! Jadi menurutmu aku ini pendek, item dan juga homo?! Mmm… oke, untuk yang homo bisa dibenarkan!
“Ketemu dimana El?” Alif seketika berbisik padaku. Seolah tak ada orang yang boleh tahu pembicaraannya padaku.
“Siapa?”
“Adiknya Antoni. Kau bisa kenal dia gimana ceritanya?” Tanya Alif.
“Nnnggg… anu…” Nah loh! Lagi – lagi pertanyaan yang ribet buat dijelasin, kan! “Dari Kartika.” Kataku akhirnya. Alif mengernyitkan dahi tak yakin.
“Dari Kartika?” Tanya Alif.
“Iya. Jadi ini semua ada sangkut pautnya dengan kasus kematian Antoni. Kebetulan Kartika sebagai polisi yang menanganinya mencoba mengontak setiap anggota keluarga yang masih dipunya oleh Antoni. Berhubung ibunya divonis mengidap skizofrenia, akhirnya Aditya lah yang didatangkan ke Jakarta untuk dimintai keterangan.” Kataku. Alif tampak manggut – manggut. Fiuh, untunglah aku menemukan alasan yang bagus.
“Terus, gimana caranya kamu bisa kenal sama Aditya?” Tanyanya lagi.
“Partner Kartika itu kan Fabian. Kakak angkatku. Otomatis aku juga yang udah deket sama Fabian, jadi tahu segala macam seluk – beluk tugasnya. Sampai kepada relasi dan kolega – koleganya. Salah satunya adalah Aditya.” Kataku lagi. Alif hanya mengangkat alisnya tampak terpengaruh dengan kebohongan yang kukarang. Fiuh! Maaf ya sayang, mesti negbohongin kamu dulu!
“Ngomong – ngomong, dia cakep, gak?” Tanyaku iseng.
“Siapa? Aditya?” Tanya Alif polos.
“Yaiyalah Aditya! Siapa lagi?! Karena kamu udah pernah naksir abangnya, apa kamu juga naksir adiknya?” Tanyaku iseng. Alif menatap Aditya sekilas yang sedang mengobrol renyah bersama Pratama, Riska dan Kartika.
“Nggak tahu deh. Cakep sih iya, mirip banget kayak Antoni.” Kata Alif.
“Terus?” Aku memancing sambil menyipitkan mata.
“Tapi… nggak deh! Kayaknya Aditya lebih naksir ke kamu!” Kata Alif.
“Tunggu! Wait! Koq banyak banget sih yang bilang kayak gitu!” Kataku bersungut.
“Ya iyalah! Sikapnya tuh jelas banget kalo dia emang ada rasa sama kamu! Pratama juga suka kan sama kamu?” kata Alif.
“Apaan sih! Nggak jelas nih lama – lama.” Aku lebih bersungut.
“Lho? Emangnya kamu nggak peka apa? Sikap Pratama itu emang udah ngungkapin kalo dia suka sama kamu!” Kata Alif bersungguh – sungguh.
“Emang, ya?” Aku bertanya bodoh.
“Halah! Kamu sama Antoni emang sama aja! Sama – sama nggak peka dengan perasaan!” Kata Alif sambil tersenyum simpul dengan tatapannya yang sayu.
Gua emang Antoni, bego!
Acara makan malam besar – besaran itu akhirnya segera dimulai. Para tamu undangan sudah mulai memadati aula. Suara – suara gemuruh mirip dengung lebah makin meluas dengan semakin banyaknya orang – orang diruangan itu.
Aku menatap berkeliling. Meski sering diceritakan tentang supper yang menjadi acara bulanan, tapi aku baru pertama kali melihat ritual yang dilakukan oleh keluarga baru itu. Aku melihat ke kanan dan kekiri. Sepertinya banyak dari mereka yang menjadi orang – orang penting dan penganut katholik yang taat. Bahkan beberapa diantaranya juga kudapati ada yang seorang ahli agama Kristen.
Namun disisi lain juga aku meliaht rombongan anak – anak berbaju biasa nan sederhana yang tampak asik sambil melihat – lihat orang – orang berlalu lalang. Benar saja, anak – anak itu diundang dari sekelompok anak jalanan dan yatim piatu bahkan rakyat miskin. Dan benar saja kata Fabian, acara itu memang untuk umum dan dari kalangan agama manapun. Buktinya, tak sedikit aku melihat sekolompok bocah perempuan yang berkurudung. Mmm, mungkin ini yang namanya misionaris alias Kristenisasi. Entahlah.
Acara dibuka dengan sambutan dari beberapa uskup penting dan beberapa pastur. Agustinus berada di mihrab depan dan duduk disebelah uskup agung. Kami tidak terlalu memperhatikan uskup tersebut karena kebanyakan seperti khutbah yang ayatnya diambil dari bible sehingga kami cukup tak mengerti.
“Seharusnya kita berpakaian formal.” Kata Riska sambil melihat penampilannya. Masih memakai seragam sekolahan. Pratama terkikik geli.
“Kita seperti anak ingusan dikalangan kaum bonafit.” Kata Pratama menambahkan. Kartika dan Aditya hanya tersenyum. Tentu saja hanya mereka yang bisa dibilang berpakaian pas.
Acara inti akhirnya tiba juga. Perjamuan makanan dibuka dengan makan – makanan yang manis – manis ala Eropa. Ada monti, pancake, bahkan manisan – manisan yang mirip seperti permen. Beberepa biarawati yang memang sudah disiapkan untuk melayani tamu undangan juga berkali – kali mondar – mandir mempersiapkan perjamuan.
Pratama melahap sebuah rainbow cake raksasa. Aku dan Aditya melahap sebuah puding yang disiram krim susu cokelat. Sementara Alif memilih roti manis dan Riska memilih cake yang ukurannya lebih kecil. Program diet sepertinya.
“Fiuh, untunglah makanan utamanya tidak kami lewatkan.” Tiba – tiba saja Janetta mampir di tempat kami. Disusul dengan Fabian dan Valent. Mereka bertiga telah berganti pakaian menjadi lebih layak dalam acara tersebut. Janetta memakai gaun berwarna pink sebetis. Rambutnya di gerai dan sedikit jempit rambut yang menghias di rambut barbienya. Wajahnya dipoles sangat natural. Lipstiknya bewarna pink muda yang berkilat, sangat cocok dengan wajah putihnya. Matanya pun tak luput dari maskara dan soft lense. Lehernya yang jenjang dihiasi dengan kalung putih berlian yang mengapit ketat lehernya.
Sementara Valent memakai kemeja putih yang dipadankan dengan rompi cokelat. Memakai celana bahan hitam dan pantopel. Dan pastinya, memakai parfum yang menly abis.
Sementara Fabian, yang sepertinya mencoba untuk terlihat perfect (Di mata Kartika pastinya -_-) mencoba bergaya se – cool mungkin dengan sisiran klimis mirip Clark Kent di film Superman. Ia mengenakan kemeja panjang ala meksiko seperti yang dikenakan pria – pria di film `Zorro` dan `Desperado`. Ditutup dengan jas hitam yang membuatnya tampak… casual dan formal.
“Tumben sekali kau bergaya malam ini.” Kata Kartika.
“Ada maunya.” Godaku sambil terkikik. Fabian hanya tersenyum kalem. Lebih tepatnya, tersenyum malu – malu.
“Ngomong – ngomong dimana Elise?” Tanya Kartika. Nyata sekali ia tak mau membahas selentingan yang kulontarkan padanya.
“Ke toilet. Sebentar lagi juga datang.” Kata Janetta cuek sambil mengambil puding cokelat. Valent mengambil sepotong cokelat sementara Fabian mengambil monti dan roti bakar manis.
Sesaat kemudian, datang seorang wanita berambut bondol. Untunglah kali ini dia memakai gaun biru muda dan sedikit menggayakan rambutnya sehingga rambutnya yang pendek mirip seperti Sooyoung SNSD di MV `Run Devil Run`. Ia berjalan cuek kearah meja kami.
“Hai semuanya.” Sapanya riang. Kami menjawab sapaanya. Seketika kulirik Aditya tampak menatap kagum pada Elise.
“Jangan menatapku seperti itu!” Gumam Elise tanpa menoleh pada Aditya. Aditya tampak terkejut. Ia kaget karena meskipun Elise tak menangkap basah dirinya, tapi ia tahu bahwa Aditya sedang menatapnya.
“Ketahuan deh.” Kata Riska sambil cekikikan.
“Sepertinya Aditya mengagumi pesona Elise.” Kataku berbisik pada Alif seolah mengatakan `benarkan?! Aditya lebih menyukai Elise ketimbang aku!`. Alif hanya tersenyum sambil menyuap lagi pudingnya.
“Maaf… aku tak bermaksud…” Aditya tampak gugup karena ketahuan menatap Elise. Elise dengan santai duduk disebelah Aditya.
“Aditya. Nama yang bagus.” Gumam Elise lagi – lagi tanpa menoleh. Melainkan ia mengambil semangkuk pancake dengan cueknya.
“Maaf?” Aditya sedikit terkejut bercampur bingung.
“Itu namamu, kan?” kata Elise. Kali ini ia menatap Aditya dengan tatapan polosnya.
“Tapi, aku belum mengenalkan diri.” Kata Aditya.
“Jangan kaget. Elise punya kemampuan cenayang.” Kata Valent.
“Lho? Bukannya kita sudah diberitahu akan kedatangan tamu bernama Aditya dari Fabian, ya?” Janetta mencoba berkilah dengan menanyakan hal tersebut. Fiuh! Kupikir Elise benar – benar bisa menebak nama orang asing. Kelegaan juga tampak terlihat di wajah Aditya sepertinya. Elise hanya mengulum senyum.
“Suatu hari, seseorang akan mengenang namamu dan kakakmu.” Kata Elise.
“Ayolah Elise. Jangan mulai lagi disini.” Kata Janetta yang memang tak suka dengan sikap cenayang adiknya. Elise hanya terdiam tak menghiraukan.
Makanan inti akhirnya tiba juga. Makanan inti itu terdiri dari makanan khas Asia dan Eropa. Dan kebanyakan berasa asin, gurih, garing dan pedas. Makanan pembuka akhirnya disingkirkan oleh biarawati yang ditugaskan sebagai pelayanan. Sementara diatas meja kini terhidang makanan – makanan berporsi besar.
Diatas meja kami sudah tersedia ayam kalkun bakar yang dibumbui kecap pedas manis. Aku tergiur melihatnya. Tak ayal, Pratama, Aditya, Valent dan Fabian langsung menyerbu kalkun yang telentang pasrah itu diatas meja. Menjadi pemuas para penikmat makanan yang memang sudah tergiur sedari tadi untuk mencicipi makanan utama.
Alif memilih mengambil ayam rica – rica sementara Riska mengambil sushi. Kartika, Janetta dan Elise lebih memilih menikmati sup ukha khas Rusia. Sementara aku, ikut gerombolan cowok yang menyerbu kalkun didepan mata!
“Elia! Kamu tuh cewek! Makan yang anggun dikit dong!” Omel Janetta. Aku tak peduli dan meneruskan makanku yang terlihat rakus ala cowok. Kartika hanya tersenyum geli melihatku.
Wajarlah gua makan kayak gini! Orang gua cowok!
“Disini tuh banyak cowok Elia. Jaga sikap sebagai seorang cewek dong!” Riska juga mendukung asumsi Janetta.
“Denger tuh El, makan tuh kayak cewek semestinya dong!” Kata Kartika sambil tersenyum seolah mengejekku.
“Biarin sih! Soal perut mana bisa tahan!” Kataku cuek. Aku sadar sesadar – sadarnya tatapan yang diberikan Valent, Fabian, Pratama, Alif, dan Aditya padaku. Namun… gak peduli tuh!
“Dasar tomboy!” Gumam Alif disebelah kananku.
*****
Menu makanan utama berakhir. Dan kini hanya tinggal makanan penutup. Lagi – lagi beberapa biarawati yang bertugas sebagai pelayan mempersiapkan segalanya. Dengan menyingkirkan makanan utama dan menghidangkan makanan penutup.
Makanan penutup didominasi oleh minuman. Dan semua khas dari berbagai benua dan Negara. Alif mengambil es kelapa dan begitupula Elia. Riska mengambil cokelat dingin sementara Fabian dan Kartika mengambil teh hijau sebagai penutup.
Lucunya, Pratama malah menanyakan air putih hangat disaat minuman – minuman bermerek berada dihapannya. Alasannya, pencernaan akan lebih mudah dan tidak akan membusuk dengan meminum air putih hangat setelah makan. Pintar!
Elise dan Valent mengambil jelly sementara Aditya memilih es cappuccino. Kami menyeruput minuman kami masing – masing dan menghela nafas akibat kekenyangan bersama – sama. Bahkan sampai – sampai Elia bersendawa ria.
“Eeee!” Sendawa Elia tak bisa ditahan. Riska menatap jijik.
“Elia! Cakep – cakep koq sendawanya mangap gede sih?!” Omel Riska.
“Eeee!”Pratama ikutan nimbrung. “Oops!” Gumamnya menutup mulut saat disadari Riska menatapnya galak.
“Wow! Benar – benar makan malam yang keren.” Gumam Aditya. Elia setuju pada adiknya. Untuk sesaat mereka membicarakan obrolan – obrolan murahan diatas meja makan. Setelah sesi makan malam, akan ada pembagian sumbangan untuk anak – anak jalan dan yatim. Tentu mereka tidak ikut campur karena itu diurus oleh panitia, pastur dan beberapa biarawati lainnya.
“Terimakasih sudah mau datang ya, Lif.” Gumam Elia pada Alif.
“Sama – sama.” Kata Alif membalas senyuman Elia dengan ekspresi dingin namun matanya mencoba untuk memberikan keramahan. “Maaf buat insiden tadi pagi.” Kata Alif.
Elia membalasnya dengan senyuman.
JEPRET!
Lho?
Untuk beberapa saat Elia cengo. Pratama terkikik geli sambil menatap layar HPnya. Lampu blitz kamera membuatnya terpaku beberapa saat hingga akhirnya Elia tersadar. Pratama memotretnya bersama Alif?!
“Hei! Sialan! Bilang – bilang dong kalo mau foto!” Kata Elia galak sambil memukul – mukul kecil lengan Alif. Alif mengulum senyum. Yang lain hanya terkekeh melihat tingkah mereka.
“Bagus koq El.” Puji Pratama dengan senyumnya yang menjijikan dimata Elia. Elia mengerucutkan bibir. `bagus apanya? orang lagi cengo fotonya!`.
“Foto bareng yuk!” Kata Pratama. “Buat kenang – kenangan aja.” Usul Pratama.
“Boleh.” Sambut Janetta antusias.
“Janetta emang kepengennya foto bareng Pratama.” Goda Elise.
“Apaan sih. Aku nggak suka berondong, kali.” Seloroh Janetta.
Pratama hanya tersenyum. Untuk sesaat dia meminta bantuan kepada seorang biarawati yang lewat. Dan sedetik kemudian, meja mereka sudah heboh karena mempersiapkan diri untuk berpose. Dan anehnya, semuanya berdiri dibelakang dan disebelah kursi Elia dan Alif. Alhasil, Alif dan Elia seolah menjadi ibu dan bapak yang memiliki anak – anak narsis disekelilingnya dan berfoto ria sambil duduk dan tersenyum kaku kearah kamera.
Aditya bergaya disamping kiri Elia sambil mengacungkan `peace dua jari`nya dan nyengir kuda. Kartika memilih berpose berdiri sambil kedua tangannya memegang bahu Elia dan Aditya layaknya seorang adik baginya. Fabian bergaya sok cool disebelah kanan Kartika sambil berdiri tegak dan tersenyum simpul khas kaum eksmud. Valent berdiri paling belakang namun badannya tetap terlihat karena dia memiliki postur yang lebih tinggi. Elise sedikit membungkuk membiarkan Valent terlihat kamera. Gayanya mengedipkan sebelah matanya sambil memeletkan lidah.
Yang paling heboh adalah Riska dan Janetta yang berdiri bersebelahan dengan Valent. Mereka berdua bergaya alay. Dengan memonyongkan bibir sambil berekspresi liar dan memamerkan gadgetnya. Dan Pratama, karena dia nyaris tak kebagian tempat, ia akhirnya berpose disebelah Alif sambil merangkul pundaknya layaknya mereka berdua adalah sepasang sahabat.
“Oke siap. Satu… dua… tiga…”
JPRET!
Kamera blitz menyala sesaat setelah kami berpose. Setelah selesai berpose seolah aktifitas kami kembali seperti semula.
“Lagi dong, nggak kerasa nih!” Rengek Riska.
“Udah – udah. Mending kita sholat dulu yuk! Maghribnya udah mau abis nih!” Kata Pratama. Lho? Tumben Pratama inget sholat.
Riska cemberut. Tapi ia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan saran Pratama. Akhinrya mereka berdua izin kepada rombongan untuk melaksankan kewajiban yang Tuhan berikan kepada hambanya yang kebanyakan beragama muslim itu.
“Aku ikut.” Kata Aditya sambil beranjak berdiri dan mengikuti Pratama dan Riska. Elia beranjak mengikuti mereka karena ia juga belum sholat. Begitu juga dengan Kartika.
“Oke, biar kuantar kalian.” Valent lalu berdiri dan membiarkan dirinya memimpin rombongan muslim itu yang hendak beribadah.
“Lho, Lif. Koq masih duduk aja. Nggak ikutan?” Tanya Valent melihat Alif yang masih terduduk menunduk dikursinya. Sontak semua mata tertuju padanya. Tak terkecuali Elia, Pratama dan Kartika yang tampak iba melihatnya.
“Nngg… nggak!” Jawab alif ragu sambil menunduk.
“Lho kenapa? Bukannya kamu islam? Dari namamu, kamu muslim, kan?” Tanya Aditya yang sepertinya makin memojokkan Alif. Alif tampak meragu untuk menjawabnya.
“Nnngg… dia beda agama.” Gumam Fabian yang mengerti akan keadaan Alif saat itu. “Atheis.” Gumam Fabian singkat. Aditya mengangkat alisnya. Valent sebagai orang yang paling dewasa menunjukkan sikap toleransinya.
Rombongann itu akhirnya meninggalkan aula. Kini di meja makan itu hanya tinggal Alif, Fabian, Elise dan Janetta. Mereka semua terdiam satu sama lain. Kata atheis yang dilontarkan Fabian untuk menjelaskan siapa Alif seolah menjadi lampu kuning bagi Elise dan Janetta. Mereka mungkin sudah terbiasa bertoleransi terhadap manusia yang berbeda keyakinan. Tapi kepada makhluk tak bertuhan seperti Alif, rasanya sangat asing bagi mereka.
Fabian mengerti kecanggungan itu. Sebagai orang yang pernah mengorek sisi lain dari Alif, ia akhirnya mencoba mencairkan kecanggungan hati Alif. Ia tahu, Alif menjadi sangat bimbang ketika ada orang lain yang mengungkit – ngungkit soal kepercayaannya. Apalagi setelah ia mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada! Seolah hatinya terasa ada yang mengganjal.
“Keluar yuk.” Ajak Fabian kepada Alif. Alif yang memang ingin sendiri dan keluar dari kecanggungan itu akhirnya lebih memilih ikut Fabian. Kedua laki – laki itu beranjak dari kursinya dan bergegas keluar dari keramaian aula. Meninggalkan Elise dan Janetta yang tersenyum seolah paham dari maksud Fabian mengajak Alif keluar. Meninggalkan anak – anak jalanan yang sedang dibagikan sumbangan disana.
*****
Fabian menghisap rokoknya dalam – dalam. Menghirup aroma tembakau dan perlahan mengepulkan asapnya keluar dari mulutnya. Asap itu bergerak keatas dan kemudian membuyar pelan di udara.
“Tak kusangka kau merokok juga.” Kata Alif disebelahnya. Mereka sedang duduk – duduk di pelataran gereja, diatas tangga tegel yang terbuat dari batu marmer. Cahaya yang berasal dari koridor menerangi wajah mereka. Saat itu adalah waktu maghrib. Saat dimana sang raja langit meninggalkan singgasananya untuk berpindah menyinari bumi belahan lain disana. Dan sosok – sosok bintang tampak malu – malu menghiasi wajah kelam sang malam.
Fabian tersenyum. “Aku merokok saat aku sedang merasa bosan. Lagipula sebenarnya aku sudah berhenti merokok. Malam ini aku hanya tergoda saja.” Kata Fabian santai. Alif mengangkat alisnya. “Kau mau sebatang?” tawar Fabian. Alif mengernyitkan dahinya dan menatap Fabian.
“Tak perlu ragu. Aku tahu kau sekarang menjadi seorang perokok.” Gumam Fabian. Alif akhirnya mengalah. Ia mengambil sebatang rokok dan mengambil korek api gas yang ditawarkan Fabian. Seketika itu juga aroma tembakau mengotori paru – parunya yang sudah tak murni lagi. Asap rokok keluar dari mulutnya, mengepul lalu membuayar diudara.
“Bagaimana rasanya?” Tanya Fabian sambil mengisap rokoknya.
“Apa?”
“Menjadi atheis?” Tanya Fabian. Alif terdiam.
“Hampa.”
“Sudah kuduga.” Kata Fabian sambil tersenyum. Alif terdiam. Untuk sesaat ia mengisap rokoknya.
“Bagaimana rasanya?” kali ini giliran Alif yang bertanya.
“Apa?”
“Hidup dalam kebohongan imajinasi tentang adanya Tuhan?” Tanya Alif membalikkan keadaan. Fabian tersenyum sebelum menjawab.
“Setidaknya itu lebih baik dari pada kehilangan kepercayaan dan melepaskan pegangan pada keyakinan.” Kata Fabian. Alif terdiam.
“Tuhan itu tidak ada. Dia hanyalah rekaan fiktif yang diciptakan manusia karena manusia selalu merasa dirinya membutuhkan `sesuatu`.” Kata Alif. "Memangnya apa yang dibutuhkan manusia selain materi? bukankah itu membuktikan bahwa Tuhan hanya gambaran dan materialis?" Kata Alif mengeluarkan pendapatnya.
“Kebutuhanku akan `sesuatu` tersebut sudah terpenuhi. Pertanyaannya adalah dirimu, tidakkah kau merasa kehilangan `sesuatu` yang kau butuhkan?” Tanya Fabian. Alif terdiam. Terdiam cukup lama. Bahkan hingga berkali – kali ia mneghisap rokoknya, ia tak jua membalas pernyataan Fabian. Fabian tersenyum.
“Percayalah, terkadang kita memerlukan ketidaktahuan kita kepada Tuhan. Karena kita bisa membayangkan Tuhan menjadi sesuatu yang kita butuhkan dan inginkan dalam imajinasi kita. Bahkan menjadi sesuatu yang berbentu materi. karena kita butuh! Tapi jika kau memang mengatakan Tuhan itu tidak ada…” Fabian menggantung kata – katanya. “Berarti kau `membutuhkan sesuatu untuk mengisi kekosonganmu`”. Kata Fabian.
“Aku punya Tuhanku sendiri. Kartika pun begitu. Meski kami berbeda keyakinan, tapi kami `tidak kosong`. Kami mengisi diri kami dengan mempercayakan adanya Tuhan dan menggambarkannya dalam kehidupan kami. Sehingga Tuhan menjadi sebuah kebutuhan agar hidup kami tidak terasa kosong dan sepi.
Terserah cara kami menggambarkan Dia seperti apa. Yang pasti, kami sudah yakin, tempat untuk mengadu dan berseru itu sudah ada dalam diri kami yang percaya. Bahkan hal tersebut lebih kami butuhkan dari sekedar urusan materi yang suatu saat akan hilang dan habis!” Kata Fabian panjang lebar.
“Jangan salah Fabian. Aku pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi makhluk bertuhan. Itu terjadi sebelum… semuanya hancur.” Kata Alif mengingat masa lalu. Tampak sendu.
“Bukan Tuhan yang menghacurkan semuanya, Alif. Tapi kitalah sebagai umatnya. Sebagai filosofisnya, banyak orang diluar sana yang berambut gondrong dan berantakan. Padahal jika dia ingin rapih, dia bisa mendatangi tukang cukur untuk merapikan rambutnya. Namun orang gondrong tersebut terlalu sombong dan menganggap dirinya bisa melakukan sendiri tanpa bantuan tukang cukur. Alhasil saat dia mencukur rambutnya sendiri, hasilnya malah semakin buruk! Dan konyolnya, dia malah menyalahkan tukang cukur akan kesalahannya sendiri.” Gumam Fabian.
“Kamu mungkin bisa mengatakan Tuhan itu tidak ada karena kau masih melihat begitu banyak orang – orang menderita diluar sana, termasuk dirimu yang merasakan sakitnya penderitaan! Seperti halnya aku bisa mengatakan Tukang cukur itu tidak ada karena masih banyak orang berambut panjang diluar sana, seperti misalnya aku berambut gondrong! Itu karena mereka tidak mau mendatangi ahlinya! Karena mereka tidak mau mendatangi Tuhan! Dan mungkin kau bisa mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, karena kau memang tidak mendatanginya untuk melihatnya!” Kata Fabian tegas.
Alif terdiam. Ia meresapi kata – kata bijak Fabian. Begitu lama ia terdiam hingga tak sadar ampas rokok yang terbakar terjatuh cukup banyak padahal tak sempat ia hisap.
“Kau mungkin ada benarnya juga.” Gumam Alif cuek. Fabian memberikan senyum simpul. Ia tahu, tak mudah mengubah sifat Alif menjadi seperti dulu. Hanya Dialah, Sang Maha Pembolak – Balik hati yang sanggup merubah sifat hati seseorang.
Untuk sesaat kedua pemuda itu menatap langit Jakarta yang sudah beratapkan gelap. Melihat siluet bintang yang tampak terlihat benderang diatas sana. Ah! Bintang dan malam seolah mengingatkan Alif pada kejadian malam di belakang bangunan tua Tanah Abang. Menari diantara ilalang dan kunang – kunang.
Seketika Alif menatap lengannya yang penuh dengan luka sayatan. Entah sudah berapa kali ia melukai dirinya sendiri. Dan malam ini akan menjadi kesekian kalinya dirinya terluka!
Ia mengarahkan rokoknya ke lengannya. Dan untuk sesaat ia menyulut lengannya dengan bagian rokok yang terbakar itu! Ia menekan kuat – kuat rokok tersebut dan menahan rasa sakitnya. Sesekali ia mengaduh kesakitan namun tetap melanjutkan aktivitasnya.
Fabian melihat ulah Alif namun tak dihentikannya. Ia membiarkan Alif menyiksa dirinya sendiri. Fabian bahkan dengan cueknya menghisap rokoknya hingga habis dan menghebuskan asapnya ke udara.
“Akh!” Rintih Alif sambil melepaskan puntung rokok tersebut. Ia menatap lengan kirinya yang kini melepuh dan terbakar. Setetes darah menetes segar dari kulitnya bekas sulutan rokok.
“Kau benar – benar membutuhkanNya, bung.” Gumam Fabian pada Alif. Alif tak menjawab. Fabian langsung bangkit berdiri dan mematikan rokoknya serta membuang puntungnya kesembarang arah.
“Ayo masuk. Sepertinya mereka sudah mulai penutupan acara. Dan… oh iya, sebenarnya aku tidak mau merokok lagi. Hanya kali ini saja aku merokok bersamamu. Tolong rahasiakan ini, ya. Kalau tidak, bisa – bisa aku didamprat Valent!” Gumam Fabian enteng.
Alif hanya mengangkat alisnya. Dan untuk sesaat dia juga mematikan rokoknya dan membuangnya kesembarang arah. Mengikuti Fabian dari belakang.
*****