BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

"I Love U", He Said - (Fiction)

edited July 2012 in BoyzStories
Bagaimana cara memulai kisahnya? Seharusnya mengawali kenangan ini sangat mudah. Aku ingat semua detail tentang kenangan ini. Hanya saja akhir dari kenangan itu begitu buruk sehingga awal dari kenangan ini terasa pahit. Maka itu, aku akan memulai kisah ini dari akhirnya terlebih dahulu
Aku memandangi sebuah ruangan ballroom yang ditata dengan begitu indah. Bunga-bunga dengan beragam warna memenuhi nyaris setiap sudut ruangan. Orang-orang berlalu lalang dengan penuh senyum. Aku menolak untuk ikut tersenyum, Seharusnya aku tidak berada di sini. Aku masih berdiri di ambang pintu masuk ballroom. Menimbang-nimbang apakah aku harusnya masuk atau tetap bertahan pada rencana awal untuk menetap di rumah dan pura-pura tidak tahu mengenai hari ini. Sekali lagi aku merasakan perasaan aneh, begitu menyesakkan dan paru-paruku seakan berhenti melakukan tugasnya untuk berespirasi.
Mendadak semua kenangan masa lalu memenuhi otakku dengan liar. Kenapa sekarang aku harus mengingat semuanya? Dan aku terbawa ke beberapa tahun lalu, jauh sebelum aku berdiri di sini..


Aku ingat jelas hari itu. Semua detail hari itu masih menempel di otakku. Matahari bersinar terik dan aku berjalan mondar-mandir tak tentu arah, mengelilingi Bugis Street. Aku baru pertama kali mengunjungi Singapura. Dan ini terbilang nekat untuk mengelilingi Singapura sendirian. Tapi toh aku tidak terlalu peduli. Aku melihat beberapa toko yang menjual pakaian pria dengan tag harga yang berbeda-beda. Dimulai dari $15 -$40. Aku terus berjalan sambil melihat toko di kanan-kiri. Dan tiba-tiba saja aku menabrak seseorang dan langsung terasa sensasi dingin di bagian dadaku. Sesuatu telah tumpah ke bajuku.
Aku kaget dan buru-buru minta maaf, padahal sebenarnya aku juga tidak yakin apakah aku yang menabrak orang itu atau malah sebaliknya.
"Sorry, I'm so sorry.", kataku buru-buru,
"No, no it's my fault. I'm sorry.", dari suaranya aku mengenalinya sebagai seorang pria.
Aku memandangi orang yang berdiri sekarang di depanku, dan aku melihat bagian kaosnya juga basah, walaupun tidak sebasah kaosku. Pria itu orang barat. Rambutnya berwarna coklat, tingginya sekitar 180 cm dengan tubuh atletis. Aku menebak umurnya sekitar 25 tahun. Melihatnya membuat aku merasa tubuhku sangat kecil.
"I'm sorry for your drink... Let me buy you another one", kataku merasa bersalah
"No, it's ok. I'm sorry for your t-shirt. Let me buy you a new one. You can't go around with a wet t-shirt."
Dan saat itu aku baru sadar betapa basahnya kaosku namun aku buru-buru menjawab, "It's ok, It's gonna dry anytime soon"
"No it won't. Just let me buy you a new one, I insist."
Karena tidak ingin terjebak dalam argumentasi mengenai siapa yang sebenarnya salah dan siapa yang sebanarnya harus mengganti, aku menuruti saja permintaannya untuk membelikan aku kaos baru
Kita berdua berjalan menuju toko pakaian pria terdekat dan dia menyuruhku untuk memilih satu kaos apapun yang aku mau. Aku memilih kaos "I Love Singapore" dengan tag harga $10. Aku sengaja memlih pakaian dengan harga termurah di toko itu. Setelah itu aku mengganti kaosku di fitting room dan segera keluar. Dia lalu membayar kaosku dan kita berdua berjalan keluar toko
"Well, you look way better now. Oh yeah, I'm Jared", ia mengulurkan tangannya bermaksud menjabat tanganku
"Oh thank you. I'm Kevin.", aku menjabat tangannya. Kasar, itu yang pertama kali muncul di pikiranku
Kita berdua lalu berjalan bersama menyusuri Bugis Street.
"So are you singaporean?", tanyanya
"No, I'm Indonesian."
"Really?", tanyanya dengan semangat.
"Yes, and you are....."
"I'm from New York. Dan saya bisa bicara bahasa Indonesia"
Aku sedikit kaget ketika mendengarnya berbicara dalam bahasa Indonesia. "Nice. So we can talk in Indonesia?"
"Tentu", jawabnya sambil tersenyum. Harus kuakui dia orang dengan senyum termanis yang pernah kutemui.
"Datang ke sini untuk liburan?", tanyaku. Aku berjalan sambil memandang kosong ke depan, tidak berani memandangi wajahnya. Karena aku takut pandanganku akan terpaku pada wajah tampannya.
"Bisa dibilang gitu. Mampir ke sini for few days dan akan berangkat ke Indonesia."
"Ada apa di Indonesia? Kerjaan?"
Dia menatapku dengan bingung. Tampaknya dia tidak mengerti maksud dari kata "Kerjaan"
"For job?", tanyaku lagi dalam bahasa inggris.
"Yes. Dan untuk menetap."
"Menetap? Maksudnya kamu pindah ke Indonesia?"
"Bisa dibilang begitu"
"Pindah ke bagian mananya?"
"Jakarta"
"Seriously? I'm from Jakarta!" kataku kelewat semangat. Aku buru-buru bertingkah tenang
"Oh yeah? That's nice. Maybe we could hang out sometimes", katanya sambil tertawa kecil
Aku tidak menjawab. Aku tidak yakin apakah orang ini serius atau hanya bercanda. Kami berjalan dalam diam untuk beberapa saat. Dan tampaknya kita berdua sudah kehilangan alasan untuk tetap berjalan bersama
"Kamu sendirian di sini?", tanyanya tiba-tiba. Aku menjawabnya dengan mengangguk.
" Same with me. I guess we're two lonely guys", katanya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.
Tiba-tiba ponselnya berdering dan dengan cepat ia mengeluarkannya dari saku celananya lalu mengangkat telepon itu. "Hey. I'm sorry, I'm at Bugis Street now. I'm going back now"
Mendengar itu, aku tahu dia akan pergi sekarang. Dan aku mulai berpikir, apakah aku harus meminta nomor handphone, e-mail atau apapun agar kita bisa saling mengontak nanti di Jakarta. Tapi aku menyadari itu adalah hal yang cukup aneh bagi seorang lelaki untuk meminta hal semacam itu ke lelaki lainnya.
"Hey, I gotta go. There's work to do"
"Yeah sure"
Kami diam beberapa saat. Seperti menimbang apakah ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi. Untuk beberapa saat aku mendapat firasat bahwa mungkin saja dia sama seperti aku, mungkin dia memiliki perasaan yang sama. Rasanya aku ingin langsung bertanya, "are you gay? If yes, can I have your number?". Tapi aku mengurungkan niat itu dan tetap diam.
"Well, goodbye. See you in another life.", katanya sambil tersenyum.
"Yeah, and thanks for the t-shirt"
"No problem. Bye"
"Bye", aku melambaikan tangan dan dia pergi menghilang dari pandangan. Aku berdiri mematung. Mengutuk diriku untuk tidak berbuat nekat dan menanyakan contact numbernya. Butuh beberapa menit sebelum aku kembali ke diriku dan melanjutkan perjalanan. Aku berjalan menuju MRT station untuk kembali ke hotel. Semangat jalan-jalanku sudah hilang.
Mungkin ini hanya pertemuan menyenangkan yang berakhir sehari ini saja. Aku berusaha untuk berhenti menyesal dan mengucapkan kata-kata dalam hati, "Yeah, see you in another life"

****
To Be Continued

Buat yang baca boleh meninggalkan komen untuk membantuk membuat cerita ini lebih baik. Thank you :)

Comments

  • 4 Bulan Kemudian......

    Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan, "Ketika kita naksir seseorang lebih dari tiga bulan, ada kemungkinan kita jatuh cinta kepadanya". Aku tidak pernah mengetahui kebenaran teori itu. Tapi pria amerika tampan itu masih membuat aku mengutuk diri kadang-kadang. Aku rasa semua orang akan melakukan yang sama.
    Hari itu aku berencana untuk hang out dengan beberapa teman. Kita berencana untuk datang ke kafe yang belum beberapa lama ini buka. Dari kabar yang didengar, kafe itu sangat ramai. Berhubung aku dan teman-temanku memang sangat menyukai nongkrong di kafe yang cozy, kita memutuskan untuk tidak melewati kafe ini untuk dicoba
    Sesuai janji, sore itu aku berangkat langsung ke kafe itu dan yang lain akan menyusul. Ketika sampai di depan kafe, aku harus mengakui kafe itu sangat bagus. Bahkan dari depan bisa terlihat bagaimana kafe itu tertata sebaik mungkin sehingga pengunjungnya dapat merasa nyaman.
    Aku membuka pintu kaca dan masuk ke dalam kafe yang sudah dirayapi banyak orang. Aku melihat meja kosong di pojok dekat meja kasir, dan tanpa pikir panjang langsung menduduki kursi kosong di sana sebelum orang lain mengambilnya. Tidak beberapa lama kemudian, Clara dan Nathan datang dan aku melambai memanggil mereka. Kita memesan minuman dan snack sambil mengobrol asik soal masa SMA kita yang baru saja berakhir. Beberapa kali kita tertawa sedikit kencang. Namun keramaian dalam kafe menutupi keberisikan kita. Tanpa terasa sudah 2 jam kita ngobrol, dan kita memutuskan untuk pulang. Sesuai perjanjian, hari itu aku yang akan membayar semuanya. Aku melangkah ke meja kasir. Seorang gadis yang tampak seumuran denganku tersenyum dan aku melihat tag namanya, "Marina".
    Dia menanyakan nomor mejaku dan dengan cepat menekan tombol mesin kasir sambil melihat daftar pesanan tadi.
    "Semuanya seratus lima puluh ribu lima ratus."
    Aku mengeluarkan dompetku dan mengambil uang logam lima ratusan. Sialnya, peganganku terlepas dan dompetku terjatuh. Logam-logam dalam dompetku berhamburan di lantai dan buru-buru aku berjongkok untuk mengambilnya. Aku bisa mendengar Nathan dan Clara menertawakan aku. "Sialan nih orang udah begini bukannya bantuin malah diketawain", kataku dalam hati.
    "Kamu ke dapur sekarang bantuin yang lain. Biar saya yang pegang kasir", kata seorang pria yang berjalan melintasiku.
    Aku memungut uang logam terakhir dan langsung berdiri. Dan saat itu juga aku langsung membeku. Apakah ini mungkin?
    Dia. Pria yang aku tabrak di Bugis Street 4 bulan yang lalu. Yang membelikan aku kaos I Love Singapore, Kaos yang masih setia aku simpan sampai sekarang. Jared, berdiri di belakang mesin kasir.
    "NO WAY!", katanya kaget. Aku masih berdiri, membeku.
    "Well, this is strange.", katanya lagi. Dan aku akhirnya bisa menemukan kembali diriku. "Hey, Jared! WOW! Hay!", kataku kelewat semangat.
    "Ini kebetulan yang aneh!", katanya dengan aksen western yang kental. Tampaknya bahasa Indonesianya sudah jauh membaik.
    "Yah. Tidak menyangka kita akan bertemu di sini! You work here?"
    "Well, actually I'm the owner. This cafe is mine"
    "Oh really? That's nice. Aku tinggal dekat sini", aku sengaja mengatakan itu. Seakan ingin memberikan informasi itu, berharap siapa tahu dia akan datang ke rumah suatu saat.
    "Ini aneh. The universe is funny.", katanya sambil tertawa.
    Lalu kemudian aku baru sadar. Aku berdiri terlalu lama di sini dan menyadari bahwa ada sekitar tiga orang lain di belakangku yang mengantri. Ternyata Jared juga baru saja menyadari itu.
    "Oh yeah I almost forgot... here..", aku menyerahkan uangku
    "No It's okay. It's on me"
    "Please don't do this. You bought me a t-shirt. Don't let me have a free drink and snack too"
    "It's okay. Hadiah untuk opening cafe ini"
    "Jangan... Ini ambil", kataku masih menyodorkan uangku
    "Kamu lebih baik menyingkir. Ada orang lain yang mau bayar", ia tersenyum. Tahu bahwa dia menang.
    "Well.... Thank you"
    Aku menyingkir dari meja kasir, membiarkan orang di belakangku untuk maju dan membayar. Aku berjalan menghampiri Clara dan Nathan. Mereka langsung bertanya ini itu. Dan aku lalu menjelaskan soal kejadian di Bugis Street 4 bulan lalu.
    Aku mulai berpikir, apakah ini keberuntungan? Aku kira hal seperti ini hanya ada di dalam novel dan film. Tapi ini benar terjadi!


    Setelah hari itu, aku lebih sering ke sana. Tapi aku tidak bertemu Jared setiap kali aku berkunjung ke sana. Setiap aku berkunjung dan dia ada di sana, dia selalu menolak bayaran dan mengatakan semuanya gratis. Ketika satu hari aku memaksa untuk membayar, dia menerima namun dia malah memberikan diskon besar-besaran kepadaku. Aku tidak mengerti, apakah dia hanya baik atau ada alasan lain?
    Aku menyadari dengan datang ke kafe itu berkali-kali tidak akan membuat aku dan Jared lebih dekat. Dan aku masih tidak memiliki keberanian untuk mengajak dia ngobrol apalagi menanyakan kontaknya. Pada akhirnya aku melakukan sesuatu yang lebih mudah. Melamar kerja.
  • edited July 2012
    "The waiter position is available if you want to"
    Aku tersenyum. Ini jawaban yang aku harapkan. "I'll take it"
    "Okay. You can start tomorrow", Jared tersenyum. Aku balas tersenyum.
    Aku bangun dan berjalan keluar dari ruangan kecil yang berada dalam cafe, ruangan yang menjadi kantor kecil Jared.
    "Hey wait!"
    Aku menghentikan langkahku dan menengok ke arahnya
    "Are you using Blackberry?"
    "Yeah. Why?"
    "I need your BBM pin. Just in case you're skipping work-time, I could contact you", Ia tersenyum dan aku tahu dia cuma bercanda.
    "Sure", Aku melangkah ke mejanya dan menuliskan pin BB di secarik kertas kosong yang ada di atas mejanya.
    "So see you tomorrow 'Boss'", aku tertawa dan keluar dari ruangan itu.


    Aku sudah bekerja selama dua minggu. Dan sesuai dengan rencana, aku menjadi jauh lebih dekat dengan Jared. Dia tinggal di perumahan tidak jauh dari kafe miliknya yang artinya tidak jauh juga dari rumahku. Dia pindah ke Indonesia karena ia disuruh ayahnya untuk mengurus usaha ayahnya di Indonesia yang baru saja dimulai. Dan untuk mengisi waktu luangnya ia membuka kafe. Sesuai tebakan awalku, Jared berumu 25 tahun. Dia lahir di Toronto dan pindah ke New York saat dia berumur 5 tahun. Ia tinggal sendirian di Indonesia. Kabar yang lebih menarik lagi adalah, dia single. Aku hanya perlu menemukan satu informasi lagi.
    "Is he gay or not". Entahlah, aku begitu yakin kalau ada kemungkinan walaupun sedikit bahwa mungkin saja Jared sama seperti aku.

    Hari itu Jared tidak datang ke kafe. Dia sedang mengurus kerjaannya yang lain. Kafe buka sampai jam 12 malam, dan aku menyuruh semua orang untuk pulang duluan dan menawarkan untuk membereskan kafe seorang diri. Tidak ada yang menolak, mereka keliatannya sudah sangat capek. Aku membersihkan kafe seorang diri. Dan ketika sudah selesai, aku masih tidak mau pulang. Aku masuk ke dalam ruangan kantor kecil Jared. Awalnya aku kira ruangan itu akan dikunci, tapi ternyata tidak.
    Aku masuk ke dalam, dan melihat-lihat barang yang ada di dalam.
    Aku memandangi sebuah bingkai foto. Foto Jared di Monas. Ia tersenyum. Ada sesuatu dengan senyumnya membuat aku tidak bisa berhenti memandanginya. Senyumannya begitu manis. Membuatku membeku setiap melihatnya. Aku meletakkan bingkai foto itu ke tempat semula dan mulai melihat-lihat barang lain.
    Tiba-tiba terdengar suara pintu kafe dibuka. Aku nyaris melompat saking kagetnya. Dengan cepat aku berlari keluar ruangan itu dan menuju bagian depan kafe. Ternyata Jared yang datang. Dia memakai Jaket dan tampak basah kuyup. Ternyata dari tadi hujan. Aku tidak menyadarinya.
    "Wow, you surprised me!"
    "I'm sorry. Wow, you're soaked", kataku sambil berusaha menutupi kepanikan karena nyaris saja ketahuan menyelundup masuk ke kantornya.
    "Bukan masalah. My car broke down. Handphone mati, lowbat. Aku terpaksa lari ke sini, siapa tahu kafe belum tutup. Thank God you're still here. Where the others?"
    "I told them to go home"
    "Why? Kamu bersihin tempat ini sendiri?"
    "Mereka kayaknya capek banget. Jadi aku suruh pulang aja"
    "Baik sekali". Aku hanya balas tersenyum.
    "Can I borrow your phone? Aku mau telpon mobil derek"
    "Yeah sure. Here" aku menyerahkan handphoneku
    Dia menekan tombol dan langsung berbicara cepat dengan bahasa Indonesia yang masih terdengar lucu untukku
    "Thank you", ia mengembalikan handphoneku
    "Jadi kamu tak punya kendaraan pulang?", tanyanya
    "No. Aku biasanya jalan kaki. But it's raining now. So I guess I have to wait", aku duduk di kursi terdekat
    "Aku juga kayaknya harus jalan kaki hari ini. So we wait until the rain stop"
    Apa lagi ini? Kesempatan berduaan dengan Jared di kafe ini. Tampaknya keberuntungan tidak henti-hentinya terjadi. Aku berharap bisa mengobrol dan mengenal lebih jauh soal Jared. Tapi aku malah terdiam dan merasa canggung, bingung apa yang harus aku lakukan.
    Untungnya Jared membuka pembicaraan, "Why don't you buy a car?"
    "If I could buy a car, I wouldn't be working here"
    "That makes sense", dia tertawa. Selain senyumannya, cara tertawanya juga begitu enak dilihat. Aku bisa merasakan jantungku berdebar dengan kecepatan luar biasa.
    "Orang tua kamu gak cari kamu? It's 12.30 AM"
    "No. They don't care"
    "Don't say that. That's not true"
    Aku hanya tersenyum. Aku ingin mengobrol dengannya, apapun tapi tidak mengenai keluarga.
    Setelah itu, pembicaraan kita menjadi lebih lancar. Kita mulai membicarakan mengenai studi kita. Dia menceritakan mengenai pengalaman semasa kuliahnya dan aku menceritakan mengenai jurusan kuliah yang aku ambil. Kita juga membicarakan mengenai bagaiaman kehidupan di Jakarta dan juga di New York. Semakin lama mengobrol dengan Jared semakin aku suka dengan dia.
    "Baju ini tidak kering-kering dari tadi!", katanya kesal.
    Sebelum sempat mengomentari, Jared sudah melepas jaketnya yang masih basah. Aku menahan napas dan rasanya jantungku juga sudah tidak berdebar. Kemudian Jared melepas kaosnya. Ia menggantung jaket dan kaos basahnya di kursi di dekatnya.
    Tubuhnya sempurna. Paling sempurna yang pernah kulihat. Dadanya bidang begitu juga bahunya. Perutnya rata dan terlihat bentuk six pack samar. Putingnya kemerahan. Membuat pikiranku mulai menjadi liar.
    Aku diam tidak mengatakan apapun. Aku menahan diri sekuat mungkin untuk tidak memandangi tubuh indahnya terlalu lama.
    "Kamu gak terganggu kan aku shirtless? Bajuku basah"
    "It's okay. Kita sama-sama cowok. No problem"
    Actually, It's a big problem. Kataku dalam hati.
    Jared mulai berbicara kembali dan kita kembali mengobrol. Dan butuh kekuatan sangat luar biasa untuk tidak menatap tubuhnya yang sempurna.
    "It's funny you know...."
    Aku tiba-tiba tersadar dari lamunanku. Aku rasa memandang tubuh Jared terlalu lama membuat diriku jadi tidak fokus.
    "I'm sorry what?"
    "I said, It's funny you know.. Gimana kita ketemu lagi kayak gini. It's like the universe wants us to meet"
    Aku tertawa, "Yeah, I agree"
    Kami kembali diam. Tapi kali ini berbeda. Aku bisa melihatnya dari wajah Jared. Ada sesuatu yang mau disampaikannya.
    "Kevin..Can I tell you something?"
    "Yeah of course. What?"
    "This is gonna sounds weird. But...."
    "Just tell me"
    "I think I like you.."
    JEDERRRR! Saat itu aku bersumpah mendengar suara petir tepat setelah Jared mengatakan itu. Tapi petir ini bukan pertanda buruk.
    "I'm sorry?", aku berusaha memasang tampang bingung.
    "Well.. I don't know how to say this.. I can't find the right word.."
    Aku bisa melihat wajah Jared berubah menjadi merah dan aku mulai berpikir apa wajahku juga ikut berubah merah?
    "What do you mean? I don't understand"
    "Well.. I li...ke you. It just... just.. nevermind"
    "No, it's okay. Just tell me"
    "I told you already. Tapi kamu kelihatannya bingung"
    "Aku ngerti. Cuma... Are you saying that you're......"
    "gay?", dia mengatakan itu terlebih dahulu. Aku membeku dan kali ini aku rasa aku akan membeku selamanya. Sekali lagi aku bertanya kepada diriku sendiri, apakah hal semacam ini benar-benar terjadi di dunia nyata?
    "Yes, you can call me that", Jared terdengar lemas dan takut-takut.
    "I don't understand. So you like me?"
    "Yeah, since our the first day we met. You're so attractive"
    Aku mulai memikirkan makna dari "attractive". Secara fisik aku tidak bisa dikatakan "attractive". Tinggiku bahkan tidak mencapai 170. Badanku tidak seatletis Jared dan ukuran wajahku jauh di bawah Jared. Jadi bagian mana yang attractive bagi Jared?
    "I'm not attractive"
    "Yes you are! That's why I like you!", Jared terdengar jelas
    ".. dan entah bagaimana, aku merasa kamu punya perasaan yang sama"
    Aku speechless dan bingung harus menjawab apa. Apakah sejelas itu?
    "Aku tidak bermaksud lancang.. I'm sorry", Jared tampak begitu menyesal sudah mengatakan itu.
    "No it's ok. You're not wrong"
    "What do you mean I'm not wrong?"
    "You're right. Aku suka kamu. Since the first day we met.."
    Kita berdua diam untuk waktu yang lama. Kehabisan kata-kata. Aku tidak bisa merasakan detang jantungku ataupun napasku.
    "This is awkward", Jared memecah keheningan.
    "Yeah sure it is. You like me and I like you. It's awkward."
    Jared tertawa kecil dan memandangku. Aku memandang matanya yang berwarna biru laut.
    "So I guess... I should ask you out"
    "Yeah you should!", aku menjawab kelewat senang. Jared tertawa.
    "Well okay"
    "What okay? You need to ask me properly"
    Jared tampak salah tingkah. Wajahnya semakin merah dan dia tersenyum malu. "I'm sorry. Ehmmm, would you go out with me sometime?"
    Aku tersenyum, "I thought you would never ask"
    Jared balas tersenyum. Yah, ini nyata..

    -To Be Continued-
  • lagiiiii.....
  • up....up....;-)
  • up up up up up.
    lanjutanya mana?
  • UPDATE lg donk...... Up.. Up... Up.... Up.....
  • awkward, hihihihi
  • yahhhhhhhhh...
  • Seruuuuuuuuuu
  • like other story, just gone with the wind,,
Sign In or Register to comment.