BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CRA 4

edited June 2012 in BoyzStories
HWA rasa bersalah ternyata melebihi segalanya,saya mohon pada para reader tolong pintakan izin pada sang penulis asli,saya gk bermaksud lancang.justru saya hanya ingin memuji betapa bagusnya cerita ini

Mitos

Sebenarnya aku malas jalan-jalan sama Denis, aku kuatir bakal jadi perhatian orang-orang. Aku belum cukup mental buat coming out sebagai cowok kembar! Tapi gara-gara diiming-imingi uang jajan sama Mama, akhirnya berangkat juga. Gimana lagi, dompet udah tipis, selama liburan nggak dapat jatah duit jajan harian…

Di atas jalanan kota Solo, aku meluncur dengan motor berboncengan sama Denis. Rencananya mau nonton film. Berhenti di depan Solo Grand Mall, melongo melihat poster-poster film yang dipajang di depan gedung…

Film yang sedang diputar semuanya film Indonesia, komedi dan horror yang nggak jauh-jauh juga dari tema ‘selangkangan’. Jiaahhh!!! Makin basi aja…! Kapan perfilman Indonesia bisa maju kalau temanya cuma gitu-gitu aja?! Bayar duapuluh ribu buat nonton film porno yang serba nanggung nggak jelas gitu? Goblok, kalau aku ya mending beli bokep bajakan sekalian, duapuluh ribu dapat empat!

“Filmnya jelek-jelek tuh…!” sungutku sebal.

“Terus kemana dong?” lontar Denis, sama-sama bingung.

Aku mikir-mikir. Kemana ya enaknya?

“Ke Kraton aja yuk…” tiba-tiba Denis punya ide.

“Kraton? Jadul banget…!” tukasku.

“Yee… Kok jadul sih? Bagus kan tempatnya?”

“Kalo sama pacar cocok, tapi masa kita jalan-jalan ke Kraton? Ngapain…?!”

“Emangnya napa? Malah pikiran lu tuh yang aneh! Emang cuma orang pacaran aja yang boleh ke Kraton?! Gue pingin lihat Kraton. Ayo lah ke sana aja…!”

Denis mendesak. Aku sendiri nggak ada ide lain. Objek wisata di Solo memang kebanyakan objek-objek budaya dan sejarah, kalau nggak Kraton ya museum…

“Ya udah. Ke Mangkunegaran aja yah? Kalo Kasunanan ribet jalannya…” akhirnya aku ngalah.

“Bedanya apa?”

“Bedanya? Kalo Kasunanan jalannya lebih ribet…! Aku nggak tahu pintu masuknya!” jawabku. Penjelasan yang nggak mutu ya? Aku nggak gitu ngerti soal Kraton. Aku kan bukan Guide!

Cuma butuh lima menit dari Solo Grand Mall ke Kraton Mangkunegaran. Dekat. Kami pun sampai. Dan seperti yang kucemaskan, baru turun dari motor, buka helm, orang-orang langsung melihati kami. Denis-nya sih cuek, tapi aku yang nggak nyaman! Untung nggak terlalu banyak orangnya…!

Mangkunegaran terkenal karena punya bangunan pendapa yang katanya terbesar di Asia Tenggara. Aku duduk di tepi kolam di depan pendapa, memandangi bangunan berarsitektur Jawa campuran dengan Klasik itu. Memang megah sih. Gede banget pendapanya. Sayangnya agak kusam.

“Kok ukiran atapnya kayak gaya-gaya barat gitu ya?” Denis ikut duduk di sampingku sambil berkomentar.

“Pengaruh dari Belanda kali,” jawabku.

“Bukannya Belanda itu musuhan sama Kraton?”

“Nggak tahu ah. Nggak semua juga kali… Itu Pasar Gede di Solo arsiteknya juga orang Belanda, yang makai orang-orang pribumi.”

“Hmmm… Menarik nih! Masuk ke dalam yuk…!” ajak Denis.

Aku sendiri juga ikut penasaran. Pingin lihat seperti apa istana raja Jawa ini!

Aku dan Denis segera melangkah menuju ke Pendapa Mangkunegaran, lebih dekat. Aku lihat ada beberapa pengunjung lainnya yang sepertinya satu rombongan. Aku lihat mereka semua melepas sandal. Kayaknya aturannya begitu…

“Sandalnya dilepas, Den..” bisikku ke Denis.

Kami melepas sandal. Selanjutnya mulai jalan-jalan ke dalam pendapa. Aku dan Denis manggut-manggut mencuri dengar seorang guide yang sedang memberi penjelasan ke rombongan pengunjung. Penjelasan tentang sebuah mitos. Mitos tentang tiang pendapa…

“Ada satu mitos tentang tiang pendapa Mangkunegaran ini, bahwa barang siapa bisa melingkarkan kedua tangannya ke tiang ini, dan kedua tangan itu dapat bertemu, maka keinginan yang dipanjatkan akan terkabul. Siapa tahu ada yang ingin mencoba? Tapi sekali lagi ini mitos bapak-bapak, ibu-ibu, benar tidaknya tergantung bagaimana kita meyakininya…” bla bla bla, guide itu menjelaskan ke rombongannya.

Mulai, satu persatu anggota rombongan itu mencoba memeluk tiang pendapa itu. Ada yang tangannya bisa saling bertemu, ada yang enggak. Hmmm… Jadi penasaran juga nih…!

“Mas, mau ikut nyoba nggak?” Denis kelihatan penasaran juga.

“Pingin sih…” gumamku bersemangat.

Kami menunggu rombongan itu selesai menjajal tiang itu. Belum mulai aku sudah bingung, nanti kalau aku berhasil, mau memanjatkan harapan apa ya?

Ummm… boleh nggak yah misalnya… supaya sikap Erik jadi lebih baik padaku? Atau… Dia membalas cintaku…?

Hehehe… Maksa nggak sih? Makanya coba aja dulu! Sukses nggaknya biar takdir yang menentukan! Orang wajib usaha kan…?

Denis mulai duluan. Perlahan-lahan dia memeluk tiang itu. Dan…

“Woiii… gue nyampai, Mas!” Denis berbinar-binar.

“Hahhh? Wahhh…” aku terpukau melihat tangan Denis yang melingkari tiang itu dan ujung kedua tangannya bisa saling bertemu.

“Hehehe… Nyampai kan gue…! Coba sekarang elu…!” tantang Denis seraya melepaskan pelukannya.

Aku gantian ancang-ancang. Kupeluk tiang itu.

Heekkkk…

Berusaha keras!

Lhoo…

“Kok nggak nyampai, Mas?”

“Iya nih…?”

Aku heran! Coba lagi, lebih keras! Kutekan tubuhku lebih erat lagi supaya tanganku yang melingkari tiang bisa saling bertemu.

Ayooo… Terusss…!!!

“Hhhhhhhh….” akhirnya kulepaskan tanganku.

Aduhhh… Denis aja bisa…?!! Aku yang lebih tinggi, mustinya tanganku juga lebih panjang dari tangan dia?! Tapi tanganku nggak sampai…?!! Kok bisa gitu…?!!

“Nggak bisa nyampai tangan elu, Mas…” cibir Denis.

“Nggak tahu nih… Jangan-jangan ini tiang memang bukan sembarang tiang nih…?!” gumamku tercengang-cengang.

“Elu banyak dosa kali?” ledek Denis.

“Sialan! Ngaco…!” tukasku kesal.

Emmmhhh… Apa ini tanda kalau semua harapanku tentang Erik itu… mustahil…? Terlalu muluk…? Ini sebuah pertanda?

“Udah, nggak usah dipikirin! Cuma mitos… Gitu aja stress…!” tukas Denis sambil mijit-mijit pundakku.

“Kamu tadi… keinginan apa yang kamu panjatin?” tanyaku ke Denis. Penasaran…

“Nggak ada. Tadi cuma penasaran aja buat meluk.”

“Beneran? Kan untung tuh bisa kesampean, kok nggak manjatin apa gitu…?”

“Manjatin apa? Manjatin tuh tiang sekalian?! Itu kan cuma mitos, gue sih nggak percaya…!” celetuk Denis.

“Tapi aneh nggak sih? Aku kan lebih tinggi dari kamu jadi mustinya tanganku lebih panjang juga, harusnya bisa nyampai juga dong?!” gumamku masih keheranan.

“Kan pernah gue bilang, badan elu tinggi nggak jaminan bagian yang lain juga ikut panjang!”

“Weii, asem!!! Nyindir nih?” aku langsung nyolot.

“Cuma nyuruh elu introspeksi aja…!” kelit Denis sambil melet.

Sialan!!!

Tapi ada benarnya juga sih yang dia bilang… Kok aku jadi percaya banget sama mitos-mitos gituan ya…?

Akhirnya kami selesai melihat-lihat pendapa. Aku mengajak Denis ke museum kereta. Letaknya di seberang pendapa. Ada bangunan memanjang yang terdiri dari beberapa ruang. Di situ kami melihat-lihat kereta-kereta yang dulu biasa dipakai bangsawan Kraton. Melihat-lihat sebentar, lalu… sepertinya sudah nggak ada yang bisa dilihat lagi di tempat ini…

“Mau kemana lagi habis ini?” lontarku.

“Nggak tahu. Kemana ya? Harusnya ke Kraton yang satunya…” gumam Denis.

“Nggak usah lah! Males jalan ke sana, rame, kadang macet… Cari makan aja yuk!”

“Makan di mana?”

“Ya nanti cari di jalan!” ujarku sambil melangkah menuju tempat parkir motorku.

Kami meninggalkan Kraton Mangkunegaran.

Kembali duduk di atas motor, meluncur di jalanan kota Solo yang ramai. Sesekali aku masih kepikiran soal tiang di Kraton tadi. Masih bertanya-tanya, apa harapanku tentang Erik itu memang terlalu muluk? Apa itu memang mustahil buat kuraih, makanya aku nggak ‘diloloskan’ saat memeluk tiang itu…? Tanganku kan harusnya lebih panjang dari tangan Denis…?! Apa keampuhan tiang itu memang bukan ditujukan untuk… cowok yang suka sesama cowok…?

Ahh…!!! Dibilangin itu cuma mitos!

MITOS!!!

Jangan dipikirkan lagi!

Aku, Denis, dan Erik

Dari Mangkunegaran, menyeberang jalan Slamet Riyadi, bertemu daerah Coyudan. Di situ ada McD. Lagi pingin frenc fries sama beefbuger!

“Yahh, kok ke McD sih?” keluh Denis.

“Kenapa?”

“Gue pingin nyobain masakan Jawa… Kangen!”

“Alahh, masakan Jawa kan tiap hari biasa dimakan. Mumpung ada duit, masa nggak suka McD?”

“Jangan keseringan makan fastfood! Nggak sehat! Yang tradisional aja, yang di Medan nggak ada…?!”

“Halahh… Sok tradisional segala…! Kalo mau tradisional nanti habis ini mampir ke Notosuman, beli Srabi. Tapi sekarang beefburger dulu!” cetusku nggak mau ngalah.

Akhirnya Denis nurut juga ke McD. Kami antri pesan menu. Lima menit, dapat menunya! Kami mencari tempat duduk di bagian yang agak belakang, yang agak sepi.

“Doyan amat sama fastfood? Nggak sehat tahu!” Denis masih ngedumel.

“Nggak sehat kalo keseringan! Kalo cuma sekali-sekali nggak papa lah! Lagi pingin, mumpung lagi ada duit…!” gumamku sambil siap-siap mencicip burger-ku.

Baru asyik melahap burger…

“Lho, Mas…?” tiba-tiba ada yang menyapaku.

Aku langsung menoleh dan…

ASTAGAAAA…!!!

Hampir saja aku keselek…

ERIK…?!!

Kok dia bisa di sini…??? Ini kebetulan apa keajaiban…?!!!

“Eh, halo, Rik…” sapaku gugup.

Erik meletakkan nampannya, satu meja dengan aku dan Denis… Dia pun segera beralih memandangi Denis, dan langsung nggak kalah kaget dariku…!

“Lho, kalian mirip ya?! Ini adik… atau kakak nih…?” Erik memandangi kami berdua bergantian, matanya sampai bengong.

Mampus aku, akhirnya ketahuan juga punya kembaran…!!! Kok yang tahu juga si Erik sihhhh…???!!!

“Temannya Dimas?” tanya Denis ke Erik.

“Iya. Kamu?” Erik ganti bertanya dengan agak gugup.

“Sodaranya dia…” jawab Denis cuek sambil mengunyah frenc fries.

“Kalian… kembar…?” Erik menebak-nebak, bingung…

“Ya gitu deh…” jawab Denis cuek.

Denis bisa sesantai itu! Aku…?!! Aku aja sampai salah tingkah…!!! Apalagi ini di depan Erik?! Kemarin aku habis bertingkah konyol ngasih dia kado apel, sekarang malah ketahuan aku makan sama sodara kembarku!!!

Haduuhhhh… Gimana yaa… aku masih malu…?!!

“Wahhh… Aku baru tahu nih…! Nggak nyangka…!” Erik manggut-manggut, terus memandangi aku dan Denis bergantian dengan takjub sekaligus keheranan. “Kok aku baru tahu sih…?!”

“Udah lah! Nggak usah diceritain, panjang ceritanya…!” desahku enggan.

“Tapi… Exciting…!” decak Erik masih terkagum-kagum. “Asyik ya kayaknya, punya sodara kembar…?”

“Asyik apanya? Nyebelin punya sodara kayak dia…!” sahutku sambil nunjuk Denis, mencoba bersikap santai buat mengatasi gugup.

“Ahh, nggak percaya! Ini kalian bisa makan-makan berdua? Kayaknya asyik-asyik aja…?” Erik membantahku.

Ehhh… kok kayaknya… Erik jadi ramah gini sama aku? Seolah-olah… dinding tebal yang biasanya ada di antara kami sekarang lenyap…?!

“Dimas tuh emang jaim orangnya! Dia sebenernya sayang kok sama gue…!” balas Denis. Asem nih anak…! Berani ngerjain aku di depan Erik!

“Hahaha… Masa si Dimas jaim sih? Perasaan kalo dia perhatian suka nunjukin langsung tuh?” sahut Erik sambil melirikku dengan senyum misterius.

Aaaaahhhh…!!! Erik bilang apa…?!!! Kalau lagi perhatian aku suka nunjukin langsung…??? Maksudnya apa nih…???!!! Nyindir…???!!!

Teganya! Bikin aku tambah malu…!

“Kalo sama orang lain iya kali. Tapi kalo sama adek sendiri nggak…!” Denis tambah jahil komentarnya.

“Ohh, jadi kamu adiknya…? Oh iya, sampai lupa kenalan…! Aku Erik…” Erik mengulurkan tangannya ke Denis.

“Denis…” Denis membalas jabatan Erik setelah dia membersihkan tangannya dari bekas frenc fries. “Lu temen sekolahnya Dimas?”

“Iya. Beda kelas sih. Tapi akrab kok sama dia…” jawab Erik.

Debar-debar jantungku… Barusan Erik bilang apa??? Dia akrab sama aku? Dia mengaku begitu…? Jujur apa basa-basi…?!!

Tapi…

AKU TETAP SENANG MENDENGARNYA…!!! Akhirnya!!! Setelah sekian lama menghadapi sikap juteknya…!

“Wew, muka Dimas kok rada merah gitu? Abis kepanasan ya?” tiba-tiba Erik mengomentari wajahku.

“Kepanasan apaan? Emang muka gue merah juga?” sela Denis.

“Nggak tuh?” jawab Erik.

“Berarti merahnya bukan karena kepanasan! Tapi karena yang lain…!” sahut Denis.

Erik memandangiku dengan tersenyum-senyum. Aaarrhhhh…!!! Aku dikerjain habis-habisan sama mereka berdua…!!! Dasar pada nggak punya perasaan!!!

“Kalian jangan pada usil ya! Terutama kamu, ngerjain aku lagi, aku tinggalin di sini..!” ancamku sambil nunjuk Denis. Berusaha tetap cool, menyembunyikan rasa maluku…!

“Tinggalin aja! Palingan ntar lu diomelin sama Mama… Terus disuruh jemput gue lagi di sini…!” balas Denis cuek.

“Nggak papa… Kalo ditinggal sama Dimas, nanti aku anterin…!” sahut Erik.

AAARRRRGGGHHHHH…….!!!

Kok Erik malah sekongkol sama Denis???!!! Tidaaaaaakkkkkk!!! Aku nggak terima!!! Mereka pakai ketawa-ketawa lagi?!! Kok mereka berdua jadi lebih akrab dibanding sama aku sih?!!!

Kurang ajar…!

Tapi…

Kalau dilihat dari segi positipnya, memang sih… kayaknya Erik jadi lebih ramah dan terbuka padaku… Kayaknya dia nggak kesal lagi sama aku… Huhhh… Biarpun keadaan ini lebih baik, tapi bukan berarti harus mempermalukan aku seperti ini! Sialan!

Yah, nggak apa-apa lah… Meski Erik lebih pro sama Denis, sebaiknya aku tetap berpikir positif aja. Lagian kapan lagi bisa makan bareng kayak gini…? Mengalir saja, menikmati waktu ini. Dibikin enjoy…

“Bener nggak sih, sodara kembar itu ikatan batinnya kuat?” tanya Erik, masih seputar hubunganku sama Denis.

“Nggak. Ada hal yang bisa buat berbagi. Tapi nggak semuanya. Pada intinya sih aku nggak mau mikirin urusan dia… Mending mikirin urusanku sendiri! Biasanya sih aku sama Denis malah banyak berantemnya…!” jelasku cuek.

“Nggak juga ding, si Dimas tuh sering juga kok manjanya ke gue…” balas Denis.

“Mulai lagi?!” aku mengepalkan tanganku ke Denis.

“Hahaha… Kelihatan kok. Dimas tuh pura-pura aja jahat sama kamu…” komentar Erik.

“Ehh, dari tadi ngebelain Denis mulu sih?!” protesku ke Erik.

“Soalnya elu kebanyakan pura-pura! Bilang jujur aja napa, kalo lu sayang sama gue…?!” sahut Denis nyengir main tunjuk.

“Kayaknya kamu lebih pinter nebak perasaan orang ya?” lontar Erik ke Denis.

“Nggak juga sih. Tapi kalo perasaan dia sih emang gampang ditebak…!” sahut Denis sambil menunjukku.

“Nahhh, itu dia! Mungkin karena sodara kembar, kamu lebih mudah menebak Dimas dibanding kalo misalnya… aku yang nebak dia… Tapi Dimas-nya bisa nebak kamu juga nggak?”

“Nggak tahu deh. Tanyain aja ke Dimas…”

Lalu Erik sama Denis kompak memandangiku.

“Ngapain juga sih diurusin?! Nggak selesai-selesai nih makannya…!” kelitku dongkol.

Mereka berdua langsung ketawa-ketawa. Dasar konyol!!!

“Kamu bisa nebak perasaan Dimas sekarang nggak…?” tiba-tiba Erik menantang Denis untuk…

MENEBAK PERASAANKU…???!!! Maksudnya apa lagi ini…?!!!

“Kayaknya lagi sebel dia. Ngiri kali, nggak dapat teman. Dari tadi kan kita kompak ngerjain dia…” celetuk Denis.

“Ngiri sama kita?”

“Hehehe… Udah, jangan dikerjain lagi. Kasian…!”

Lagi-lagi Erik sama Denis ketawa-ketawa. Mereka benar-benar kompak! Kok bisa gitu sih…?!

Aku iri…? Mungkin. Aku cemburu…? Bisa jadi kali ya…? Benar-benar sialan mereka berdua!

Tapi memang sih, kayaknya Denis bisa menebakku. Mungkin ini juga bukan pertama kalinya. Contohnya, pas aku pulang dari rumah Erik sehabis ngasih dia apel, pas aku lagi sedih-sedihnya, si Denis nyanyiin lagu tentang… apel… Apa dia memang punya intuisi itu ya? Naluri sodara kembar…? Tapi kok kayaknya… aku nggak punya itu…?

Huhhhh… Sudah lah…! Ngapain ribet mikirin itu? Aku sama Denis sodara, kalau saling perhatian ya wajar lah! Kalau sering bertengkar ya wajar juga, namanya juga cowok!

Tapi kalau soal Erik… Kenapa dia jadi ramah begini? Itu yang aku belum mengerti. Dia mau menghampiriku di sini, padahal biasanya dia lebih suka menghindar dariku… Ada apa ya…? Biarpun aku senang, tapi ini tetap mengherankan…

Ngobrol, bercanda, mengalir di meja makan ini… Sampai nggak terasa, makanan dan minuman kami sudah nggak bersisa!

“Udahan yuk..” ucap Denis.

“Habis ini kalian mau kemana lagi?” tanya Erik.

“Kata Dimas mau beli srabi…” jawab Denis.

“Ke Notosuman…” tambahku.

“Ohh… Ya udah. Aku mau langsung pulang…” sahut Erik.

Akhirnya kami bertiga beranjak dari meja makan kami. Meninggalkan ruang restaurant McD…

“Ehh, Mas, apel yang kamu kasih itu beli di mana?” tiba-tiba Erik bertanya padaku.

Deg…!!! Jantungku berdegup keras. Lagi-lagi apel itu…?!!

“Di dekat Discstuff. Sampingnya ada toko buah…” jawabku agak enggan. Rikuh.

“Apel apaan?” Denis menyela.

“Nggak apa-apa. Dimas kemarin ngasih apel…” gumam Erik.

Aduhhh…!!! Ampun…! Kok Erik terus terang gitu sih ke Denis??? Kalau dia nanti mikir macam-macam gimana? Aku nggak mau masalahku sama Erik ada yang tahu di keluargaku…! Makin kacau saja…!!!

“Ohh…” Denis cuma mengangguk-angguk. Untungnya dia nggak komentar yang aneh-aneh! Semoga dia juga nggak mikir macam-macam…!

Tapi aku jadi cemas juga soal apel itu, kenapa Erik menanyakannya?

“Memangnya kenapa, Rik?” tanyaku dengan ragu.

“Enak apelnya. Kecut sama manisnya itu… Biasanya kalo aku beli di tempat lain nggak sesegar itu…” cetus Erik.

Ahh… Aneh nggak sih dia mengungkit hal itu? Masa sebiji apel kesannya seistimewa itu? Perasaan kalau beli di tempat lain ya sama aja rasanya, kan tinggal pintar-pintar yang milih aja…?

Tapi… ya baguslah kalau ternyata kesan dia positif… Jauh dari yang pernah aku sangka!

Aku jadi malu lagi… Kali ini rasa maluku bukan karena aku merasa ngasih kado yang salah, tapi karena ternyata Erik menghargai pemberianku… Mungkin dia memang perlu basa-basi mengatakan rasa apelnya enak… Tapi intinya, mungkin dia mau bilang kalau… kado dariku itu bukan pemberian yang salah… Dan dia menghargainya…

Sikap Erik sekarang terasa welcome padaku. Seandainya tadi aku berhasil memeluk tiang di Mangkunegaran itu, pastinya aku bakal percaya kalau ini adalah tuah dari mitos itu. Tapi, sepertinya itu memang cuma mitos…

Ooohh… Shocked by this blessing…! And I’m blushing…

Di halaman parkir kami menuju pada motor masing-masing.

“Aku duluan ya…” Erik menstarter motornya.

“Oke,” sahut Denis.

Aku cuma tersenyum mengangguk. Erik jalan lebih dulu dengan motornya. Aku termangu memperhatikan perginya… Sampai sosoknya menghilang, berbelok di perempatan.

“Dalam rangka apa lu, ngasih Erik apel…?” tiba-tiba Denis bertanya.

“Bukan urusanmu…!” tukasku.

Tebak saja pakai naluri sodara kembarmu…! Kalau bisa…!

Diary Lagi

Sebuah pengalaman indah hari ini. Rasanya terlalu sia-sia kalau nggak kuabadikan semua kesan yang sudah kudapat itu… Ini adalah hal indah yang harus kutulis…!

Kubuka diary di laptopku. Beberapa saat kemudian, jari-jariku pun mulai bergerak…

“Rasanya seakan nggak bisa habis, segala kesan yang kurasakan tentang cowok satu ini. Erik. Jatuh bangun aku bergelut dengan berbagai macam perasaan sejak aku kenal dia, sejak aku jatuh cinta sama dia. Aku sudah menulis berulang kali tentang berbagai perasaanku selama ini. Rasa senang saat melihat dirinya, rasa gemas dan malu saat mengkhayalkan romantisme dengannya, lalu rasa sedih dan kesal saat dia berusaha menghindariku, sakit hati saat dia mengabaikanku… Aku pernah bercerita tentang itu semua di sini.

Tapi hari ini aku punya cerita lain!

Hari ini Erik datang menghampiriku. Dia menyapaku. Lalu mulai mengajakku bercerita. Rasanya seperti mimpi! Yaa mungkin lebay kalau aku hubungkan dengan mimpi… tapi benar, aku sangat-sangat terkejut dibuatnya! Nggak nyangka, setelah sekian lama dia selalu mengacuhkanku tiba-tiba tadi dia mendekatiku. Di sebuah meja makan, ditemani frenc fries, burger, salad dan cola, kami mengobrol dengan lepas dan hangat, penuh canda dan tawa.

Hari apa ini? Kebaikan besar apa yang telah kubuat sampai aku diberkati dengan momen yang begini indah? Aku sangat senang! Dan sangat bahagia…

Cuma… ya sayangnya saja, tadi ada Denis. Maksudku ‘sayang’, terus terang aku belum siap ada yang tahu kalau aku punya sodara kembar. Bukannya aku nggak suka punya sodara Denis, jahat sekali kalau aku nggak mengakui dia sebagai sodara! Tapi rasanya ribet aja, selama ini teman-temanku telanjur tahu seorang Dimas tanpa kembaran! Sialnya, yang pertama kali tahu kalau aku punya kembaran adalah Erik! Tanpa bermaksud merendahkan Denis, tapi aku tetap merasa… emhh… Begitulah. Saat Erik tahu aku punya sodara kembar Denis, kurasakan betapa ribetnya menghadapi ekspresinya yang ternganga-nganga! Aku nggak peduli kalau Denis bisa cuek, tapi aku bukan Denis! Aku nggak suka jadi objek perhatian! Aku nggak nyaman dipandangi orang-orang dengan tatapan dan senyum aneh mereka, meski itu nggak bermaksud buruk!

Tapi ya sudah lah… itu sudah terjadi. Mau gimana lagi? Dan sebenarnya itu hanya sekedar uneg-uneg saja, tapi bagiku terasa memang lebih bijak kalau aku menilai sisi baiknya… bahwa… sikap Erik tampaknya sudah mulai berubah terhadapku. Berubah menjadi lebih baik. Sekarang dia terasa sangat ramah dan hangat. Dia juga cepat akrab dengan Denis. Malah berulang kali mereka berdua ngerjain aku! Memang ada rasa agak… cemburu juga… Mereka berdua bisa cepat akrab, sedangkan aku butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan keramahan Erik!

Tapi itu juga bukan cemburu yang serius… Yahh… Mungkin cuma sedikit rasa kesal.

Rasa senang dan bahagia ini juga masih meninggalkan satu teka-teki untukku. Sebelum kami berpisah, Erik sempat menanyakan soal apel yang aku berikan padanya di hari ulang tahunnya. Katanya…, apel yang aku kasih itu rasanya enak dan segar… Maksudnya apa? Aku sendiri ngasih dia apel secara kebetulan, malah saat itu aku menganggapnya keteledoran yang konyol! Apa istimewanya sebuah apel? Siapapun pernah memakannya dan bisa membelinya di mana saja dengan harga yang nggak mahal juga. Apa Erik punya maksud tersirat saat dia mengungkit soal apel itu…?

Mungkin nanti akan terjawab juga…

Yang pasti, aku harus mensyukuri semua itu bukan? Sekian lama memberi Erik perhatian, susah payah bertahan dari cercaan, akhirnya dia menghargai perhatianku. Memang aku belum bisa bilang kalau itu artinya dia juga akan… membalas perasaanku. Terlalu dini buat menganggap seperti itu. Yang kudapatkan hari ini cukup dimengerti saja, bahwa akhirnya Erik baik padaku… Sama seperti waktu awal kami berkenalan dulu. Semoga selanjutnya nanti semuanya akan makin jelas, dan makin baik untuk kami.

Pada akhirnya, hari ini aku merasa senang. Bahagia. Thanks, God.

Goodnight, my diary. See you latter in other stories…”

Kuakhiri ketikanku. Aku membaca ulang tulisan yang baru selesai kuketik di diary-ku. Dan aku tersenyum sendiri. Halaman favoritku di diary ini sepertinya sudah bertambah lagi! Hahaha…

Kualihkan pandanganku ke luar jendela, yang dibatasi oleh kaca. Aku bisa melihat langit malam yang terang. Cemerlang dengan taburan bintang-bintang. Ya, bintang-bintang yang selalu berkedip cahayanya, mungil tapi tak pernah padam. Begitulah sebuah harapan, jangan pernah mati untuk percaya bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya…

Kulirik Denis yang sudah meringkuk di atas kasur. Bantal dan gulingku juga sudah sejak tadi melambai-lambai padaku. Segera kututup diary-ku, dan juga laptopku, shut-down!

Lalu seperti biasa… Hoaahhhmm…

Saatnya tidur!uj hendraxl2
17.05.2012 03:17
cerpen valshe http://0.facebook.com/story.php?story_fbid=271893319571307&id=110755205685120&refid=20&_ft_=fbid.271893319571307

<img src="https://us.v-cdn.net/5016325/uploads/FileUpload/b2/4aa8745c739d46dd5e420712557fd6.jpg"; />
df.JPG 25.4K
Sign In or Register to comment.