Perkenalkan namaku Ben, usiaku 23, kulit putih, tinggi 172, 81 kg. Ya, aku agak gempal, lumayan hairy. Kegempalanku itu berhubungan dengan kegiatanku di rumah, di rumah aku adalah motor penggerak keluarga, semua yang berhubungan dengan pisik aku yang menangani, dari buang sampah, benerin atap genteng yang bocor, ngangkat Gas LPG yang 15 kg (sebenarnya beratnya lebih dari 20 kg, maklum tabungnya terbuat dari besi), ngangkut karung beras dari toko Ahong ke rumah yang jaraknya hampir 100 meter, membetulkan peralatan RT yang rusak dan lain-lain. Jadi kalau ada aku semua beres! dengan pekerjaan “kasar” otot-ototku terbentuk. Aku memiliki adik, namanya Lia, 16, SMA, cantik, body bahenol, kata temenku nilai kecantikan adikku itu 95 diatas artis sinetron Nikita Willi. Orangnya rajin masak, semua pekerjaan ibu RT dia yang ngerjain, maklumlah Ortuku walau belum tua benar, tapi sudah menyerahkan 100 persen urusan RT sama kami berdua.
Mukaku biasa saja, tapi kata temen kuliah, mukaku keren kayak Xavi alonzo pemain sepak bola real madrid, maskulin dan ganteng, mungkin karena aku brewokan sedikit dan rambutku agak lebat kepirang-pirangan, pikirku mereka berpendapat cukup berlebihan. Aku bahkan hampir tidak hapal dengan wajahku sendiri karena di rumah tidak ada cermin untuk ngaca, ada, Cuma cermin kecil, itupun kepunyaan adikku, lia. Bahkan sebulan ini aku tidak ngaca! Habis mandi biasanya aku menyisir rambut dan merapikan bulu-buluku, baik itu brewok, kumis, bulu tangan, dan bulu dada (maklumlah aku”agak” hairy) hanya dengan jari-jari yang kubentuk menjadi sisir.
Comments
tlg pemenggalan paragrafnya diperhatiin, yar gk kepanjangan dn campur-campur topiknya.
Maklum ini pertama kali ane ngarang cerpen GAY, gugup! wkwkwk. Ntar ya lagi nyari momen hening!
“ayo bang, ntar ketinggalan kereta!”
Aku tersadar seketika dan lebur dalam hiruk-pikuk ramainya stasiun kereta Gambir. Begitu ramainya sehingga suara adikkupun hampir tak terdengar. Kami bergegas masuk ke dalam gerbong kereta, menghampiri Ayah yang sudah sedari tadi duduk di situ. Kami bertiga mengambil gerbong eksekutif - Argo Parahyangan menuju Bandung. Aku duduk disamping ayah. Ayahku merupakan sosok sempurna seorang bapak, sangat berwibawa, dia mencintai dan melindungi keluarganya. Ayah keturunan Jerman dan betawi, wajahnya tampan, manly, secara fisik, aku mirip ayah terutama hairynya, tapi mukaku mirip ibu. Ibuku keturunan Tionghoa-Palembang dan sedikit arab, mukanya halus, cantik, rambutnya hitam lebat, bentuk badan tinggi semampai, lincah, walau tidak muda lagi orang tidak akan mengira kalau ibuku punya dua anak yang usianya sudah menginjak dewasa.
Hari ini kami berangkat ke Bandung, sebuah kota kedua terbesar di Indonesia yang aku sendiri walaupun dekat, tetapi baru satu aku kali ke sana, bersama dua anggota keluarga, Ayah dan Lia. Ibuku tinggal di rumah sendiri, dia masih memiliki banyak kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja, maklumlah ibu seorang Bendahara Darma wanita di Pemkot Jakarta Pusat (itu karena ayahku seorang PNS), ditambah lagi kegiatan sosial lainnya seperti pengajian dan lain-lain. Keluargaku masih tergolong keluarga tradisional yang masih mementingkan kebersamaan, mangan ora mangan kumpul.
Diantar keluarga sampai ke Bandung bagi sebagian temen mungkin merasa malu, terkesan manja, naif, kekanak-kanakan, tapi bagi kami, hal ini adalah lumrah malah suatu keharusan untuk menunjukkan kepedulian, kebersatuan dan rasa kasih sayang sesama anggota keluarga, sekaligus kami anggap jalan-jalan, kebetulan Lia sudah masuk masa libur, tahun ini dia naik ke kelas 3 SMAN 7 pasar baru, sedangkan ayah mengajukan cuti seminggu untuk acara ini. Bangga ayah terhadap aku, anak sulungnya karena bisa menjadi contoh untuk adikku, maklumlah setelah lulus dari Univ. Trisakti, aku langsung diterima PNS Pemkot Bandung melalui tes tanpa keluar uang sepeserpun untuk menyogok, penerus trah pekerjaan ayah yang PNS pemkot Jakarta Pusat dan aku PNS pemkot Bandung.
Semangat ya !!!!!
Kereta mulai bergerak, aku memandang kursi kosong di samping adikku, di depanku, aku hampir bersorak karena kaki bisa selonjoran, dan empat kursi yang saling berhadapan adalah benar-bener totally for family privacy. Pada saat kakiku mau ku taruh di kursi depan, tiba-tiba datang laki-laki dengan nafas tersengal-sengal menyodorkan secarik kertas tiket ke depan mukaku.
“maaf mas, bener ini nomor 4-A Gerbong 2?”
“o..ooh.. ya bener”, kataku menyembunyikan perasaan kecewa.
Setelah dia meletakkan ransel hitamnya di bagasi atas, kakinya beringsut mengambil posisi duduk. Adikku bengong. Sayup-sayup ku dengar suaranya ditengah deru laju kereta , “kok mirip?”, sambil memandang orang itu dan aku secara bergantian.
Aku awalnya tidak mengerti maksud adikku, tetapi setelah ku perhatikan, wajahnya mirip aktor holywood Gerald butler, gambar maskulin sangat kental, badan beef cake, umur kayaknya hampir sama denganku. Akhirnya aku menyadari wajahnya hampir sama, tapi dia lebih sedikit “berlemak” dibanding badanku. Sepertinya diapun mulai merasakan keanehan itu. Mukanya mulai memperlihatkan keheranan. Seketika menyodorkan tangannya kepadaku.
“maaf, kenalkan namaku Andi”. Ku balas jabatan tangannya dengan menyebut namaku : ben (Bapakku bilang namaku diambil dari komedian betawi asli Benyamin S, tapi agar lebih keren dia mengubahnya menjadi Benjamin}. Setelah itu berturut-turut menyalami ayah dan Lia. Lia tampak kegirangan bukan kepalang, matanya menyiratkan suka dan kagum. Aku cuek.
“ke Bandung juga”, kata ayah membuka percakapan.
“iya om”, kata Andi , sambil membetulkan letak duduknya. Celananya yang cukup ketat menonjolkan cetakan beefy kaki Andi. Kaki yang sempurna.
“memang abang orang Bandung?”, Lia penasaran
“gak, aku malah baru sekali ke sini”, kata Andi hampir meledakkan tawanya. Lia terheran-heran.
“sammmaaa”, gumannya
“eehmmmm”, aku mendehem tanda tidak suka, keliatan banget kupernya.
“asal dari mana?” tanya ayah
“jakarta om, Cengkareng”, jawab Andi.
“di Bandung mo kemana?” kata ayah
“rencananya mo tinggal sementara tempat tante di Buah batu”
“abang ke Bandung liburan?”, tanya Andi ke arahku seketika, sepertinya dia lebih tertarik bercakap-cakap denganku dibanding Ayah dan Lia. Aku malas menjawabnya. Memang dasarnya aku orang pendiam, gak banyak omong. Karenanya itulah temen-temen se-kampus mempredikatkan “lady killer”, sosok cool, dingin, macho dan ganteng, tapi aku gak peduli dengan predikat itu, masa bodoh! Kataku.
“ya”, kataku singkat berusaha untuk tetap ramah. Atas jawaban itu, Andi kelihatan gelisah, tidak puas dan penasaran. Terlihat jelas guratan galau dari alisnya yang cukup tebal, tanda tanya besar berdentang-dentang di kepalanya. Mimiknya menjadi lucu.
Ahh my goodness! Gila! Lia memandang Andi dengan tatapan kosong, tatapan yang aku mengerti ketika cewek-cewek se-kampus memandangku penuh harap, mengharap cinta dan kasih sayang. Si Lia yang dikenal di sekolahnya pinter, rajin, bahenol dan tercantik diantara temen2nya (harus ku akui Lia memiliki inner beauty disetarakan dengan artis top ibukota, postur sexy dan facenya sangat mendukung, hanya saja usianya yang masih belia belum diterangi bintang ketenaran) akhirnya klepek-klepek di depan orang asing! Cinta monyeeeet! Geezzz!