BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

UNTOLD "The Love Story"

edited July 2012 in BoyzStories
Sebelumnya, saya adalah pendatang baru di "BoysForum!" dan ingin berbagi cerita yang saya buat, untuk itu mohon komentar beserta sarannya. Terima kasih ^_^


1. AWAL

“… Ri ! – Hei Hery, kau ikut tidak?…”
Suara itu membuyarkan konsentrasinya dari pekerjaan. Jemari yang tadinya lincah menekan tuts-tuts keyboard kini tersentak berhenti. Lalu menolehkan wajahnya ke arah si pemilik suara.
“Ah, maaf – ada apa?” tanya Hery pada Doni, temannya yang baru saja menegurnya itu. “Kau ikut kami makan siang tidak? …” tanyanya sambil mengerutkan keningnya karena sudah berkali-kali ia memanggil Hery.
“Kurasa tidak, banyak pekerjaanku yang belum selesai” jawab Hery singkat sambil menengadahkan wajahnya ke arah tumpukan dokumen-dokumen yang berantakan di mejanya.
“O iya, aku titip roti isi ya!” tambah Hery.
“Oke – !” jawab Doni singkat. Lalu ia meninggalkan Hery dengan pekerjaannya dan menghampiri beberapa karyawan yang sama-sama pergi dengannya ke sebuah rumah makan tak jauh dari kantor.
Saat itu jam makan siang, wajar bila kantor sepi – hanya ada beberapa orang yang tinggal di kantor mengerjakan pekerjaan mereka dan harus merelakan jam makan siang tentunya. Begitu pula dengan Hery, belum cukup lama ia bekerja di sini, mungkin hampir satu tahun. Ia lulusan Teknik Sipil, dan wajar bila bekerja di sebuah konsultan bangunan. Kantornya unik, karena bersebelahan dengan kediaman sang direktur utama. Kantor itu terdiri dari tiga bangunan, dua bangunan yang bisa dibilang rumah, hanya di alihfungsikan sebagai kantor, satu menjorong ke belakang dan satunya bangunan bertingkat dua dan di sinilah ia di tempatkan. Walau bisa di katakan sebagai kantor, tapi tempat ini lebih menyerupai tempat tinggal karena letaknya di antara pemukiman dan hampir setiap sisinya berdiri rumah-rumah penduduk.

Hery masih sibuk dengan pekerjaannya, perhatiannya sedikit terganggu oleh suara di belakangnya, tepat di sisi depan pintu keluar. Ia melongokkan kepala mencari di mana suara itu berasal. Dan di sana dilihatnya seorang office boy yang sedang mengumpulkan sampah-sampah kertas yang di masukkan ke dalam kantung plastik hitam besar.
“Maaf menganggu, saya mau mengambil sampah!” ujar pria itu. Tubuhnya cukup tinggi dengan rambut yang di cukur ala tentara dan seragam office boy dengan tulisan JAKA, nama si pemakai tentunya.
“Tidak apa-apa, teruskan saja pekerjaanmu.” balas Hery ramah. Selesai mengumpulkan sampah-sampah kertas, office boy itu kembali menyapanya.
“Saya baru kerja di sini beberapa hari, jadi mohon di maklumi bila ada kesalahan.”
Hery tak berkata, ia hanya membalas dengan senyuman dan sedikit anggukan kepala.
“Mau saya buatkan teh? tawar si office boy dengan penuh semangat. Awalnya Hery membalas dengan sedikit basa basi dan penolakan yang halus namun akhirnya ia menyetujuinya. Tak lama, si office boy meletakkan secangkir teh di mejanya – dan sebelumnya ia harus mencari tempat yang kosong, karena meja Hery dipenuhi tumpukan dokumen.
“Wah, maaf ya, sudah membuatmu repot begini!” ucap Hery dengan nada sungkan
“Tak apa, ini pelayanan khusus buat anda yang giat bekerja.” balasnya.
Hery sedikit geli mendengar kata terakhir yang di ucapkan Jaka, rasanya kata-kata itu tidak tepat bila di tujukan padanya, yang ia lakukan hanyalah bekerja untuk mendapatkan uang setiap bulan, bukankah sebagian orang lebih suka mendapatkan gaji ketimbang bekerja dengan giat? …
Hery menyambar cangkir yang berisi teh itu, dan menyeruput sedikit demi sedikit.
“Kalau begitu saya permisi dulu ya – kalau ada yang di butuhkan anda bisa memanggil saya di pantry.” ucap si office boy setelah lega melihatnya meminum teh yang di buatnya. Hery mengangguk setuju. Lalu Jaka membalikkan badannya keluar ruangan.
Tak lama setelah keluarnya si office boy itu, teman-temannya yang tadi pergi makan siang telah kembali, begitu pula dengan Doni yang menghampiri Hery dan memberikan bungkusan plastik berisi roti isi pesanannya.
“Thanks Bro!” ucap Hery berterima kasih pada Doni. Tapi buru-buru Doni mengulurkan tangannya pada Hery. Membuat keningnya berkerut heran.
“Apa? – masa kau meminta imbalan!”
“Maaf Bro, berhubung ini akhir bulan di tambah weekend, jadi aku tak bisa memberikan itu gratis.” jawab Doni sambil memamerkan seringaian aneh di wajahnya. Sedikit mengomel tapi akhirnya Hery memberikan uang sepuluh ribu selembar padanya.
“Em – ngomong-ngomong tumben hari ini kau rajin banget, kenapa?” tanya Doni penasaran.
“Ada deh – ” jawab Hery sengaja memperpanjang pelafalan kalimat itu, membuat Doni semakin ingin tahu.
Tiba-tiba pintu masuk ke ruangan itu terbuka, membuat hampir sebagian orang menolehkan kepala. Kepala Bagian yang terkenal sok disiplin sudah berdiri di ambang pintu, sambil mengamati semua orang yang ada di ruangan itu dengan bola matanya yang di lindungi kacamata besar dengan bingkainya yang berwarna coklat. Pandangannya seolah-olah mencari kesalahan sekecil apapun yang di anggapnya cacat. Beberapa orang serentak memalingkan wajahnya, ragu untuk menatap bos mereka itu cukup lama, beberapa bahkan kelabakan dan langsung kembali mengerjakan pekerjaan mereka. Sebelum masuk ke ruangannya, pria paruh baya itu sempat menatap Doni yang sedang berbicara pada Hery. Dan karena merasa di tegur, akhirnya ia kembali ke tempatnya setelah sebelumnya berbisik mengucapkan terima kasih pada Hery sesingkat mungkin.

Sekitar pukul 3 sore pekerjaan Hery telah selesai, ia sengaja menyelesaikannya lebih awal karena malam ini ia sudah berjanji dengan kekasihnya, Dian. Walau belum lama mereka menjalin hubungan – sekitar 8 bulan lebih, tapi benih-benih cinta yang subur siap berkembang baik. Tak butuh waktu yang lama untuk kita menyadari adanya hasil penyemaian benih cinta bukan? dan itulah yang di rasakan Hery, ada kalanya ia berpikir akan lebih serius menjalani asmaranya dengan Dian, ke jenjang pernikahan mungkin. Tapi pikiran-pikiran itu dibarengi pula dengan segudang pertanyaan, apakah Dian sosok yang selama ini ia idam-idamkan. Walau terpikir hal semacam itu Hery tak lantas pesimis. Malahan ia bersikap lebih optimis daripada bulan-bulan yang lalu. Optimis pada kesungguhan hatinya yang menginginkan Dian dalam hidupnya. Paras yang cantik juga merupakan nilai tambah dari sosok Dian, terlebih perilakunya yang tak satupun membuat Hery mengeluh hingga kini. Dan itu membuatnya bangga saat memperkenalkan kekasihnya itu pada semua orang. Dulu – saat bulan pertama ia resmi menjadi kekasihnya, ia memperkenalkannya pada Doni. Lantas Doni yang sangat doyan perempuan dan bisa di bilang playboy walau tak parah-parah amat terheran-heran. Bagaimana bisa seorang gadis cantik dengan kualitasnya tingkat tingi seperti Dian mau berpacaran dengan Hery yang tak berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. Hery hanya menjawab, peruntunganlah yang membawanya pada Dian.

* * *

“Pekerjaan sudah selesai – hari ini malam minggu, enaknya ngapain ya?” sapa Hery menghampiri Doni yang sedang bekerja.
“Memangnya kau mau kemana – pakai ngomong begitu segala!” tanya Doni sambil memutar kursi dan memperbaiki posisi duduknya.
“Hem – biar kutebak, kau pasti ada main dengan wanita lain kan?” canda Doni sambil mengedipkan matanya jahil.
“Oh – aku tak seperti kau yang tak pernah puas dengan satu wanita.” Hery mendesah. “Lagipula apa kurangnya Dian, dalam banyak hal ia membuatku tak pernah berpikir untuk berpaling darinya.”
Doni sama sekali tak tersinggung dengan perkataan Hery, ia hanya terkekeh layaknya menemukan hal lucu yang siap ia lontarkan bila saatnya tepat.
“Saat ini kau masih bisa berkata begitu, tapi kau tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa waktu kedepan bukan, sebaiknya kau jangan terlalu meng-agung-agungkannya. Ingat – belum genap satu tahun kau mengenalnya, jadi menurutku kau belum punya dasar yang kuat untuk itu.” balasnya.
“Atas dasar cinta – itu sudah cukup bagiku.” ucap Hery singkat.
“Cinta yang tak kau ketahui apakah kelak kau masih mencintainya bukan?”
Hery tertegun sejenak, memang benar apa yang di katakan oleh sahabatnya itu, tapi ia tak sepenuhnya menyetujui pernyataan itu, karena bukan Doni yang berpacaran dengan Dian.
Sekilas Doni melihat wajah Hery yang menerawang, ia merasa tak enak hati atas ucapannya barusan, lalu mengubah topik pembicaraan ke arah yang lebih ringan agar temannya itu tidak merasa terbebani.
“Memangnya, malam ini kau mau kemana?” tanya Doni lagi.
“Malam ini kami akan bertemu, akhirnya – ada juga waktu untuk hal semacam ini.” balas Hery. Ia berhenti sejenak lalu kembali berbicara pada Doni dengan nada yang lebih ringan.
“Hei kenapa kau tiba-tiba mengubah topiknya?” tuntut Hery meminta penjelasan.
“Karena wajahmu seperti ingin menangis.” ejek Doni. “Sebagai teman aku tak tega membuatmu berpikir keras atas kata-kataku tadi.” tambahnya sambil tersenyum.
“Bah – mana mungkin aku memikirkan kata-katamu!” Hery mengelak. “Aku sedang berpikir apa yang sebaiknya kulakukan malam ini dengannya, mungkin kami akan makan malam di bawah rembulan yang bersinar malu-malu.” balas Hery sambil melirik Doni.
“Buh – sejak kapan kau jadi picisan seperti itu?” Doni tercengang
“Ini bukan picisan, inilah cinta yang sebenarnya – bukan seperti yang kau rasakan dengan wanita-wanita yang kau ajak kencan itu – itu nafsu!” tuntut Hery menatap tajam mata Doni sambil mengangkat kedua tangannya penuh improvisasi.
Heran dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu, Doni membalas.
“Apa maksudmu bicara begitu?”
“Oh, jangan marah bro, sebagai teman baikmu aku hanya mencoba menasehati!” ucap nya sambil menempelkan tangannya ke pundak Doni yang berwajah masam. Lalu di lihatnya jam tangannya, sudah saatnya ia bergegas pulang.
“Sebaiknya kau selesaikan pekerjaanmu, aku pergi dulu ya!” sambil berkata seperti itu, Hery berjalan keluar menuju area parkir kantor. Doni tak ambil pusing, ia mengantarkan pandangannya saat temannya itu keluar dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Parkir kantor tak sepenuh hari-hari biasanya, dengan mudah Hery mengeluarkan motornya dan menyalakan mesin. Dalam perjalanan pulang, ia sedikit memikirkan ucapan Doni tadi. Tapi tidak lama, karena ia tahu bila ia masih memikirkannya, yang ada hanya akan menarik pikiran-pikiran serupa dan tentunya akan merugikannnya. Hery mencoba mengalihkan pikirannya, ia membayangkan wajah Dian yang tersenyum padanya serta tingkah laku Dian yang tak terduga. Wajar bila hal itu membuatnya tersenyum sendiri dan bila saat itu ia tak sedang berada di atas motor dengan helm yang membungkus di kepala, mungkin ia akan dianggap orang gila karena tersenyum sendiri.
Hery sampai di rumah dan tepat sebelum ia turun dari motornya, ponselnya berdering. Dian menelponnya dan sesegera mungkin ia mengangkatnya. Seperti percakapan-percakapan lewat telepon yang lain, kata “Halo” di ucapkan di awal kalimat.
“Nanti malam aku sedikit terlambat, tak sampai 30 menit sih – jadi tak perlu menjemputku. Setelah pekerjaanku selesai aku akan segera menyusul. Ngga marah kan? Tempatnya juga ingatkan?” ujar Dian tanpa memberikan jeda pada kata-katanya. Membuat Hery tersenyum di balik ponselnya, ia merasa lucu mendengar Dian yang berbicara super cepat. (dan tentunya karena sudah terbiasa dengan hal itu ia sangat paham).
“Oke – tapi jangan membuatku menunggu lama ya!” sahut Hery.
“Iya, tapi kamu ingat tempatnya tidak? …” tuntut Dian.
“Iya aku ingat, jangan khawatir!” balas Hery.
“Ya sudah kalau begitu, aku matikan ya teleponnya – ada ibu yang mau melahirkan.”
“He-eh, kedengaran kok suara bayinya.” cetus Hery sengaja bercanda.
“Bayinya belum lahir bung, itu suara ibunya yang kesakitan!” bantah Dian dengan nada heran.
“Sama saja kan?” sahut Hery singkat.
Dian mendengus, tidak ada waktu untuk meladeni Hery saat ini. Lalu dengan singkat ia mengucapkan “sampai nanti” dan mengakhiri teleponnya.

Hery turun dari dudukan motornya dan memarkirkannya di depan rumah tepat di samping jendela kamarnya. Saat ia hendak membuka pintu rumah, tiba-tiba adik laki-lakinya keluar. Kepalanya hampir menyantuk pintu dan sesegera mungkin ia berusaha menghindarinya.
“Mau kemana kau?” tanya Hery pada Ikhwan adiknya.
“Ah, kakak – tumben jam segini sudah pulang?” tanya adiknya.
“Karena pekerjaanku sudah selesai – kau mau kemana?”
“Aku mau ke tempat temanku – mungkin malam ini aku menginap di rumahnya, boleh?” jawab Ikhwan dengan nada merayu.
Hery tak sedikitpun berniat melarangnya, ia memberikan ijin pada adiknya selama di sini, di rumahnya. Sementara kedua orang tuanya menetap di Muara Teweh. Jadi karena dia dianggap sudah cukup mapan serta bisa mengawasi adiknya, kedua orang tuanya merasa tak khawatir untuk menitipkan adiknya selama ia bersekolah di Palangka Raya.
“Kalau begitu hati-hati di jalan!” ucap Hery berusaha berbicara dengan nada khawatir layaknya seorang kakak pada adiknya.
“Ya!” sahut adiknya singkat. Lalu ia berjalan keluar rumah. Sedangkan Hery masuk ke dalam rumah dan melepaskan sepatu serta kaus kakinya, lalu meletakkannya di rak sepatu di samping dapur. Sambil membuka kancing bajunya, Hery berjalan ke kamarnya. Di hempaskannya tubuhnya di ranjang, berusaha mengurangi rasa lelahnya setelah siang tadi bekerja dengan merelakan waktu istirahatnya. Sesaat ia memandangi plafon kamarnya yang berwarna coklat serupa dengan batang pohon jambu biji. Dan teringat sebentar lagi rasa rindu yang tersemat di dadanya akan segera terpuaskan setelah hampir seminggu lebih jarang bertemu pandang dengan Dian. Tetapi – karena rasa lelah yang tak bisa di tolak, di lemparkan pandangannya ke jam dinding yang terpasang diam membisu di samping kiri lemari bajunya dan bertanya, adakah waktu untuknya istirahat sejenak, jam dinding menjawab dengan ketiga jarum kurusnya. Ada waktu setengah jam lebih sebelum waktu janjiannya dengan Dian dan itu cukup untuk menutup kedua matanya sejenak.

Mentari sudah kembali ke arah barat, rembulan siap menggantikannya – memberikan sinarnya yang tak seterang mentari. Hery baru saja bangun dari tidurnya yang singkat, saat hendak bangun kepalanya sedikit pusing dan tak merasa nyaman dengan badannya karena keringat yang membuat badannya lengket. Karena tidak mau membuang-buang waktu, diambilnya handuk yang biasanya di jemur sehabis mandi. Handuknya terjemur dengan pakaiannya dan adiknya di belakang rumah. Lalu ia ambil semua pakaian yang di jemur dan meletakkannya di keranjang di samping mesin cuci yang baru saja di perbaiki setelah hampir sebulan ia dan adiknya terpaksa mencuci pakaian hanya dengan tangan. Hery bergegas mandi karena ia tak mau terlambat bertemu Dian malam ini.
Untuk terakhir kalinya ia ingin memastikan penampilannya sempurna, tidak terlalu mencolok namun tidak juga terlalu sederhana. Hery memakai kemeja lengan putih panjang dengan dalaman kaos berwarna indigo, serta celana jins hitam yang ditambah dengan sepatu kets warna krem. Setelah merasa puas akan penampilannya dan mempersiapkan apa yang harus di persiapkan, ia mengendari motornya dan tak lama akhirnya sampai ke tempat yang di maksud oleh kekasihnya itu.

Dian adalah seorang wanita berumur 23 tahun, dan baru lulus dari sekolah khusus keperawatan. Dan untung baginya karena saat ia lulus, ia sudah di tawari pekerjaan di sebuah rumah sakit. Namun karena itu pulalah yang membuatnya tak leluasa bertemu dengan Hery, tuntutan pekerjaan membuatnya sulit melakukannya. Walau sempat membuat kekasihnya itu sedikit kecewa, ia termasuk beruntung karena Hery bukan tipe pria yang membuatnya seolah-olah harus memilih pekerjaannya atau memilih dirinya. Pemahaman penuh yang di berikan oleh Hery padanya membuat Dian merasa Hery lebih baik di bandingkan dengan kekasih-kekasihnya terdahulu dan berusaha kuat menjaga hubungan mereka agar bertahan lama.
Hery tak menyangka akan terlambat, kekasihnya itu sudah terlihat di depan restoran. Dian begitu menawan, ia memakai kaus berwarna pastel dengan corak lumba-lumba ditambah jelana jins biru yang menonjolkan lekukan kakinya yang indah. Ia memegangi tasnya yang di pakai di pundak kirinya sambil memandangi orang yang berlalu lalang di depannya dan berdiri di samping tempat parkir yang di penuhi mobil serta motor.
“Maaf ya aku terlambat!” ucap Hery bersalah setelah berhasil memarkirkan motornya.
“Tak apa-apa, lagipula proses persalinannya lebih mudah dari yang kukira. Anaknya kembar loh – ini pertama kalinya aku membantu ibu yang melahirkan anak kembar.” ujar Dian penuh semangat, dari nada bicaranya bisa di tebak beberapa menit kedepan topik yang akan di bicarakan adalah ini. Sebenarnya Hery malas bila Dian membicarakan proses melahirkan atau semacamnya karena saat itu ia hanya menjadi pendengar karena sama sekali tak paham mengenai hal yang menjadi topik pembicaranan, dan agar tak kelihatan seperti orang yang bosan biasanya ia menyahuti cerita Dian dengan lawakan-lawakan ringan, dan berharap ia akan mengubah topik pembicaraan. Tapi tidak untuk malam ini, tidak untuk waktu yang harus ia nanti untuk bertemu dengannya. Ia amat rindu akan kehadiran Dian di sisinya dan tak akan protes apapun yang akan ia bicarakan dengannya. Itu janjinya sendiri dalam hati. Awalnya ia memuaskan kedua matanya memandangi wajah Dian, mencoba memberikan obat penawar untuk dirinya. Lalu pelan tapi pasti, kehadiran gadis itu membuat atmosfer diantara mereka merekah cerah.
Karena sama-sama sibuk dalam hal pekerjaan membuat mereka jarang bertemu, walau kontak lewat SMS atau telepon tetap di lakukan namun beda rasanya bila bertemu tatap muka langsung. Dengan menatap langsung lawan bicara, kita dapat melihat reaksinya. Dan lebih mudah tentunya untuk menentukan topik yang ingin di bicarakan.
“Ayo kita masuk!” cetus Hery sambil menyambar pergelangan tangan Dian hendak masuk ke restoran.
“Masa kita langsung masuk?” protes Dian dengan bibir mengerut ke bawah.
“Lho – bukannya kita kemari mau makan di restoran ini?”
“Memang sih, tapi – aku mau kita berjalan-jalan sebentar – di sekitar sini saja, boleh kan?” pinta Dian dengan memasang wajah manisnya. Pipi Hery sedikit memerah dan membalas ucapannya dengan sedikit terbata-bata. “Ok – kamu mau jalan kemana?”
“Pertama-tama makan es krim sambil jalan kaki dulu, bagaimana kalau kita kesana!” seru Dian sambil menunjuk ke arah sebuah mini market yang berada beberapa meter di depan mereka. Hery setuju, lagipula ini bukan pertama kalinya Dian mengajaknya seperti ini. Dari awal kencan pertama, Dian lebih senang berjalan kaki sambil memakan sesuatu ketimbang duduk di suatu tempat. Mereka berjalan berdampingan sambil diterangi lampu-lampu di sepanjang jalan.

“Kamu ini aneh, kenapa suka sekali berjalan kaki di malam hari, setahuku Palangkaraya tak punya banyak tempat hiburan, tempat wisatanya pun masih bisa di hitung dengan jari.” ucap Hery sambil menyamai langkah kakinya dengan Dian.
“Justru karena tak banyak tempat hiburannya, aku memilih jalan kaki. Dengan berjalan kaki kita bisa menikmati suasana seperti ini. Pernah tidak terlintas di benakmu hal-hal kecil seperti ini yang sering muncul di film-film. Itu bukti bahwa hal-hal romantis bisa di temui di banyak tempat – di tambah suasana yang mendukung tentunya!”
“Apa suasana bising seperti ini maksudnya?” ejek Hery saat beberapa truk tronton melintas di samping mereka meninggalkan jejak polusi yang tak mengenakkan. Buru-buru sepasang kekasih itu menutupi hidung mereka, melindungi untuk tidak menghirup asap kotor yang keluar dari knalpot truk tronton itu.
“Itu tidak termasuk – ya walaupun tak setiap saat suasananya mendukung.” ucap Dian sebal. “Tapi – bagaimanapun ini tempat kelahiranku, aku juga di besarkan di sini, ya walaupun aku tak memiliki darah orang sini asli sih. Tapi entah kenapa aku merasa nyaman dan aman saat membaur bersama orang-orang di kota ini.” Dian berhenti sejenak, menatap Hery di sampingnya, lalu melanjutkan berbicara. “Aku bukannya mau mengkhususkan kota ini lho, tapi setidaknya tidak salahkan bila aku mengatakan ini?” tanyanya pada Hery yang diam mendengarkan.
“Ya, memang – aku paham kok apa maksudmu. Wajar bila kita merasa nyaman di tanah kelahiran kita sendiri, mungkin rasanya seperti saat kita rindu pada ibu kita”.
“He-eh – ” sahut Dian setuju.
Tak terasa mereka sudah sampai di mini market, suasananya ramai, ada beberapa orang yang berjejalan di depan kasir membawa barang-barang yang akan mereka beli dan menunggu giliran di barisan antrian. Hery menemani Dian yang sedang memilih-milih gantungan HP yang hampir kesemuanya bernuansa perempuan. Sudah lama ia tak melihat raut riang yang berasal dari wajahnya. Ia masih ingat apa saja yang mereka lakukan saat kencan terakhir mereka. Dan saat itu seingatnya wajah Dian tidak secerah seperti sekarang.
“Bagaimana kalau yang ini?” cetus Dian menunjukkan gantungan HP berbentuk pisang kuning yang di hiasi dengan lonceng-lonceng kecil yang menghasilnya suara gemericik menggemaskan. “Bagus sih, tapi terlalu ramai bila kau memakainya.” jawab Hery singkat. “Iya sih.” Dian mengangguk, lalu kembali memilih-milih gantungan hp yang menurutnya menarik dan setelah menemukan yang unik, ia kembali meminta pendapat Hery. “Yang ini?” tanyanya, mengarahkan gantungan HP berbentuk Dadu yang setiap titiknya berwarna merah jambu.
“Bagus, setidaknya lebih kasual di bandingkan gantungan pisang tadi – coba saja di pasang!” ujar Hery menyarankan. Setuju dengan pendapat Hery, Dian merogoh ponsel yang ia simpan di tasnya dan sedikit sulit saat memasangnya.
“Sini, biar aku yang pasangkan!” ujar Hery sedikit tidak sabaran melihat Dian yang bingung cara memasangnya. Dan tidak sampai 1 menit dengan cekatan ia berhasil memasang gantungan HP itu ke ponsel Dian.
“Wah, benar – cocok sekali!” seru Dian sembari memandangi ponselnya yang berhias dadu itu. “Tidak mau membeli yang sama denganku?” tambahnya.
“Tidak – itu hanya akan membuatku terlihat konyol.” jawab Hery singkat dengan wajah yang meringis kecut.
“Jadi aku terlihat konyol memakai ini?” timpal Dian sambil menatap mata Hery.
“Bukan begitu – hanya saja – karena aku pria, akan sangat aneh jika memakai ponsel yang di penuhi benda seperti itu. “Tidak terlihat macho! …” bantah Hery sambil menekankan kata “Macho” pada kalimatnya.
“Macho” Dian bergumam dan meringis sambil lalu, Ia tak mau ambil pusing dengan pendapat Hery, bukannya setuju atau tidak setuju dengan pendapat kekasihnya itu tetapi ia hanya tak mau membuat masalah sekecil apapun. Karena sekarang yang ia prioritaskan adalah bersenang-senang bersama Hery dan menghindari masalah yang bisa saja muncul kapanpun.
Dian menghampiri sebuah tempat di pojokan yang berisi berbagai jenis ice cream dengan Hery yang berjalan di belakangnya. Hery melihat majalah-majalah yang terpasang tepat di samping Dian yang sedang mengambil dua batang ice cream rasa coklat dan vanila, rasa coklat untuk Hery dan rasa vanila untuknya sendiri gumamnya.
“Ada yang ingin kamu beli?” tanya Dian melihat Hery yang sedang memilih-milih majalah.
“Tidak – tak ada, aku hanya melihat-lihat. Melihat tak berarti membeli bukan?” bantah Hery.
“Kalau begitu aku membayar ini dulu ya!” seru Dian bergegas mendekati meja kasir, takut bila ia harus mengantri karena bila ia harus mengantri lebih lama, bisa saja es krim yang ia beli mencair. Dan setibanya di depan kasir, ia kegirangan karena antrian tidak sepanjang perkiraannya, hanya tinggal dua orang di depannya. Itu artinya kakinya tidak perlu kelelahan mengantri seperti saat ia belanja bersama kakaknya kemarin lusa.
Dian berjalan keluar dari Mini Market sambil membawa ice cream yang terbungkus di dalam bungkusan plastik hitam dan menghampiri Hery yang duduk di pinggiran pot besar yang terbuat dari beton dan di tanami bunga asoka yang siap berbunga. Setelah duduk tepat disampingnya, Dian memberikan ice cream rasa coklat itu pada Hery yang langsung di sambut dengan tangan kanannya. Saat Hery hendak membuka bungkus es krim itu, ia bertanya setelah sebelumnya memperhatikan bahwa rasa es krimam yang ia pegang berbeda dengan milik Dian.
“Kok beda – kenapa tak beli yang sama?” ujarnya protes “Aku juga ingin makan yang rasa vanila ! …”
Wajah Dian mengkerut menatap Hery dengan ice cream tertancam di mulutnya. Dan setelah menelannya, barulah ia menimpali ucapan Hery. “Kau tidak bilang kalau ingin makan ice cream rasa vanila.” seru Dian. Hery tidak membalas, wajahnya persis seperti anak-anak yang begitu menginginkan sesuatu tapi tak terpuaskan.
Akhirnya Dian memutuskan untuk memberikan es krim itu pada Hery yang dari tadi menatapnya, sekaligus menyambar es krim rasa coklat yang dipegang Hery dan membuka bungkusnya.
Hery semakin heran, ia menelengkan kepala, meminta penjelasan.
“Kenapa – tidak mau?” ujar Dian sambil menikmati es krim rasa vanilla yang baru dibukanya itu.
“Kamu ini ngapain sih!” sahut Hery menggerutkan dahinya.
“Memangnya kenapa – kamu tak mau es krim bekas mulutku?” tanya Dian dengan menunjukkan bola matanya yang bulat sambil menggoyangkan kepalanya tak jelas. “Ini bentuk ciuman tak langsung.” liriknya nakal sambil menyikut lengan Hery.
Hery mendesah, lalu menjilat es krim di tangannya itu dan balas menatap Dian sambil menempelkan lengannya di pinggang Dian.
“Ciuman tak langsungnya tak perlu – sini!...” ucapnya sambil mencoba mendekati wajah Dian. Tatapannya penuh godaan, dengan seringain serupa serigala yang mengincar si tudung merah yang polos. Tapi sebelum hal itu terjadi, Dian melayangkan telapak tangannya menutupi wajah Hery menjauh dari wajahnya.
“Dasar mesum – kau kira kita di mana – hah!” ujar Dian dengan nada yang sedikit membentak dan menunjukkan pada Hery bahwa ada beberapa orang yang memperhatikannya.
“Memangnya kenapa – tidak salahkan bila seorang pacar ingin mencium kekasihnya, lagipula kamu kan yang duluan ngomongin cium-cium.”
“Aku kan hanya sekedar bercanda, jangan di tanggapi serius deh!” balas Dian
Kali ini Hery tidak mendekatkan wajahnya, tapi langsung mendekatkan bibirnya ke telinga Dian sambil berbisik.
“Biarlah mereka tahu bahwa kita saling mencintai.” bisiknya di telinga Dian. Itu kali pertamanya Hery berbisik padanya. Spontan ia berdiri menjauh sambil menatap Hery. Pipinya memerah lembut, ia risih bila Hery melakukan hal itu padanya. Rasa malu yang muncul saat mendengar kata-kata yang di ucapkan Hery sama bereaksinya dengan jantungnya yang tak hentinya berdetak kencang tak karuan.
Hery berjalan beberapa langkah ke depan, dan tanpa Dian sadari, kekasihnya itu sudah semakin dekat untuk di katakan menjauhi dari tempatnya duduk. Mungkin pikirannya terlalu fokus pada apa yang barusan ia rasakan.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ.” seru Hery sambil menoleh ke belakang, tempat Dian yang masih memasang wajah kebingungan dan kaku. Sejenak ia menatap kosong ke arah Hery, kekosongan yang sekarang dipenuhi dengan angan-angan yang indah karena ia masih bisa merasakan rasa-rasa yang seolah di penuhi sengatan listrik yang siap membuatnya terkesiap kaget bila ia meminta otaknya untuk memutar kembali kejadian barusan.
Buru-buru Dian beranjak dari sana lalu mengejar langkah Hery yang jauh mendahuluinya. Sedikit berlari awalnya tapi semakin ia memacu langkah kakinya, semakin dekat ia dengan Hery – dan semakin tenang pula hatinya. Mereka berjalan kembali ke tempat pertama kali bertemu tadi, sambil menghabiskan es krim dan sesekali mereka mencicipi es krim bersilangan.

Restoran itu terlihat cukup mewah bila di lihat dari luar, dengan tulisan “Bon Apetit” terpasang indah dan di hiasi dengan lampu berwarna-warni yang muncul bergantian. Di sisi luarnya ada kursi dan meja berwarna putih yang di isi oleh orang-orang yang asyik mengobrol dengan di temani kudapan-kudapan yang enak tentunya. Tata bangunannya pun indah, bagian itu dipagari tanaman berwarna hijau yang ditumbuhi bunga berwarna ungu muda. Dan beberapa pot gantung yang di hiasi tanaman merambat tak berbunga – batang-batang kurus yang di penuhi daun hijau yang sedikit kecoklatan menjuntai kebawah menambah suasana nyaman di tempat itu.
Hery penasaran dengan bagian dalamnya. Dan setelah ia dan Dian masuk, bukan main indahnya tempat itu, langit-langitnya yang tinggi serta enam pilar yang menopangnya di penuhi ukiran-ukiran yang rumit mengingatkannya pada bangunan-bangunan bergaya Eropa. Dan sedikit nuansa gothik yang di pantulkan oleh lampu-lampu yang terpasang di sisi-sisi dindingnya serta serangkaian lampu yang membentuk pola bulat sempurna terpasang di tengah-tengahnya, menambah suasana yang berkesan glamor.
“Selamat datang!” sapa seorang pelayan wanita mendatangi mereka, seragamnya sedikit berbeda dengan pelayan-pelayan di tempat itu dan dengan sigapnya ia mempersilahkan Hery dan Dian ke sebuah meja yang kosong dekat dengan sebuah jendela yang di ukir eksotik. Dari situ bisa dilihat bagian luar restoran. Perabotan di ruangan itu hampir semuanya berwarna coklat terang serupa dengan warna kayu yang alami. Mejanya dilapisi kain dengan warna senada dan di hiasi dengan vas bunga yang di isi bunga mawar yang bentuknya kecil bulat memenuhi setiap celah pot yang berwarna hitam kebiru-biruan. Dan di sebelahnya terdapat sebuah nomor yang menunjukkan nomor meja.
Setelah keduanya duduk, pelayan tadi memberikan buku menu yang di sampul dengan warna hitam maskulin. Dengan senyum sempurna, ia menunggu kedua pasangan kekasih itu memilih hidangan yang ingin mereka pesan.
Lama memilih menu membuat Hery merasakan hal yang tak ia sukai saat di mana ia sedang jauh dari rumah. Tubuh bagian bawahnya memaksanya untuk ke toilet – segera. Sebentar Hery mencoba menahan tapi tubuhnya tak setuju, dan karena sudah merasa tak tahan, terpaksa ia pergi ke toilet. Dari dulu – bila bisa memilih, Hery akan melakukan aktifitas itu di rumahnya sendiri, karena bila ia memakai toilet lain ia merasa kurang enak, kecuali dalam keadaan terdesak seperti saat ini.
“Pilih saja menunya duluan, aku mau ke toilet sebentar!” ucap Hery berusaha menutupi wajahnya yang menahan untuk buang air besar. Amat sangat malu bila Dian sampai tahu, cetusnya dalam hati. Dian mendongak mengangguk setuju dan bertanya pada Hery.
“Em – kalau begitu kamu mau makan apa?” tanyanya.
“Apa saja – terserah kamu. Pesankan saja aku makanan yang sama denganmu.” jawabnya singkat. Ia tak ragu berkata begitu karena selama menjalin hubungan yang khusus ini dengan Dian, tak pernah sekalipun ia protes saat memakan makanan yang diberikan kekasihnya itu untuknya.
Tak jauh dari tempat ia duduk tadi, Hery bingung di mana letak toiletnya, wajar begitu karena ini adalah kali pertamanya ia kemari. Perutnya kembali protes, ia tidak mau membuang-buang waktu, buru-buru ia bertanya pada seorang pelayan yang sedang membersihkan meja yang baru saja di tinggalkan pelanggannya, dengan singkat pelayan itu menunjukkan dimana toiletnya.
“Silahkan lewat situ, lalu anda tinggal belok ke kanan – nah di situ toiletnya!” ucap pelayan itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah koridor yang mengarah ke dapur yang berdampingan dengan toiletnya.
“Terima kasih.” ucap Hery singkat dan berjalan menuju toilet yang di tunjukkan pelayan tadi.
Perasaan lega – merdeka, dan suasana hati yang nyaman menyambut Hery setelah keluar dari toilet. Ia bergegas kembali ke tempat Dian yang menantinya. Dan saat keluar dari toilet, perhatian Hery tertuju pada dua orang yang berdiri di luar sisi kiri koridor. Kedua orang itu terlihat seperti mendebatkan sesuatu, dan kalau di dengar dari suaranya, sepertinya perdebatan antara sepasang kekasih. Ia tak begitu melihat jelas karena penerangan di tempat kedua orang itu berdiri sedikit gelap. Sambil merapikan pakaiannya, ia berdiri tak begitu jauh dari pintu toilet – masih memandangi dua orang itu. Dan saat kedua orang itu mendekat masuk ke arah dapur yang letaknya di sisi kiri, barulah Hery melihat sesosok pria yang berpakaian seperti seorang koki dan memegang topi khas kokinya di tangah kiri. Ia sepertinya mengabaikan si wanita dan hendak kembali bekerja, tapi si wanita meraih lengannya seperti meminta penjelasan yang akurat. Entah apa masalahnya. Tapi si pria tetap mengabaikannya dan meminta si wanita segera pergi.
Beberapa langkah saat si pria itu hendak masuk ia menangkap mata Hery yang dari tadi memandanginya. Matanya menatap tajam seolah-olah tak akan memaafkan Hery yang telah mengusiknya. Walau jarak di antara mereka cukup jauh, tapi saat itu Hery merasa tatapannya sangat dekat dan menyesakkan. Membuatnya merasa tidak enak serta bersalah. Buru-buru ia berjalan menjauh dan memalingkan wajahnya dari pria itu.
Hery berjalan mendekati Dian yang duduk sambil tersenyum simpul padanya. Di meja sudah terhidang dua piring spaghetti dengan daging cincang yang di taburi keju di atasnya, dan dua buah sup kental yang di hidangkan di mangkuk kecil dengan irisan daun ketumbar, serta es lemon untuk minumannya.
Tidak sabar untuk mencicipi hidangan itu, Hery buru-buru menghampirinya, namun saat ia menggeser kursi hendak duduk, seorang bocah tidak sengaja menyenggol tubuhnya yang mengakibatkan lengan kirinya terkena tumpahan kuah sup. Reaksi Hery kaget karena kejadian itu, di tambah panas sup yang menodai lengan kemejanya. Dian langsung beranjak dari kursi dan mengusapkan kain lap di lengan kemeja Hery, berusaha mengurangi suhu panasnya. Lalu Hery langsung menelengkan kepalanya pada si tersangka, menatap anak laki-laki yang balas memandangnya dengan mata penuh penyesalan. Tak jauh dari meja mereka, buru-buru orang tua si bocah menghampiri.
“Aduh, maaf ya – anak saya tidak sengaja.” ujar si ibu sambil membelakangi anaknya. Sesekali anak itu menoleh dari belakang tubuh ibunya.
“Tak apa.” jawab Hery singkat.
“Oh, jangan begitu – biar saya yang mengganti biaya binatunya.” bujuk si ibu.
“Tidak – tak usah!” bantah Hery sedikit memperlihatkan amarahnya, ia menyesal memakai kemeja yang di belinya dengan cukup mahal itu.
“Ini tidak parah bu. Dengan air, nodanya juga akan hilang.” ucap Dian bernada menenangkan dan masih mengusap kain lap ke lengan kemeja Hery.
Sekali lagi Hery menolak permintaan ibu itu dengan memaksa nada sopan pada suaranya. Si ibu membelakangi mereka dan terlihat menasehati anaknya, lalu mendorong tubuhnya, dan menyuruh bocah itu menundukkan kepala mungilnya pada Hery sebagai ungkapan permintaan maaf.
“Maaf.” ujar anak itu sedikit terisak.
“Lain kali hati-hati ya.” jawab Dian dengan nada bicara keibuan menggantikan Hery. Hery tidak berucap, ia hanya menganggukkan kepalanya, setuju akan kata-kata yang di lontarkan Dian.
Lalu sekali lagi ibu itu meminta maaf dan akhirnya kembali ke mejanya.
“Terpaksa deh dua kali ke toilet.” ucap Hery pada Dian dengan wajah menyeringai kesal.
“Mau kubantu.” Dian berinisiatif.
“Ha ha ha …, kau mau masuk toilet pria bersamaku?” tanya Hery.
“Ya – ngga sih, tapi kalau aku di perlukan, aku mau membantu!” seru Dian sedikit bercanda.
“Tak perlu – O iya, kamu makan saja duluan.” ujar Hery. Dian menganggung setuju. Lalu ia kembali ke toilet untuk membersihkan noda di bajunya, di belakang ia bisa mendengar suara Dian yang memanggil seorang pelayan dan memintanya untuk membersihkan meja.
Hery kembali melangkahkan kedua kakinya di koridor tadi, sejenak ia menatap tepat di mana dua orang tadi berdebat, tak ada tanda-tanda mereka di sana, mungkin sudah pergi, pikir Hery dalam hati. Lalu ia masuk ke toilet dan berdiri di depan wastafel yang mengucurkan air bersih yang di butuhkannya untuk membersihkan noda. Ia mengambil tisu yang terpasang di samping wastafel dan membasahinya dengan air lalu menggosoknya lebih bertenaga tepat di mana noda itu membentuk. Tak lama noda itu berkurang – walaupun tak sepenuhnya tapi ini tidak terlalu mencolok pikirnya. “Tahu begini, aku ngga bakalan pakai baju ini.” keluhnya dalam hati.
Suara mengkeret pintu dari salah satu bilik toilet menarik perhatian Hery, saat pintu toilet itu terbuka, seorang pria berjalan dan berhenti di sisinya. Berdiri tepat di depan wastafel. Hery sejenak menengok ke arah pria itu sambil lalu karena ia sedang mengeringkan lengan kemejanya di mesin pengering. Pria itu membasuh kedua tangannya. Pandangannya mengarah pada cermin yang memantulkan sosok mereka. Hery tidak begitu peduli, ia masih fokus pada lengan kemejanya. Namun saat Hery mencoba mengenali sosok pria itu, barulah ia menyadari bahwa pria yang di dekatnya itu adalah pria yang sama yang menatapnya tajam tadi. Wajahnya memang tidak begitu teringat dalam benaknya, namun tatapan tajam yang menusuk ke hati itulah yang membuatnya yakin.
“Apa.” Tanya pria itu sambil memandangi wajah Hery yang terpantul di cermin.
“Ah – bukan apa-apa!” Jawab Hery yang tak sadar bahwa ia dari tadi menatap pria itu. Dan sekarang pria itu membalas tatapannya.
Saat mata pria itu menatapnya, entah rasa apa yang membuatnya tidak enak dan berusaha secepat mungkin memalingkan wajahnya, seolah-olah ada lubang dosa yang bersiap untuk menghisapnya.
“Hei, bisa minta tolong ambilkan tisu yang di dekatmu itu?” pinta pria itu sambil menunjukkan gulungan tisu di dekat Hery dengan telunjuknya yang basah. Spontan Hery menarik tisunya dan memotongnya dengan jemarinya lalu memberikan pada pria itu.
“Trims.” jawab pria itu singkat tanpa memandang wajah Hery langsung. Lalu dilapnya tangannya yang basah, kemudian memasang topi kokinya yang sebelumnya di simpan di kantong celana hitamnya. Sesekali ia melemparkan pandangannya tepat di mana sosok Hery terpantul di cermin. Lalu beranjak dari depan wastafel.
Hery sadar pria itu mengawasinya karena ia bisa melihat pantulan wajah pria itu di cermin yang sama, dan langsung memalingkan wajahnya agar tak dilihat. Pria itu berjalan keluar sementara ia masih berdiri mengeringkan lengan bajunya. Dan setelah merasa cukup kering, ia menggulung lengan bajunya dan keluar dari toilet.

“Maaf ya – aku membuatmu menunggu dua kali!” ucap Hery setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan Dian. Dian masih belum menyentuh makanannya, ia merasa tak enak apabila memakan hidangannya kekasihnya itu.
“Tak apa – ayo kita makan.” balas Dian singkat.
Makanan yang di hidangkan begitu nikmat – walaupun harganya sebaliknya. (Hery bersyukur saat itu ia membawa uang lebih, dan tidak perlu meminjam uang Dian, lagipula ia tidak mau hal itu terjadi malam ini). Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dari tempat itu dan berjalan ke area parkir. Awalnya ia mengira Dian menantinya di sudut tempat parkir. Namun tidak, ternyata Dian juga mengambil motor di parkiran.
“Kukira kamu kemari naik taksi.” protes Hery.
“Tidak – lagipula kau sama sekali tak bertanya saat kita bertemu tadi.” jawab Dian.
Benar juga, pikir Hery dalam hati. “Padahal aku sudah berniat mengantarkanmu!” ucap Hery sambil menatap Dian yang sedang mengancing pengait helmnya dan berbunyi klik.
“Antar saja – aku mau kok kamu antar!” cetus Dian.
“Apa tidak aneh bila aku mengantarmu pulang, kalau kita sama-sama mengendarai motor ?” Hery berpendapat.
“Ya sudah – kalau tak mau, aku bisa pulang sendiri kok!”
Hery mengkerutkan keningnya, sementara Dian sudah melaju dengan motor skuternya. Hery merasa bersalah atas ucapannya barusan, lalu ia menepikan motornya mendekati Dian sambil meminta maaf. Suasana di jalan sangat bising, membuatnya harus menambahkan volume pada suaranya.
“Maaf deh – tak usah di pikirkan ucapanku tadi ya!” ucap Hery merasa bersalah.
Dian tetap terdiam, entah karena tidak mendengar atau tidak mempedulikan Hery. Itu membuat Hery sedikit sebal.
“Kamu marah?” tanya Hery dengan suara yang lebih nyaring daripada sebelumnya.
“Kenapa kamu mengira aku marah?” jawab Dian.
Hery mengkerutkan dahinya. “Lalu kenapa kau langsung meninggalkanku sambil lalu tadi!” ucapnya menuntun penjelasannya.
Dian melirik Hery, namun tak mengurangi konsentrasinya mengendarai motor. Ia harus lebih konsen saat mengendarainya karena ada beberapa lampu-lampu di jalan yang tak berfungsi dengan baik.
“Hei – kenapa tak menjawab?” teriak Hery pada Dian yang melajukan motornya sedikit menjauh dari Hery.
Dian mendesah. “Itu bukan masalah – sebaiknya kita tidak membahas hal-hal yang nantinya bisa menjadi masalah, aku tak mau begitu – kamu mengerti kan?” ujarnya sambil memperlambat laju motornya sampai sejajar dengan Hery.
Jawaban Dian sedikit tak memuaskannya tapi Hery setuju dengan ucapannya, bukankah dari awal ia memang tak menginginkan masalah yang tak penting dan hanya akan membuat hubungan mereka renggang.
Hery masih menyamai laju motornya dengan Dian. Mereka tak berkata-kata sampai akhirnya tiba di depan rumah Dian.
Tepat di depan pagar rumah Dian, Hery sedikit heran karena ada suara-suara canda anak kecil di dalam rumahnya, ia masih ingat saat Dian bercerita padanya, bahwa ia tinggal bersama kedua orang tuanya serta adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Dan sudah tentu tak ada anak kecil. Suara itu sesekali terdengar nyaring, seperti sedang berkejar-kejaran.
“Tumben rumahmu ramai?” tanya Hery masih duduk di punggung motornya dan melepaskan helmnya.
Dian melirik rumahnya, paham apa yang dimaksud Hery. “Oh itu – ada saudara yang menginap di rumah.” jawabnya. “Kamu mampir tidak?” tanya Dian pada Hery.
“Kurasa tidak untuk malam ini – lagipula aku tak enak bertamu jam segini.” ucap Hery menolak dengan sopan.
“Oke.” balas Dian sambil menghampiri Hery yang memandangnya dengan pandangan teduh, dan melindungi. Dikecupnya pipi kiri Hery. Reaksinya bukan main membuat Hery merasa malu sekaligus senang. “Terima kasih ya untuk malam ini – ” bisik Dian mendesah sensual.
“ – Sama-sama.” balas Hery sedikit canggung karena malu atas apa yang telah di lakukan Dian tadi. Kalau di pikir-pikir akhir-akhir ini kekasihnya itu lebih agresif di bandingkan dengan dia, entah apa sebabnya, yang jelas itu menguntungkan baginya – siapa yang tidak merasa beruntung bila di jatuhi sebuah kecupan manis dari seseorang yang kita sayangi ? rasanya tidak ada, karena bagi beberapa orang atau bahkan semua orang, hal itu adalah sebuah berkah yang layak di beri pupuk agar tumbuh dengan baik dalam pikiran kita dan akan menjadi sebuah kenangan yang manis kelak.
Hery menyalakan mesin motornya dan berpamitan pada gadis di depannya itu yang dibalas Dian dengan melambaikan tangan kanannya ke udara saat Hery melaju menjauh. Dari kaca spion motornya, ia masih bisa melihat Dian yang berdiri di samping motor skuternya. Dan setelah cukup jauh untuk melihat





2. BERTEMU PANDANG

Hari senin mengingatkan Hery saat ia masih sekolah beberapa tahun lalu, biasanya di hari senin ia harus lebih awal berangkat ke sekolah, karena ada upacara bendera yang pasti diadakan. Apabila tak diadakan pun biasanya hanya kendala cuaca yang tak mendukung atau tanggal merah. Saat ia berbaris dengan yang lain, kadang kala kaki lelah karena terus berdiri, sesekali ia menggoyangkan kakinya agar terasa lebih nyaman, dan saat itu ia lupa bahwa ada beberapa guru yang berdiri di belakang dengan tatapan mengancam semua siswa untuk tertib saat upacara bendera berlangsung. Dan apabila seorang guru melihat ada siswa yang tidak mentaati, tak segan guru itu menegurnya, ya – walaupun ada guru yang menegur dengan sedikit sentuhan kasar. Hery beberapa kali pernah mengalami hal itu, dan itu tentunya membuat ia malu karena menjadi bahan tertawaan di kelas seusai upacara bendera berlangsung.
Kadang setelah upacara bendera berakhir, ada beberapa guru yang khusus meluangkan waktunya untuk memangkas rambut murid laki-laki yang rambutnya panjang, atau di cat warna. Saat itu terjadi Hery sebal melihat guru yang bersangkutan, karena seolah-olah guru itu senang melakukannya. Semua itu wajar terjadi di sekolahnya dulu. Sekolah yang bernama SMK-1 Pahandut atau yang lebih di kenal dengan STM.
Saat memutuskan akan masuk ke STM, awalnya ia berencana mengambil jurusan Teknologi Informasi, tapi tidak begitu yakin akan kemampuannya bila ia memilih jurusan itu. Alih-alih mengalihkan pilihannya, Hery akhirnya mengambil jurusan bangunan gedung, dan tentunya ia tidak salah bila sekarang bekerja di tempatnya bekerja sekarang.
Kini hal-hal itu di ganti dengan rutinitas yang benar-benar berbeda. Pekerjaan yang selalu ada untuk ia kerjakan, bahkan sampai menyita waktu istirahatnya di rumah. Terkadang ia rindu saat ia masih duduk di bangku sekolah dulu; rindu saat-saat di mana ia tak harus memenuhi pikiran-pikiran dengan beban kerjanya; rindu saat-saat ia lebih sering membolos di bandingkan masuk kelas; rindu dengan teman-temannya yang sekarang sudah memilih jalan mereka masing-masing. Begitu juga dengan dirinya sendiri. Hery sudah memilih pekerjaan ini, dan ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Sepulang kerja Hery menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Dian di rumah sakit, tempat Dian bekerja sebagai seorang perawat. Setelah memasuki kawasan rumah sakit, ia mencari-cari sosok Dian di bagian kandungan. Beberapa kali ia mondar-mandir di situ namun ia belum melihatnya. Lalu ia mengitari koridor-koridor yang panjang dan akhirnya sosok Dian muncul begitu saja, seolah-olah tubuhnya diletakkan dengan tangan Tuhan agar bisa berjumpa dengan Hery. Dian berjalan pelan-pelan sambil asyik mengobrol dengan seorang temannya. Dengan seragam putih ala perawatnya, Dian terlihat begitu bersinar, rambutnya yang panjang di gelung ke belakang, dan kepalanya di hiasi topi perawat berwarna putih. Begitu juga dengan wanita di sebelahnya. Hery menghampiri yang dibalas Dian dengan tatapan heran. “Kenapa Hery ada di sini?” pikirnya.
“Hai!” sapa Hery kepada dua perawat itu.
“Kenapa tiba-tiba kemari?” balas Dian, teman di sampingnya membalas sapaan Hery dengan tersenyum.
“Memangnya tidak boleh ?” tanya Hery sedikit mencibir.
“Bukannya begitu – jam kerjaku belum habis.” jawabnya singkat.
Ami, teman Dian yang sebelumnya sempat di perkenalkan pada Hery sepertinya paham akan situasi itu, lalu ia mohon diri meninggalkan mereka berdua.
Dian berjalan memimpin kedepan, sementara Hery di belakangnya. Mereka berdua berjalan sebentar lalu berhenti setelah menemukan sebuah bangku yang biasanya ada di pingggiran koridor, di bangku itu mereka duduk bersisian.
“Aku sibuk loh, jadi aku tak bisa lama-lama.” Dian memastikan.
“He-eh – ngerti kok, tapi kamu sempat kan makan ini!” jawab Hery sambil mengangkat kantong plastik berisi roti isi kehadapan Dian.
“Roti isi yang di jual di dekat kantormu!” tebak Dian.
“Iya – masih ingat?” jawab Hery singkat sambil membuka bungkus plastiknya lalu memberikan pada Dian.
“Tentu saja, kamu pertama kali mengajakku kencan kan saat kau mangkir dari jam kerjamu, karena itu kan kau mengajakku ke rumah makan yang di dekat kantormu.” balas Dian sambil menggigit roti isi yang diberikan Hery.
Hery tidak begitu ingat. “Masa iya – aku sendiri tidak mengingatnya sejauh itu.”
“Ah kamu! Kamu itu sering sekali melupakan banyak hal.” ucap Dian dengan mulut yang di penuhi roti yang tercabik-cabik oleh giginya. “tidak makan ?” tambahnya.
“Tidak, aku hampir bosan makan roti ?” jawab Hery sambil sedikit tersenyum.
Ia melihat remahan roti yang menempel di pinggir bibir Dian lalu mengeluarkan tisu dan memberikan padanya. “Nih, ada remahan roti tuh di bibirmu.”
Buru-buru Dian membersihkannya.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, ada beberapa perawat yang bergegas masuk ke sebuah ruangan, salah satu perawat itu adalah teman yang tadi mengobrol dengan Dian tadi. Penasaran, Dian beranjak dari kursi dan bertanya pada Ami.
“Ada ibu yang mau melahirkan, kau tidak ikut membantu ?” seru Ami. Suaranya nyaring, jadi tidak perlu berteriak saat bicara.
“Ah – aku ikut.” ucap Dian. Sebelum ia hendak berkata-kata pada Hery, Hery mendahuluinya.
“Ini – kamu pergi sana, kalau tidak cepat-cepat nanti bayinya nyesel bila tak melihat suster secantik dirimu!” ucap Hery sambil memberikan kotak berisi roti isi itu lalu mencium kening Dian, membuatnya tersenyum simpul pada Hery.
“Aku pergi dulu ya?”
“Oke” balas Hery sambil mengantarkan Dian yang melangkah cepat mengejar Ami dengan pandangannya.
Sebelum masuk ke ruangan bersalin Dian menyimpan roti isi pemberian Hery di dalam loker, lalu ia mencuci kedua tangannya dan memperbaiki posisi topi susternya. Ia senang atas kedatangan Hery hari ini, dan ia merasa dirinya penuh semangat. Semangat yang dapat membusungkan dadanya dan berjalan memasuki ruangan bersalin dengan penuh kebanggaan.
***
Pagi ini Hery terlambat ke kantor, tadi malam entah sampai jam berapa Dian mengirim SMS padanya, menceritakan apa saja yang ia lakukan dan tak lupa ia juga menceritakan proses kelahiran kemarin sore.
Sesampainya di kantor ia bergegas masuk dan berharap kepala bagian belum datang. Dan setelah tenang duduk di tempatnya, ia mengangkat kepala dan memanjangkan lehernya ke samping kanan, melirik ruangan kepala bagian. Rupanya beliau belum datang. Dan untung bagi Hery karena ia tak mau di berikan pekerjaan yang banyak karena keterlambatannya, seperti tempo hari. Butuh tiga hari ia menyelesaikan semua pekerjaan itu, dan saat itu ia hampir menyerah, tapi karena rasa takutnya pada kepala bagian lebih besar di bandingkan rasa ingin menyerah, Hery terpaksa mengerjakannya.
“Wuih – tumben hari ini kau terlambat bro?” tanya Doni menghampirinya setelah sebelumnya mengembalikan berkas di lemari tepat di belakang sisi Hery.
“Ya begitulah – ” jawabnya singkat.
“Hei sebentar lagi jam makan siang, makan siang bareng yuk!” ajak Doni setelah memandangi jam tangannya.
“Sebentar lagi apa, ini baru jam 9.”
“Ya sebentar kan, cuma 3 jam. Sambil kerja paling juga tidak terasa, mau ngga?”
“Kau yang traktir ?” tanya Hery.
“Eerrr, aku ngga janji – kalau mahal ngga bisa ...” ujarnya penuh perhitungan.
“Dasar – mengajak berarti mentraktir!” sahut Hery lalu menghela nafas “Oke deh!”
Hery setuju, lagipula hari ini tidak begitu banyak pekerjaan dan tentu saja ia tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun karena Doni berniat mentraktirnya.

Jam makan siang tiba, Doni berjalan ke area parkir mendahuluinya. Dan saat Hery tiba di tempat itu, ia heran pada Doni yang biasanya hanya membawa motor – bukan mobil.
“Tumben hari ini kau bawa mobil!” cetus Hery.
“Karena malam ini aku ada kencan.” jawab Doni.
“Lalu – apa hubungannya dengan hari ini.” Hery menimpali.
“Tentu saja ada, sebagai temanku, aku memintamu untuk membantuku mencari restoran yang akan aku jadikan tempat kencan. Karena itu aku sengaja meminjam mobil ayahku, mempergunakan waktu istirahat dengan baik istilahnya.” ungkap Doni.
“Ngomong-ngomong siapa sih gadis yang kau ajak kencan?” tanya Hery penasaran.
“R-A-H-A-S-I-A – nanti juga kau tahu sendiri, ya sekalian kejutan untukmu!”
Hery mendengus lalu masuk ke mobil dan duduk di samping Doni, sementara temannya itu menyalakan mesin mobil dan melaju keluar kawasan kantor.
Doni sengaja memperlambat laju mobilnya, berharap segera menemukan lokasi yang menurutnya tepat. Hery sendiri tidak terlalu memikirkan tempat di mana ia bisa berkencan seperti temannya ini. Asalkan tempatnya nyaman pasti ia setuju. Lagipula selama ini Dian lah yang biasanya memutuskan mereka mau kemana dan kapan.
“Yang di sana saja, bagaimana?” cetus Hery melongokkan kepalanya ke tempat yang ia maksud.
“No, masa aku berkencan di tempat seperti itu, kau lihat sendiri di sana lebih banyak orang berumurnya ketimbang orang-orang mudanya.” tolak Doni singkat.
“Kau banyak tuntutan banget sih, siapa tahu di sana makanannya enak, lagipula kita sudah berputar tiga kali di jalan ini tapi kau belum juga menemukan tempat yang kau mau.” protesnya “Waktunya mepet nih.” tambahnya sambil memukul-mukul jari telunjukknya ke jam tangan yang ia pasang di tangan kirinya pada Doni.
“Begini ya – walaupun makanannya enak, tapi bila suasananya tidak mendukung akan sia-sia usahaku!” ujar Doni, lalu membelokkan mobilnya ke arah sebelumnya.
“Kau mau mengelilingi kawasan ini sekali lagi?” tanya Hery heran.
“Mau bagaimana lagi, kau bantu dong. Ada tidak tempat yang bisa kau rekomendasikan?”
Hery berpikir lalu tiba-tiba ia teringat restoran tempat ia dan Dian makan malam beberapa hari yang lalu.
“Bagaimana kalau ke restoran tempat aku dan Dian makan malam kemarin!” seru Hery.
“Di mana?” tanya Doni menoleh ke arah Hery dengan tangan yang masih menempel pada stir mobil.
“Tempatnya agak jauh dari sini, setelah jam kerja selesai saja kita kesana!”
“Sekarang saja!” seru Doni penuh semangat.
“Tidak bisa – lihat!” balas Hery kembali menunjukkan jam tangannya karena waktu istirahat sudah habis.
“Tenang, itu bisa di atur – kau tunjukkan saja di mana tempat itu.” ujarnya penuh keyakinan. Hery mendengus tapi akhirnya setuju dan menunjukkan lokasinya.

Tak sampai 15 menit akhirnya mereka berdua sampai di restoran itu.
“Hei – tidak perlu masuk kan?” seru Hery karena melihat Doni yang keluar dari mobil dan hendak masuk ke restoran. Ia khawatir karena sudah cukup lama waktu istirahat habis. Lagipula ia tidak mau mencari masalah dengan kepala bagian. Bisa jadi ia dapat peringatan seperti Toni, karyawan yang bekerja di kantor sebelah.
“Tanggung – sekalian saja kita cicipi makanannya.” ucap Dony sambil memandangi tempat itu dengan mata menilai.
“Tak perlu – aku ikhlas deh tidak jadi kau traktik. Lagipula aku bisa menjamin makanan di tempat ini enak-enak semua.” balas Hery tak sabaran.
“Masuk saja dulu, aku belum melihat bagian dalamnya. Masalah lambat masuk nanti bisa kujamim kau tidak akan dapat masalah. Yang penting sekarang kau ikut aku masuk !” ujar Dony sambil menyeret Hery masuk ke restoran.
Suasana di restoran itu pada malam hari dan siang hari benar-benar jauh berbeda. Hery baru sadar tanaman di tempat itu lebih banyak di bandingkan perkiraannya saat pertama kali kemari. Mereka berdua memasuki restoran dengan di bantu oleh seorang pelayan yang mempersilahkan mereka duduk di sebuah meja yang jaraknya tak terlalu jauh dari meja Hery dan Dian kencan beberapa hari yang lalu.
“Bagaimana – bagus kan. Aku baru sekali kemari, dan menurutku ini tempat yang cocok seperti yang kau inginkan.” seru Hery memulai percakapan karena dari tadi Dony sibuk mengamati isi restoran itu. Matanya menatap penuh kekaguman.
“Ya – sangat memuaskan. Aku suka lampu hias di tengah itu!” ucap Dony sambil mengangkat jari telujuknya ke lampu tepat di tengah ruangan yang di sisinya ada enam buah pilar besar yang berdiri tegak. Hery baru sadar ada lampu yang di maksud oleh Dony, saat pertama kali kemari ia tidak terlalu memperhatikan ruangan ini sejelas mungkin, ia hanya melihatnya sambil lalu. Mungkin tempat yang paling ia ingat adalah toilet. Maklum ia sudah dua kali ke toilet restoran itu.
Seorang pelayan memberikan mereka buku menu. Hery asyik memilih-milih menu yang ingin ia makan, tapi tiba-tiba Dony mengambil paksa buku menu dari tangannya.
“Biar aku yang memutuskan menunya, karena kau yang ditraktir jadi kau setuju saja, bukan begitu?” seru Dony memastikan.
Hery cemberut sebal. Tidak lama, Dony memanggil pelayan yang tadi memberikan menu pada mereka setelah memutuskan akan memesan hidangan.
“Ada yang bisa saya bantu?” sapa pelayan wanita itu. Kalau di lihat-lihat sepertinya pelayan itu hampir seumur dengan mereka. Mungkin karena parasnya yang menarik ia sengaja di jadikan pelayan agar menarik perhatian mungkin.
“Saya pesan ini. Minumnya es jeruk dua gelas ya.” ucap Dony menunjukkan menu yang ia maksud pada pelayan itu. “Em Double Fish Couple ya?” ucap si pelayan sambil memandangi Hery dan Doni bergantian. Hal itu membuat Hery heran. Apa maksudnya, tanya Hery dalam hati.
“Jadi, dua gelas es jeruk dan Double Fish Couple ya!” pelayan itu mengulangi untuk memastikan.
“Ya.” Sahut Doni singkat.
“Kalau begitu, silahkan di tunggu hidanganya ya...” balas si pelayan lalu berjalan meninggalkan mereka.
Hery memandangi Doni heran, dahinya mengkerut. “Kenapa – sakit perut?” tanya Dony melihat reaksi Hery yang seperti itu. “Bodoh – memangnya aku terlihat seperti itu?” balas Hery. “Lalu kenapa, apa kau takut dapat peringatan dari kepala bagian? Santai saja bro – itu bisa aku atasi.” ucap Doni penuh bangga. “Em – itu juga termasuk. Tapi aku heran dengan pelayan tadi, kau lihat tidak saat ia memandangi kita?” sahut Hery. “He-eh.” Doni mengangguk setuju tapi tidak terlalu memperhatikan ucapan temannya itu. Reaksi Doni semakin membuat Hery jengkel. Langsung saja ia berbicara ke pokok permasalannya.
“Kau ini aneh – apa tidak salah memesan “itu”?” tanya Hery dengan mata yang serius.
“Itu…, O maksudnya Double Fish Couple itu ya?” jawab Doni baru paham maksud temannya. Hery mengangguk tidak sabar. “Aku tahu kok, tapi aku ingin mencoba makanan di sini.” tambah Doni. “Ya, tapi kau tak perlu sampai memesan itu kan, kau lihat bagaimana reaksi pelayan tadi?” gerutu Hery. “Cuek saja – masih untung aku memesan Double Fish Couple, kalau aku memesan Chicken With Love Sauce akan lebih mencolok bukan.” bantah Doni.
Hery kembali diam, ia tidak mau berdebat dengan temannya ini, dulu saat ia masih kuliah entah berapa kali ia sudah berdebat dengannya, bahkan ada kalanya mereka tidak saling bertegur sapa karena sesuatu yang bermasalah. Tapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang tidak sebanyak dulu mereka berdebat.
Sambil menunggu pesanannya datang, Doni mengutak-atik ponselnya sementara Hery melemparkan pandangannya ke segala arah di ruangan, mencoba sedikit menghibur diri. Di sebelah kiri mereka ada sepasang suami istri yang bisa di bilang sudah cukup berumur tapi kemesraan mereka terpancar dari bahasa tubuh serta cara mereka menanggapi ucapan satu sama lain. Sepertinya mereka mendapatkan rekomendasi menu dari kokinya langsung. Karena saat itu mereka sedang asyik memilih-milih menu yang di anjurkan oleh koki yang berdiri di samping mereka. Hal itu di tangkap oleh mata Hery, kenapa hanya mereka yang dapat rekomendasi langsung dari kokinya, apakah ada ke-spesialan yang di miliki oleh pasangan itu. Atau mungkin saja mereka adalah pelanggan tetap yang sudah kenal lama dengan kokinya. Andai kemarin saat ia dan Dian juga mendapatkan rekomendasi menu langsung pasti akan lebih menarik, pikir Hery dalam hati.
“Mungkin aku kelak akan seperti pasangan itu.” ucap Doni sambil memandangi pasangan tersebut. “Siapa yang tahu?” balas Hery menyindir. Ia tahu Doni menanyakan pernyataan darinya itu dalam hati. “Siapa yang tahu saat berumur segitu kau masih hidup. ” tambah Hery. Doni membalas memelototkan matanya dengan bibir kanannya tertarik ke atas. “Maksudmu apa ! kau mendoakan aku mati.”
“Bukan begitu – anggap saja aku hanya bercanda, yang tadi lupakan saja deh!” ujar Hery dengan nada bicara yang sedikit bersalah. Doni memandang tak puas, lalu ia kembali mengutak-atik ponselnya.
Hery memalingkan wajahnya ke arah pasangan tadi. Beberapa kali ia mengamati meja tempat pasangan itu duduk, khususnya si koki, karena ia merasa mengenalinya. Hery penasaran dan untuk memastikannya ia berulang kali mencari celah agar dapat melihat wajah koki itu dengan jelas, sedikit sulit karena koki itu memunggunginya. Dari nada bicaranya, sepertinya pria itu beberapa kali menjelaskan berbagai menu yang menurutnya pribadi lezat dan tidak ada salahnya untuk ia rekomendasikan untuk pasangan itu.
“Sekali lagi saya mohon maaf bila pelayanan yang saya berikan tidak begitu memuaskan anda.” ucap si koki merendahkan dirinya sendiri. “Ah tidak apa-apa, lagipula menurutku tidak terlalu beda jauh masakanmu dengan masakan kepala kokinya, bukan begitu suamiku?” tanya wanita paruh baya itu pada suaminya meminta dukungan. “Ya.” Jawabnya singkat.
Masih dengan keadaan memunggungi Hery dan Doni, koki itu tak habisnya menawarkan beberapa menu pada pasangan itu, walau tidak jelas mendengar nama menu-menu yang di maksud oleh si koki, tapi mendengar penjelasan-penjelasan singkat, Hery memahaminya dan tergiur ingin mencicipinya juga.
Sambil menunggu menu yang masih di rundingkan oleh pasangan itu, si koki memalingkan wajahnya ke belakang, tepat di samping Hery yang sedang duduk dan yang tadinya hanya memandangi punggung koki itu, sekarang berubah memandang wajahnya. Hery langsung salah tingkah, ia seketika memalingkan wajahnya, sekarang ia tahu koki yang berdiri di sampingnya itu adalah orang yang sama yang di temuinya di toilet beberapa hari yang lalu.
Ia merasa malu karena tertangkap mata oleh si koki itu sedang memandangi dirinya, hal yang sama yang tak sengaja di lakukan Hery kini kembali terulang saat ini. Semakin membuatnya merasa malu bila harus bertatap muka dengan pria itu lagi.
Tidak lama berselang setelah ia melihat pria itu, dua orang pelayan mengantarkan pesanan mereka dan menghidangkan di atas meja.
“Wah persis seperti di fotonya, kelihatannya enak!” seru Doni melihat makanan itu. Double Fish Couple adalah dua ekor ikan nila yang di goreng dengan tepung tipis menyelimutinya dan di siram saos dengan sedikit potongan jamur shitake, bawang daun, kacang polong, kacang pinus dan terakhir, sedikit taburan wijen di atasnya. Memang tidak ada yang salah dengan hidangan itu, hanya saja piring yang di pakai adalah piring lebar yang berbentuk hati. Dan wajar itu membuat Hery terganggu, karena bisa saja pelayan-pelayan di belakang sana yang memasak hidangan ini merasa heran kenapa ada dua orang pria memesan makanan yang biasanya di pesan oleh sepasang kekasih. Sudah tentu ada beberapa mata memandang tidak normal ke arah mereka.
“Lihat, apa kubilang, kita di kira homo gara-gara kau memesan makanan ini.” bisik Hery sebal pada temannya itu. Doni ikut memandangi beberapa pelanggaan di restoran itu yang melihat ke arah mereka.
“Sudah – tak usah terlalu kau pikirkan, makan saja. Rugi aku bila kita tidak memakannya, lagipula kaukan minta ditraktir.” Balas Doni. “Tapi aku tidak memintamu mentraktir makanan seperti ini, mau di taruh di mana mukaku bila ada orang yang kukenal mengira hal yang tidak-tidak.” ucap Hery. Doni tidak ambil pusing, ia memotong beberapa bagian ikan itu dan memasukkannya ke mulut. Dan sesekali menawarkan makanan itu pada beberapa orang yang dari tadi memandangi mereka, menganggap hal itu sebagai lelucon ringan yang membuatnya tertawa. Hal yang tak mungkin di lakukan Hery.
Ia paham watak temannya itu, walau terkadang kelakuan memang tidak mencerminkan umurnya yang sudah dewasa.
Hery mengunci mulutnya berhenti mengeluh, walau masih sedikit terganggu dengan pandangan orang yang miris. Tapi karena ia tergiur melihat Doni yang dari tadi memasukkan potongan daging ikan ke mulutnya, membuatnya ingin ikut makan. Dan Setelah beberapa kali menyuapkan makanan itu ke mulutnya, barulah ia sadar bahwa daging ikan itu begitu lembut, begitu pula dengan saos yang di siram di atasnya, memanjakan lidahnya yang kini menari di dalam rongga mulutnya. Mungkin bila ia di beri lima porsi ikan seperti ini rasanya cukup untuk membayar hal memalukan yang tak sengaja ia lakukan, canda Hery dalam hati.

Tiba-tiba dari sebelah kanannya, koki yang tadi berbicara pada pasangan yang duduk di sebelah menghampiri meja mereka. Doni yang pertama melihatnya, spontan ia mengusap noda saos di pinggiran bibirnya dengan kain yang di letakkan di samping gelas berisi es jeruk. Melihat itu Hery melirik temannya dan akhirnya menoleh ke arah koki itu. Mulutnya masih penuh dengan makanan membuatnya sulit untuk bicara.
“Wah, Double Fish Couple ya – kenapa tidak memesan supnya juga?” sapa koki itu beramah tamah dan penuh senyum akrab. Hery heran tapi ia tak mau memandang pria itu langsung, ia memilih sedikit memalingkan wajahnya sambil menguyah makanan. Sementara Doni menanggapi koki itu dengan nyaman.
“Oh, ada supnya juga toh. Saya tidak tahu. Ini pertama kalinya saya kemari, bila anda berkenan anda bisa merekomendasikan menu-menu andalan restoran ini.” balas Doni. Langsung saja, si koki mengeluarkan sejurus kalimat dengan panjang lebar padanya, yang dibalas Doni dengan tanggapan begitu antusia, sebaliknya tidak dengan Hery.
Makin lama makin tak enak perasaan Hery, ia memutuskan pergi ke toilet setelah sebelumnya berpamitan pada Doni yang masih bercakap-cakap pada koki itu. Saat beranjak dari duduknya, sekilas ia melihat wajah pria itu dengan tatapan matanya yang misterius seolah-olah menemukan kesalahan yang telah diperbuat dan tak di sadari oleh Hery sudah membuatnya terganggu.
Kali ini Hery tak perlu menanyakan letak toilet pada pelayan, karena ia sudah c

Comments

Sign In or Register to comment.