hey, aku cuma mau share sebuah prosa dan puisi yg terinspirasi dari cerita hidupku, semoga kalian berkenan membacanya. sangkyu
Untuk apa ragu
Karena
Aku manusia, Aku layak
Mencintai, Dicintai
Tentang aku.
Entah salah siapa, aku mual memperdebatkannya. Sejak mengenal hidup aku berbeda, paling tidak itu yang mereka katakan.
Jika
semua
manusia
adalah sama,
untuk apa kita
mengenal mereka?
Jika
perbedaan
adalah kenyataan,
masihkah perlu kau hinakan?
Tentang dia.
Dia melangkah menuju ke arahku. Aku kaku. Lidah ku beku. Wajahku pucat pasi. Lengkap.
Aku mengaku kalah, hanya karena melihatnya. Terpaku kedua mata ini mengagumi setiap inchi sosoknya. Wajahnya cerah merona namun tegas di setiap lekuk pipinya. Rambutnya bergelora lebih indah mengalahkan debur ombak di kala senja. Sorot matanya bagai mata elang yang sedang mencari buruannya, sungguh rasanya ingin diterkam olehnya saja.
Dan aku semakin ciut, mengetahui tubuhnya tinggi menantang lazuardi. Dengan kesempurnaan itu dia terlihat dingin, angkuh. Namun, ku rasakan kehangatan ketika dia semakin dekat. Begitu hangat di sini. Lebih dalam lagi ke dalam dada, lebih dalam lagi.. hangat.. entah bara api dari mana yang bersemayam dibalik ringkihnya rusukku ini. Sungguh hangat. Damai.
Hingga lalu rasa ini menjarah pula hingga ke dalam hati, merobohkan semua pintu yang telah aku tutup rapat, rapat sekali. Membakar seluruh jimat-jimat yang tertempel rapi di dalam hatiku.
Sungguh aku tersiksa. Tak sanggup ku melawan, pesona itu memperkosaku begitu saja. Aku kalah. Hanya satu sempat terucap “sempurna”, selebihnya lidahku tercekat, terjerat pesonanya.
Kelemahan setiap manusia
adalah mengagumi
Mereka mengalah
untuk menikmati
Jantungku berdegup tak karuan sedangkan aku berdiri goyah tak kuasa menghadapi hadirnya disampingku. Dia melewatiku. Aku semakin kalang kabut. Sekali lagi, aku lemah. Aku kalah. Aroma harum parfumnya teribas merasuk ke dalam setiap rongga dadaku. Sangat khas, begitu ‘dia’ sekali, memabukkan memang, namun kan kusimpan dalam-dalam aroma ini. Kalau perlu akan kuhirup hingga udara tak memiliki cukup ruang lagi di dadaku. Meski hanya sekian detik, tak kan ada yang mampu menghitung berapa besar kenikmatan itu. Andai waktu bisa dihentikan. Aku akan bayar berapa pun bagi siapa saja yang mampu mewujudkan hal itu, sekalipun harga diriku sebagai bayarannya. Bukankah memang seharusnya untuk menikmati segala hal, harga diri dipertaruhkan?
Daripada hidup
lalu mati merindu
Tiadalah mengapa
menjadi tawanannya
Asalkan penjara
penuh pesonanya
Buyar. Sebuah teriakan memekikkan telinga menggaung keras di dalamnya, “Hei..! Buruan! Nanti dimarahi Kakak Osis!” Sungguh kelewatan, suara itu tak perduli telah membuyarkan semua kenikmatan mengagumi sesosok indah itu. Dan kini bayangnya saja sudah tak terlihat mata.
Entahlah siapa dia..
Angkasa,
Sampaikan salamku pada dia,
dia yang mewarnai mendungmu
dengan penuh warna
Awal.
Orang bilang kalau jodoh memang tak kan kemana. Meski bertemu kembali dengannya bukan berarti dia jodohku kan? Ah, Berdosalah aku jika aku berpikiran seperti itu, bagaikan seorang dokter yang berharap semakin banyak orang yang sakit.
Ruang.
Dan kini, aku benar-benar begitu dekat dengannya, lengkap dengan segala pesonanya. Tak kusangka semesta mengurungku bersamanya di ruang ini. Rasanya ingin kuhabiskan seluruh waktu dalam sehari duduk di bangku ini sambil mengamati keindahannya, sementara dia sibuk menatap sang pahlawan tanpa tanda jasa bertutur kata. Gila memang, semua berawal dari pertama kali aku berjumpa dengannya. Selanjutnya sosoknya selalu muncul dalam benakku, tak jarang dia hadir dalam rajutan mimpi-mimpiku, bahkan sebelum tidur memang aku sengaja berdoa agar dia hadir kembali di dalam benakku.
Orang bilang kegilaan inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama.
Ah, omong kosong. Cinta itu indah. Bukan gila seperti ini. Aku hanya mabuk. Mabuk oleh pesonanya.
Nafsu adalah kegilaan
Sedang cinta,
indahnya kegilaan
...
sama tapi tak serupa
Waktu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenalnya. Kini aku pastikan, bahwa aku dan dia benar-benar berbeda. Pantas aku begitu tertarik dengan pesonanya. Selayaknya dua kutub magnet yang saling tarik menarik. Hanya saja, aku tak mampu menariknya. Sedikitpun dia tak acuh kepadaku, berbeda denganku yang ingin lebih dekat dengannya, lebih hangat dengannya.
Sekalipun air
membutuhkan api
untuk menghangatkan,
api tak butuh air
Karena itu memadamkan
Seiring berjalannya waktu, aku semakin gencar mencari celah untuk mengambil hatinya. Ribuan cara telah aku lakukan, dengan sengaja atau tak sengaja, dengan tersurat atau tersirat, dengan gamblang atau malu-malu. Ah, paling tidak, aku harap aku mampu hanya membisikkan tiga kata kepada hatinya, ‘hei-lihatlah-aku’.
Hingga akhirnya suatu kesempatan datang, aku dan dia berbagi kisah, saling mengenal lebih dalam, walau dia hanya sedikit membuka dirinya. Satu hal yang pasti ku ketahui tentangnya, aku dan dia sangat berbeda, dan itu membuatku benar-benar gila. Bagaimana tidak? Seolah setiap perbedaan itu menjelma menjadi milikku, lalu mengisi setiap bagian kosong dalam diriku. Sempurna. Aku tak lagi aku. Aku merasa sempurna bila dengannya. Aku merasa bahagia.
Harapan.
Semakin mengenalnya, semakin ku yakin, hanyalah dia satu-satunya jawaban dari harapkanku sedari dulu.
Sedari kecil harapanku hanyalah doa yang semu, hanya nyata dalam angan dan sepi. Dulu aku sama tak berdosanya dengan bocah cilik lainnya, tapi aku telah memiliki kesalahan terbesar dalam hidupku. Dan aku telah terlatih untuk menerima setiap sayatan lidah yang terus menyalahkanku, yah... walau aku tak mengerti dimana kesalahan itu, padahal mereka tahu, aku juga manusia. Ah, aku mual memperdebatkannya.
Hingga akhirnya aku sadar, kesalahan yang mereka hujat itu adalah aku. Aku yang berbeda dari mereka.
Dibalik polosnya bocah, setiap malam sebelum ku terlelap, aku memohon kepada Tuhan untuk mengirimkanku seorang malaikat. Yang nantinya mengusap tetesan air mataku dikala aku terpuruk mengingat dosa itu. Lalu dengan sayapnya dia akan melindungiku dari rapuhnya jiwa, melindungiku dari dinginnya dunia, melindungiku dari panasnya amarah, dan melindungiku dari tajamnya lidah. Sampai akhirnya dia akan mengajariku terbang ke angkasa hingga aku menjadi malaikat seutuhnya, tak berdosa.
Malaikat kecil hidup terbuang,
menangis di bawah angkasa
Ia ingin kembali terbang,
namun apa lah daya
Hanya doa dan dosa
yang dipegang
Kata mereka.
“Digoda dikit aja, Dia udah ngamuk kayak singa. Temperamen tinggi tuh anak.”
“Ih, Dia suka marah-marah gak jelas.”
“Eh.. Dia itu busuk. Udah angkuh, suka manfaatin temen lagi!”
“Alah.. paling Dia baik kalo ada maunya..”
“Hei inget, Dia itu borjuis, kita gak bakal cocok barengan ama Dia.”
“Dia sih idealis tapi egois.”
Dan bla.. bla.. bla..
Aku yang tuli atau mereka yang buta. Bagiku ia baik, sebaik malaikat malah. Mungkin karena hanya aku yang berani menghapus harga diri untuk mengetuk hatinya, jadi aku yang tahu seperti apa dia. Dia mengakui memang, jika dia serapuh arang bila terbakar amarah. Ketika ku tanya mengapa. Terlihat sorot matanya meredup, dan nafasnya berat, “Apaan sih,” dia kembali angkuh. Tetapi kenangan pahit muncul dari kerut diantara dua matanya. Ternyata masa lalunya sama tak sempurnanya denganku. Hanya saja masa laluku penuh doa dan dosa, sedang dia penuh benci dan siksa.
Tiada amarah
yang akan mengira
malaikat pun pernah sengsara
Tentang kita.
Aku dan dia saling dekat. Saling memberi. Saling membalas.
Aku senyum lebar, dia tersenyum datar. Aku datang, dia menghilang. Aku bahagia, dia biasa. Aku sedih, dia risih. Aku bangga, dia tak juga lega. Aku lemah, dia terserah. Aku aktif, dia pasif. Aku gila, dia menghela.
Tetapi, aku dan dia sering menghabiskan waktu bersama, walau pun tak hanya berdua tapi itu lebih membuatku bahagia. Aku kembali terbang ke angkasa bersama yang lain, jadi tak kan lagi ada perbedaan yang menjatuhkan.
Tetapi, aku dan dia semakin sering mengisahkan kenangan, walau pun tak ada kesamaan tapi itu menciptakan kepercayaan. Aku kembali percaya, dia baik, sebaik malaikat. Karena dia selalu bercerita betapa dia mencintai kekasihnya selama 3 tahun ini, dan seberapa besar pengorbanannya untuk melindungi ikatan itu, betapa indahnya kenangan mereka berdua.
Aku dan dia saling dekat. Saling memberi. Saling membalas.
Aku selalu ada jika dia membutuhkan. Aku juga akan menghilang jika dia pergi meninggalkan.
Aku dan dia, serasi bukan?
Namanya juga gila,
tak tahu kata malu
Kamus saja,
dia tidak tahu
Gila.
Kadang bahagia, terkadang cemas. Kadang rindu, terkadang malu.
Yang jelas hari-hariku semakin seru, penuh adegan melawan kegilaan yang semakin menderu. Aku ingat waktu itu, aku biasa menyandarkan kepalaku pada pundaknya, berpura-pura lelah, padahal aku penuh gairah, lalu aku mulai beraksi, menghirup bau tubuhnya sebanyak yang aku bisa, melayang.
Aku ingat waktu itu, jemari tangannya terbuka sembari ia merebahkan diri menatap langit, terlelap mendengar musik jazz mengalun di earphonenya. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, jemariku terus melangkah, hingga berada diatas telapak tangan putihnya. Dan belum sempat aku meraba, aku terhenti. Dia menatapku.
Biarlah nafsu menderu
Mengukir 1001 kisah seru
Asal logika tak pernah keruh
Indah.
Kadang bahagia, terkadang cemas. Kadang rindu, terkadang malu.
Yang jelas hari-hariku semakin berarti, penuh senyum yang mengobati hati. Aku ingat waktu itu, aku sedang kecewa karena telah percaya, lalu dia berkata “believe nothing,” sambil tersenyum manis.
Aku ingat waktu itu, dia terkhianati oleh kekasihnya, kekasih yang kini memilih pelukan orang lain. Sudah sebulan lebih dia tersiksa seperti itu, pikirannya kacau, sering melamun. Lalu aku katakan padanya, “Kamu tidak pantas bersedih! Kamu hanya kehilangan orang yang mengkhianatimu. Seharusnya Dia yang sengsara, Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang sungguh mencintainya.” Dia hanya tersenyum pahit, tapi paling tidak, harapan kembali menyinarinya.
Bahasa paling indah
tuk berbagi cinta kasih
adalah tersenyum
Sial.
Pikiranku semakin tidak karuan, tapi aku ketagihan. Huh, harus aku akui aku memang masih gila karenanya, tapi memang benar hariku semakin indah?...
....
Hah? Indah?
... Tidak! Jangan.. Apapun boleh kecuali dia!!
Tidak. Jangan cinta. Aku mohon.... ... ... Sial, akhirnya cinta!
Kenapa di saat seperti ini! Baru saja aku merasakan hidup penuh harapan, aku hanya ingin bersamanya, tak perlu terikat. Sungguh. Aku tak mau kembali sengsara karena cinta, seperti yang lalu. Sungguh. Aku mual.
Bila kau tak berkenan aku bahagia,
kembalikan aku ke dalam pusara!
Kembalikan. Aku mohon. Kembalikan.
Siksa saja aku disana!
aku hanya,
tak ingin dilihat olehnya!
Aku paham, aku sadar! Aku berbeda, aku tak boleh mencintai! Tapi aku tak mau kembali berpura-pura biasa padahal menyimpan rasa, itu sengsara dan lebih baik aku binasa.
Dan bila aku mengungkapnya pun ah itu sama halnya menggorok leher sendiri. Atau bila saja terungkap oleh dunia? Itu lebih mengerikan, itu sama halnya mereka senang menggelanggang hukuman pancungku.
Aku bisa apa lagi? Tak kan ada pilihan yang diberikan. Nantinya, cepat atau lambat aku juga yang akan mundur. Kembali ke kumpulan terbuang.
Selamat datang kutukan,
itukah aku yang kau rindukan?
Kutukan.
“Hei, kenapa murung?” tanya dia.
“...” aku diam, dia mengangkat kepalaku yang tertunduk.
“Lhoh kok nangis?” tanya dia lagi.
“Kau akan tahu. Suatu saat,” jawabku. Ragu.
Aku mengusap air mata, lalu seperti biasa, dia tak perduli. Dia pergi begitu saja.
Aku duduk tertahan, terpikirkan, andai kutukan itu tidak pernah ada, aku pasti akan mengatakannya,
‘Maaf, aku mencintaimu, sedari awal kita bertemu.’
Dan.
Sekali lagi, andai kutukan itu tidak pernah ada, aku pasti menjadi lelaki paling bahagia dengan dia.
Dengan dia, lelaki yang aku cintai.
Segala kesalahan tetaplah dosa,
Bentuk cinta apapun tetaplah indah
Jika, mencintaimu adalah kesalahan
Maka kau adalah
Dosa terindah
CUKUP!!
INI YANG TERAKHIR
Tunggulah aku.
Aku kan berangkat mati,
menjelma
serupa kekasihmu
####
Comments
bagus, puisi nya
tetap semanggat
lok plok plok (kasih standing aplaus)
bagus, puisi nya
lok plok plok (kasih standing aplaus)
bagus, puisi nya