GYAAAAAAA!!!!!!
KANGEEENNNN!!!
WKWKWKWKWKWKKK. . .
lebay mode: ON
Guys, ni adalah cerpen karya sohib gw. Dia baru mulai nulis en orangnya ngeri kalo kudu posting sendiri. Tau kan kalo ada bbrp dari stemen2 qta diluar sana yg kemampuan lisannya "mengagumkan"? Jadi dia minta gw buat posting.
Gw cuma koreksi dikit en nambahin bbrp hal kecil. So all credits is His. By the way, his name is Ilung.
Komen kalian di tunggu, en semoga ga m,engecewakan.
ENJOY!!
Cerita ini aku dedikasikan untuk seseorang yang sekarang entah ada dimana? Aku bersyukur pernah bertemu denganmu walau hanya sesaat saja. Dan untuk keluargaku tercinta. Cintaku selalu beserta kalian.
I
"Selamat sore, selamat berbelanja," sapaku pada beberapa pelanggan yang datang. Biarpun sedang sibuk men-display barang dan bersih-bersih toko, kami diwajibkan menyapa dan beramah tamah dengan semua pembeli yang datang.
Perkenalkan, namaku Dian Prasetio. Lulus SMA setahun yang lalu dan sekarang menjadi karyawan tetap disebuah minimarket didaerahku. Jujur aku pengen banget kuliah, tapi ekonomi keluarga yang pas-pasan atau mungkin lebih tepat dikatakan kurang, menuntutku untuk langsung kerja setelah lulus sekolah. Soal fisik, aku biasa saja. Wajah standard lokal, gak cakep tapi juga gak jelek banget. Tinggi 165, kulit kuning dan rambut ikal. Hal yang paling menonjol dariku adalah sifatku. Lemah lembut, begitulah orang menyebutku atau istilah lainnya melambai.
Uuugh...!!!
Aku paling malas kalau harus membahas hal ini. Jadi, kita lewati saja lah. Bikin mood jadi jelek.
"Permisi," Sapaku pada seorang ibu-ibu yg menenteng banyak belanjaan. "Keranjang bu."
"Oh, terima kasih." ucap si ibu ramah.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, gak ada mas, terima kasih."
"Sama-sama ibu."
Setelah beramah tamah sebentar, aku lanjutkan aktifitas mengisi barang dari gudang ke rak display toko.
"Tio, bisa gantiin jaga bentar gak?" tanya Santi, teman satu toko yang bertugas sbg kasir.
"Iya." sahutku singkat tanpa menoleh karena aku sedang merunduk untuk mengambil susu instan kotak yang ada dipojok bawah rak barang digudang.
"Cepet dong! Gak tahan nih." paksanya.
"Iya-iya." sahutku sedikit ngedumel. Begitu bisa menggapainya aku beringsut mundur dan langsung berdiri. Tiba-tiba kepalaku pening, pandanganku berkunang dan nyawaku serasa melesat keluar dari ragaku. Kupenjamkan mata dan bersandar pada tumpukan kardus detergen dengan tangan yang gemetaran berpegangan pada sisi rak.
"Ya Tuhan!!! Jangan lagi!!!" batinku.
"Kenapa Tio?" hanya Santi penasaran.
"Gak papa." sahutku lirih sambil membuka mata perlahan. Kulangkahkan kaki pelan, namun baru beberapa langkah serasa ada bagian dalam tubuhku yg ditarik keatas dan perutku mual. Aku berusaha mengabaikannya, tapi pandanganku kembali mengabur dan kepalaku berdenyut hebat. Badanku limbung dan semua menjadi gelap.
Perlahan kubuka mata. Penglihatanku masih agak buram, tapi aku tau ada dimana aku sekarang.
"Sudah sadar,Tio." tanya sebuah suara yg kutahu adalah kepala tokoku Pak Ilham. Kucoba sedikit tersenyum untuk menjawabnya.
"Kamu pingsan. Karena tidak juga sadar, akhirnya kami membawamu pulang kekostan." jelas pak Ilham.
Kulirik jam dinding sudah menunjukkan pukul 10.23 malam.
"Sebaiknya besok kamu kedokter, takutnya ada apa-apa." saran beliau dengan sabar. Pak Ilham memang orang yang pengertian. Dia tahu bagaimana memperlakukan anak buahnya dengan baik.
"Nggak usah pak," tolakku pelan. "Cuma kecapekan dan kurang darah saja," aku memang sering telat makan dan susah tidur. Terlalu sibuk kerja dan sering begadang membuat tensi darahku sulit berada dalam posisi normal. "Dengan memperbaiki pola makan dan tidur, saya yakin nanti akan membaik."
Pak Ilham hanya bisa menggelengkan kepala melihat penolakanku. "Okey. Kalo itu yg terbaik menurutmu," kata pak Ilham pasrah. "Kalo mau makan, ada nasi bungkus dimeja. Tadi bapak beli dalam perjalanan kemari. Setelah makan dan minum obat kamu istirahat lagi, supaya besok bisa kembali kerja."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Sejak kejadian itu aku jadi sering sakit kepala dan mual-mual. Sebelumnya juga sering pusing, tapi tak sesering ini. Nafsu makanku juga menurun. Hanya beberapa suapan pertama saja yang bisa tertelan karena kembali terasa mual dan jika dipaksakan bisa keluar lagi semua makanan yang tertelan. Waktu periksa ke puskesmas, dokter juga bilang karena pola makan dan tidur yang tidak teratur, serta terlalu memaksakan diri terus bekerja yg menjadi penyebab sakitku.
Setiap mual dan pusing itu datang, aku selalu mencari cara untuk pergi ke kamar kecil dan sembunyi dari yang lain. Bukannya apa, aku tak mau mereka tau dan memintaku ijin libur, padahal keluargaku lagi butuh biaya untuk persiapan UAN adikku. Kalau aku absen itu berarti gajiku akan terpotong.
Aku juga tak ingin keluargaku tahu. Jika ibu tahu keadaanku, beliau pasti khawatir padaku. Tapi sepandai-pandainya aku menyembunyikan keadaanku, tak urung temen kerja dan satu kostku tahu karena aku sempat beberapa kali pingsan saat sakit kepala itu menyerang dengan hebatnya.
Hari ini kiriman barang datang pas pergantian shift, jam kerja jadi molor karena aku harus bantu-bantu angkat barang. Setelah pengecekan barang selesai dan semua data benar, kardus-kardus mulai diangkut ke gudang. Gula di kardus dan barang-barang berat lainnya dapat diangkut dengan trolly.Untuk barang ringan bisa diangkat langsung dan didisplay dirak toko.
Tiba-tiba sakit kepala itu kambuh lagi saat aku mengangkat kardus mie instan ke gudang. Kucoba untuk tak menghiraukannya, tapi karena terlalu sering membungkuk dan berdiri langsung, kepalaku makin pusing dan pandanganku langsung berkunang-kunang.
Supaya yang lain tidak menyadari keadaanku, aku siasati saja dengan mengambil barang yang bisa langsung kutata dirak toko, sekalian jongkok untuk mengurangi rasa pusing dan mualnya. Selesai menata barang, aku berniat manaruh sisa barang digudang. Tapi saat bangkit, darahku seakan mengalir ke arah yang berlawanan. Kepalaku kembali berdenyut dan mual melanda sehingga aku bersandar dan berpengangan pada sisi rak.
"Kenapa Tio?" tanya Rudy yang melihatku bersandar sambil memejamkan mata.
Kucoba membuka mata perlahan. Untuk sesaat aku hanya menatap Rudy, lalu tersenyum padanya. Kuangkat kardus dibawahku dan berjalan menuju gudang tanpa menjawab pertanyaannya. Langkahku agak sempoyongan dan pandanganku kian mengabur. Kuhentikan langkahku dan kupejamkan mata, namun pusingnya menjadi-jadi dan sekelilingku seakan berputar. Badanku jadi limbung dan jatuh menimpa rak deterjen dekat pintu gudang. Kardus berisi susu botol kemasan yang kupegangpun jatuh berhamburan.
"TIO!!!" teriak Rudy yang melihatku tergeletak dilantai. Beberapa bungkus detergen jatuh menimpaku karena aku berusaha berpegangan, namun malah salah meraih. Kudengar beberapa orang berlari kearahku. Sakit dikepalaku sungguh menyiksa, untuk mengerangpun aku sudah tak sanggup. Lambat laun penglihatanku semakin kabur dan kesadaranku menghilang.
Kudengar isak tangis seorang perempuan. Ingin sekali kubuka mataku, tapi rasanya sulit. Tubuhku seakan mati rasa dan tak bisa digerakkan. Semakin aku berusaha kesadaranku justru seakan tenggelam. Jadi kugunakan pendengaranku saja sembari mengumpulkan kekuatan.
"Tio, bangun nak!" pinta suara itu parau. Kembali dia terisak karena tak ada reaksi dariku.
Itu ibuku!!
Yah, aku yakin itu suara ibuku. Bagaimana beliau bisa bersamaku? Dan dimana aku?
"Selamat sore." terdengar suara seoarng pria. Suaranya terdengar ramah.
"Sore, Dokter." sahut ibuku.
Dokter? Apakah aku ada dirumah sakit? Bagaimana aku bisa ada disini? Sudah berapa lama aku disini? Bagaimana kami membayar biaya rumah sakit nanti? Begitu banyak pertanyaan yang muncul dibenakku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana keadaan anak saya dokter?" tanya ibuku gelisah saat dokter memeriksaku.
"Saya masih belum bisa mengatakannya dengan pasti. Kita harus menunggu di lab untuk mendapat jawaban yang spesifik. Untuk sementara kita hanya bisa berdoa dan menunggu perkembangan selanjutnya." jelas pak dokter.
"Kenapa dia belum sadar, Dok.?"
"Sepertinya pasien butuh istirahat lebih. Mungkin dia terlalu memaksakan diri, jadi tubuhnya tak bisa bekerja secara optimal. Yang sabar saja bu."
"Tapi ini sudah 2 hari." ibu terdengar resah.
"Sebenarnya anak saya kenapa, Dok?"
"Sebelumnya saya mau bertanya. Apakah ada diantara keluarga ibu yang terkena suatu penyakit tertentu?" tanya pak dokter tenang.
"Maksud Dokter?" tanya ibu kurang mengerti.
"Mungkin kita bisa bicara diruangan saya," tawar pak dokter lembut.
"Disini saja Dok. Saya tidak mau meninggalkan Tio disini sendiri." jawab ibu lirih.
"Baiklah," jawab pak dokter. "Apakah ada salah satu keluarga ibu atau bapak yang mengidap suatu penyakit tertentu yang berakibat fatal." tanya pak dokter lebih spesifik.
"Ayah Tio meninggal karena TBC. Adek saya meninggal muda. Terkena Kanker otak," jawab ibu lemah. Hening sejenak. "Apakah..?" kata-kata ibu menggantung diudara. Seketika itu juga aku tau penyakit apa yang kuderita.
TIDAKKKKKK.....!!!
Ingin rasanya aku berteriak saat menyadarinya. "Tidak Tuhan. Jangan sekarang. Tolong! Jangan sekarang Tuhan! Aku masih harus membantu keluargaku. Bagaimana masa depan adikku kalau aku meninggalkan mereka? Engkau sudah mengambil semua harta yang kami miliki juga ayahku. Apakah sekarang Kau akan mengambilku juga? lantas, siapa yang akan membantu hidup mereka?"
"Maaf! Sepertinya Tio terkena penyakit yang sama dengan pamannya. "Terdengar suara tangis ibuku yang semakin kencang disusul suara tangis seorang gadis kecil, Tita.
"Tidakkk!!! Jangan menangis!" ingin rasanya aku beranjak dari ranjang jahanam ini dan mendekap mereka dan kukatakan aku baik-baik saja.
"Tio....!!" ratap ibuku sambil memelukku. "Bangun nak!"
"Kak Tio. Bangun kak!" rengek Tita sambil mengguncang lenganku. Ingin sekali aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak mau meninggalkan mereka Tuhan. Aku masih punya tanggung jawab kepada mereka.
Aku terus berusaha untuk membuka mata. Tapi jangankan terbuka, semua organ tubuhku seakan tak mau diajak bekerja sama. Kepalaku kembali berdenyut hebat dan konsentrasiku memudar. Tak lama akupun terperangkap dalam kegelapan. Kegelapan yang benar-benar sunyi dan mengerikan.
Comments
Sepi..... Yang terdengar hanya suara dengkuran halus dan detik jarum jam.
"Apa sudah larut?"
Masih saja sulit untuk sekedar membuka kelopak mata atau menggerakkan jari tanganku. "Sabar Tio! Kalau kamu berusaha pasti ada hasilnya." Akhirnya aku hanya bisa sabar menunggu dan mendengarkan. Lambat laun aku merasa ngantuk dan tertidur.
"KAK TIOOOO...!!!!" Tita berteriak memanggilku.
Kulihat dia diatas rakit dan terseret arus sungai. Aku panik.
Bagaimana ini???
Sungainya terlalu besar dan arusnya sangat deras. Kalau aku nekat berenang menyusulnya aku pasti hanyut.
"KAK..!!" kembali Tita berteriak minta tolong padaku.
Tak ada jalan lain. Tanpa pikir panjang lagi aku menceburkan diri mengejar rakit itu. Dingin sekali. Air sungai ini terlalu dingin, membuat tubuhku seakan membeku. Tapi aku harus terus berenang dan menyelamatkan adikku.
"TUNGGU KAKAK DEK...!!" teriakku sambil terengah. Tak urung aku tersedak, kemasukan air.
Lelah!!!
Lelah sekali rasanya mengejar rakit yang semakin jauh.
"KAK TIOO.!!" Tita meronta memanggilku.
Tubuhku seakan kelu, mataku perih dan kepalaku berat. "TITA..!!!" teriakku memanggil namanya. Air mataku mengalir deras.
Tita hilang, sungainya semakin lebar dan deras. "TITA..!!!" aku seperti orang kalap karena berenang ditengah sungai yang sangat luas seperti lautan. Tita, dimana kamu? Air mataku terus mengalir. Aku terus dan terus berenang sambil meneriakkan namanya, berharap dia bersuara memberi tanda keberadaannya. Dadaku terasa sesak. Paru-paruku tersengal, terlalu payah berenang kesana-kemari. Aku terjebak ditengah arus sungai. Tubuhku seakan kaku, tapi air mata ini tak hentinya mengalir. "Tita, dimana kamu?" kembali aku membatin. Kaki dan tanganku lelah sekali. Aku semakin tenggelam terseret arus. "Maaf Tita! Kakak tak bisa menemukanmu," Mataku terasa perih terbuka didalam air. Seakan air mata ini menjadi satu dengan aliran sungai. Aku semakin tenggelam kedasar. Gelap, dan semakin gelap.
Terasa ada yang mengguncang-guncang tubuhku.
"Kak Tio!" panggil sebuah suara gadis kecil.
"Ibu," Teriak Tita. "Kak Tio menangis bu," serunya histeris. "Kak Tio. Bangun kak!" suaranya terdengar parau.
Ah, cuma mimpi. Sudut mata dan pipiku terasa basah. Aku menangis.
"Tio, bangun nak. Ini ibu nak." Seru ibuku. Kugerakkan sedikit jariku, ternyata bisa. Kucoba lagi untuk menggerakkan semua. Aaarrghh..... sulit. Hanya jari telunjuk saja yang bisa bergerak pelan.
"Ibu. Jari kak Tio gerak bu," Tunjuk Tita.
"Tio. Syukurlah nak," kata ibuku terdengar lega. "Tita. Ibu panggil perawat dulu. Kamu jaga kakak ya!" terdengar bunyi pintu dibuka. Sepertinya ibu keluar.
"Kak Tio. Cepet sembuh ya kak," Ujar Tita dan mengecup pipiku. Kakak sayang kamu Tita. Syukurlah tadi hanya mimpi. Aku benar-benar kalut mengingatnya.
"Asslamu'alaikum," Terdengar suara serempak.
"Walaikumsalam. Eh, teman-teman Tio ya? Silakan masuk," sahut ibu mempersilahkan.
"Bagaimana keadaan Tio buk? Ada perkembangan?" tanya seorang lelaki. Dari suaranya aku yakin itu Pak Ilham.
"Alhamdulillah. Tadi pagi dia menangis dan bisa menggerakkan jari telunjuknya," ujar ibu terdengar ceria.
"Syukurlah," pak Ilham ikut lega.
"Apakah tidak apa-apa anak saya libur terlalu lama pak? Kalo itu jadi masalah, saya ikhlas kalo Tio harus keluar."
"Tidak apa-apa bu. Nanti Tio bisa menunjukkan surat dokter untuk keterangan absennya. Dan masalah biaya Rumah Sakit. Tio bisa menggunakan kartu jamsosteknya. Nanti saya bantu mengurusnya," jelas Pak Ilham sabar. Aku bangga punya kepala toko sebaik beliau.
"Terima kasih pak." ucap ibuku tulus. Suaranya sedikit bergetar, beliau pasti menangis lagi.
"Sama-sama." balas pak Ilham.
"Asslamu'alaikum," seru suara lain diluar.
DEG.!!!
Jantungku serasa meloncat mendengar suara itu. Dia! Bagaimana dia bisa ada disini?
"Walaikumsalam," sahut yang ada dalam ruangan serempak.
"Masuk Erick!" pak Ilham mempersilahkan.
Langkah kakinya membuat jantungku berpacu semakin cepat. Apa yang dia lakukan disini? Bukankah dia tak tinggal disini lagi? Aku benci keadaan ini.
"Terima kasih, Nak," ucap ibu. Terdengar suara kresek. Mungkin Erick yang bawa bingkisan. "Nak Erick ini teman kerja Tio juga ya?" tanya ibu penasaran.
"Iya, bu," jawab Erick terdengar malu-malu.
"Erick ini dulunya pernah menjadi assisten kepala toko di tempat kami," pak Ilham menjelaskan.
"Oh, begitu."
"Bagaimana keadaan Tio bu?" tanya Erick.
"Alhamdulillah sudah ada perkembangan," jawab ibu.
"Sakit apa Tio bu?" tanya Erick lagi. Hening sejenak.
"Tio...." ibu sedikit ragu menjawabnya. "Kanker otak," jawab ibu lemah.
Hening.
Terlalu lama. Apa yang terjadi? Tuhan..., biarkan aku membuka mata agar aku tau ada apa diruangan ini. Samar terdengar suara isakan. Ahhh.., mereka menangis. Mereka pasti sedih mendengar berita ini. Masih saja hening disertai isakan-isakan kecil beberapa orang.
"Kami turut prihatin bu." ucap Pak Ilham memecah keheningan itu. "Yang tabah ya bu!" isakan itu terdengar lagi. Apa ibu yang menangis?
"Kalau begitu kami permisi dulu." pamit pak Ilham. "Ayo Rud, San!" ternyata pak Ilham mengajak Rudy dan Santi.
"Cepat sembuh Tio," ucap Pak Ilham, Rudy dan Santi bergantian ditelingaku. Ingin sekali aku menjerit. Aku benci sekali keadaan ini..
"Kamu mau bareng kita atau tetap disini Rick?" Tanya Pak ilham.
"Saya disini dulu pak," jawabnya. "Terima kasih...." ucapannya terasa menggantung, entah untuk apa dia berterima kasih pada pak Ilham?
"Santai saja. Kalau begitu kami permisi dulu. Asslm'alkum."
"Walaikumsalam." jawab ibu dan Erick bersamaan.
"Ayo nak Erick, dimakan kue sama buahnya," ibu mempersilahkan.
"Iya bu, terima kasih."
"Gak usah sungkan Nak Erick. Buah dan kue segini banyak, siapa yg akan menghabiskan?"
"Iya bu, nanti saya ambil sendiri."
"Nak Erick..." panggil ibu agak sungkan. "Bisa ibu titip Tio sebentar? Ibu mau jemput Tita disekolah. Ibu takut terlambat dan Tita lama menunggu ibu."
"Oh iya, silahkan bu. Saya akan jaga Tio disini." sahut Erick ramah.
"Baiklah, ibu titip Tio sebentar ya. Tolong dimakan kuenya." sekali lagi ibu menawarkan.
"Iya bu."
Setelah ibu pergi suasana hening kembali. Kalau aku sadar pasti aku akan sangat canggung dan malu, begini saja aku sudah merasa gugup. Entah apa yang dilakukan Erick? Aku tak mendengar gerakan atau suara apapun. Sangat menyebalkan. Tak lama terdengar suara kaki mendekat. Suara kursi bergeser dan hening kembali. Aaarrghh.... aku bisa gila kalo begini. Saat aku mulai tak sabar sambil berusaha menggerak-gerakkan jari, tiba-tiba tangan kiriku digenggam. Lembut, dan itu cukup membuat jantungku berdegup kencang.
"Maaf!" ucap Erick lirih. Ranjangku berderit dan sebuah kecupan hangat mendarat dikeningku.
Hangat kecupan itu menjalar keseluruh tubuhku, memicu reaksi tubuh yang semakin bergejolak. Dan semua kenangan lama seakan muncul dan berputar kembali.
"Gen****..!!" koar kernek bus mini yang kunaiki.
Bergegas aku berdiri didepan pintu supaya bisa langsung turun. Sebenarnya paling males kalo harus berdiri didepan pintu bus sementara tempat tujuannya masih agak jauh, tapi sudah jadi adat penumpang di bus mini berdiri didepan pintu saat sang kernek menyebutkan tempat yang dituju atau biasa jadi tempat pemberhentian penumpang. Begitu bus berhenti aku langsung turun dan disambut oleh terik panasnya kota tempat kerjaku. Ini hari pertamaku kerja disini setelah seminggu kami dapat pelatihan dikantor pusat Surabaya. Dengan gontai aku melangkah menyebrangi jalan raya menuju MiniMarket yang ada didepanku. Begitu berada didepan toko, aku mengambil napas panjang kemudian menghembuskannya. Sambil membaca basmalah, kubuka pintu toko pelan.
"Selamat siang," sapaku canggung. "Mbak, kepala tokonya ada?" tanyaku pada mbak kasir didekat pintu masuk.
"Oh, ada. Digudang mas," sahutnya ramah.
"Terima kasih," balasku sedikit malu dan menuju gudang yang ditunjuk mbak tadi.
"Selamat siang." ucapku setelah mengetuk pintu dan membukanya. Kulihat ada seorang pria yang sedang mengecheck barang dalam kardus yang ditumpuk asal dan berserakan dilantai. Beliau lama memandangku hingga membuatku sedikit risih.
"Ya." jawabnya singkat. Mungkin dia bingung melihatku yang belum dikenalnya. Jadi kuputuskan untuk menghampirinya. Setelah masuk, aku agak kaget waktu sadar ada orang lain dibelakang pintu yang juga tengah menata barang. Dia sempat menatapku sekilas lalu melanjutkan kegiatannya lagi. Tatapan yang dingin dan mengerikan. Aku langkahkan kakiku menuju bapak yang kuyakin dialah orang yang kucari.
"Maaf pak, saya karyawan baru yang ditempatkan disini. Ini surat pengantarnya," jelasku sambil menyerahkan amplop warna coklat kepada bapak tersebut. Setelah dibuka dan dibaca isinya, bapak itu meletakkan amplop dariku disampingnya.
"Baik, taruh barangmu disitu dan mulailah bekerja," ujar beliau sambil menunjukkan sebuah gantungan di dinding dekat pintu. "Ilham," ucapnya memperkenalkan diri.
"Tio," sahutku sambil membalas uluran tangannya. Lalu menuju gantungan yang ditunjukkan untuk menaruh jaket dan tas punggungku disana.
"Permisi mas," ucapku saat melewati cowok yang sedang mengecek barang dibelakang pintu. Karena belum kenal, aku berinisiatif mengulurkan tangan padanya.
"Tio," ucapku agak ragu melihat tatapannya yang kurang bersahabat. Agak lama baru dia membalas uluran tanganku.
"Erick," sahutnya singkat dan langsung melepaskan jabatannya yang bahkan belum sempurna.
Uughh....., jutek banget nih cowok. Tapi bodo lah. Akupun segera menggantungkan tas dan jaketku lalu mengambil sapu untuk memulai aktivitas.
Baru mulai menyapu, datang sepasang cowok dan cewek dengan seragam yang sama denganku. Begitu melihatku, mereka nampak heran, tapi disusul dengan senyuman ramah.
"Anak baru ya?" tanya si cowok. "Doni," ucapnya memperkenalkan diri.
"Tio," sahutku canggung. Kemudian si cewek ikut nimbrung.
"Maya."
"Tio."
Setelah basa basi ringan, aku melanjutkan aktivitas bersih-bersih. Aku kebagian nyapu dan ngelap kaca depan. Aku juga kenalan dengan kasir yang jaga pagi, namanya Desti dan seorang pramu lagi yang bernama Agus.
Hari pertama kerja begitu canggung dan membingungkan. Itu karena aku masih belum tau betul apa saja yang harus kulakukan. Untung ada asisten kepala toko yang mau menuntunku dengan sabar, namanya mbak Dewi. Orangnya cantik dan supel.
Jam 10 malam kami tutup toko, menata dan mengisi barang kosong. Sebelumnya, kami nyapu, ngepel dan nunggu kasir totalan dan tutup shift. Karena besok aku kena shift sore, kuputuskan untuk pulang kerumah saja. Lagian aku belum dapat kost disini.
"Kamu ikut kost saja Tio," seru Doni.
"Kayaknya aku pulang aja Don, besok jaga sore juga. Kostnya jauh gak?"
"Lumayan," jawabnya sambil cengengesan.
"Siapa saja yang kost disitu?" tanyaku penasaran.
"Pak Ilham, Agus, Maya dan kak Erick."
Deng-dong. Erick.???
Uugh, males banget kalo mesti kumpul ma anak itu. Serem.
"Oh," sahutku lemah. "Liat ntar aja deh."
Setelah matikan lampu, Ac dan mengunci pintu kaca dan pintu harmoni, aku berpamitan pada semua. Ternyata mbak Dewi dijemput suaminya. Begitu dapat bis, aku langsung naik dan mencari tempat duduk. Karena bus lumayan sepi, aku bisa pilih tempat sesuka hati.
Inilah yang kutakutkan. Perubahan jadwal dadakan. Aku paling gak suka hal ini, karena pasti anak baru yang kena getahnya. Padahal aku gak ada persiapan, tapi besok aku diminta kerja pagi. Akhirnya aku ikut nginap dikostan Doni.
Dan Aaaaarrrgghh......, I hate this.
Sungguh, aku benci banget keputusan ini. Karena semua kamar sudah penuh dan yang tidur sendiri cuma si Erick, mau tak mau aku harus tidur seranjang dengannya. Mana gak bawa baju ganti lagi. Dengan muka jutek dan sebalnya, dia meminjamkan baju dan celana pendeknya.
Hiks-hiks...., malu banget. Karena Erick ini postur tubuhnya lumayan tinggi dan berisi dibanding tubuhku yang lumayan kurus (tinggiku cuma sebahu dia), celana pendek yang dia pinjami jadi kedodoran. Si Erick tidur duluan, karena tadi dia shift pagi. Setelah nonton TV dan ngobrol sebentar, penghuni kost mulai memasuki kamar mereka satu-persatu.
Selesai cuci muka dan berkumur (aku gak bawa sikat gigi, alamat gak gosok gigi deh sampe besok. Hiks-hiks...), aku naik ketempat tidur. Si Erick, nyenyak banget tidurnya. Lagi khusuk berdoa, Erick membalikkan badannya kearahku sehingga membuat doaku sedikit kacau.
Kuamat-amati. Erick ini anaknya tampan juga. Kalau tidur mukanya terlihat lucu banget. Kulit kecoklatan, rambut lurus belah pinggir (karyawan dilarang punya rambut panjang), alis yang melengkung tajam dengan sorot mata yang menusuk dan bibir tipis dan seksi. Lama memandangnya, membuatku berpikir yang bukan-bukan. Tapi kalo sudah inget perangainya padaku .Uugh, ilfil deh rasanya. Entah kenapa dia begitu antipati dan seolah benci padaku? Padahal kita tak pernah bertemu dan tak saling kenal. Apa karena sifatku yang tak seperti cowok kebanyakan? Mungkin dia benci dan jijik dengan cowok kemanyu sepertiku? memikirkan semua itu hanya membuat dadaku sesak dan semakin susah tidur. Aku kaget waktu dia bergerak. Jantungku rasanya mau melompat, takut dia memergokiku tengah menatapnya.
"Eerrgh... digudang," racaunya. Ternyata dia mengigau.
Hihihi...., lucu banget melihat ekpresinya. Jadi makin imut, huhuhu. Sudahlah, aku tidur saja. Sudah jam 12 dan aku mesti bangun subuh, supaya gak antri mandinya.
Seminggu bekerja disana, aku putuskan untuk ikut kost bareng Doni. Dan pastinya aku akan sekamar dengan Erick. Dia kelihatan kesal dan bergumam gak jelas ketika pak Ilham memintanya bersedia sekamar denganku. Bukan berarti aku senang sekamar dengannya. Aku bahkan ngeri membayangkan kehidupanku kedepan. Mungkin dia akan semakin kesal dan muak padaku. Aku cuma berharap semoga seiring jalannya waktu, kami bisa saling mengenal satu sama lain dan dia bisa mengerti aku dan tak memandang sebelah mata padaku.
Sudah 3 bulan aku kerja disini. Ada banyak yang berubah. Agus jadi MD dan dipindah ketoko baru, Maya dan mbak Dewi juga dipindah ketoko lain. Sebagai gantinya ada anak baru Santi dan Rudy yang jadi MD menggantikan Erick. Sedang Erick, dia jadi asisten kepala toko disini.
Sore ini, kami yang shift pagi kebagian tugas nyebar pumflet (bener gak tulisannya? Selebaran produk yang lagi promo), sekalian brosur tentang acara lomba mewarnai yang akan diadakan minggu depan. Kalo cuma nyebar pumflet sih biasa saja, biar kata masih banyak yang takut-takut waktu kami beri selebaran (mereka pikir kami memungut biaya dengan memberi selebaran itu. Cape deh sama orang pinggiran). Yang tak kalah heboh adalah anak-anak kecil yang mengikuti kami kemanapun kami jalan sambil membagikan brosur. Setiap brosur yang tidak diterima oleh pemilik rumah pasti mereka pungut. Gak tau buat apa? Hal yang memberatkanku adalah aku harus mau jadi badut keliling sembari promo tentang acara minggu depan.
"Tio, nanti kamu jadi badut ya!" perintah pak Ilham sabar, tapi dengan senyum yang ditahan.
"Lho, kok...?" protesku gak terima. "Yang lain dong pak," aku berusaha nego.
"Lantas siapa? Masa Erick yang harus jadi badut," jawab pak Ilham yang semakin sulit menahan senyum. Kulihat Erick sedikit cemberut, tapi sesekali senyum tertahan tercetak dibibirnya. Menyebalkan.
"Udah, karena kamu kebagian shift pagi. Jadi kamu yang pake kostumnya," timpal Erick yang dia tahu aku takkan bisa mendebatnya.
Jadilah sore ini kami keliling daerah sekitar toko untuk memberi himbauan pada warga sekitar. Gak capek sich karena kami berputar naik mobil. Tapi maluuu....!!! Tiap mobil berhenti untuk membagi brosur, tak urung anak-anak kecil banyak yang ngerubutin aku. Ada yang tarik-tarik, jawil-jawil, ada yang teriak histeris supaya aku turun dan main sama mereka, dan yang parah ada anak gadis yang menangis heboh karena takut padaku (lebih tepatnya pada kostum badutku).
"Hahaha......" tawa pak Ilham setelah kami tiba ditoko. Teman-teman yang jaga sore juga ikutan tertawa melihatku.
"Gak lucu tau pak." sungutku kesal.
"Hahaha..., aku cuma lucu saja sama gadis yang nangis tadi. Ternyata kamu mengerikan juga ya!" ledek beliau.
"Kok aku sih? Badutnya kali," elakku. Erick cuma mesem-mesem melihat tingkahku.
Aku masuk kedalam masih dengan kostum Dora yang kupakai. Doni yang mentertawaiku sambil menjawilku genit aku peluk dan kami berguling-guling diteras depan toko. Teriakan protesnya hanya kusambut dengan tawa lepas. Pak Ilham, Erick dan para pelanggan yang melihat kamipun ikutan tertawa.
"Ayo tidur!" ajak Erick yang terlihat lelah saat kami nonton Film box office di bioskop Tran***. Aku yang baru sadar kalo yang diajaknya adalah aku kontan melongo. Tumben nih anak ngajak masuk bareng.
"Cepet tidur! Besok jaga pagi kan?" ujarnya setelah kami berdua berbaring dikasur yang kontan membuatku salting.
"Iya, bentar. Bales sms teman dulu," Sahutku sedikit canggung.
"Pacar?" tanyanya singkat.
JELEGERRR...!!!
Gak salah nih dia ngajak aku ngobrol. Masalah pacar lagi?
"Eng-enggak kok." jawabku salah tingkah. "Siapa juga yang punya pacar?"
"Oh," sahutnya singkat. "Aku duluan. "Pamitnya sambil memunggungiku. Kalau dia terus bersikap manis seperti ini, aku pasti cepat mati karena jantungku melompat-lompat terus setiap kali mendengar suaranya yang ngebas dan seksi itu.
Malam ini aku bermimpi aneh. Agak erotis. Seperti ada yang menindihku dan menyentuh daguku. Kurasakan hembusan nafas menerpa wajahku dan sebuah kecupan lembut mendarat dibibirku. Lama-lama kecupan itu berubah jadi ciuman yang memburu. Pipi, kening, hidung dan leherku tak urung jadi incaran juga. Kupeluk lehernya dan kudekap erat, berharap dia mau memberi jeda untukku mengatur nafas dan birahiku yang semakin memuncak. Kembali dia mencium bibirku dan tubuhnya semakin ketat menempelku. Aku merasakan ada yang menekan keluar dari bawah perutku.
SIAAAL!!! Aku mimpi basah.
Waktu terbangun, kulihat jam di hape menunjukkan pukul 3 pagi. Mau langsung mandi males dan dingin pasti. Kulihat Erick tertidur lelap. Mimpi barusan kembali berputar diotakku. Rasanya seperti nyata, dekapan dan ciuman itu terasa hangat. Kusentuh bibirku yang terasa basah. "Gak mungkin," batinku. Konyol sekali kalo aku mengira Erick yang melakukan itu padaku. Jangankan menyentuhku, melihat dan bertegur sapa saja dia sangat enggan padaku. Kucoba untuk kembali tidur, tapi sulit sekali. Mimpi itu terus menerus mengusik pikiranku. Jujur aku sangat menikmatinya, tapi ngeri juga kalau terus membayangkannya. Sanyup-sanyup kudengar suara Qiro'ah, kuputuskan untuk bangun dan mandi besar saja.
Seharian ini aku hampir sulit untuk konsentrasi. Setiap kali melihat Erick, aku jadi ingat mimpi semalam. Aku malu sekali dengan pikiranku sendiri. Erick seakan menangkap gelagat anehku, tapi dia malah semakin bersikap dingin dan mengacuhkanku.
"Tio," panggil Erick yang sedang ngutak -atik komputer didepannya. "Besok sebelum buka toko, kamu copot price tag yang ganti harga."
"Iya mas," jawabku singkat karena sedang sibuk mengepel lantai.
Selesai nyapu, ngepel, display dan merapikan snack dan produk yang kurang rapi, kami bersiap tutup toko dan pulang. Capek banget. Sore ini tok lumayan rame. Maklum tanggal muda. Mana tadi ada pelanggan yang bawel dan minta ditemani keliling sambil tanya ini itu lagi, bikin kerjaanku tertunda dan makin banyak.
Besok paginya, saat akan buka toko dan bersih-bersih (Kalau buka shift pagi, pintu harmoni dibuka sedikit dan kami gunakan 10 menit sebelum toko buka jam 7 dengan bersih-bersih areal dalam toko dulu), sudah ada pelanggan yang nyelonong masuk, disusul dengan pembeli-pembeli yang lain. Padahal belum jam tujuh dan komputer juga masih loading (kami tidak boleh menolak pembeli yang masuk walau belum jam buka). Aku jadi sedikit susah waktu nyapu dan ngepel karena tak mau mengganggu kenyamanan pembeli. Dan terjadilah petaka itu.
"lho, mbak. Harganya kok beda dengan yang tertera dirak," komplain seorang ibu paro baya.
"Tio, tolong check berapa harga gulaku putih," pinta Desti padaku yang sedang ngepel area toko.
"11.560," jawabku singkat. Santi menatapku sebentar lalu berpaling pada Erick. Aku kontan shock melihat tatapan tajam Erick padaku yang langsung menyadarkanku akan perintahnya semalam.
Tak cuma satu item yang dibeli berbeda harga antara komputer dan dirak. Sial banget nasibku karena sebagian besar barang yang mereka beli berbeda harganya. Aku langsung meminta list item yang berubah harga dan mencabuti dari rak. Kulihat Erick juga ikut mencabutinya dengan expresi seram dan menakutkan. Karena pelanggan tidak mau tau dan ini juga kesalahan kami, akhirnya kasir memberi harga awal seperti yang tercantum dirak. Aku semakin tegang dan khawatir kena semprot sama Erick. Dan ketakutankupun terjadi. Begitu pekerjaan rampung dan toko agak sepi, aku dipanggil Erick ke gudang.
"Kamu inget pesanku semalam," tanya Erick dingin.
"Iya," jawabku lemah. Jantungku semakin berdebar tak karuan.
"Iya apa?" kali ini nadanya agak keras.
"Mencabuti price tag yang ganti harga," jawabku sedikit bergetar.
"Lantas?"
"Maaf," rasanya ingin sekali lari dari suasana ini. "Akan aku ganti kerugiannya."
"Kamu kira aku marah karena masalah uang?" sentaknya. Aku semakin tertunduk. Tangan dan kakiku jadi gemetaran, reaksi alamiku setiap kali merasa tertekan dan takut.
"Bukan itu maksudku," bantahku sedikit terbata. Mataku jadi sembab dan berair. Aku benci sekali melihat Erick marah seperti ini.
"Lantas?"
Aku tak tau harus menjawab apa.
"Aku minta kamu lepas price tagnya, kenapa gak langsung dilakukan?"
"Iya maaf! Aku lupa" jawabku sedikit emosi.
"Kamu mau melawanku?" sentak Erick ikut terpancing.
Aku tak dapat menahan air mataku. Dengan mata berkaca-kaca kutatap matanya.
"Kau minta aku bertanggung jawab kan atas kesalahanku, jadi aku bayar kerugiannya dan aku minta maaf atas kelalaianku," tampaknya dia kaget dengan pemandangan yang dilihatnya. Kenapa juga aku mesti nangis?
"Aku hanya menasehatimu," ujarnya sedikit melunak.
"Dengan membentakku seperti itu?"
"Aku hanya ingin kau bekerja dengan baik."
"Jadi menurutmu aku tidak bekerja dengan baik selama ini. Begitu?" giliran aku yang menuntutnya sekarang.
"Kenapa kau tak bisa mengerti maksudku?" tanyanya dengan tatapan tajam dan menusuk.
"Aku mengerti dan aku sudah minta maaf kan?" beradu pandang dengannya hanya membuat pikiranku tambah kacau. Akhirnya aku kembali tertunduk.
"Sudahlah. Percuma menasehatimu," aku tak menggubris ucapannya dan beranjak meninggalkannya. "Bersihkan dulu air matamu. Cuci muka sana!" perintahnya dengan nada dingin.
Aku masuk kekamar mandi untuk menyeka air mataku dan membasuh muka supaya tak kelihatan lusuh. Kenapa aku bisa menangis dihadapannya? Benar-benar tolol dan memalukan. Desti yang melihatku keluar dari gudang memanggilku dan bertanya bagaimana, tapi aku hanya menanggapinya dengan senyum yang dipaksakan.
Sepulang kerja aku langsung ganti baju dan mendekam di kamar. Erick yang tau aku belum makan seharian hanya diam melihatku mengurung diri. Waktu tidurpun dia tak menegurku dan memunggungiku. Lama-lama aku bisa gila kalo seperti ini.
Akhirnya acara lomba mewarnaipun dimulai. Tokoku bener-bener rame dan heboh. Bagaimana tidak, riuh rendah suara anak kecil dan orang tua yang berkumpul sambil menunggu anak mereka ikut lomba sangat ramai.
"Tio, kamu bimbing adek-adek peserta lomba ya!" perintah pak Ilham yang aku balas dengan anggukan.
"Kenapa dek? Kesulitan ya...?" tanyaku lembut pada anak perempuan yang terlihat bingung menggunakan crayon.
"Diarsir dulu bagian pinggir, lalu dipenuhi." tuntunku singkat sambil memberi contoh pake jari telunjukku. Kami dilarang membantu peserta lomba secara langsung (seperti bantu mewarnai), jadi aku beri aba-aba saja. Semoga saja dia mengerti. Dan ternyata dia paham, syukurlah.
"Kenapa adek manis?" tanyaku pada gadis yang sedang terisak.
"Aku mau mama," jawabnya dan mulai menangis hebat.
"Eh, kok nangis sich...??? Aduh adek..., malu ah udah gede nangis. Diliatin temen yang laen lho..." bener nggak ya caraku menenangkannya? Aku mesti sabar nich ngurusin anak kecil. Untung udah pengalaman ngurusin Tita dari bayi.
"Mama...." rengeknya masih sesenggukan. Sepertinya si ibu udah ngebet pengen nyambar anaknya, tapi kucegah dengan tersenyum simpul pada beliau.
"Adek....tenang yah..!!! Sini kakak temenin adek mewarnainya," gadis itu masih saja sesenggukan. "Adek siapa namanya...??!"
"Delta.." jawabya lirih diiringi isakan.
"Delta kenapa..??? Ada yang sulit ya..???" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
"Delta gak tau warnanya..."
"Kakak bantu yach...!!!" Delta mengangguk. "Delta tau ini gambar apa...???"
"Gunung kak.." jawabnya sedikit ragu. Aku tersenyum.
"Sekarang delta liat pensil warnanya.!! Diantara warna ini, menurut delta warna gunung yang mana..???"
"Yang ini kak.." jawabnya masih ragu-ragu sambil menunjuk pensil warna biru.
"Itu delta tau.." seruku sambil tertawa kecil, Delta jadi sumringah. "Ayo diarsir dulu pinggirnya, baru nanti dipenuhin warnanya.!!"
"Iya kak..."
"Delta kakak tinggal dulu ya. Kakak juga harus liat temen-temen Delta yang lain. Nanti kalo gak bisa, panggil kakak saja ya...." ujarku lembut dan dijawab dengan anggukan. Aku elus lembut rambutnya, lantas kutinggal mengawasi anak-anak yang lain. Ibu yang tadi hendak menghampiri Delta melambaikan tangan padaku memintaku mendekati beliau.
"Iya buk, ada yang bisa dibantu..??" tanyaku ramah.
"Makasih ya mas, udah bantu nenangin Delta," ucapnya sungguh-sungguh.
"Sama-sama ibu," balasku sambil tersenyum simpul.
"Tio, kamu dipanggil kak Erick." seru Doan, pramu dari toko lain yang membantu acara ini.
"Ada apa Mas?" tanyaku saat menghampiri Erick. Kulihat Erick sedikit canggung dan salah tingkah. Perasaanku gak enak deh.
"Kamu jadi badut ya..?!!" pintanya sedikit salah tingkah.
"Apa...??? Kok...aku lagi sich...??!" tanyaku sedikit gondok.
"Gak ada yang mau Tio," ujarnya sedikit memelas. "Ayolah....!!! Sebentar saja kok. Nanti gantian sama yang lain," aku bener-bener gondok dengernya.
"Janji gantian ya," ujarku sewot.
"Iya. Kamu jadi badut pas seleksi gambar dan nyanyi bersama saja. Nanti waktu pegumuman dan pembagian hadiah, ganti yang lain."
"Iya," sahutku sedikit ketus. Hedeuuhhh...., bener-bener tersiksa aku hari ini.
Acara berlangsung lancar. Menjelang sore, toko sudah agak sepi dan aktivitas sedikit santai. Untungnya besok aku libur, tapi tetep gak bisa pulang karena cucianku se-abreg minggu ini, hiks.
"Kirain dah tidur," seru Erick waktu mendapati aku sedang sms-an dikasur.
"Ntar. Mas tidur aja dulu." sahutku mempersilahkan. Kumat deh penyakitnya. Kenapa lagi nich anak nyapa aku? Bodo' lah, capek lama-lama ngeladenin dia. Suka angin-anginan.
"Kulihat kamu telaten banget ngurusin anak-anak tadi," eh,masih ngajak ngomong lagi, batinku.
"Udah biasa momong adek, Mas."
"Oh ya, emang kamu berapa bersodara?"
"Cuma berdua sama adekku perempuan. Sekarang udah kelas 6 SD."
"Enak ya punya Adek?" tanyanya melantur. Aku jadi tertarik untuk menatapnya. ternyata dia juga sedang menatapku. Aaahhhhh......, aku gerah..!!! Kualihkan pandanganku kearah lain. Wajahku pasti memerah.
"Emang Mas gak ada sodara?" tanyaku penasaran. Mumpung plong hatinya, kugunakan saja kesempatan ini untuk tanya-tanya tentang kehidupannya. Dia kan jarang membicarakan masalah pribadi dengan yang lain.
Erick tersenyum manis. Uuhhh...., melayang deh lihat senyumnya. "Gak ada."
"Kenapa gak minta Mas?" tanyaku bercanda.
"Ada masalah dengan rahim ibuku," jawabnya menggantung. Aku jadi merasa gak enak dan bingung mau tanya apa lagi.
"Maaf!" ucapku lirih.
"Gak papa," dia masih tersenyum. Tuhan....., tolong hamba..!!!
"Sebelumnya maaf ya Mas! Kalo gak mau jawab juga gak papa," ujarku agak takut. "Kenapa mas kerja disini?" jujur aku penasaran banget. Temen-temen bilang, orang tua Erick ini lumayan kaya. Gak tau deh kayanya bagaimana. Erick menatapku heran, tatapan tajamnya bikin mengkeret. Sumpah, nyesel aku menanyakannya.
"Aku pengen mandiri," jawabnya pelan. "Cari pengalaman sendiri," huft, untung dia gak marah. Kali ini aku bener-bener mengandalkan keberuntunganku.
"Apa orang tua mas Erick setuju dengan keinginan Mas ini?" aduuhhh..., jantungku melompat-lompat saking tegangnya.
"Mereka gak ada masalah. Toh suatu saat nanti aku pasti menggantikan pekerjaan papa." jawabnya santai. Aku tertunduk, artinya dia tak selamanya kerja disini. "Kalau kamu. Bagaimana orang tuamu?" tanya Erick balik.
"Ayahku meninggal sebulan sebelum aku Ujian Nasional. TBC," jawabku lirih.
"Maaf! Aku gak bermaksud"
"Gak papa Mas," sanggahku tersenyum getir. "Karena ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, aku memutuskan untuk kerja saja setelah lulus sekolah." Erick terdiam dan tak bertanya lagi. Suasana jadi hening dan canggung.
"Ayo tidur Mas!" ajakku sambil tersenyum paksa. "Capek banget nich badan," Erick tak menyahut. Dia masih diam menatap langit-langit kamar. Aku bener-bener capek, tak butuh waktu lama bagiku tertidur lelap.
Sudah hampir setengah tahun aku kerja disini. Tak banyak yang berubah. Hanya saja Sikap Erick sedikit melunak padaku. Jutek dan angker masih ada, cuma tak seangker dulu.
Pagi-pagi diluar sudah hujan deras. Paling sebel kalau begini, karena lantai pasti mudah kotor dan becek. Setelah aku gelar lembaran kardus didepan pintu masuk. Aku sapu-sapu dan pel seadanya saja, yang penting tak terlalu kotor.
"Praaakkk.....!!!" aku terlonjak mendengar suara botol jatuh dibelakangku.
"Mas...., kalo ngepel itu liat-liat donk...!!!" bentak seorang perempuan yang kutaksir umurnya sekita 25-an.
"Ma-maaf...!!!" aku bener-bener ngeri. Mana sekarang yang jaga Erick lagi.
"Maaf, ibu...!!!"
"IBUUU....!!!" serunya meradang. Aduhhh, salah lagi deh. Aku jadi garuk-garuk kepala yang gak gatal. "Kamu kira aku ibumu..?!!" perempuan itu makin meradang.
"Iya, ma-maaf mbak...!!! Saya ambilkan yang baru ya UC nya...?!!" aku langsung ngacir tanpa menunggu jawabannya. Kuberikan sebotol UC padanya. Lantas aku pungut pecahan beling dan kulap airnya dengan kain pel. Kulihat si mbak itu gak beranjak dari tempatnya berdiri. "Maaf mbak, saya mau bersihkan pecahannya." pintaku ramah. Kelihatannya si mbak masih marah. Mukanya masih memerah.
"Makanya kalo kerja itu yang bener" cecarnya padaku. Haduh.... ribet banget sih ni cewek.
"Bukannya saya sudah minta maaaf dan menggantinya?" jawabku sedikit emosi.
"Kamu ngelawan ya...?!!" kejarnya. "Udah banci, belagu lagi."
"What....?!" umpatku dalam hati.
"Maaf?"
"Kamu tuli ya..?!" celanya tanpa kira-kira. Tuhan..., kalo bukan dalam posisi kerja dan tak dilihatin pembeli lain, pasti sudah aku remas-remas mulut nih cewek.
Kulihat Erick mendekati kami. Si cewek nampak merah mukanya, entah karena marah atau malu.
"Udah Tio, minta maaf yang baik sama mbaknya!" seru Erick tenang. Aku menatapnya setengah tak percaya. Tapi setidaknya dia tak terlihat marah padaku.
"Saya minta maaf atas keteledoran saya. Semoga anda tidak kecewa atas pelayanan kami, dan kami sangat senang jika anda masih mau datang ketempat kami lagi. Sekali lagi maafkan saya..!!!" ucapku sehalus mungkin. Rasanya aku ingin menjerit saking terhinanya.
"Dasar banci belagu," umpatnya pelan, tapi masih bisa kudengar. Aku benar-benar tak tahan kali ini. Harga diriku benar-benar terinjak olehnya.
Kupuputi sisa pecahan botol dan mengepel lantai yg kena tumpahan dua kali. Tak terasa mataku sembab dan dadaku sesak. Aku kabur kekamar mandi dan menangis sepuasnya. Aku rela orang mengataiku bodoh, tolol, miskin atau lainnya. Tapi aku paling benci dan sensitif kalo ada yang mengungkit tentang bawaan lahirku. Aku tak pernah minta dilahirkan seperti ini. Aku ikhlas menerima kenyataan tentang sifat feminimku. Apa mereka merasa rugi dengan sifatku? Tidak bukan.
Kudengar suara pintu diketuk.
"Ya," sahutku sedikit serak.
"Ayo keluar!" panggil Erick pelan. Kuusap air mataku. Aku membasuh muka supaya tak kelihatan sembab. Erick masih didepan pintu kamar mandi saat aku keluar. Kutundukkan kepalaku dan melewatinya, tapi langkahku terhenti karena Erick memegang pergelangan tanganku.
"Ada apa?" kutengadahkan kepalaku. Wajah Erick terlihat muram, tapi dia tak mengucapkan sepatah katapun. "Aku gak apa-apa," jelasku dengan senyum yang dipaksakan dan berlalu meninggalkannya. Dua kali dia memergokiku menangis. Memalukan.
V
Malam ini udaranya dingin sekali. Aku, Erick, Doni dan Santi pulang bersama karena kami tinggal satu kost. Kulihat didepan toko samping gang menuju kost kami ada segerombol pemuda. Aku tak begitu jelas menyimak wajah mereka karena tak ada penerangan lampu didepan toko tersebut. Yang kutau mereka bertujuh dan badan mereka tinggi-tinggi dan kekar.
Begitu kami sampai diujung gang. Salah seorang dari mereka mendekatiku. Tubuhku jadi panas dingin, tapi aku coba untuk positif thinking.
"Mas, kenal yang namanya Erick?" tanya cowok sangar itu setelah berada didepanku. Tinggiku tak sampai pundaknya, dan otot bisepnya sangat mengerikan. Otakku langsung merespon buruk dengan pertanyaannya. Jangan-jangan dia punya maksud jelek lagi, batinku.
Baru saja aku hendak membuka mulut untuk bilang enggak, Erick sudah mendahuluiku.
"Aku Erick," jawab erick dengan tenangnya. Aduh, jantungku kok jadi deg-degan gak karuan gini ya.
Tanpa banyak bicara, cowok sangar itu langsung menonjok wajah Erick dengan kerasnya, disusul kawan-kawannya yang lain ikut gabung dan mengeroyokinya. Doni yang melihat itu hendak membantu Erick nyerang mereka, tapi baru saja melayangkan bogem tangan Doni ditangkap dengan mudah dan sebuah tinju yang lumayan keras mendarat ditelinganya. Terdengar suara bugghh yang sangat keras sekali sampai Doni oleng dan tersungkur ketanah. Santi sudah lari terbirit-birit karena takut kena pukul juga oleh mereka.
Dan aku.
Aku berdiri mematung ditengah gerombolan yang sedang menggebugi Erick tanpa Erick sempat melawan sedikitpun. Salah seorang dari mereka mendekatiku, tapi aku tak bisa menggerakkan kakiku sedikitpun untuk lari ataupun menolong Erick.
"Pergi kamu! Jangan disini kalo gak mau kena pukul." ucap cowok itu dengan nada yang justru terdengar menasehati.
Sungguh aku benar-benar bingung saat itu. Tangan dan kakiku gemetaran. Perutku terasa mual dan kepalaku berdenyut-denyut hebat. Melihatku tetap diam tak bergerak, cowok itu mendekapku dan menggiringku ketepi gang. Kupejamkan mataku, sambil mengumpulkan kekuatan. Kuhirup udara sebanyak mungkin lalu kuhembuskan perlahan. Waktu membuka mata, kulihat Erick sudah tersungkur sambil ditendangi oleh cowok-cowok jangkung tersebut.
"Tolong Mas, hentikan mereka!" pintaku lirih dengan bibir bergetar. Cowok yang memegangiku tetap tak bergeming. Kucengekram lengannya. "Mas...., kumohon...!!! Dia bisa mati," aku mulai terisak dan air mataku mengalir tanpa kusadari. Cowok itu tetap saja diam menyaksikan teman-temannya menganiaya Erick, kulangkahkan kakiku gontai kearah mereka. Belum sampai kesana aku sudah limbung dan tersungkur didepan Erick yang sudah pasrah. Cowok itu mendatangiku lagi dan berusaha memapahku, tapi kutepis tangannya.
"Kalau kamu gak mau dipukuli juga oleh mereka, pergi dari sini," perintahnya sedikit kasar.
"Enggak...!!" tolakku kukuh. "Tolong suruh mereka berhenti..!!! Dia bisa mati...!!" aku jadi histeris membayangkan hal itu.
"Tolong Mas...!!! Tolong hentikan..!!!" aku mengiba padanya. Kulihat Erick sudah tergolek lemah ditanah. Cowok itu lantas mendatangi teman-temannya dan meminta mereka menyudahinya.
Satu-persatu dari mereka meninggalkan Erick dengan ekspresi puas, salah seorang diantaranya masih saja menendang-nendang punggungnya. Tak puas dengan itu, dia bahkan meludahi erick sambil menyeringai. "Rasakan itu..!!" ejeknya sinis.
Aku berusaha berdiri dan menghampiri Erick. Kulihat dia tak membuka matanya. Aku terduduk dan memeriksa keadaannya. Dia pingsan. Air mataku tak henti-hentinya membanjiri pipiku. Kuraba wajahnya yang lebam-lebam dan berlumuran darah.
"Mas....., Bangun Mas...!!!" pintaku terisak. Kepalaku terus berdenyut. Sakit sekali. Aku mengerang tak kuasa menahan pusing dan sesak didadaku. Kulihat Pak Ilham berlari kearah kami sambil meneriakkan nama Erick bersama Santi dan yang lain dibelakangnya. Sepertinya Santi langsung kekostan dan minta tolong pada mereka. Sakit kepalaku terlalu kuat. Perlahan membuatku sulit memfokuskan pandanganku. Aku hendak berjalan kearah mereka, tapi rasanya setiap sendi tulangku terasa lemas. Baru saja berdiri tegak dan mau melangkah, darahku seakan berdesir. Perutku mual dan pandanganku berbayang-bayang (seperti reaksi orang anemia yang berdiri secara mendadak). Aku limbung dan tergelatak disamping Erick. Dan semuanya menjadi gelap.
Perlahan kesadaranku kembali. Sanyup-sanyup terdengar suara orang mengobrol. Pak Ilham dan Doni. Sepertinya Doni tengah membahas kejadian tadi. Begitu teringat dengan Erick, aku langsung telonjak bangun, tapi kepalaku kembali berdenyut-denyut. Rasa mual melandaku. Kuhempaskan kembali tubuhku diatas kasur dan kupejamkan mataku.
"Sudah sadar Tio..? Syukurlah," ujar pak Ilham lega. Aku masih memejamkan mata untuk menahan mual dan pusingku.
"Erick dimana pak? Apa dia baik-baik saja?" tanyaku langsung dengan mata yang masih terpejam.
"Dia disebelahmu. Dokter bilang tak ada luka yang serius. Hanya luka luar dan tak terlalu serius," jawab beliau tenang. Kuiringkan wajahku dan kubuka mata sedikit. Kulihat Erick masih memejamkan mata. Wajahnya lebam-lebam, tapi sudah tidak ada bercak darah lagi.
"Bagaimana kau bisa....???" Pak ilham menggantung pertanyaanya. "Sudahlah. Yang penting kamu baik-baik saja."
Aku tau apa yang ingin beliau tanyakan dan aku juga tak bisa menjawabnya. Jujur aku juga bingung mengingat kejadian tadi. Mengapa mereka tak memukulku? Bahkan cowok itu melindungiku. Kalau mengingat suara tinju yang melayang ke telinga Doni, sungguh suara pukulan yang membuatku ngeri.
"Bagaimana keadaanmu Don?" tanyaku pada Doni yang berdiri didepan pintu. Dia nyengir padaku sambil menunjukkan telinganya yang bengkak.
"Untung kamu gak dipukuli juga sama mereka. Mungkin kamu langsung pingsan terkena sekali pukulan," aku hanya nyengir mendengarnya. "Syukurlah kamu gak apa-apa. Mungkin mereka gak tega juga mau memukulmu," ejeknya bermaksud bercanda, tapi aku tak menanggapi candaanya. Terima kasih Tuhan, sudah menyelamatkan kami.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 lewat.
"Kalian istirahat saja! Biar aku yang menjaganya. Kalian kan harus kerja nanti," ujarku pada Doni dan pak Ilham.
"Kamu sudah merasa enakan?" tanya pak Ilham yang ragu untuk meninggalkanku.
"Gak papa Pak. Saya hanya shock," jelasku. "Bapak istirahat saja, biar saya yang menjaga Mas Erick."
"Baiklah, kami tinggal. Kalau lelah tidur saja dulu. Dokter tadi menyuntik Erick, kemungkinan besok dia baru sadar," Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Tak lama mereka berdua menutup pintu kamar. Tinggal aku dan Erick yang masih tertidur disampingku yang ada dikamar ini.
"Maaf Mas..!!! Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu," ucapku lirih. Air mataku kembali mengalir.
"Udah bangun, Mas?" tanyaku lega waktu kulihat Erick membuka kelopak matanya. Dia diam sebentar, mungkin mengumpulkan kesadaran dan ingatannya semalam.
"Haus," hanya itu kata yang terucap dari mulutnya. Aku bergegas mengambil air minum dimeja yang sengaja kusiapkan untuknya, tadi juga aku sempat beli lontong kare dipinggir jalan raya. Karena merasa kesulitan minum sambil berbaring, kuangkat pelan punggungnya dan kutaruh satu bantal lagi untung menopangnya dan kubantu memegang gelas yang dia pegang. Untung dia gak protes.
"Mau makan, Mas? Sekalian minum obat ya, biar cepet pulih," ujarku.
"Tanganku sakit Tio," sahutnya lirih.
"Aku bantu ya," tanpa menunggu jawaban, aku mengambil bungkusan lontong dan kutuang kare diatasnya. Agak canggung juga menyuapinya. Ngeri aja membayangkan reaksi negatif yang bisa ditunjukkannya.
Tanpa mengatakan apapun, kusodorkan sesendok irisan kecil lontong kemulutnya. Agak ragu mulanya, tapi Erick membuka mulut. Aku terus menyuapinya tanpa berkata apapun sampai dia menahan tanganku.
"Udah Tio. Mana obatnya?" aku beranjak untuk mengambil obat yang diberikan dokter dan menuangkan air kedalam gelas.
"Bantalnya mau diturunin atau Mas tidur begini saja?" tanyaku pada Erick setelah dia selesai minum obat.
"Begini saja. Aku kekeyangan," jawabnya pelan.
"Aku tinggal kebelakang dulu." ujarku sambil membawa sisa makanan dan gelas untuk kucuci.
Setengah hari ini aku sibuk melayani dan menemani Erick dikamar. Dia kesulitan bergerak, bahkan berdiri tegakpun tulang punggung dan pahanya terasa nyeri. Ada kejadian yang membuat kami berdua seakan mati kutu. Aku malu banget mengingatnya.
"Tio...." Erick menggantung ucapannya.
"Iya Mas? Ada apa?" tanyaku karena Erick tak kunjung meneruskan ucapannya. Dia terlihat malu dan menundukkan kepalanya.
"Ada apa Mas?" tanyaku lagi sambil menghampirinya. Agak lama, kemudian dia menatapku.
"Bantu aku kekamar kecil." ucapnya lirih. Aku yang tak berpikiran anehpun segera memapahnya dan menggiringnya kekamar kecil. Sesampainya didalam, aku hendak melepaskan rangkulanku dan keluar. Gila aja kalo aku mesti menemaninya kencing, bisa ngelantur pikiranku nanti. Tapi...., ternyata Erick menahanku.
"Aku.....gak kuat berdiri," ucapnya lirih dan sedikit gugup. Aku sendiri terpaku mendengar ucapannya. Aku mematung dan bingung mau bagaimana. Melihatku terdiam, Erick perlahan membuka resleting celananya. Aku semakin membeku, tapi keningku berkeringat dingin. Waktu Erick mengeluarkan bendanya, aku reflek melihat. Seakan tersengat listrik aku tersentak saat sadar Erick juga melirikku. Aku beringsut kebelakang sambil tetap menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Kupejamkan mataku dan coba kuenyahkan pikiran-pikiran konyol yang berputar diotakku.
"Tolol-tolol-tolol. Aaarggghh......." aku ngomel-ngomel dalam hati merutuki kebodohanku. Bisa-bisanya aku melongo seperti idiot melihat benda Erick.
"Udah Tio," ujar Erick menyadarkanku. Kulihat kencingnya berceceran tidak pada tempatnya. Aku menarik nafas pelan. Perasaan konyol tadi seketika berubah menjadi rasa iba. "Bisa bantu nyiram," pintanya canggung.
"Iya. Biar nanti aku yang nyiram," jawabku lembut dan menunjukkan senyumku, berharap dia bisa rileks dan tak sungkan padaku.
Aku menuntunnya kembali kekamar dan membaringkannya perlahan. Kuselimuti tubuhnya. Kulihat ada keringat dikeningnya.
"Gerah ya Mas? Aku lepas selimutnya kalau begitu."
"Jangan!" cegahnya pelan saat aku hendak menarik selimutnya. "Begini saja."
"Nanti luka Mas bisa perih kalo kena keringat," jelasku.
"Gak papa, dibuka saja jendelanya," aku menurutinya dan kubuka jendela, tanpa menyibak kordennya supaya tak terlihat orang diluar (kebetulan kami dapat kamar depan dan berhadapan dengan gang). Aku lantas keluar menuju kamar kecil.
"Makan apa nanti siang Mas?" tanyaku selesai sholat dluha.
"Belikan roti saja," jawab Erick ringan.
Tok-tok-tok.
Aku segera membuka pintu kamarku, ternyata Santi.
"Masuk San!" seru Erick ramah.
"Udah baikan Kak?" tanya Santi menuju kasur.
"Alhamdulillah. Udah enakan."
"Nanti aku berangkat duluan Tio. Kamu datang mepet aja. Kasian kak Erick gak ada temennya," saran Santi penuh perhatian.
"Gampanglah San," sahutku santai.
Dua hari merawat Erick dan kerja membuatku sangat lelah. Tidurku bener-bener tersita dan makanku juga kacau. Malam ini pulang dari toko aku cari makan dulu. Tadi juga sempet beli roti dan cemilan, siapa tau Erick laper malam-malam dan pengen ngemil.
Setibanya dikamar, kulihat Erick sudah tidur. Aku segera berganti pakaian. Cuci muka dan gosok gigi, langsung rebahan dikasur. Aku memiringkan badanku dan menghadap Erick. Lebam diwajah dan tubuhnya sudah mulai sembuh. Kulihat keringat bermunculan dikening dan lehernya. Aku beranjak dari ranjang dan mengambil saputangan. Aku duduk dipinggir kasur sebelah perutnya. Pelan kuusap keringat yang ada dikening dan lehernya, takut membuatnya terbangun. Kejadian malam itu teringat kembali. Aku merasa sangat bersalah sudah jadi satu-satunya orang yang tak kena pukulan dan tak bisa membantunya saat dikeronyok waktu itu. Kubelai lembut rambutnya dan entah dorongan darimana yang membuatku nekad mencium keningnya. Kutatap wajahnya dari jarak satu jengkal.
DEG....!!!
Dia membuka matanya. Aku terpaku antara malu dan takut kalau sampai dia menyadari perbuatanku barusan. Aku ingin kabur, tapi tubuhku membeku oleh tatapan tajamnya.
Lalu tanpa permisi dia merengkuh pinggang dan leherku dan menarikku semakin dekat. Nafasnya terasa hangat dibibirku. Jantungku berpacu sangat kencang dan sebuah kecupan lembut mendarat dibibirku. Perlahan kecupan itu berubah menjadi ciuman yang seperti menelanjangiku. Seolah dejavu, ciuman ini mengingatkanku pada mimpi erotis malam itu.
Bukannya malu, serangan Erick malah memicu gairahku. Aku membalas ciumannya dan seolah kesurupan aku melekatkan tubuhku semakin rapat padanya. Seperti terbangun dari mimpi indah, Erick menyentakkan tubuhku menjauhinya. Dia menatapku tajam.
Ekspresi itu.....!!
Entah itu cuma perasaanku saja atau? Ekspresi Erick seolah menggambarkan dia sangat jijik dan marah padaku.
"Tidur!" perintahnya dingin. Seperti idiot aku menurutinya. Aku merebahkan tubuhku keranjang dan Erick membelakangiku. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang? Lama sekali tak ada reaksi atau gerakan apapun darinya. Aku merasa lelah, tapi mataku tak mau diajak kompromi. Sekitar jam 3, aku baru bisa tertidur dengan perasaan gelisah.
Keesokan harinya saat terbangun, kulihat Erick masih tetap pada posisinya membelakangiku.
"Makan Mas," tawarku berusaha bersikap sewajar mungkin. Kusodorkan piring nasi kepadanya. Selama dua hari kemaren, aku selalu menyuapinya saat makan, memapahnya kekamar mandi (tapi tidak menemaninya kencing. Itu hanya dihari pertama), membantu ganti baju dan menyekanya. Waktu menyodorkan sendok, dia menahan tanganku.
"Aku makan sendiri," ucapnya dingin. Aku merasa blank, tapi kuserahkan piringnya. Habis makan dan minum obat, aku pungut piring dan gelas kebelakang untuk dicuci.
"Gak ganti baju Mas?" tanyaku ragu, takut disikapi dingin lagi olehnya.
"Nanti aku ganti baju sendiri" jawabnya masih dengan nada yang sama. Ternyata dugaanku benar. Dadaku terasa sesak, tanpa sadar airmataku keluar.
"Maaf!" kataku sambil tertunduk. Erick hanya diam ditempatnya berbaring.
Setelah keheningan yang cukup lama. Erick berusaha bangkit dari tempatnya. Aku yang merasa ditolak jadi bingung dan takut untuk membantunya. Dia berpegangan pada dinding hendak keluar, entah kemana? Hampir saja sampai dipintu, tubuhnya bergetar dan jatuh kelantai. Aku langsung menghambur kearahnya.
"Aku bantu mas," Erick sejenak berontak tanpa berkata apapun, tapi akhirnya dia membiarkanku memapahnya. "Kekamar kecil Mas?" tanyaku lirih. Sumpah, ingin rasanya aku menjerit dan memohon-mohon padanya agar dia tak seperti ini padaku.
"Iya," jawabnya singkat. Aku tak berani menatap wajahnya untuk memastikan emosinya.
Selesai buang air kecil, kembali kupapah dia kekamar. Kubaringkan dia keranjang. Bantalnya kutumpuk dua dan kuselimutinya.
"Maaf, Mas!" kembali aku meminta maaf. "Aku tak seharusnya bersikap selancang itu," tak ada jawaban darinya. Erick memejamkan matanya. Kubiarkan dia isrirahat dan kusibukkan diriku dengan menyapu, ngepel, cuci piring dan mandi.
Kulihat Erick masih terpejam. Saat sholat, terdengar suara ketukan pintu. Karena semua penghuni kost tidak ada, aku selesaikan dulu sholatku, doa sekedarnya dan segera membukakan pintu. Tampak seorang ibu paroh baya dan seorang pria yang sedikit lebih tua darinya.
"Maaf ibu, cari siapa ya?" tanyaku sopan.
"Ericknya ada mas?"ibu itu balik tanya sembari tersenyum. Wajah ibu itu tidak asing setelah menyebut nama Erick. Sepertinya mereka orang tuanya Erick .Ada sedikit kemiripan dari senyum mereka.
"Oh ada. Silakan masuk," ucapku mempersilahkan. "Tapi Mas Ericknya masih tidur. Mau langsung masuk kekamarnya?" tanyaku sopan dan disambut dengan senyuman oleh mereka. Mereka mengikutiku kekamar, sesampainya didalam aku segera mencomot baju kerjaku."Maaf pak, bu. Saya tinggal dulu."
"Oh silahkan," sahut mereka bersamaan.
Selesai ganti baju, aku kedapur untuk membuatkan minuman untuk mereka, sekalian berpamitan.
Kuketuk pintu perlahan, takut mengagetkan mereka kalau langsung membuka pintu. Aku masuk dengan dua gelas teh manis dinampan.
"Silakan diminum pak, bu," tawarku setelah meletakkan teh diatas meja.
"Wah, jadi ngerepotin Mas. Terima kasih," sahut si ibu. "Oh ya, kita belum berkenalan. Saya ibu Laras, ibunya Erick ." ujar beliau sambil mengulurkan tangan dan kusambut dengan sungkem pada beliau.
"Tio."
"Kalau beliau ini pak Aman, ayahnya Erick," sambung bu Laras. Ayahnya Erick mengulurkan tangan dan aku sungkem juga pada beliau.
"Terima kasih nak Tio, sudah merawat Erick saat dia sakit," aku yang bingung dengan ucapan bu Laras menatap Erick, wajahnya datar tanpa ekspresi apapun. Mungkin dia yang memberitahu mereka.
"Tidak apa-apa ibu. Sudah kewajiban saya membantu sesama teman," Teman? tanyaku lirih dalam hati. Betapa aku berharap lebih dari itu, tapi aku tak mau lupa diri. "Kalau begitu, saya tinggal dulu ya pak, bu. Sudah waktunya masuk kerja," pamitku pada ayah dan ibunya Erick. "Aku berangkat dulu mas," pamitku pada Erick dengan suara yang kubuat senormal mungkin, dia hanya diam melihatku. "Asslmu'alaikum."
"Walaikumsalam," jawab ayah dan ibu Erick bersamaan.
Sepanjang jam kerja, aku sering melamun dan tidak bisa konsentrasi. Pikiranku selalu terngiang akan kejadian tadi malam dan pagi tadi. Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki hubungan kami lagi?
"Mas, bedanya yang merah dengan yang hijau ini apa ya?" tanya seorang bapak-bapak pembeli.
"Oh, beda rasa dan kebutuhannya saja pak," jelasku agak linglung. Aku ambil satu-satu jenis healthy food yang dimaksudkan bapak tersebut dan menjelaskan sesuai dengan petunjuk yang tertera dibelakang box makanan tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu lagi pak?" tanyaku setelah selesai menjelaskan pertanyaan bapak tadi.
"Oh tidak ada, terima kasih," ucap beliau tulus.
"Terima kasih kembali."
Saat barang datang tadi, aku juga melakukan kesalahan. Sisa bir kemasan botol Mix*** yang over stock dirak toko yang Doni lemparkan padaku tidak bisa kutangkap dengan tepat. Akhirnya 2 botol sukses pecah dengan percuma dan membasahi lantai gudang. Pak ilham yang melihatku kalut, meminta maaf berkali-kali dan berjanji menggantinya hanya geleng-geleng kepala.
Setibanya ditempat kost. Seakan kurang banyak saja masalah yang kudapat hari ini. Aku dikejutkan dengan kamar yang sepi. Tak ada Erick didalam, semua barangnya juga tidak ada.
"Pak....!!! Pak Ilham....!!!" aku hampir kesetanan memanggil beliau dengan menggedor pintu kamarnya. Untung aku masih sadar kalau ini sudah larut. Jadi agak kupelankan teriakanku.
"Ada apa Tio?" tanya beliau yang juga nampak kaget.
"Mas Erick mana pak?" tanyaku kalut.
"Oh...." ucapnya tampak lega. "Erick pulang ke Surabaya. Tadi dia ijin pulang bareng orang tuanya. Dan...." pak Ilham seakan ragu untuk mengatakannya.
"Dan apa, Pak?" tanyaku tak sabar.
"Sepertinya dia akan mengundurkan diri,"jelas pak Ilham pelan. "Mulai sekarang kamu tidur sendirian, Tio," tambah beliau.
Lututku lemas. Aku tertunduk menahan sesak didadaku.
"Kalau begitu, bapak tidur dulu ya. Ngantuk banget, seharian kerja, bantu-bantu Erick berbenah dan menemani orang tuanya ngobrol," ujar beliau yang aku sahut dengan anggukan pelan.
Dengan gontai aku melangkahkan kakiku kekamar. Kurebahkan diriku diatas ranjang besar ini sendiri. Kenanganku bersama Erick kembali berkelebat dikepalaku. Rasanya sepi tak ada teman tidur malam ini.
Kenapa dia pergi tanpa sepatah katapun?Dia bahkan tidak pamit padaku atau titip salam untukku. Yang paling membuatku perih adalah diakhir kebersamaan kami, justru luka yang mewarnai. Kubelai lembut ranjang tempat biasa dia tidur. Dingin. Tanpa terasa air mata kembali menetes dari sudut mataku.
"Maaf, Mas...!!!" pintaku lirih. "Maafkan semua salahku.!!!" aku terus menangis sampai mata ini lelah dan terpejam.
==============================
"Asslmu'alaikum," ucap ibu yang baru datang.
"Walaikumsalam," sahut Erick.
"Maaf ya nak Erick, jadi merepotkan."
"Tidak apa-apa bu. Ini adeknya Tio ya?"
"Iya kak," jawab Tita.
"Siapa namanya?"
"Tita kak."
"Wah, Tita cantik juga ya!" ujar Erick nggombal. Aku dengar Tita tertawa, membuat ibu ikut tertawa dan aku juga dalam hati.
"Kok gak dimakan nak Erick kue dan buahnya?" tanya ibu. "Ibu tersinggung lho."
"Sudah tadi bu," Erick bohong, dia bahkan tidak beranjak sama sekali dari ranjangku sejak tadi.
"Kalau begitu saya pamit dulu," pamit Erick.
Apa....???? Teriakku dalam hati. Tidak.!!! Apa hanya begini saja pertemuan kami.
"Lho...kok buru-buru?" tanya ibu.
"Iya, bu. Ada urusan."
"Oh, yaudah gak apa-apa. Terima kasih ya nak Erick sudah mau menjenguk Tio."
"Tio, aku pulang," bisik Erick pelan ditelingaku sambil menggenggam jemariku.
Aku tak bisa berpisah dengan cara seperti ini. Air mataku mengalir, kubalas genggaman tangannya. Aku hanya bisa menahannya dengan ini.
"Tiooo...." seru Erick kaget.
"Ini juga yang terjadi tadi pagi," jelas ibu lirih. "Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan padamu, nak Erick." aku tetap menggenggam jemarinya.
"Aku akan kembali," bisik Erick pelan. Kuharap dia menepati janjinya. Kubiarkan dia melepas genggamanku.
"Saya permisi dulu bu. Tita, kakak pulang dulu ya."
"Iya nak Erick. "Iya kak." jawab Ibu dan Tita bersamaan.
Aku akan menagih janjimu. Aku akan menunggumu. Kuharap kau benar-benar kembali menemuiku.
Syukur pada Tuhan, beberapa hari setelah itu aku bisa membuka mata. Waktu itu aku sedang sendiri, dan Ibu yg menjegukku beberapa saat kemudian tampak sumringah. Beliau mendekat dengan langkah pelan dan mengusap rambutku.
"Sudah kau buka matamu Nak?" tanya beliau lirih. Aku yg entah kenapa merasa begitu lelah ,hanya mengangguk. "Ibu panggil dokter dulu ya?" kata beliau dan pergi.
Dokter yg kemudian datang melakukan beberapa pemeriksaan padaku. Dan begitu dia selesai, aku semakin merasa lelah.
"Bu. . . cape," keluhku pelan. "Tidur dulu," gumamku.
Ibu menoleh pd Dokter dg pandangan cemas. Kulihat Dokter itu hanya mengangguk dan tersenyum.
"Ya sudah! Kamu tidur saja lagi Nak," sahut Ibu. Aku langsung memejamkan mata. Dan hanya dalam hitungan menit, aku kembali tertidur.
Beberapa hari kemudian, aku sedikit terkejut saat kudapati seseorang disampingku begitu aku membuka mata.
"Sudah bangun Tio," sapa pemilik suara itu lembut. Aku terpaku melihat wajahnya. Wajah yang sangat kurindukan belakangan ini. "Maaf baru datang sekarang," ucap Erick pelan. "Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan beberapa hari ini. Jadi baru bisa jenguk sekarang."
"Apa kabar, Mas?!" sapaku. Aku tak bisa menyembunyikan senyum bahagiaku. Erick juga tersenyum padaku, senyum manis yang meluluhkan hatiku.
"Alhamdulillah baik. Kamu?"
"Sedikit lebih baik," sahutku pelan. Erick masih sama. Hanya rambutnya yang sekarang lebih panjang, tapi itu justru membuat wajahnya terlihat lebih tampan dan menarik.
"Ibu mana, Mas.?"
"Njemput Tita. Aku sengaja datang karena aku tau sekarang kamu lagi sendirian," Entah kenapa ucapan Erick membuatku melambung.
"Terima kasih," ucapku tersipu. "Nanti kami pulang kok."
"Kamu yakin sudah baikan," tanya Erick perhatian.
"Iya, Mas. Jenuh lama-lama disini," Dan kami hanya membuang uang percuma, terusku dalam hati. Aku tak mau menjelaskan alasanku ini. Terlalu memalukan.
"Untung aku datang sekarang, kalau tidak ..." Erick tak meneruskan ucapannya. Begitu banyak hal yang ingin kukatakan, tapi aku merasa blank, gak tau mana yang harus kuungkapkan.
"Maaf, Mas!" kataku lirih.
"Untuk apa!"
"Untuk semua kesalahanku."
"Bukankah seharusnya aku yang minta maaf," tanya Erick balik.
"Atas apa?"
"Sudahlah. Lain waktu saja kita bahas," cegahnya. "Nanti aku antar ya, kebetulan aku bawa mobil." aku hanya menganggukkan kepala.
Akhirnya kami tiba dirumah diantar Erick. Aku sedikit malu dengan keadaan rumahku yang sederhana ini, tapi Erick tampak nyaman dan bersikap biasa saja saat membantuku masuk kedalam. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan ibu dan Tita, Erick pamit pulang. Entah kapan dia akan datang lagi kesini. Surabaya sini kan lumayan jauh jaraknya.
Aku sempat kembali kerja untuk beberapa minggu setelah kuputuskan aku akan mengundurkan diri saja. Bukan apa, hanya saja temen-temen kerjaku terkesan meringankan pekerjaanku dan aku tak suka itu. Aku merasa seperti orang yang sangat parah dan lemah, dan aku paling benci merepotkan orang lain. Lagipula sepulang dari rumah sakit, keadaanku justru makin buruk. Pusingku sering kambuh, selera makan yang kacau, pendengaran dan penglihatanku juga semakin kabur. Mau coba pake kacamata, takut dikirain bergaya, karena emang gak pernah pake. Yang paling tidak nyaman adalah seringnya aku salah bicara. Mau bilang terima kasih yang keluar dimulut selamat sore, mau bilang selamat sore yang keluar malah terima kasih. Juga pernah pembeli tanya-tanya produk, dan aku menjelaskan dengan pelafalan yang gak jelas dan salah kaprah. Keadaan ini benar-benar menggangguku dan teman-teman yang lain. Bagaimana tidak, mereka sering kali salah tanggap dengan ucapanku. Aku mengakui kalau aku yang salah bicara, maka dari itu aku hanya bisa minta maaf dan diam. Menurutku diam lebih baik daripada salah ucap.
Hari ini aku dalam perjalanan ke Surabaya untuk mengambil ijazah dan gaji terakhirku, serta mengembalikan seragam kerjaku. Tadi dikereta aku sempat sms Erick, memberitahukan aku kesana dan bertanya apa bisa ketemu. Sesuai perjanjian, begitu urusanku selesai aku akan menunggu Erick yang masih kerja. Sekarang dia ikut mengurus usaha ayahnya .Sambil menunggu Erick datang aku gunakan waktuku untuk sholat dan mengaji. Waktu ngaji aku juga bermasalah, rasanya sulit melafalkan ayat demi ayat dengan benar, sungguh pelafalan yang salah kaprah kalo saja ada yang menyimaknya. Terkadang aku frustasi dan pasrah saja dengan keadaan ini. Tak lama handphoneku bergetar, ada panggilan masuk.
"Hallo," ucapku setelah melihat nama yang tetera dilayar dan menekan tombol dial.
"Kamu dimana?" tanya suara dari sebrang.
"Masjid XXX."
"Oke, bentar lagi aku nyampe," kemudian telpon ditutup.
"Asslm'alkum," sapa seseorang sambil menepuk bahuku saat aku tengah berdzikir.
"Walaikumsalam," sahutku. Aku tersenyum melihatnya sambil menjabat tangan.
"Aku sholat dulu. Tunggu ya!" pinta Erick lembut yang kujawab dengan anggukan.
"Udah makan," tanya Erick selesai sholat.
"Belum," jawabku singkat.
"Kita kerumah, Ibuku sudah menunggu," aku yang agak bingung dengan kata-katanya hanya bisa manut dan membuntutinya.
"Asslm'alkum," seru Erick sambil membuka pintu.
"Walaikumsalam," sahut suara perempuan dari seberang ruangan. Rumah yang lumayan besar dan tertata rapi. "Eh, nak Tio." aku hampiri ibunya Erick dan sungkem.
"Bagaimana nak. Sudah baikan? Ibu dengar dari Erick kalo nak Tio sempat masuk rumah sakit," tanya bu Laras prihatin.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik bu, terima kasih," jawabku menyakinkan.
"Oh ya sampe lupa. Ayo makan dulu. Pada lapar kan?" canda beliau sambil menuntunku kedapur. Erick yang daritadi melihat kami ikut mengekor dibelakang.
Selesai makan, bu Laras mengajakku keruang tengah untuk nonton TV sambil ngobrol,sementara Erick pergi mandi. Bu Laras ternyata orang yang ramah dan tegas. Beliau berbicara seperlunya saja, seperti Erick.
"Mandi gih!" paksa Erick sambil mendorongku kekamar mandi setelah dia selesai mandi.
"Tapi aku gak bawa baju ganti. Lagipula aku juga pulang nanti malam," tolakku sambil berontak.
"Udah. Jangan mbantah!" akhirnya aku menurut saja.
Sampai didalam aku kembali bengong. Aku kan gak bawa handuk. Tapi bodo'lah, mandi saja dulu. Benar saja,tengah asyik menyabuni tubuh ada yang mengetuk pintu. Kubuka daun pintu sedikit dan kulongokkan kepalaku keluar.
"Ini. " kata Erick sambil menyodorkan sebuah kaos dan handuk padaku. "Mau pake celanaku juga?"
"Oh..." aku sedikit melongo. Aku ingat dulu pernah pake celana pendeknya, dan.. "Enggak. Gak usah," jawabku sambil nyengir kecut.
"Ya udah," jawabnya dan pergi.
"Kamu pulang besok saja. Malam ini nginep disini dulu. Kita jalan-jalan," Erick menarik tanganku dan mengajak keluar rumah. Gila nih anak, main paksa aja, batinku.
"Emang kita mau kemana?" tanyaku bego.
"Temani aku jalan-jalan," jawabnya santai. Setelah masuk mobil, kita langsung meluncur menyusuri jalan raya.
Aku yang tak begitu tahu Surabaya hanya bisa melihat-lihat keluar kaca mobil. Ternyata Surabaya makin sore makin macet saja. Sepanjang jalan yang kulihat hanya gedung-gedung tinggi dan perkantoran. Banyak juga berdiri mall dan plaza disini. Erick memperlambat lajunya dan menuju pintu parkir disebuah gedung yang bernama City Of Tomorrow. Aku manut saja waktu Erick memasuki mall tersebut.
"Mas, kita mau kemana?" tanyaku minder. Jujur aku gak pernah main ke mall atau plaza yang berlantai tinggi seperti ini. Mana tangganya berjalan lagi. Aku kan belum pernah naik itu.
"Nonton. Kenapa?" tanya Erick heran melihatku terpaku didepan eskalator.
"Hehe..." sahutku cengengesan. "Aku gak pernah naik ini," jelasku totol. Erick sempat melongo mendengarnya. Dia lantas memegang tanganku dan menunjukkan cara naik yang benar. Awalnya kaget dan hampir terjungkal kebelakang. Aku hanya bisa menunduk untuk menutupi rasa malu. Untung saja gak begitu banyak yang naik bersama kami.
Erick memintaku menunggu sedang dia mengantri untuk beli tiket. Dia mengajakku ke cinemaXX. Entah film apa yang ingin ditontonnya. Setelah dapat tiket kami keliling sebentar menunggu jam tayang yang masih setengah jam lagi.
Aku penasaran dengan beberapa orang yang mengelilingi pagar tengah dan melihat kebawah. Erick juga nampak penasaran. Ternyata sedang ada acara fashion show bertajuk Putri Kerudung. Jelas saja yang ikut pasti gadis-gadis cantik.
"Lagunya seru banget ya," kataku ke Erick. Dia lantas mengeluarkan handphone dan asik mengutak-atiknya. Aku kembali sibuk melihat kontes dan menikmati musik pengiringnya yang menurutku terdengar unik dan asik.
Tak lama Erick mengajakku kembali ke cinema karena filmnya segera dimulai. Selama nonton, Erick begitu serius menyimak setiap adegan yang diputar, aku juga tekun menyimaknya karena ini pertama kalinya aku nonton bioskop.Filmnya tentang Vampir yang jatuh cinta pada manusia. Film drama yang diselingi adegan laga yang dipadu secara apik dan menyenangkan.
Selesai dari nonton, kita sempatkan diri makan dicafe sekitar mall. Aku manut aja dan gak mau banyak nawar. Toh Erick yang ngajak aku jalan. Jadi kunikmati saja moment kebersamaan kami.
"Mas, boleh tanya gak?" tanyaku saat kami sudah rebahan siap untuk tidur. Mungkin ini kesempatan terakhirku menanyakannya.
"Apa?"
Aku menghela nafas pelan. "Kenapa mas pergi begitu saja?" tanyaku lirih. Kulihat Erick tampak berpikir, semoga dia mengerti apa yang kutanyakan.
"Mungkin sudah waktunya," katanya pelan. "Sebelumnya aku minta maaf, karena memang seharusnya aku yang minta maaf. Awalnya aku tak begitu menyukaimu, apalagi saat kau tinggal sekamar denganku, itu membuat ketenanganku terusik. Aku memutuskan kerja disana karena aku ingin belajar hidup sendiri dan mencari pengalaman hidup yang mungkin takkan aku dapatkan jika aku tetap tinggal disini dan mengurusi pekerjaan ayahku. Well, sepertinya aku memang mendapatkannya," Erick tampak tersenyum. "Aku tak suka berteman dengan orang sepertimu yang menurutku hanya membikin malu dan merepotkan. Maaf!" tukasnya serius, aku mengangguk mengiyakan sembari tersenyum maklum. "Tapi, lambat laun aku mulai terbiasa denganmu. Ternyata pandanganku tak sepenuhnya benar tentangmu. Aku sering merasa terhibur tiap kali melihatmu bercanda dengan yang lain. Tak jarang aku salut dengan sikap ramah dan lembutmu, seperti saat kau membimbing anak-anak yang ikut lomba mewarnai dulu. Entah kenapa aku suka memperhatikanmu waktu itu?" kini Erick menghembuskan nafas lebih berat. Aku masih menunggu dia menyelesaikan ceritanya.
"Puncaknya adalah saat peristiwa pengeronyokan waktu itu. Kesabaran dan perhatianmu saat merawatku, tanpa sadar menumbuhkan perasaan bahagia dan tak bisa lepas darimu. Jujur aku tak menyukai hal itu, tapi penyangkalanku selalu sirna setiap kali aku melihatmu dan merasakan ketulusan bantuanmu. Aku merasa seperti orang yang sangat kejam padamu selama ini. Kau tak salah apa-apa, akulah yang banyak salah padamu." Erick kembali mengambil napas pelan.
"Saat itu aku sedang bingung. Aku tidak marah padamu. Sebenarnya aku malu telah melakukan itu padamu, karena malunya aku tak bisa bicara ataupun menatapmu. Saat kau menangis dan minta maaf padaku, ingin rasanya aku mengutuk diriku sendiri karena telah melukaimu lagi, tapi aku tak mampu berkata apapun karena egoku. Sampai orang tuaku datang dan memaksaku pulang dan berhenti kerja. Gengsi dan malu telah mengalahkan niatku untuk mencoba memperbaiki sikapku terhadapmu. Aku bahkan terlalu pengecut untuk pamit dan melihat wajahmu untuk yang terakhir kali. Ternyata bukannya terbebas, aku justru makin merasa bersalah dan selalu memikirkanmu. Aku sadar apa yang terjadi padaku. Semakin aku menyangkal dan menghindarinya, semakin aku terus memikirkannya. Bahkan aku sampai sering gonta -ganti pacar hanya untuk melarikan diri dari memikirkanmu. Tapi percuma, satu-satunya jalan adalah menemuimu dan minta maaf padamu.
Aku terkejut saat mendapat kabar kau dirawat dirumah sakit. Sebelumnya aku memberanikan diri menceritakan apa yang kualami saat itu pada Pak Ilham. Aku bersyukur beliau mau mendengarkan keluhanku dengan sabar dan memberikan sedikit nasehat yang tak pernah kusangka. Saat menemuimu, aku tak bisa menyangkal nasehat beliau. Pak Ilham benar, aku harus berdamai dan jujur pada hatiku sendiri. Jadi aku putuskan untuk mencobanya." Erick beringsut mendekatiku dan menggenggam jemariku.
"Aku tak tau apakah benar yang kurasakan ini padamu. Entah karena terbiasa, simpati, atau hanya perasaan bersalah saja? Tapi yang sedang kurasakan sekarang adalah aku menyukaimu."
Aku yang melongo seperti kambing dongo, hanya bisa bengong menanggapi ucapannya.
"Aku tau kamu memiliki perasaan yang sama padaku, tapi aku akan tetap menanyakannya. Apakah kau juga menyukaiku?" aku masih saja terpaku melihat wajahnya, sungguh otakku kosong saat ini. Tak pernah sekalipun aku meminta agar Erick membalas perasaanku. Tapi saat aku mendapatkannya, aku justru tak tau harus mengatakan apa.
"Tio," perlahan tapi pasti. Karena Erick tak kunjung mendapat respon dariku, dia mendekatkan wajahnya padaku. Segar nafasnya sehabis gosok gigi menerpa hidungku. Aku semakin membeku saat bibirnya yang lembut menyentuh bibirku. Perlahan sentuhan itu berubah jadi ciuman yang menuntut. Setengah terbuai aku membalas ciumannya, tapi Erick kembali melepasnya. Entah kenapa ini mengingatkanku pada sikapnya dulu. Aku menundukkan kepalaku, takut melihat reaksinya saat ini.
"Tio," panggil Erick pelan. Saat kuberanikan diri untuk menatapnya, bukannya ekspresi marah dan jijik seperti yang kudapatkan dulu, melainkan sebuah senyuman lembut yang dipersembahkannya padaku. "Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Hah?" sahutku seperti orang tolol.
"Apakah kau juga menyukaiku?" ulangnya.
Aku terdiam sejenak. "Ya," jawabku lirih. Dan ciuman itu kembali mendarat dibibirku.
Awalnya hanya sebuah ciuman lembut yang terasa. Tapi lama-lama ciuman itu menjadi lebih bergairah dan kami berdua tak bisa menahannya. Tanpa sadar sudah tak ada sehelai benangpun yang melekat ditubuh Erick dan tubuhku.
Agak gemetaran aku menahan Erick. "Mas, aku....." aku tak bisa mencegahnya. Aku tak kuasa membuatnya merasa terluka dan terhina dengan penolakanku. Sebenarnya aku takut kalau nanti Erick sendiri yang menghentikannya, tapi ternyata dia terus melanjutkannya. Tanpa pikir panjang lagi aku menarik wajahnya dan mencium bibirnya. Aku merasa melambung saat Erick dengan gairahnya menyentuh sisi wajah, leher dan dadaku. Sampai hal itupun terjadi tanpa bisa kucegah. Rasa perih, sakit dan tersiksa yang kurasakan tak kuhiraukan karena aku tak mau membuat Erick ragu dan takut melanjutkannya. Rasa sakit ini tak ada apa-apanya dibanding perasaan bahagia yang kurasakan. Naasnya, sakit kepala itu kembali menyerang dan pandanganku berkunang, tapi aku tak mau memperdulikannya. Tanpa sadar aku menangis sambil memeluk lehernya. Tangis karena sakit dan bahagia yang berbaur jadi satu yang kurasa.
Saat terbangun,kurasakan kepalaku berdenyut hebat. Kudapati tempat tidurku basah oleh keringatku, ada rambut yang tak sedikit menempel pada bantal yang kutiduri. Padahal kamar ini tidak panas, tapi keringatku begitu banyak. Saat kurapikan rambutku, rasanya lepek saking basahnya, tak urung banyak juga rambut yang menempel ditelapak tanganku.
"Selamat pagi." sapa Erick ramah dari balik pintu. Aku tersenyum melihatya. Erick sudah berpakaian lengkap dan terlihat segar, namun ada sedikit guratan sedih diwajahnya, entah karena apa? Sedangkan aku masih tanpa busana, hanya terlindungi selimut yang meyelubungiku. Dia menghampiriku sambil membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Kenapa mas?" tanyaku yang heran melihat raut wajahnya. Erick tersenyum sedikit dipaksakan.
"Ayo makan dulu," perintahnya. "Kamu bawa obat?" aku mengangguk tanda iya. "Aku pake baju dulu," aku diam sebentar. "Mas boleh balik badan," kataku sedikit malu. Walaupun semalam kami sama-sama tak berpakaian, tapi aku masih malu harus memperlihatkan tubuhku didepannya. Erick menurutiku. Saat aku beranjak, kepalaku serasa dipukuli, mataku berkunang-kunang, dan pantatku, aaargghhh.....sakit sekali. Aku kembali menghempaskan tubuhku diranjang. Erick yang meyadari hal itu berbalik dan cepat menghampiriku.
"Maaf!" pintanya lirih. Kulihat matanya sedikit sembab.
"Kenapa? Untuk apa?" tanyaku heran.
"Tak seharusnya aku melakukan itu dalam keadaanmu yang seperti ini." jawabnya. Dia menunduk dan air mata itu mengalir pelan dipipinya.
Aku menyentuh pipinya. "Aku gak apa-apa mas," jawabku pelan, berharap Erick sedikit tenang. Erick menatapku. "Aku justru berterima kasih padamu. Aku bersyukur mas mau menemuiku, mengijinkanku menginap disini, dan mas mau menyukai orang sepertiku. Semalam, adalah hal paling membahagiakan yang tak pernah kubayangkan akan kudapatkan."
"Kau bohong. Bukankah kau kesakitan?" bantahnya.
"Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebahagiaan yang kudapatkan." tegasku sambil tersenyum lemah.
"Aku menyesal, Tio,"
"Tak ada yang perlu disesali mas." Erick memelukku. Kepalanya disandarkan kedadaku. Dia menyusut air matanya lalu bangkit dan mengecup keningku.
"Aku bantu berpakaian."
"Aku basah mas, terlalu banyak keringat." tolakku sungkan.
"Gak apa-apa." sahutnya sambil mengambil pakaianku dan mengenakannya. Situasi ini mengingatkanku pada kejadian waktu Erick sakit dulu, hanya terbalik keadaannya. Aku sedikit mengerang saat Erick membantuku memakai celanaku. Seakan paham, wajahnya kembali muram.
"Aku gak apa-apa mas." yakinku. Erick tersenyum dipaksakan.
Aku kaget saat melihat jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi. "Aku ketinggalan kereta," gumamku lirih. "Mas gak kerja?"
"Aku libur." jawabnya singkat. Dia masih terlihat sedih.
"Aku harus menghubungi ibuku mas. Aku tak mau beliau kuatir karena aku belum sampai rumah."
"Mau pake handphoneku?" tawarnya.
"Gak usah mas. Terima kasih," tolakku halus.
"Hallo. Asslm'alkum, mbak. Bisa aku bicara dengan ibuku?" ibu gak ada handphone, jadi aku telpon ke ketanggaku untuk disambungkan ke ibuku.
"Hallo, Tio," sahut ibu dari seberang.
"Bu, aku gak bisa pulang sekarang. Mungkin nanti malam Tio balik kesana. Ibu jangan kuatir, Tio nginap dirumah mas Erick. Yaudah, gitu saja ya bu. Salam buat mbak Eka, terima kasih. Dan salam sayangku buat Tita. Asslm'alkum."
"Walaikumsalam," sahut ibu dan aku menutup telponnya.
"Maaf mas, aku jadi merepotkan," kataku dengan sungkan.
"Aku tak merasa repot," sanggahnya. "Mana handphonemu?"
"Buat apa mas?"
"Ada bluetoothnya?"
"Ada mas," jawabku heran sambil menyerahkan hapeku. Kulihat dia mengutak-atik handphoneku dan miliknya. Sembari nunggu aku makan hidangan yang dia bawa tadi untukku dan minum obat.
Mengalun sebuah lagu merdu dari handphoneku, aku kenal lagu itu. Lagu yang menjadi dubbing diacara kontes di mall semalam.
"Wah, mas punya lagu itu ya?" tanyaku antusias, Erick tersenyum menanggapiku.
"Apa judulnya mas?" tanyaku penasaran dan kuraih Hpku. Tertera judul Sen Gelmez Oldun dilayarnya.
"Aku juga memasukkan beberapa lagu instrumen disitu," jawab Erick senang.
"Mas punya lagunya Padi yang judulnya Menanti Sebuah Jawaban nggak?"
"Ada, kenapa?" tanya Erick penasaran.
Aku cengengesan. "Aku suka mendengarkan lagu itu ditoko," jawabku malu-malu. Aku suka lagu itu karena lagu itu mengungkapkan perasaanku pada Erick saat dia memutuskan keluar dari toko. Aku sering menangis dikamar mandi kalau sudah mendengar lagu itu dan teringat dengannya.
"Boleh minta mas?" Erick lantas mengirimkan lagu itu padaku. "Terima kasih," ucapku setelah selesai pengirimannya. Erick hanya membalasnya dengan senyuman.
Malam ini Erick mengantarku ke stasiun. Jalanku masih sedikit kaku karena masih terasa nyeri di belahan pantatku, tapi aku berusaha jalan senormal mungkin, takut Erick semakin merasa gak enak.
"Maaf Tio, gak bisa nganter kamu!" ujarnya merasa bersalah. "Kalo saja aku gak ada kerjaan yang harus diselesaikan, aku pasti mengantarmu sampe rumah."
"Gak papa mas," jawabku tenang.
"Hati-hati selama diperjalanan! telpon aku kalo dah nyampe ya," pinta Erick sungguh-sungguh. Sumpah, aku agak jengah dengan sikapnya ini. Entah ini karena dia beneran kuatir padaku atau dia merasa bersalah padaku? Tapi aku suka mendengarnya. Lucu saja rasanya, ada yang kuatir padaku.
"Ya, Mas," jawabku singkat.
"Sudah waktunya berangkat, aku turun yah," ujarnya lirih. Seakan tak ingin pergi, Erick masih berdiri dan mengelus rambutku lembut. Untung tidak begitu banyak orang disekitar kami. pasti aneh rasanya melihat cowok ngelus rambut sesama cowok dengan lembutnya.
Aku memegang tangannya. "Udah mas. Mas mau turun apa ikut pulang denganku nih?" candaku.
"Aku ikut kamu saja lah," sahutnya.
"Eh, gak boleh!" tolakku.
"Kenapa?"
"Kan mas harus kerja."
"Bodo' lah," sanggahnya.
Aku masih menggenggam tangannya. "Udah mas, kapan-kapan kan bisa main kerumah, toh aku gak akan keman-mana." terdengar suara pluit yang menandakan kereta mau berangkat. "Ayo mas, turun gih!" wajah Erick masih saja murung.
"Kapan-kapan aku kesana," tegasnya.
"Aku tunggu dengan senang hati," Erick tersenyum mendengar ucapanku.
"Aku turun. Hati-hati," pesannya lagi. aku membalasnya dengan senyuman. Dengan berat hati kulepas tangannya.
Erick menghampiriku diluar gerbong. Dia menatapku dalam diam. saat kereta jalan, kulambaikan tangan padanya, diapun melambaikan tangan padaku.
Perasaanku saat ini benar-benar bahagia. Aku sadar, kebahagiaan ini takkan berjalan lama, tapi aku akan menikmatinya sebaik mungkin. Lambat laun mataku terpejam juga. Aku tidur dengan perasaan bahagia.
Hari ini aku ingin memastikan segalanya beres (menurutku). Setidaknya aku tak akan terlalu berat meninggalkan ibu dan Tita untuk masalah ekonomi. Sejak aku kerja ditoko, aku memberikan sebagian gajiku untuk modal ibu jualan nasi dipasar pada pagi hari. Walaupun hasilnya tidak terlalu besar, setidaknya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar biaya sekolah Tita. Aku juga memberikan ATM ku yang isinya cukup untuk membayar biaya Ujian Nasional Tita nanti.
"Bu, nanti ibu jaga diri baik-baik ya kalau-kalau Tio tidak bersama ibu dan Tita lagi," ucapku lirih sambil merebahkan kepalaku dipangkuan beliau.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Nak?" tanya ibu lirih. Sebenarnya aku tak suka membahas hal ini, tapi aku ingin kepastian.
"Tio ingin meninggalkan kalian tanpa beban," tanpa dapat kutahan, air mataku jatuh juga. "Tio sayang ibu dan Tita."
"Ibu juga sayang sama kamu nak," balas beliau. Suaranya terdengar serak. Saat kutengadahkan kepalaku, kulihat ibu juga menangis.
"Nanti saat Tio pergi, ibu harus tegar bu, atau Tio akan sedih disana," pesanku sambil mengusap air mata dipipinya. Ibu membelai rambutku lembut. Beliau sedikit kaget saat mendapati tak sedikit rambutku yang melekat dijarinya, "Gak apa-apa bu. Tio pasti juga botak kalo tua nanti," jelasku sambil tertawa, berharap ibu tidak terlalu tegang dan sedih menyikapinya.
"Ibu pasti bakal kesepian ditinggal kedua lelaki dirumah ini nak," ujar ibu sambil tertawa, tawa berat.
"Tio pasti merindukan ibu dan Tita," air mataku makin sulit untuk kubendung.
"Assalamu'alaikum," terdengar suara Tita dari pintu depan.
"Walaikumsalam," sahut kami bebarengan. aku dan ibu segera menyusut air mata kami. Tak mungkin kami membiarkan Tita ikut sedih dengan suasana ini.
"Eh, adek kakak yang paling cantik udah pulang. Sini Tita!" seruku sambil melambaikan tangan. Tita tampak bahagia, sepertinya dia habis bermain seru dengan temannya. Mana mungkin aku tega menghancurkan senyum cerianya dengan melihatku dan ibu menangis.
"Kakak sama ibu kok matanya merah gitu?" tanya Tita heran.
"Iya dek. Kakak sama ibu habis nonton film korea. Karena filmnya sedih, ibu dan kakak sampai menangis. Hahaha...." jawabku dengan tawa yang nyaris sempurna.
"Idih, ibu sama kakak cengeng juga ya. Kalo Tita sih gak bakalan nangis. hehe.." ejek Tita.
"Iya gak nangis, cuma mewek. hahaha..." ibu juga ikutan tertawa. Cukup aku dan ibu yang sedih. untuk kedepannya, aku ingin mengisi sisa hidupku dengan senyum ceria bersama keluargaku satu-satunya. Semua sudah beres, tinggal Erick yang masih belum jelas. Semoga kali ini bisa terselesaikan dengan baik.
Sore ini aku bersih-bersih kamar. Waktu mengangkat buku-buku yang ada dimeja depan yang berserakan karena Tita langsung ngluyur selesai belajar dan diajak main temannya, aku merasa ada yang aneh. Tanganku terasa kebas saat mengangkat buku itu. Tanpa bisa kukendalikan, tanganku seakan mati rasa dan tak kuat mengangkat sebuah buku kecil saja. Aku jadi gemetaran saat menyadarinya. Apakah separah ini gejala yang harus aku alami? Ternyata rasa kebas itu hanya sementara, jadi aku kembali membereskan buku-buku itu dan menyapu semua lantai.
Tubuhku bermandikan keringat saat kudengar suara panggilan masuk dari handphoneku. Sedikit menyipit kulihat nama yang tertera dilayar. Tapi begitu aku berusaha bangun sambil menekan tombol dial, mual kembali menyerangku. Kepalaku berdenyut dan pandanganku serasa jadi ganda, membuatku kembali menghempaskan kepalaku ke bantal, rasanya bantalku sudah basah kuyup terkena keringatku, atau hanya rambutku yang basah. Pendengaranku serasa buntu tak bisa mendengar suara panggilan yang masuk, untung kusetting panggilanku dengan mode getar dan nada, aku mengambil lagi handphoneku dan menerima telpon yang masuk.
"Hallo," ucapku lirih sambil memejamkan mata. Tapi tak kunjung ada suara. Kisipitkan mata untuk melihat layar, masih terhubung. Aku loudspeaker saja.
"Hallo," ulangku.
"Tio..... Tio...." lirih terdengar suara orang memanggilku.
"Iya mas, ada apa?" tanyaku setengah menahan rasa mual dan pusingku.
"Kenapa....? Ada apa...?" tanya Erick pelan.
"Tidak apa-apa mas," jawabku lirih.
"Aku hampir sampai dirumahmu," ujarnya semakin terdengar lirih. "Ada......." suaranya semakin hilang. Aku mengerang menahan sakit kepalaku. Aku berusaha mengambil obat penghilang rasa nyeri yang diberikan dokter untuk menahan rasa sakitnya. Belum sampai aku meminum obatnya, gelas yang kupegang terjatuh dan airnya tumpah kekasur dan bajuku. Aku kebingungan. Mau bangkit rasanya kakiku mati rasa. Tanpa air aku telan saja obatnya. Sedikit tersendak karena agak susah masuk tanpa air, tapi tetap saja aku menelannya. Tak kuasa menahan sakitnya, aku mengerang dan menekuk tubuhku seperti orang kedinginan. Tak lama aku tenggelam dalam kegelapan dan tak sadarkan diri.
" Tiooo..!" terdengar seseoarang memanggilku sambil mengguncang tubuhku.
Perlahan kubuka mata. Kulihat Erick tampak kuatir. Aku tersenyum kecil melihatnya.
"Kau kenapa? Kenapa tak mengangkat telponku?" tuntutnya gusar. "Kita kerumah sakit saja."
"Enggak mas, gak usah," tolakku lirih. "Aku sudah baikan," aku tak bohong karena aku memang sudah baikan. Perlahan aku coba duduk dibantu Erick yang memegang pundakku. Kasurku tampak berantakan, rasanya dingin karena basah hampir diseluruh area tidurku.
"Kamu ngomong apa sih?" sergahnya. "Kita kerumah sakit saja." Erick tetap bersikeras.
Aku tetap menggelengkan kepala pelan. "Gak usah mas. Sungguh, aku sudah baikan. Sudah lama datang mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Enggak, baru saja tiba. Rumah kosong tapi tak dikunci, makanya aku langsung masuk karena kuatir denganmu." jawabnya pelan.
"Gak usah bisik-bisik gitu lah mas, aku kurang jelas dengarnya." pintaku.
"Aku gak bisik-bisik Tio. Ada apa?" tanya Erick kembali gundah. Oh, ternyata memang pendengaranku yang bermasalah.
"Gak papa mas," elakku. "Mas tunggu diruang tamu saja ya. Aku mau mandi dulu." aku tak mau Erick menunggu dikamarku yang berantakan ini.
Akhirnya Erick beranjak keluar kamar begitu juga aku. Setelah kubuatkan minum sekedarnya, aku tinggal Erick untuk mandi sebentar. Walaupun badanku lengket karena keringat, tapi rasanya tubuhku menggigil. Jadi aku ambil air panas ditermos untuk mandi air hangat saja.
Siang ini, aku Tita dan Erick jalan-jalan keliling naik mobil Erick. Tita seneng banget sepanjang jalan, apalagi tadi Erick sempat membelikannya banyak snack dan ice cream. Walaupun sudah kelas VI SD, Tita masih kekanakan. Aku tak mempermasalahkan hal itu, biarlah dia tumbuh dewasa dengan sendirinya. Yang terpenting adalah menjaga agar dia tetap bahagia.
Rencananya Erick mau pulang nanti malam. Sebelumnya ibu sudah memaksanya untuk menginap dirumah, tapi Erick menolak karena banyak pekerjaan. Walaupun aku masih ingin berlama-lama dengannya, aku tak bisa mencegahnya. Ini juga bagus untuk membiasakan diri agar kami tak terlalu sering bertemu dan berhubungan.
Setelah sholat Maghrib, Erick mengajakku keluar. Kami menyusuri jalan berputar-putar. Karena aku tak tau tujuan kami, aku tanyakan saja kita mau kemana.
"Emang kita mau kemana mas?" Erick menatapku sekilas, lalu fokus pada nyetirnya lagi.
"Entahlah," jawabnya singkat.
"Lho, kok entahlah?"
"Sebenarnya aku pengen cari makan," jelasnya.
"Emang mau makan apa?"
"Gak tau juga. Bosen makan yang umum."
Aku berpikir sejenak. "Emmm, gimana kalo makan ikan bakar di pantai xxxx?" usulku.
"Emang enak?" tanya Erick ragu.
"Gak tau juga sih, gak pernah coba. hehe..."
"Emmm, boleh. Kita kesana sekarang," Erick langsung berputar kearah tujuan dengan petunjukku.
Sesampainya ditempat tujuan, Erick memesan satu ikan bakar pedas ukuran besar lengkap dengan nasi. Untuk minumnya, Erick pesan kelapa hijau. Aku minta teh hangat saja. Bukannya aku gak ingin minum air kelapa hijau. Setiap kali minum air itu, aku langsung pusing. kepalaku terasa berat, dan jalanku sedikit goyah. Mungkin aku tak kuat minum air penetralisir itu. Biar kata air itu bagus untuk kesehatan, sepertinya hal itu tak berlaku bagiku. Tadi Erick juga menawariku untuk pesan ikan bakar juga, tapi aku menolaknya. Aku pengen tapi tak mungkin bisa menghabiskannya. Karena itu aku minta dibungkus saja untuk aku berikan pada ibu dan Tita. Supaya Erick gak cemberut karena aku gak menemani dia makan, aku minta berbagi ikan dan nasinya saja sedikit. Toh, porsi nasi dan ikan yang mereka sajikan benar-benar dalam porsi besar. Yang ada dipikiranku waktu itu adalah habis berapa ya kira-kira nantinya?
Selesai makan, menerima bungkusan ikan untuk Ibu dan Tita, dan selesai membayar bill (Erick tak mau menunjukkan habis berapa makan kami tadi), aku mengajaknya ketepi pantai. Kebetulan ada sebuah tempat duduk kosong disebelah utara dan suasananya juga tenang, tak ada orang.
"Bagaimana kabar ibu dan ayah mas Erick di Surabaya?" tanyaku basa-basi. Aku ingin menuntaskan semuanya saat ini, mumpung Erick ada disini.
"Alhamdulillah baik," jawabnya ragu. Sepertinya dia menangkap gelagatku.
"Mas gak berencana seperti ini terus kan?"
"Kenapa Tio?"
"Aku ingin mas terus melanjutkan hidup tanpa terbebani olehku." kataku tenang.
"Terbebani?" tanyanya sedikit keras.
"Aku hanya ingin kepastian mas."
"Maksud kamu apa?" erick terlihat mulai tak mengerti dengan ucapanku.
Aku berusaha bersikap setenang mungkin supaya aku bisa fokus menyampaikan apa yang ingin kukatakan dengan benar. "Aku senang bisa bertemu denganmu, tapi aku tak mau bersikap egois dengan terus menjalin hubungan dengan mas. Aku ingin mas bebas menjalani kehidupan mas tanpa aku," aku menghela nafas.
"Maaf mas, aku gak bisa bicara dengan benar! mungkin mas bingung dengan kata-kataku," Erick masih diam.
"Baiklah begini saja. Aku ingin tau apa yang akan mas lakukan setelah aku pergi?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Erick dingin.
"Apakah mas tak mau mencari penggantiku?" tanyaku balik.
"Aku tak mau membicarakan hal itu dulu."
"Ayolah mas. Aku hanya ingin meninggalkan kalian dengan tenang. Terkadang aku lebih suka kalau kita tak memiliki hubungan apapun."
"Ayo pulang!" tegasnya. Kutahan tangannya saat dia beranjak.
"Mas, please!" Erick tetap melangkah pergi. kurangkul dia dari belakang. "Kumohon mas, bantu aku." ucapku lirih.
Erick membalikkan tubuh dan memegang pundakku. "Dengar Tio, aku butuh waktu untuk bisa terbiasa tanpa dirimu. Kalau masalah pasangan aku pasti akan mencarinya nanti. Untuk sementara aku hanya ingin berhubungan denganmu."
Aku bahagia sekali mendengar hal itu. Tapi masih ada yang mengganjal dihatiku. "Apakah mas akan menjalin hubungan dengan lelaki lain setelahku?" tanyaku bergetar. Membayangkan hal itu sering membuatku meledak dan tak urung aku merasa cemburu tak jelas.
"Aku hanya akan mencintaimu seorang. Aku tak mau menjalin hubungan dengan lelaki lain. Hanya kamu." Erick membelai rambutku dan merangkulku.
"Itu yang ingin kudengar mas," kataku membalas rangkulannya. "Aku gak mau mas mencari lelaki selain aku. Aku lebih suka mas pacaran dengan banyak gadis, tapi jangan laki-laki."
"Mungkin aku akan mencari pelarian pada lelaki lain nantinya," ucap Erick setengah tersenyum.
"Silahkan, dan aku akan gentayangan mengejar kalian."
"Tapi mungkin aku akan melempar lelaki itu dan memeluk arwahmu." aku bisa merasakan nada getir dalam senyumnya saat menyebut kata arwahmu.
"Aku sayang padamu mas. Aku bersyukur bisa bertemu lagi denganmu diakhir hidupku." kupererat pelukanku. "Belum-belum aku sudah merindukanmu."
"Sebenarnya aku ingin lebih lama denganmu, tapi aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Orang tuaku pasti mencurigaiku kalau aku cuti panjang untuk bersama denganmu."
"Gak papa mas. Aku sudah senang bisa bertemu denganmu sekarang." aku melepas pelukanku. "Pulang mas! gak enak dilihat orang." Erick mengecup keningku dan menggandeng tanganku menuju mobil.
Setelah bertemu ibu, Erick pamit pulang. Ibu tak lupa mengucapkan terima kasih sudah dibelikan ikan bakar saat mengantar Erick kedepan rumah.Aku akan mengantarnya sampai kemobil (rumah kami masih masuk gang dan tidak bisa dilewati mobil).
"Masuk kemobil dulu Tio!" pinta Erick saat dia sudah berada didalam mobil.
"Untuk apa mas?" tanyaku heran, tapi juga menurutinya.
Erick mematikan lampu mobil dan memelukku dengan erat. "Aku mencintaimu." bisiknya pelan.
Kubalas pelukannya dan mengecup pipinya. "Aku juga mencintaimu, dan akan selalu begitu."
"Aku bawa kamu ke Surabaya ya."
"Jangan gila mas. Nanti ibu dan adikku bagaimana?"
"Tapi aku tak ingin meninggalkanmu," sahut Erick lirih.
"Mas bisa datang kemari kapan saja. Aku akan selalu berada disini." hidup ataupun mati, batinku.
"Aku mencintaimu Tio. Aku bisa gila kalau terlalu lama jauh darimu." ucapnya sambil menciumi kening, pipi, dan hidungku. Mungkin dia sudah beneran gila sekarang.
"Mas tau, aku tak suka mendengar itu." kulepas rangkulannya. "Jalani saja apa yang ada mas. Kuharap suatu saat nanti mas bisa terbiasa tanpa aku."
"Tak bisakah kau membalasnya dengan kata-kata yang sama." tuntutnya sewot.
"Aku tak mau memberi ucapan kosong mas." kataku dan tersenyum kecil. "Aku mencintaimu, dan kuharap itu cukup untukku dan untukmu."
"Kupikir mas tak bisa merajuk, ternyata lucu juga melihat mas cemberut seperti itu."
"Aku ingin menciummu." katanya manja.
"Boleh." jawabku singkat. Tanpa basa-basi Erick langsung melumat bibirku. Aku membalasnya. Mungkin ini kesempatan terakhirku bertemu dan merasakan sentuhannya. Tanpa terasa air mataku mengalir. "Aku mencintaimu mas. Selamanya. Kaulah cinta pertama dan terakhirku. Aku bersyukur Tuhan memberikanmu padaku diakhir hidupku. Aku tau ini salah, tapi aku tak menyesalinya. Karena yang kutau, aku hanya mencintaimu." ucapku dalam hati.
Sebenarnya aku ingin menyelesaikan ceritaku sampai akhir hidupku. Tapi aku tak mau menulis kisahku dalam kesakitan dan menunggu detik-detik terakhir nafasku. Yang jelas hubunganku dan erick tetap berjalan sampai maut sendiri yang memisahkan kami. Aku tak mau memutuskannya hanya supaya dia bisa mencari cinta yang lain. Itu hanya akan menyakitinya. Aku yakin waktu akan menyembuhkan hati dan pikirannya sepeninggalku. Untuk ibu dan adikku, sebenarnya aku sangat berat meninggalkan mereka berdua, tapi dengan berjalannya waktu pula kuharap mereka bisa terbiasa hidup tanpa diriku. Saat ini, aku hanya bisa menjalani semuanya dengan seadanya. Aku lebih sering sholat dan berdzikir kepada-Nya. Ibu dan Tita juga sering ikut sholat berjamaah denganku, dengan semua kekuranganku dalam melafalkan ayat-ayatnya. Tak jarang Erick menelponku ataupun mengirim pesan kalau dia sangat mencintaiku dan rindu padaku. Kuharap semua akan berjalan senormal mungkin. Aku hanya bisa berdo'a agar yang kutinggalkan nanti selalu diberi ketabahan dan kekuatan setelah kepergianku. Aku minta maaf atas segala salah dan khilafku dan orang-orang yang kucintai selama ini. Hanya maaf dan sedikit kekuatan-Mu yang kuminta. Hanya pada-Mu aku meminta dan hanya pada-Mu kuserahkan seluruh sisa hidupku. Maafkan aku Ya Allah, kumohon lindungilah ibu dan adikku, dan orang yang kucintai. Tunjukilah Erick jalan yang benar sepeninggalku, agar dia tak menempuh jalan diluar petunjuk-Mu. Terima kasih Ya Allah atas segala rahmat dan berkah-Mu untukku dan orang-orang disekitarku. Aku tak menyesali kuasa-Mu. Aku percaya pada keadilan-Mu, karena Kaulah hakim ter-Adil dalam hidupku.
THE END.