Lagu untuk sebuah nama
Mengapa jiwaku mesti bergetar?
Sedang musikpun manis ku dengar
Mungkin karna ku lihat lagi lentik bulu matamu, bibirmu,
dan rambutmu yang kau biarkan jatuh bergerai di keningmu?
Makin mengajakku terpana...
Kau goreskan gita cinta...
Mengapa aku mesti duduk di sini?
Sedang kau tepat di depan ku.
Mestinya aku berdiri, berjalan di depanmu, ku sapa
dan ku nikmati wajahmu, atau ku isyaratkan cinta...
Tapi semua tak ku lakukan...
Kata orang cinta mesti berkorban...
Mengapa dadaku mesti berguncang?
Bila ku sebutkan namamu.
Sedang engkau diciptakan bukanlah untuk ku,
itu pasti!
Tapi aku tak mau peduli...
Sebab cinta bukan mesti bersatu...
Biar ku cumbui bayangmu,
dan kusandarkan harapanku...
Mendengarkan lagu Ebiet G Ade ini, mirip dengan kisahku dengan Hadi. Perkenalan kami begitu singkat, dan kami juga bisa akrab begitu cepat. Kata orang, kami berjodoh. Dia begitu istimewah bagiku. Senyumannya mampu meluruhkan hati setiap orang yang memandangnya, rambutnya yang panjang, selalu terikat rapih ke belakang, menambah kesan kejantanan seorang pemuda yang gagah, wajahnya yang tampak kokoh, pandangan matanya yang sayu membuat hati setiap orang merasa teduh, semuanya telah mengikatku pertama kali aku kenalan dengannya.
Dia seorang pengantar barang dikantorku. Pada awal dia masuk kerja, saya kurang begitu memperhatikannya, hingga suatu hari, kami baru bisa saling menyapa pada saat kami sama-sama sedang membuat kopi di dapur kantor, dan disitulah perkenalan kami dimulai. Namanya Hadi. Dia orang yang simpel, suka berpetualang, dan juga suka dengan hal-hal yang praktis. Berbeda dengan saya yang suka musik, suka membaca, suka menulis, dan apalagi suka berpikir. Hadi orang yang sungguh simpel. Begitulah sebuah kehidupan itu bagi Hadi.
Dari perkenalan itu, berlanjut dengan tiap hari saling menyapa satu sama lainnya, dan kadang kita makan siang bersama kalau sempat. Tapi saya tidak berani terlalu mendekati pribadi yang simpel ini. Sangat sulit bagi saya untuk mendalami isi hatinya, perasaannya, apalagi pikirirannya. Bukan karena terlalu simpel, tapi karena dia orangnya sangat pendiam.
Tiga bulan berlalu, kami berteman seperti biasa, dan teman-teman kantor pun tidak ada yang tahu kalau kami sudah akrab. Hingga suatu hari, aku harus kerja diluar kantor, di suatu gedung yang baru dibangun. Karena ada barang suku cadang yang rusak, aku harus meminta teman kantor untuk mengantarkannya. Celakanya, hari itu teman-teman pada sibuk keluar semua, dan saat itu sudah jam 5 sore. Maka satu-satunya harapan, Pak Teo meminta Hadi yang biasanya mengantarkan barang buat customer, kali itu mengantarkan barang buat ku. Aku pun setuju dengan usul Pak Teo, siapa lagi yang bisa nganterin barang ke sini selain dia.
Lima belas menit berlalu, Hadi sudah sampai di gedung itu. Dia meneleponku, menanyakan posisiku di mana. Hm... aku tak pernah memberikan nomor HP ku ke dia, karena aku anggap kami selalu bertemu tiap hari di kantor. Mungkin Pak Teo yang memberikannya, tapi ngga masalah. Dia bukan orang yang reseh, yang suka miscall tak menentu. Aku pun mengucapkan terimakasih, dan segera berlari menuju titik di mana aku bekerja, dan Hadi pun ikut aku berlarian. Saya pikir dia akan pulang, dan saya pun tidak sempat untuk bertanya sama dia.
Sesaat alat itu disetting, dan ku pasangkan, tidak lebih dari 5 menit. Hadi pun bertanya,
"Gung, untuk apa alat ini?"
"Pemancar signal WIFI. Kamu bisa main internet dengan bebas, tanpa harus pakai kabel di komputer kamu, atau laptop." Terangku singkat dan jelas
"Hm... Jadi, gedung ini besok dah mau diresmikan ya?" Dia bertanya, sambil melihat dekorasi yang indah pada ruang besar di mana kami berada.
"Ya, makanya aku diburu kayak setan hari ini. Seharusnya mereka sudah mempersiapkan jauh hari. Ditambah lagi router sialan yang kubawa ini. Aku ngga tahu kalau dia rusak. Padahal masih terbungkus rapih dalam kotaknya."
"Iya, namanya beli barang, kadang kita ngga tahu, rusak atau ngga. Tapi itu kan, harusnya di test sama orang kantor kita ya?"
"Begitulah. Mereka ngga tahu ngetestnya, cuma tau terima. Sudah sering engineer kita bernasib sial kayak aku, tapi aku beruntung sekali, kamu bantuin hari ini."
"Hah! Terimakasih bro! Kamu ada rencana mau ke mana malam ini?"
"Tidak ada rencana. Kamu belum pulang? Ntar jadi macet lho, jalanan?"
"Ngga masalah, aku kan bawa motor. Palingan ERP brengsek aja yang makin mahal harganya."
"Hah! Di sini mah, pak Ogahnya banyak... Udah ngga heran."
"Pak Ogah itu apa ya? Hadi kebingungan dengan istilahku. Dia bukan orang Indonesia, jadi dia ngga ngerti Pak Ogah.
"Di Indonesia, dulu ada film boneka panggung. Tokoh Pak Ogah itu seorang bapak yang kepalanya botak, pemalas, kerjaannya tiap hari minta-minta duit aja. Tiap kali kalau ada orang lewat di depan tempat dia duduk, maka dia minta duit seratus rupiah"
"Oh... begitu ceritanya. Bagaimana kalau kita makan malam bersama di Clarky Quay? Aku ngga ada rencana kemana-mana. Orang-orang rumahku ngga ada yang pulang malam ini, mereka sedang ke Johor Bahru."
"Wow... Ok. Saya belum pernah makan di sana. Tapi kamu ada helmet dua? Saya ngga ada helmet disini"
"Tenang saja, saya selalu membawanya di belakang motor. Kerjaan sudah selesai?"
"Ini sudah OK. WIFI sudah memancar, dan signalnya sangat bagus arahannya."
"OK, kita berangkat?"
"Seep, saya lapor dulu ke bagian manager gedung, sekalian tukarin ID Card ku sama mereka."
Kami berjalan menuju pos manager, dan menukarkan ID Card saya dengan mereka. Setelah itu, saya pamit ke WC untuk kencing. Hadi pun mau kencing, dia dari tadi ternyata kebelet. Sambil kencing, kami terdiam. Saya diam-diam mengintip burungnya yang sedang kencing dengan derasnya. Ternyata sangat besar, kokoh sekali. Itu saja dalam posisi tidur. Kalau tegak, mungkin akan lebih gede lagi. Tapi saya ngga berani melihatnya terang-terangan. Takut dia tersinggung.
Comments
Aku hanya bisa memandangi Hadi, dan dia sangat tampan sekali waktu itu. Biasanya kalau kami makan bareng, jarang ngobrol, palingan hal-hal yang sepele saja. Tapi malam itu, aku bingung, mau mulai dari mana percakapan kami. Tiba-tiba Hadi memegang tanganku, dan mengusap-ngusap telapak tanganku. Dia terus meremas jari-jariku, dan membunyikannya. Aku jadi sangat nyaman, dan akupun melakukan hal yang sama kepadanya. Kami jadi saling mengusap tangan, dan pegang-pegangan. Ngga terasa, saya jadi ngaceng berat, dan juga jiwa ini merasa sangat hm..... damai.
"Aku, pengen jadi teman baik kamu. Boleh?" Hadi membuka pembicaraan.
"Santai aja bro, bagiku, siapapun itu aku mau bersahabat. Ngga memandang suku, ras, agama, apalagi bahasa. Selama masih bisa nyambung saat ngobrol, kenapa tidak? Aku senang, kamu mau jadi sahabatku."
"Hm... Aku ingin menjadi spesial bagi kamu. Baru hari ini aku bisa bantu kamu dalam pekerjaan."
"Terimakasih sekali, Hadi.... Kamu sangat baik. Saya senang sekali. Kamu juga sangat ramah dengan semua orang."
Kami terdiam sejenak. Makan telah datang, dan kami makan sambil ngobrol, berbicara tentang latar belakang kami masing-masing, masa kecil kami, keluarga kami, pekerjaan, study, dan sebagainya. Hadi berasal dari keluarga yang harmonis, tapi dia sudah kehilangan figur ayah saat dia berusia 10 tahun. Dia juga bercerita bagaimana dia bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarganya, dan membiayai 2 orang adiknya yang masih kecil. Kami juga bercerita bagaimana hobby kami, kesukaan kami, apa saja yang masing-masing kami lakukan di waktu luang.
Keadaan yang membentuk Hadi menjadi seorang pemuda yang tangguh, yang pendiam, tapi pintar. Dia memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Dia hanya membutuhkan keberuntungan untuk membawanya menjadi orang yang miliyuner. Dia sangat pintar mencari uang, berhemat, mengelola keuangan rumah tangga, dan juga bekerja keras memberikan perhatian kepada ibunya.
Saat ini ibunya sedang membawa adik-adiknya ke Johor Bahru, karena sedang liburan. Ibunya juga sedang mengunjungi pamannya yang tinggal di sana, dan sekalian membuat adik-adiknya semakin dekat dan mengenal sanak saudaranya. Hadilah yang tinggal di rumah sendirian saat itu.
Kami sambil makan dan ngobrol, juga menikmati pemandangan tepi sungai yang begitu indah, begitu temaram dan penuh dengan orang-orang yang berekreasi di sana. Suasana malam itu sangat indah sekali. Suara Hadi yang ngebas, tapi lembut, terus berbicara, membuat hatiku merasa tentram di sampingnya.
Selesai makan, saya menyuapkan sebiji anggur ke mulutnya. Dia dengan nakal menggigit jari saya, dan membuat saya tersentak. Lalu kami tertawa bersama. Giliran dia memberikan saya makan sepotong semangka, saya dengan nakalnya menjilat jarinya dan mengisapnya. Dia kembali tertawa gurih. Sungguh malam yang indah.
Malam itu, Hadi mengajak saya menemaninya di rumah. Kami naik motor bersama, dari Clarke Quay menuju ke Ang Mo Kio. Sepanjang perjalanan, Hadi memintaku untuk berpegangan erat pada perutnya. Saya memeluknya erat, dan merasakan kehangatan badannya di perutku. Tubuhnya ramping, atletis, dan rambutnya yang tertiup angin kadang masuk ke mulutku. Waks.... heheheh... koq jadi lain ya, ceritanya?
Sepanjang perjalanan, kami lebih banyak terdiam dan saya mendekap erat tubuhnya. Dia sangat kalem sekali, dan bawa motornya juga sangat kencang, tapi penuh dengan ketelitian. Sungguh senang sekali saya malam itu. Ngga terasa, saya jadi ngaceng berat saat burung saya terjepit di antara tubuh kami. Semoga Hadi tidak merasakan.
Begitu sampai dirumahnya, Hadi meminta saya mandi duluan, dan saya segera mandi, Hadi segera membawakan sebuah kaos miliknya, yang pas dengan badan saya, dan meminjamkan saya sebuah celana pendek. Saya pun mengenakan pakaian yang dia berikan. Sangat bagus sekali.
Setelah dia selesai mandi, kami duduk-duduk di balkon, melihat keramaian kota, sambil bercerita-cerita kembali. Akhirnya pada malam hari itu, kami tidur bersama di kamarnya.
----
Okee...not bad ...lanjutkan....
Hayo tebak, negeri Jiran yang mana satu ?
Sok taw..
Wkwkkw
next story..
lanjuuut :-) :-)