BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Pengalaman Tes HIV dan IMS

edited July 2012 in BoyzRoom
Ada yang udah pernah tes HIV dan IMS (Infeksi Menular Seksual)? Atau ada yang belum dan pengen tes HIV dan IMS?
Gue cuma pengen share aja pengalaman gue waktu tes HIV dan IMS kurang lebih sebulan yang lalu. Biar yang di share disini lebih beragam bukan cuma pengalaman pas ke panti pijat, 9M, ato sewa escort aja yang dibuat detail review-nya. Tapi "pekerjaan" setelahnya yang wajib kita lakuin (yaitu cek kesehatan) juga rasanya perlu dibuat detail reviewnya.

Kenapa?
Karena sama aja kaya pengalaman kalo mau ke panti pijat ato tempat spa ehem-ehem. Pengalaman pertama selalu bikin deg-degan dan nervous karena rasa malu dan minder, jadi semoga dengan cerita pengalaman ini bisa bikin kita lebih "berani" buat berangkat tes kesehatan.

Alasan kedua adalah terkadang kita takut tes kesehatan bukan hanya karena malu, tapi juga karena takut kalo ternyata benar kita positiv mengidap HIV atau IMS. Jujur, gue juga sempet ngerasa hal yg sama, takut kalo hasilnya positif, yang rasanya bakal memutar balik bumi dan langit seketika di hidup gue (lebay). Tapi gue putusin untuk tetap tes kesehatan, karena gue merasa telah melakukan hal2 yang berisiko tertular HIV. Sebelum gue mutusin cek, gue selalu mikir jelek tiap gue kena radang tenggorokan, panas demam, atau pilek, gue mikir jangan2 ini gejala HIV yang mulai nyerang antibodi. Pokonya hidup gak tenang deh, kerjaannya googling mulu tentang2 gejala2 HIV, tapi gimana bisa tau iya atau bukan kalo ngga cek darah.
So setelah lewat 3 bulan (masa inkubasi virus) setelah kejadian beresiko terjadi gue berangkat ke sebuah klinik kesehatan seksual.

Gue cari-cari klinik yang keliatannya udah open sama PLU, karena yang datang untuk tes kesana kebanyakan PLU. Kenapa gue cari klinik yang seperti itu? Karena gue pikir buat konsultasi hal seperti ini kita butuh terbuka buat nyeritain apaaa aja yang telah kita lakuin dan gak boleh ditutupin karena itu akan berhubungan dengan pengobatan paska pemeriksaan kalau ternyata kita bener positif berpenyakit. Nutup2in apa yang udah kita lakukan cuma akan menghalang2i bagaimana dokter mengambil tindakan untuk mengobati kita.
Kebayang gak kalo gue misalkan cek darah di Puskesmas, ato di Rumah Sakit yang ternyata dokternya belom terbuka dan bisa menerima keberadaan PLU, atau bahkan mereka homophobia (dan nyatanya memang banyak dokter yg masih homophobia), bisa2 kalo gue cerita gue merasa beresiko HIV karena hubungan sesama jenis tu dokter sikapnya jadi akan sedikit kurang berkenan.

So gue berangkat deh ke klinik kesehatan seksual di Jalan Blora. Klinik ini udah biasa kayanya untuk PLU karena gue juga liat bannernya di 9M (Ketauan dah pernah ke 9M, hahaha), dan pas gue cek di websitenya juga kayanya tempatnya cukup nyaman dan santai buat yang namanya tes kesehatan. Gue orangnya rada males pergi ke rumah sakit soalnya, suasananya nyeremin. hehe.

Hari itu gue dateng tepat jam 2 sesuai janji yang dibuat seminggu sebelumnya. Gue dipersilakan masuk ke dalam ruangan yang sangat nyaman dengan sofa yang empuk dan meja yang tertata rapih. Tempat sofa gue duduk ini adalah ruang konsultasi, sementara ruang periksanya didalam situ juga, disekat oleh tirai putih. Gue disuruh isi formulir data pribadi termasuk data2 tentang kapan terakhir berhubungan seksual, punya pacar ato sex buddy apa ngga dll. Gue isi sejelas mungkin.

Gak berapa lama masuklah seorang wanita cantik berpakaian kaus sweater putih lengan panjang dan celana bahan warna coklat. Jika ia tak memperkenalkan diri sebagai dokter gue juga gak akan mengira dia dokter yang akan memeriksa gue. Tanpa stetoskop, tanpa jas putih dokter, ia duduk di sofa dekat gue. Dan mulai menjelaskan terlebih dahulu tentang HIV dan AIDS, dalam penjelasannya tentang HIV dia mulai membangun pembicaraan yang sedikit demi sedikit mengulik kehidupan seksual gue untuk kepentingan konsultasi. Gue yg dari pertama udah mau blak-blakan soal apapun tambah nyaman aja cerita apapun tentang kehidupan seksual gue tanpa rasa malu. Semua itu karena apapun yg gue ceritain diterima dengan santai ama dia tanpa ada tendensi sedikitpun. Mas-nya straight atau.... "Saya gay, Dok.". sampai-sampai pertanyaan mas-nya top atau bot juga gue jawab dengan cuek. Jujur, gue belom pernah seterbuka ini sama orang lain, dan gue ngerasa lepas aja tiba2 bisa menjadi diri gue yang sebenernya tanpa ada yang perlu ditutupin. Somehow it feels really good, indeed.

Tibalah saatnya pemeriksaan. Karena gue cerita sama dokter itu kalo kehidupan seksual gue juga melibatkan organ tubuh gue yang bagian belakang, so dokternya minta gue untuk juga diperiksa organ tubuh tersebut untuk diperiksa apakah ada infeksi menular seksual atau ngga. Gue ditinggal bentar untuk buka celana dan daleman dan pake semacam kimono handuk warna putih lalu tidur di ranjang periksa. Pas dokternya dateng lagi dimulailah diperiksa alat kelamin gue dulu, baru abis itu pemeriksaan bagian belakang. Gak kebayang sebelumnya oleh gue, dua perempuan (1 dokter dan 1 suster) akan "mengobok" bagian belakang gue itu -_-". sebelum kesana baru mikirinnya aja gue udah malu, tapi kalo udah disana semua rasanya jadi biasa aja, dan bagian dari profesionalisme sebuah pemeriksaan kesehatan.

Setelah itu baru gue diambil darah buat dicek terjangkit HIV dan IMS apa nggak. Abis itu disuruh tunggu sekitar 30 menit diruangan yang sama buat liat hasil tesnya hari itu juga. 30 menit rasanya lama dan deg-degan juga, tapi gue udah siapin diri gue kalo misalkan hasilnya positif. Gue akan terima itu sebagai resiko dari kebejatan gue, dan bersiap buat pengobatan lebih lanjut. Karena satu hal yang paling membahayakan bagi gue saat tahu terjangkit HIV adalah ketidak siapan mental yang ujung2nya malah ngerugiin diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan hidup, yang udah gak ada gunanya lagi. Yang dibutuhin adalah kesiapan diri sendiri untuk terus jalan ke depan dan melawan virus yang kadung ada di badan.

Dokter cantik itu masuk membawa selembar amplop.
"Saya buka ya amplopnya, kita lihat bareng-bareng ya..."
Serius jantung gue rasanya udah mau copot pas tu dokter buka lembaran hasil pemeriksaan laboratorium.

"Untuk status HIV-nya...."
Dia nunjuk tulisan dan kode yang gue gak ngerti artinya, atau gue gak konsen karena saking paniknya.
Deg!
"Itu artinya apa dok?" tulisannya bukan positif atau negatif, gue lupa angka 0 atau apa gitu kodenya
"Artinya...
Negatif..."

Alhamdulillah, gue rasanya mau lompat2 jungkat jungkit saking senengnya karena kecurigaan gue selama ini tak beralasan. Tapi karena jaim gue cuma senyum simpul aja. Begitu juga dengan infeksi menular seksual lainnya seperti sipilis dan gonorhea, syukurnya negatif. begitu juga dengan pemeriksaan di anus dan kelamin gak ada infeksi menular seksual yang dicemaskan. Dokternya tanya hasil tesnya mau di bawa pulang atau disimpen, gue bilang disimpen disini aja. Gue malah bingung ngumpetinnya di rumah kalo misalkan gue bawa pulang hehehehe... Biarlah orang rumah gak ada yang tahu kalo gue pernah stres karena takut terjangkit HIV.

Gue gak kebayang kalo hasilnya positif, apa gue akan bilang sama keluarga atau tetap cukup gue yang tahu. Karena stigma negatif terhadap ODHA (orang dengan HIV / Aids) nyata-nyatanya masih dominan di lingkungan masyarakat kita. Masih banyak yang mengucilkan dan gak mau nerima ODHA di lingkungannya, bahkan ada yang sampe dipecat dari kerjaannya. Gue bersyukur hasilnya negatif, dan gue tersadarkan kalau kita harus mulai memiliki empati kepada yang akhirnya berstatus positif, memberikan dukungan dan semangat untuk berjuang melawan penyakitnya. Karena banyak yang berstatus HIV dan tetap bisa bertahan sehat hingga tua dengan menjaga tubuhnya agar virus yang ada tidak berkembang menjadi penyakit AIDS.

Semoga rekan-rekan semua senantiasa sehat selalu.

Amin.
«134567

Comments

  • Window period (periode jeda) virusnya itu sampai 6 bulan, baiknya cek untuk konfirmasi aja 6 bulan setelah faktor resiko dgn catatan tidak melakukan faktor resiko tsb
  • dari wikipedia :

    In medicine, the window period for a test designed to
    detect a specific disease (particularly infectious
    disease) is the time between first infection and when
    the test can reliably detect that infection. In
    antibody-based testing, the window period is
    dependent on the time taken for seroconversion.it
    takes 3 months to detect hiv virus.

    Jadi periode jedanya sekitar 3 bulan, bukan 6 bulan. Begitupun penjelasan dokter saya waktu.konsultasi kemarin.
  • Tapi lebih baik lagi sih ya kalau pas 6 bulan di cek lagi. :)
  • wahh mantap om masukannya... :-bd

    ternyata ya.. ;)) hihihi

    congrat ya kagak kenapa napa ... hehe
  • Gw jg dah tes sktr bbrp bulan yg lalu n hasilnya negatif.
    Mw tes lg, krn saran budok, tesnya sbaiknya dilakukan scara berkala.

    Gw tesnya di RS daerah Salemba.
    Budok ma konsultannya baik2.
    Pas pulang, gw dikasi oleh2 1 box gede kondom, haha..
  • @ambigu : Hehehe... merasa perlu nge-share aja hal2 kaya gini.

    Ketauan deh bejat om nya. hahaha...

    @tes berkala wajib kalo kita ngelakuin lagi kegiatan berisiko tertular HIV nya. kaya anal, oral sex tanpa kondom, tukeran jarum suntik dll. tapi kalo berperilaku aman2 aja sih ga wajib. hehehe... wah dapet kondom sebox ya? kalo saya plus pelumasnya juga. ahiahahiahia
  • eh kalo yg ga pernah ml mah ga usah yah heheh
  • Penularan hiv pan ga hanya lewat aktivitas seksual doang x.
    Jd gw saranin mah, mw pernah ml ato kaga, tes aja skalian, just in case..
  • Info yang keren banget!

    Thx ya.

    Oh ya soal biayanya gue denger itu gratis. Bener gak?
  • @tjah_ja

    gpp gpp ... :-j

    emg perlu kok .. :D
  • @tjah_ja bisa tolong dishare nama klinik dan nomor teleponnya?
    anyway, jenis tes yang diambil Rapid Test ya? krn hasilnya lumayan cepat 30m.
    thanks.
  • galau_er wrote: »
    eh kalo yg ga pernah ml mah ga usah yah heheh

    Kalau gak pernah melakukan hal2 yang berresiko tertular HIV tepatnya, kaya:
    - Anal sex / Oral sex tanpa kondom
    - Saling tukar jarum suntik / penggunaan jarum suntik bekas
    Jadi kalo ga pernah ML tapi pernah nyuntik pake jarum bekas orang baeknya sih cek aja. :D


  • shouga wrote: »
    Penularan hiv pan ga hanya lewat aktivitas seksual doang x.
    Jd gw saranin mah, mw pernah ml ato kaga, tes aja skalian, just in case..

    Yap, gak melulu karena aktivitas seksual. Bisa dari jarum suntik juga. Kalo udah curiga baeknya sih mendingan cek memang,
  • mllowboy wrote: »
    Info yang keren banget!

    Thx ya.

    Oh ya soal biayanya gue denger itu gratis. Bener gak?

    Di beberapa tempat katanya memang ada yang gratis, atau dengan harga yang murah (15-35 ribu rupiah). Cuma saya belum tahu dimana2 saja tempatnya yang gratis atau murah itu. Nanti kalau dapat infonya saya kabari ya.
  • Ambigu wrote: »
    @tjah_ja

    gpp gpp ... :-j

    emg perlu kok .. :D

    Hahaha... perlu ya sekali2? hahaha... *jangan ditiru*
Sign In or Register to comment.