BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Last Sunset

edited April 2012 in BoyzStories
Ia begitu rapuh...
Bahkan jemarinya tak mampu menahan berat sebuah cangkir...
Walau begitu, senyum terus menghias pipi tirusnya...
Tak pernah pudar, kian hari kian merona saja...

*****
Seorang wanita paruh bayah tengah memapah seorang anak remaja berjalan-jalan di tepi pantai berombak tenang. Anak itu terlihat rapuh, memakai baju pasien dengan sebuah scruff melingkar di lehernya. Pipinya agak tirus, bibirnya pucat pasi sedikit mengerut. Namun senyum simpul terus menghiasnya. Tak bosan ia memandangi indah mentari senja yang sebentar lagi tertelan laut. Ya, ia begitu menyukai senja. entah apa pesona yang memikatnya dari senja itu. Jika di tanya, ia sendiri bingung menjawabnya. ‘Bagiku senja itu indah, hanya itu’, kalian hanya akan mendapatkan kalimat singkat itu jika menanyakannya.

Ia memang tak seberuntung anak laki-laki pada umumnya. Sejak kecil harus hidup bermodalkan perkembangan teknologi pengobatan dan update obat-obat terbaru untuk penyakitnya. Kadang ia menangis, menangis meratapi perbedaannya dari remaja-remaja seusianya. Ia begitu ingin bergaul dengan mereka, bermain bersama, bercengkrama, menikmati masa-masa indah belia yang tak mungkin datang dua kali. Di depan semua orang ia terlihat kuat. Terutama di depan ibunya. Sosok yang mungkin menjadi satu-satunya alasan dirinya untuk kuat bertahan dari penyakitnya. Sesakit apapun dia, sesusah apapun hatinya meratapi nasibnya. Takkan pernah terungkap dari bibirnya, begitu rapi ia sembunyikan hingga sekitarnya mengira ia baik-baik saja.

Tapi tidak untuk ibunya. Sepintar-pintarnya ia menutupinya, naluri ibunya begitu kuat, tak terbantahkan. Suatu kali ibunya tanpa sengaja membaca beberapa lembar buku hariannya hingga menemukan curahan-curahan hati anaknya betapa ia sangat tersiksa dengan hidup yang di jalani itu. Sontak anak itu membelalak melihat buku hariannya berada dalam genggaman ibunya. Ia sebenarnya ingin marah, tapi malah tangisan yang keluar dari bibirnya. Isakan pilu yang begitu menyayat. Ibunya hanya bisa memeluk anak lelaki satu-satunya itu berharap sedikit saja bisa menenangkannya.

Namanya Leonardo Fajar William. Usianya genap 17 tahun beberapa minggu lagi. Sejak kecil di vonis dokter menderita sirosis hati. Mengharuskannya hidup bergantung pada obat-obatan untuk sekedar menambah hari hidupnya. Leon anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Kedua kakak perempuannya sudah menikah. Dan tak lagi tinggal bersama ibunya dan Leon. Ayah mereka meninggal beberapa tahun yang lalu. Ibunya harus berjuang sendiri membesarkan anak bungsunya itu.

Seperti biasa, Leon selalu minta di antar berkeliling pantai tiap senja. menikmati suasana matahari terbenam di tepi pantai. Ia suka memejamkan mata, menikmati merdu alunan deru ombak di pantai, merasakan hangat timpaan sinar matahari senja. hingga suara-suara burung yang lulu lalang di langit atas permukaan laut. Remaja rentah itu begitu menikmati momen-momen itu. selalu ada sesal di benaknya jika melewati sehari saja tanpa menikmati keindahan senja di tepi pantai. Bahkan saat hujan pun, ia akan memaksa ibunya mengantarnya dengan mobil. Untuk sekedar memarkir motor tak jauh dari pantai. Leon akan duduk manis di jok mobil sembari memandangi pantai melalui jendela mobil. Selalu begitu. Ibunya seringkali bertanya, mengapa Leon begitu menyukai pantai. Tak ada alasan jelas, dia hanya menyukainya.

Baginya senja itu anugerah...
Mahakarya sang Kuasa yang begitu indah...
Ia begitu mencintai senja...

*****
“ma... ayo... nanti kita telat...” rengek Leon pada ibunya.
Ibunya menatap sendu wajah tirus anaknya itu. “iya nak, hmm... sabar sebentar yah... inget om Farry nggak ? mama tadi di telepon dia, katanya mereka lagi di Manado sekarang, mendaftarkan kak Resky untuk kuliah di sini, mereka bilang mau singgah kemari dulu sebelum balik ke hotel, sabar sebentar yah, masih jam 4 kok, nggak enak sama mereka.” Ujar ibunya sembari membelai pelan rambut Leon.
Leon cemberut. “ah mama, nggak lama kan ?” tanyanya melas.
“iya...” sahut mamanya simpul.
Leon kembali sibuk dengan laptopnya. Sesaat ia merenung. Kak Resky, seperti apa dia sekarang, mereka berpisah saat Resky berusia 12 tahun, tepat di hari ulang tahun ke 8 Leon. Yang Leon tau dulu, Resky adalah sosok yang selalu kontra padanya. Sifat dasarnya yang manja juga seringkali membuat Leon kesal. Entah bagaimana rupanya sekarang.
Limabelas menit berlalu, belum juga yang di tunggu datang.
Leon mulai gelisah. “mama... kok lama sih”
“duh sabar yah sayang, om Farry udah deket kok.”
“huh!” umpat Leon kesal.
Ia selalu begini kalau soal menikmati senja.
Tok Tok Tok... Bunyi suara pintu ruangan Leon diketuk.
“huh, akhirnya...” gumam Leon.
Ibunya melangkah ke pintu untuk membukanya. Pintu tebuka, om Farry masuk bersama tante Mirna istrinya.
“waduh, kalian ini, kenapa nggak kabarin dari awal sebelum datang kemari, kan aku bisa siap-siap mas” ujar ibu kesal.
“haha, maaf dek, kami memang sengaja buat kejutan buat kalian, mas juga sudah kangen sama jagoan mas yang itu...” om Farry melangkah mendekati Leon.
“hai Jagoan !” om Farry mengacungkan tangan, dengan Leon ia melakukan tos khas mereka, keduanya masih hafal betul gerakannya.
“hehe, iya om jagoan ranjang rs” cetus Leon pahit.

Om Farry menatapnya sendu, tangan kekarnya membelai pelan rambut Leon, “ada-ada aja kamu nak”.
Sejenak Leon tersenyum melihat cara om Farry memperlakukannya. Om Farry, teman ayahnya sejak sma. Keduanya sudah seperti saudara hingga saat ayah Leon meninggal, Om Farry menjadi salah satu yang paling terpukul atasnya. Om Farry sangat menyayangi Leon tak ubahnya anaknya sendiri. “hehe, umm... kak Resky mana om ?”

“Resky singgah toilet tadi sebelum kesini, mungkin sebentar lagi kemari”
Leon diam, rasa penasaran tentang seperti apa wajah Resky sekarang kembali menyeruak di benaknya. Pasti makin tampan, itu gumamannya. Tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk lagi, istri Om Farry yang kali ini membukakannya.
“lama banget nak, udah mama telepon juga...” ujar tante Mirna.
“iya iya maaf, nggak ada setengah jam juga kok” sahut Resky dengan malas. Leon penasaran melihat wajah Resky, tapi terhalang oleh daun pintu juga tubuh tante mirna yang lumayan berisi.
“yaudah, masuk sekarang, jenguk Leon” mendengar perkataan tante Mirna tiba-tiba Leon kikuk sendiri, jantungnya berdetak sangat cepat.
Wajah yang sudah cukup asing baginya kini mendekatinya. “Hai, apa kabar kamu...?” sapa Resky kecut, sepertinya bingung apa yang bisa di basa-basikan bersama teman lamanya itu.
“i... iya kak, kabar Leon baik, kakak sendiri ?” tanyanya balik sambil memaksakan sebisa mungkin satu senyum simpul terukir di wajahnya, darahnya berdesir menggila merasakan genggaman tangan Resky yang kekar.
*****

Tatapan dingin itu menggetarkannya...
Genggaman kokoh itu menghanyutkannya...
Tak perlu terlalu banyak kata...
Pemuda itu telah memikatnya...

“baik-baik aja...” sahutnya masih sekecut jeruk limau. Leon terdiam, ia kehabisan kata-kata untuk berucap pada Resky, padahal banyak sekali yang ia ingin tanyakan dan bahas pada sahabat lamanya ini.
Ia juga masih perpanah pada pesona pemuda bernama Argian Resky Saputra itu.
“woy, tanganku ?” tanya Resky dingin.
“eh ! iya, aduh... maaf kak” lamunannya tiba-tiba buyar, wajahnya memerah, sontak ia pun salah tingkah.
Resky masih dengan ekspresi kesalnya. “Resky ! “umpat tante Mirna kesal.
“Leon maafin kak Resky yah.”
“hmm nggak pa-pa kok tante, salah Leon juga” sahutnya tersipu.
“hmm, gimana kalo Resky temani Leon melihat sunset di pantai, Leon selalu ke sana sore-sore begini, sekedar mengakrabkan saja...” tawar Om Farry yang sukses membuat Leon dan Resky membelalak.
“loh, kok Reskysih pa ?” sahutnya kesal.
“Resky !, ayolah kalian kan udah lama nggak ketemu, Leon juga udah kangen sama kamu, nggak usah bantah ah, ini kuncinya.”
Ujar Om Farry tak terbantahkan, tangannya menyodorkan kunci mobil ke Resky. Dengan sebuah dengusan kesal ia mengambil kunci itu. Leon sejak tadi hanya bisa menunduk tersipu. Telinganya memanas, wajahnya semerah udang rebus selama perdebatan singkat Resky dan Om Farry.

Tante Mirna dan ibu Leon membantu Leon bangkit dari ranjangnya. Terlihat Om Farry memakaikan scruff dan kupluk padaLeon. Resky hanya menatap malas semuanya, tak ada yang menarik untuknya.

“oke sekarang udah siap, nak Resky tolong temani Leon yah, kalian ngobrol lah di sana, pasti banyak yang kalian ingin bicarakan. Bertahun-tahun terpisah sepertinya kalian jadi sangat kaku” ujar ibu Leon dengan senyum simpulnya.

Resky tak bisa apa-apa selain ikut tersenyum padanya. “iya tante...”. Dengan segala ‘keterpaksaan’nya tangannya memapah Leon turun dari ranjang. Leon tersipu, menurut saja.
“kami pergi dulu pa, ma, tante...” pamit Resky.

*****

Deru jantungnya seirama ombak di sana...
Gejolak ini, tak mampu di kekangnya...
Namun ia masih takut mengartikannya...
Tak berani meyakini apa yang sekarang ada dalam benaknya...

Leon duduk di atas batu favoritnya, letaknya tak jauh dari bibir pantai, ombak-ombak pendek masih bisa mencapainya. Resky berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya masuk ke saku celananya. Ia menatap sendu hamparan laut di hadapannya. Tanpa sadar pikirannya merenung, entah apa yang ada dalam benaknya, penyesalan, sepertinya adalah terkaan yang sangat memungkinkan untuk itu. sesaat kemudian pandangannya tertuju pada Leon, anak itu sejak tadi asyik dengan selembar kertas gambar dan pensil di tangannya.Resky yang penasaran mendekati Leon. Anak itu rupanya menggunakan headset di telinganya, hingga tak menyadari keberadaan Resky di sampingnya. Potret senja, tentu saja. Kertas gambar Leon terisi dengan sketsa potret senja yang diciptakan melalui goresan-goresan tipis sebuah pensil.

“sini pinjam” tanpa menunggu persetujuan Leon ia meraih lembar-lembar kertas gambar itu dari tangan Leon.
“eh, jangan kak, itu... belum selesai” sergah Leon malu-malu. Resky tak berucap, ia hanya memandangi gambar itu beberapa saat.
“bagus...” satu kata saja, seketika itu juga wajah Leon memerah.

Resky membalik buku itu ke lembaran selanjutnya, di raihnya pensil gambar dari tangan Leon. Ia mulai menggambar, tak ada kata-kata yang keluar di antara mereka selama Resky menggambar. Leon memperhatikannya dengan serius. Berulang kali senyum takjub menghias wajahnya melihat betapa lincah goresan tangan Resky menghasilkan gambar pemandangan yang begitu indah. Tak sampai sepuluh menit sebuah sketsa pemandangan senja di pantai itu telah berhasil di buat Resky. Ia masih membisu sembari menatap gambarnya tanpa semangat, tanpa ekspresi lebih tepatnya.

“waaahhh, hebat banget kak, ajarin Leon yah...” seru Leon girang, suaranya melengking cukup keras. Seketika mukanya kembali memerah menyadari Resky menatapnya dengan tatapan aneh. Ia tertunduk malu.
“biasa aja, aku belum pantas ajarin kamu” ujarnya singkat. Leon tak mampu berucap, jangankan menjawab, nafasnya saja saat itu tersendat.
“Nih, udah kan sunsetnya, sekarang ayo pulang”. Sedikit serampangan Resky memberikan tumpukan lembaran gambar juga pensil yang ia gunakan pada Leon. Leon masih mematung tak mampu mengatakan apa-apa. Resky melangkah menapaki batu-batu besar menuju daratan pasir yang kering. Leon terlihat masih membereskan peralatan gambarnya.

*****

“hei cepat kemari ! sampai kapan kamu mau mematung di situ !” seru Resky kesal.
“ iya kak...” sahut Leon singkat. Dengan perlahan ia menapaki batu demi batu mendekati Resky, satu demi satu batu di laluinya. Hingga sampai di batu terakhir sebelum menginjak pasir, tepat di depan Resky. Leon berhenti, jarak batu yang terakhir ini cukup jauh, sedang tak ada lagi batu-batu lain yang jaraknya lebih kecil dari ini. Ia takut melangkah. Resky menatap Leon dengan jengah.
“ayo...!” desisnya tak sabar.
”i...iya kak...”

Leon merapikan sebentar alat-alat gambarnya, mendekapnya erat ke dada lalu mengambil ancang-ancang melompat. Agak mundur sedikit dan...

HAP !

“waaaaa...!” teriak Leon saat keseimbangannya goyah. Tubuhnya limbung ke belakang.
“hei ! arrgghh...”

Resky dengan sigap melompat ke batu itu lalu merengkuh tubuh Leon yang hampir jatuh ke belakang. Di tariknya tubuh mungil Leon dalam dekapannya. Tubuh mereka menempel, tangan Leon yang tertekuk memeluk alat-alat gambarnya tersandar tepat di dada bidang Resky, Leon tertunduk, membenamkan wajahnya di dada Resky. Sesaat keduanya terdiam, keduanya masih sama-sama kaget. Dekapan di tubuh Leon cukup erat, jantung Leon jelas beroperasi semakin menggila dengan posisi ini. Tak berani ia menatap Resky. Masih tangannya yang satu mendekap Leon dari belakang, tangannya yang lain menuju wajah Leon, perlahan di angkatnya dagu Leon. Mau tak mau mereka bertatapan juga, Leon menatap sendu dan nanar pemuda di hadapannya, kalut, ia sendiri tak dapat menggambarkan dengan jelas gejolak yang ia rasakan saat itu. tatapan Resky tanpa ekspresi, tangannya masih menopang dagu Leon, ia mendekatkan wajahnya. Leon memejamkan mata, tinggal beberapa senti lagi Resky berhenti, mata Leon masih terpejam, deru nafas Resky dapat terasa di hidungnya. “kamu itu... merepotkan!” ujarnya pelan. Tiba-tiba dekapannya di lepas, ia agak merunduk sedikit lalu mengangkat tubuh Leon ke atas, menggendongnya.

“waaaa... aduh kak Resky, gak usah... Leon masih bisa sendiri” rengeknya lirih, wajahnya merona lagi.
“diam!” satu bentakan singkat Resky berhasil membungkam Leon, anak itu menunduk lagi, tak berani menatap Resky.
Resky melepas Leon dari gendongannya, Leon membetulkan posisi duduknya di jok, ia duduk di samping Resky yang menyetir. Leon masuk dan duduk di joknya, mobil dihidupkan lalu di pacu perlahan meninggalkan pantai yang sepi itu. kembali kebisuan mewarnai perjalanan pulang mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tatapan itu menghanyutkannya...
Menyeretnya dalam deras arus imaji...
Gejolak di hatinya itu semakin kuat...
Cinta...

Comments

  • yee q yg prtma!!
    Dlanjut ea bro!!

  • *****
    “gimana jalan-jalannya nak ?” tanya tante Mirna pada Leon, senyumannya hangat, tangannya membelai pelan rambut Leon.

    “menyenangkan kok tan” ujar Leon simpul, tante Mirna menengok ke Resky, “kamu juga senang senang kan nak ?”
    ”biasa aja...” ujar Resky cuek, ibunya melotot.

    Resky tak peduli, dengan santainya ia melengos keluar dari ruangan itu.
    “kak Resky makasih.....” tiba-tiba Leon berujar, langkah kaki Resky terhenti. “.....makasih udah temenin Leon” sahutnya dengan sedikit terbata, menatap punggung Resky, pemuda itu tak menoleh, ia hanya terdiam sebentar selama Leon berujar kemudian melanjutkan langkah kakinya meninggalkan ruangan itu. Tanpa berkata-kata.

    Tante Mirna hanya bisa mendengus resah sambil menggeleng pelan kepalanya. “Leon maafin kak Resky ya...” ujarnya.
    “nggak apa-apa tante, Leon tau kak Resky tuh baik kok” sahut Leon dengan senyum manisnya. Tante Mirna kian terenyuh memandangi Leon, tatapannya lirih, butir-butir bening di pelupuk matanya kian mendesak. Ia akhirnya mendekap anak itu.

    “Leon yang kuat yah, tante tahu Le anak yang kuat kok, Leon harus ada terus buat jagain mama” Leon ikut terenyuh mendengar perkataan tante Mirna tersebut. Om Farry dan Bu Ranti ibu Leon tak kalah terharunya melihat itu.

    “iya tante, Leon kuat kok, Leon bakal jagain mama sekuat tenaga, hehe” tawa itu kembali menghias wajah tirusnya, berharap sekitarnya bisa percaya, kalau ia baik-baik saja. Semua memang sedikit lebih tenang melihat senyumannya, namun agaknya, kian hari kian kelihatan saja. Penurunan kondisi Leon yang kian memburuk. Tak bisa lagi dengan mudah ia menyembunyikan kerapuhannya itu. Pun yang bisa di berikan sekitarnya hanyalah senyuman lirih yang lebih mirip sebuah kepasrahan.

    Sepasang mata merekam seluruh kejadian-kejadian haru di dalam kamar dari celah jendela kaca, masih seperti tadi, tanpa ekspresi berarti.

    *****

    Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sudah hampir sejam Resky menggelayut kesana kemari di atas kasurnya. Telentang, telungkup, menyamping, dan entah apa lagi posisi yang ia telah coba, semuanya gagal membuatnya memejamkan mata sedikit lebih lama. Padahal kasur mewahnya begitu empuk, biasanya ia bisa dengan cepat terlelap di sana. Pikirannya menerawang, kejadian beberapa hari yang lalu terus memenuhi benaknya, wajah Leon, secara ajaib terus pula memenuhi pikirannya, tak bisa lepas

    “aku pasti sudah gila” gumamnya dalam hati.

    “Arrrrggghhh...” tiba-tiba ia mengerang tertahan, hampir seperti teriakan.

    Tangannya meraih sesuatu di samping bantalnya. Handphone. Entah apa yang menggerakan hatinya untuk ‘mencuri’ nomor Leon dari ponsel ibunya. Di pandanginya layar ponsel itu begitu lama, ada 12 angka berjejer di sana, dengan tangan bergetar Resky mendekan tombol memanggil pada keyboard ponselnya. Jantungnya berdebar kian cepat mendengar suara nada tunggu yang tiba-tiba terdengar.

    “halo... siapa ya ?” suara ringan itu menyambut panggilannya.

    Degupan jantung Resky kian memburu. “halo...? halooo...?” ,suara Leon lagi. Resky masih membisu, “halo, ini siapa sih ? nelpon kok diam ?” suara itu kian terdengar kesal.

    “hhh halo dek...” akhirnya beberapa kata keluar dari mulut Resky, Leon menghentikan ocehannya, pikirannya mencerna suara yang ia dengar barusan, ia mengenalnya.
    “i...ini siapa yah?” , diam sejenak, Resky kalut mempersiapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu
    “ini kak Resky dek, a..adek udah tidur ?” ‘dek’, entah mengapa sekarang ia tak bisa lepas memanggil Leon dengan sebutan itu.

    Leon terdiam, matanya membelalak menyadari siapa yang tengah meneleponnya ini. Resky, pemuda yang telah berhasil mencuri hatinya. Sahabat lama yang agaknya dulu begitu membencinya. Kini datang dan memaut hatinya. Panggilan ‘dek’ dari Resky pun semakin membuatnya risih, juga senang, kombinasi yang aneh memang.

    “k..kak Resky ? ini kak Resky ? i..iya kak, eh, maksud Leon belum kak, belum ngantuk ”
    “.....eerrrgghh” Resky mendengus resah, rasanya masih susah menciptakan percakapan hangat di antara mereka.
    ”baguslah, emh.. kakak... kakak mau... errggghhh...” Resky kian frustasi dan bingung bagaimana mengungkapkan keinginannya.

    Leon yang tak kalah gugup pun semakin bingung, “kenapa kak ? kakak mau apa ?” ucap Leon bergetar.
    “emmhh... kakak mau jenguk kamu lagi besok, boleh ?”.

    Kembali mata Leon membelalak. Ingin rasanya ia berteriak saking girangnya, itu yang memang ia tunggu sejak kunjungan mereka yang terakhir hari itu. namun akal sehat masih mampu menahannya.

    “b..boleh kak, boleh banget...” nada senang tak bisa tertutupi dari suaranya, Resky pun merasakannya. Dari tempat yang berbeda keduanya tersenyum, lega. Perlahan obrolan kecil nan hangat tercipta di antara mereka, tak ada lagi ke canggungan di antara keduanya, mereka bahkan sudah bisa saling berkelakar tanpa beban. Hampir delapan tahun berpisah sepertinya membuat mereka punya segudang topik untuk di bahas.

    “hoaahhmm... kak.. ngantuk.. hehe” ucap Leon lirih, matanya tak bisa berkompromi lagi. “hmm, yaudah kamu tidur sekarang, kakak mau dengar dengkuranmu dulu baru kakak tidur”.

    Leon tercekat, “loh kok gitu kak?”
    “udah ah nggak usah protes, tidur sekarang!”
    “i..iya kak”.

    Leon kini bungkam, menuruti kemauan aneh Resky. Lama mereka berdua terdiam, tak ada yang menunjukkan tanda-tanda mengantuk sedikitpun. Dari dua tempat berbeda inilah dua raut berbeda yang mengekspresikan bahwa cinta itu benar-benar menguasai mereka. Resky begitu bahagia malam itu, serasa lepas beban di seantero benaknya. Bisa bercengkrama ringan dan santai dengan Leon, mendengar tawa lepasnya. Melengkapi indahnya malam itu.

    “kamu udah tidur ?” tanya Resky pelan. Leon tak lagi menjawab, dapat terdengar di telinga Resky dengkuran halus Leon yang menderu.

    Resky tersenyum, “good night my lil’ bro, sleep tight!” ucapnya lirih. Sejurus kemudian ia memutus sambungan telepon tersebut. Ia kemudian membenamkan tubuhnya d balik selimut, entah mengapa ranjangnya terasa sepuluh kali lebih nyaman dan empuk dari sebelumnya. Mungkin efek hatinya yang begitu tentram setelah menelpon Leon tadi. Ia merapatkan tubuhnya ke puncak ranjang, mendaratkan kepala hingga bahunya di tasa tumpukkan bantal, tangannya menyilang menopang kepalanya. Ia merenungi dirinya sendiri, coba mengartikan perasaan itu. Rasa aneh yang tanpa permisi merasuki dirinya. Yang tanpa ia pupuk pun tumbuh menggila dengan suburnya di relung hatinya. Senang, lebih dari itu. ada rasa tentram dan nyaman mendengar Leon tertawa. Sejuk dan damai di hatinya saat membalas tatapan dan senyuman anak itu. Sayang, mungkin cukup tepat untuk menggambarkannya. Ada rasa takut muncul setelah Resky tau separah apa kondisi Leon sekarang, timbul keinginan untuk menjaga Leon, melindunginya. Tapi Resky kembali merenung, sepertinya lebih dari itu.

    Rasanya ia sendiri takut meyakini apa satu lagi rasa yang melebihi rasa sayang.

    “.....hmmpphhh... aku masih cukup normal ! , tapi kenapa padanya....ergghh” hanya sebuah dengusan kecil yang menunjukkan keresahannya. Tak lagi ia berteriak seperti tadi. Sepertinya mulai saat ini ia takkan berusaha menyangkali hatinya lagi. Ia pasrah dengan rasa itu.

    *****

    “nak Resky ? oh... silahkan masuk nak...” bu Ranti Ibu Leon sedikit takjub menyambut kedatangan Resky, sendirian.

    “Leon-nya bisa di jenguk kan tante...?” tanya Resky kikuk, tak ubahnya kekasih tengah bertandang ke rumah sang mertua.

    “bisa kok, cuman dia lagi tidur sekarang, sejak siang tadi dia demam, baru bisa tertidur kurang lebih setengah jam yang lalu, Resky tak keberatan menunggu?” tanya bu Ranti sedikit risih.

    “oh..eh.. tentu aja tan, nggak apa-apa kok...” bu Ranti pun menggiring Resky ke ranjang Leon.

    Di sana remaja itu tengah terlelap dengan tenangnya, tubuh lemahnya hanya berbalut sepasang piyama tipis yang semakin menunjukkan siluet tubuh kurusnya yang semakin termakan penyakit jahanam itu. Resky duduk di sisi kanan ranjang, tangannya menggenggam pelan tangan Leon, matanya sendu menatap lemahnya anak itu. Bu Ranti hanya bisa tersenyum melihat perubahan Resky yang begitu mencengangkan.

    “tante keluar sebentar ya nak, titip Leon-nya” ujar bu Ranti ramah. “iya tante, silahkan...”

    Cklek... terdengar suara kecil gagang pintu ruangan yang di tutup bu Ranti. Derap langkah pelannya pun perlahan menjauh dari pendengaran.

    Hening, Resky memandangi sekelilingnya. Ruangan ini sepertinya sudah menjadi rumah kedua bagi Leon. Berlembar-lembar gambar hasil karya Leon di pajang di sini, hampir keseluruhannya adalah sketsa senja. Resky memperhatikan lebih teliti lagi, walau begitu dapat jelas terlihat suasana dalam gambar itu berbeda-beda. Seperti menggambarkan perasaan hati si penggambar saat menggambarnya. Penjelajahan matanya berhenti pada tubuh Leon yang tergolek lemas di tas ranjang. Butir-butir bening terlihat menyebar di sekujur dahi dan wajahnya. Resky merogoh saputangan-nya dari saku lalu dengan lembut menyeka keringat yang mengucur dari wajah Leon tersebut. Poni tipis remaja itu tersibak, hingga Resky dapat memperhatikan detail wajah anak itu dengan lebih jelas lagi. Resky tersenyum, tangannya membelai lembut wajah tirus Leon. Pandangannya menuju dada Leon, ada sesuatu terselip di sana. Resky meraih benda tersebut. ‘ia masih menyimpan ini ?’ batin Resky, di tangannya sekarang lembaran sketsa senja yang di gambarnya seminggu yang lalu. Leon masih menyimpan itu.

    Anak itu tiba-tiba menggeliat, sontak Resky terkaget olehnya.
    Panik, perlahan mata Leon terbuka, terlihat gelisah. Ia tak melihat sekitarnya, ta menyadari kehadiran Resky di sampingnya. “haus...” kata pertama yang keluar darinya.

    Mendengar itu dengan sigap Resky mengambilkan segelas air putih dari teko di meja. “nih di minum...” Leon tak bisa bergerak banyak, Resky membantu mengangkat tengguk Leon agar ia bisa meneguk air dingin itu lebih mudah. Selesai meminum air kesadaran Leon mulai terkumpul sepenuhnya. Matanya membelalak menyadari siapa yang memberinya minum tadi.

    “k..kak Resky, kok di sini ? mama mana ?” tanyanya bingung.

    “eh.. kan kemarin kakak janji mau kemarin, bu Ranti tadi keluar sebentar”.

    Leon tersipu, cengiran kecil berusaha ia sunggingkan di sela kegugupannya. “kakak dapat dari mana nomor adek?” entah darimana di dapatnya keberanian untuk menggoda Resky. Tak pelak Resky membelalak, tak ia sangka akan mendapat pertanyaan itu dari mulut anak pemalu bernama Leon,

    ”eh itu, kakak... kakak... itu...”

    “dari tante Mirna yah ? hehe... nggak apa-apa kok kak, adek malah seneng punya teman ngobrol”

    Resky menghela nafas, anak ini betul-betul berhasil mengerjainya. Tangannya merayap mengacak pelan rambut Leon, “dasar kamu ini !” ujarnya gemas.

    “.....” Leon tak mampu berucap, wajahnya memerah saat Resky melakukan itu.

    Resky sedang menyuapi Leon apel saat bu Ranti masuk.
    “eh, udah bangun nak ? gimana masih panas badannya ?” bu Ranti menghampiri Leon lalu dengan telatennya mengelap sisa keringat yang masih keluar dari tubuh Leon.

    “duh, baru sebentar udah basah lagi bajumu nak... ayo buka, mama ganti...” seketika itu Leon menjadi kikuk dan kebingungan.

    Ia awalnya diam, membiarkan ibunya membuka satu demi satu kancing piyamanya, hingga setelah beberapa saat tangan mungilnya menahan tangan ibunya, “Leon aja ma, Leon bisa sendiri...” ucapnya lirih, wajahnya memerah. Ibunya sedikit terkejut, lalu menengok ke arah Resky, seperti bisa membaca pikiran anaknya ia pun menurutinya.
    “ya sudah, malam ini pakai kaos saja, kalau-kalau kamu demam lagi...” Leon mengambil kaus putih tipis itu dari tangan ibunya.

    Kedua tangan anak itu meneruskan pekerjaan ibunya tadi, tiga kancing terakhir piyamanya selesai ia lepaskan. Mata Resky tak lepas memandangi Leon, saat-saat Leon menurunkan Piyama itu, kali pertama ia melihat tubuh kurus anak itu polos tanpa sehelai benangpun. Dengan gerakan dramatis Leon memakaikan kaos putih polos itu ke tubuhnya, kedua tangan mungilnya teracung ke atas, berusaha memasukannya ke dalam lobang di kedua lengan kaosnya itu, sesaat mata Resky terpaku pada lekuk tubuh Leon di hadapannya. Entah mengapa, tubuh kurus itu terlihat begitu menggoda untuknya. Seperti tersadar Resky mengucek pelan wajahnya, ‘sepertinya aku benar-benar sudah gila!’ batinnya berbisik.

    “nak Resky, ikut makan malam dengan kami saja yah, tante baru hangatkan kuah ikan patin untuk Leon, kebetulan nak Resky ada sekalian saja” ujar bu Ranti dengan ramah. “aduh tante, nggak usah, jadi ngerepotin...” sahut Resky canggung.

    “ah nak Resky apaan sih, masa segini aja ngerepotin...?” bu Ranti tersenyum. “kakak makan sama adek yah ?” tiba-tiba Leon angkat suara, ia menatap Resky dengan senyum simpulnya, sukses meluluhkan Resky. “baiklah...”

    “wuihh, lahap banget kak...” decak Leon kagum melihat Resky yang makan dengan lahapnya. Sontak mata Resky membelalak, wajahnya memerah, Tak ia sangka cara makannya di perhatikan sejak tadi. Ia hanya bisa menyengir malu-malu.

    Tentulah ia lapar, sejak siang tadi ia bahkan tak makan hanya untuk mempersiapkan dandanannya untuk menjenguk Leon. Ia bahkan menghabiskan setengah jam di depan cermin di kamarnya hanya untuk membenarkan gaya rambutnya.

    Cinta memang luar biasa. “....” mata Resky semakin di buat membesar dengan apa yang Leon lakukan selanjutnya, dengan telatennya anak itu mengelap keringat di sekujur wajah Resky dengan tissue. Ia terpana, senyuman Leon betul-betul menghanyutkannya. Membuatnya semakin takluk dan terperosok kian jauh ke dalam jurang rasa yang terlarang. Ia tak mampu mengelak lagi.

    ###################################################################################################################
  • cinta memang gila... :D
  • RENLY, kyak udah pernah baca.... tpi ga tahu jga yah lupa.... ah iya dah pernah baca kyak nya, he he.....
  • co cweet.

    Dilanjut ya..!!! :)
    Sad ending kayaknya. Mesti siap2 tissue banyak nich. hehe....
  • kyaaaa... sweettt banget..
    walopun endingnya bisa ketebak kalo bakalan mirip sama "last new year" tapi gw tetep sukaa.. soalnya cara bawain ceritanya sweet bangeetttt...
  • ketebak ending. vi aq suka coretan loe lanjut
  • kalo sad ending, gak berani bacaa.. :s
  • mana lagi
  • air mata belum apa2 dah menetes...
  • Ngga last new year ngga yang ini.... Sama sama suskses bikin gw mewek bombay,,,hadoooh renly..crita2 lu semua nya bner2 top markotop deh..lu dah sukses membuat pembaca yg baca cerita lu ikut hanyut didalamnya,,dan seolah olah menjadi tokoh dr crita trsbut..cerita lu bener bner hidup... Good job
Sign In or Register to comment.