NB : Cerita ini hanyalah karangan fiksi dari penulis newbie antah berantah seperti saya. Kesamaan nama, tempat, dan waktu adalah ketidaksengajaan.
***
Kuliah di Jakarta memang mendapat banyak konsekuensi. Selain harus mendapat tempat tinggal (kosan) yang layak, biaya hidup yang tinggi adalah hal yang akan dihadapi setiap mahasiswa di ibukota. Tidak terkecuali aku, lulus SMA di Wonogiri, lalu mengadu nasib setelah sukses diterima di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di ibukota negeri ini.
Pagi itu aku diantar Pakde Endro, ke Stasiun Solobalapan. Aku mengejar kereta jam 8 pagi. Kata pakde, kereta yang akan aku naiki tergolong kelas atas, sehingga tiketnya mahal. Namun itu tidak jadi masalah buat pakde, yang termasuk orang kaya di Wonogiri.
“ Le, nanti kalau sudah sampai di Jakarta, tilpuno bapak sama ibumu, ojo lali “ pesan pakde sembari mengemudikan mobilnya.
“ Nggeh pakde “ hanya itu jawabku.
Meninggalkan Wonogiri berarti meninggalkan banyak kenangan yang sudah aku lalui selama 12 tahun belakangan. Banyak kisahku yang menggembirakan, menyedihkan, hadir di kota yang dekat dengan Gunung Lawu itu. Termasuk, kisahku dengan Mas Pras, yang selama ini menjadi pacarku. Boleh dibilang, ia cowok yang bisa membuatku jatuh cinta untuk kali pertama. Dan segalanya menjadi indah setelah kami benar-benar bersama. Namun sayang, kebersamaan itu menjadi sirna setelah Jakarta memanggilku untuk menempuh pendidikan di sana.
“ Pakde, Mas Pras dereng wangsul? “ tanyaku dengan hati-hati.
“ Lho yo durung Le, nanti kalau sudah pulang, tak suruh ngebel kamu wes “ jawab pakde tentang anaknya itu.
Mas Pras, maafkan Adit ya, terpaksa pergi tanpa pamitan sama kamu dulu. Adit sayang Mas Pras. Semoga Mas Pras juga tetep sayang Adit di sana.
Mengingat Mas Pras sampai membawaku sampai di depan gerbang Solobalapan. Stasiun ini bahkan populer lewat sebuah tembang yang dibawakan Didi Kempot, penyanyi campursari favoritku.
“ Wes Le, Pakde ngantarnya sampai sini. Ati-ati yo Le, lek kamu ngerasa ndak enak badan atau apa lah, tiduro ae. Perjalananmu nanti 8 jam “ pesan pakde padaku, lalu beliau memberiku beberapa lembar ratus ribu.
“ Nggeh Pakde, maturnuwun sampun ngeteraken kulo “
“ Iyo Le. Mugo-mugo awakmu sukses yo Le “
Aku hanya mengangguk. Senyum pakde adalah simbol kewibawannya sebagai orang besar di Wonogiri. Tak juga beliau, sang anak, Prasetyo Wicaksono, punya sifat sama dengan bapaknya, sampai membuatku jatuh cinta.
Comments
Sek yo mas, hehehe
translate pelissss kakaks
semangat yaaa!
hehehe
Wakakaka, bakso wonogirinya rek