@tobleron
Anak yang Dimanja Tumbuh Lebih Cerdas dan Lebih Berempati
Putro Agus Harnowo - detikHealth
img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Setiap orang tua memiliki metode pengasuhan yang berbeda bagi anak-anaknya. Ada yang mendidik dengan disiplin keras, ada juga yang sangat
memanjakan. Penelitian menunjukkan bahwa kasih sayang yang diberikan sejak dini kepada bayi penting dalam perkembangan kepribadian dan
kecerdasannya.
Selama beberapa puluh tahun terakhir, banyak penelitian yang menyarankan bahwa pengalaman pada awal kehidupan, bahkan sebelum kelahiran, dapat
mempengaruhi perkembangan kepribadian serta kesehatan fisik dan mental.
Penelitian yang dipimpin oleh profesor psikologi dari Universitas Notre Dame, Darcia Narvaez, menegaskan bahwa anak-anak yang banyak mendapat sentuhan
kasih sayang selama masa bayinya tumbuh menjadi lebih ramah, lebih cerdas dan lebih peduli kepada orang lain.
Prof Narvaez membandingkan praktik pengasuhan anak di AS dan Cina. Ia juga memaparkan penelitiannya yang melibatkan sejumlah besar anak-anak dari ibu
remaja yang ikut serta dalam proyek pencegahan kekerasan pada anak. Ia kemudian membandingkan hasil dari berbagai jenis praktik pengasuhan anak sejak
dini.
Ketiga penelitian yang dilakukan Prof Narvaez menyimpulkan hal yang sama: anak-anak yang diberikan kasih sayang sejak dini pada awal kehidupannya
mendapat manfaat yang besar. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang lebih didukung oleh orangtuanya, yang tangisannya cepat ditanggapi
orangtua dan ditekankan berdisiplin tanpa hukuman fisik tumbuh menjadi orang yang lebih berempati dan bisa memahami perasaan orang lain.
"Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara praktik pengasuhan di Amerika dan Cina, kami menemukan sebagian besar kesimpulannya serupa," kata Prof
Narvaez seperti dilansir Time Healthland, Kamis (8/3/2012).
Dalam lingkungan awal kehidupan manusia, seorang anak tidak bisa tidur lebih dari jangkauan lengan dari orangtua atau pengasuhnya. Tidur sendirian dapat
meyebabkan bayi menjadi stres karena merasa lingkungannya tidak aman.
"Apa yang kami pelajari adalah mengenai responsivitas, yaitu mengacu pada cara orangtua merespons bayi dan bertindak dengan tepat. Misalnya, melihat
bayi menangis dan bereaksi terhadap apa yang diinginkan bayi. Responsivitas terkait dengan perkembangan moral. Ini membantu mendorong perkembangan
kepribadian, perkembangan empati sejak dini dan perilaku prososial yang lebih besar," kata Prof Narvaez.
(pah/ir)
.................
Anak yang Pintar Main Puzzle Lebih Berbakat Jadi Insinyur
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
img
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Hobi memainkan puzzle di masa kecil bisa memberi petunjuk terkait bakat anak di masa yang akan datang. Anak-anak yang pintar menyelesaikan
puzzle sejak usia 2-4 tahun, saat dewasa cenderung lebih berbakat menjadi seorang insinyur.
Susan Levine, seorang pengamat kecerdasan pada anak dari University of Chicago mengatakan permainan puzzle atau bongkar pasang mencerminkan
kemampuan spasial. Dengan memiliki kemampuan ini, anak-anak lebih pintar memikirkan obyek-obyek atau benda 3 dimensi.
Kemampuan ini juga dibutuhkan ketika anak-anak tersebut bercita-cita untuk bekerja di bidang teknik. Mau tidak mau, seorang insinyur teknik akan banyak
berurusan dengan obyek-obyek 3 dimensi sehingga kemampuan spasial tentunya sangat dibutuhkan.
Untuk membuktikan hubungannya dengan permainan puzzle, Levine mengamati 53 pasangan anak dan orangtua dari berbagai latar belakang. Hasil
pengamatan menunjukkan, anak-anak yang pintar memainkan puzzle di usia 26-46 bulan cenderung memilliki kemampuan spasial yang lebih baik di usia 54
bulan.
"Anak-anak yang pandai memainkan puzzle berpikir dengan lebih efisien ketika disuruh memutar-mutar obyek dan menerjemahkan bentuk," kata Levine dalam
laporannya di jurnal Developmental Science, seperti dikutip dari Medicinenet, Selasa (6/3/2012).
Levine menambahkan, anak-anak yang terampil memainkan puzzle tidak hanya berbakat di bidang teknik saja. Di bidang lain yang membutuhkan
kemampuan berpikir tentang obyek-obyek 3 dimensi juga akan terasa lebih mudah baginya seperti matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Dalam peneltiannya tersebut, Levine juga mengungkap bahwa orangtua dengan status ekonomi lebih tinggi lebih sering memberikan permainan puzzle ke
anak-anaknya. Selain itu, anak laki-laki cenderung lebih memilih permainan puzzle yang lebih rumit daripada anak perempuan.
(up/ir)
...............
Anak Sering Dikira Hiperaktif Cuma Karena Kurang Dewasa
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
img
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Tidak mudah untuk menjatuhkan diagnosis gangguan hiperaktivitas pada anak. Sebagian dokter salah mendiagnosis, dikira hiperaktif namun ternyata
hanya karena memang lebih muda dari teman sepermainan sehingga perilakunya belum dewasa.
Kesalahan diagnosis ini kadang-kadang memicu perawatan atau bahkan pengobatan yang tidak perlu. Padahal tanpa harus minum obat, pada saatnya nanti
anak-anak tersebut pasti akan tumbuh dewasa dan dengan sendirinya perilakunya akan kembali normal.
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan salah satu gangguan tumbuh kembang yang banyak dialami anak usia prasekolah. Bila
tidak diterapi atau diobati, kadang-kadang gangguan ini memang sangat mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.
Richard L Morrow, seorang ahli kejiwaan dari University of British Columbia melakukan penelitian untuk menilai kesalahan diagnosis pada gangguan ini. Untuk
keperluan tersebut, ia mengamati 9.000 anak-anak usia prasekolah di British Columbia.
Dalam penelitian tersebut, Morrow membandingkan perilaku anak-anak yang lahir pada bulan Desember dengan yang lahir bulan Januari pada tahun yang
sama. Anak-anak yang lahir bulan Desember tentunya lebih tua hampir 1 tahun dibandingkan dengan anak yang lahir bulan Januari.
Hasil pengamatan menunjukkan, anak laki-laki yang lahir bulan Desember 30 persen lebih sering didiagnosis GPPH dibanding teman sekelasnya yang lahir bulan
Januari. Demikian juga pada anak perempuan, lahir di bulan Desember membuat kelompok ini 70 persen lebih sering didiagnosis GPPH.
"Ini jelas menunjukkan, dalam beberapa kasus ketidakdewasaan sering disalahartikan sebagai hiperaktivitas dan ini menjadi peringatan tentang adanya
overdiagnosis," kata Morrow seperti dikutip dari Webmd, Selasa (6/3/2012).
Menurut Morrow, anak yang kurang dewasa cenderung butuh perjuangan yang lebih keras saat memahami materi pelajaran. Semangat yang lebih tinggi ini
kadang-kadang membuat perilakunya menjadi lebih hiperaktif, sehingga dikira mengalami gangguan tumbuh kembang.
(up/ir)
..............
Bakat Kriminal Anak Bisa Dideteksi Sejak Umur 2 Tahun
Putro Agus Harnowo - detikHealth
img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Anak-anak yang berisiko terlibat dalam tindak kriminal sudah dapat dideteksi sejak usia 2 tahun. Pengasuh dan orang tua harus mengenali balita yang
menunjukkan tanda-tanda agresi sejak dini dan menindak perilaku buruk dengan merujuknya ke spesialis.
"Kegagalan mengatasi perilaku buruk di usia muda memungkinkan gangguan pada anak-anak untuk menetap hingga mencapai usia remaja. Setiap anak bisa
berbuat salah, dan yang dibutuhkan adalah sistem yang menjawab kebutuhan mereka dan membantu mereka kembali ke jalan yang benar," kata Charlie
Taylor, kepala sekolah Willows School di London Barat yang menangani siswa bermasalah seperti dilansir The Telegraph, Sabtu (10/3/2012).
Mengajarkan anak berkelakuan buruk, cara untuk bersosialisasi dan menunjukkan batas-batas yang tepat dalam pergaulan bisa mencegah masalah
berkembang lebih jauh. Sejak usia muda, anak-anak dapat dibantu oleh seorang ahli yang datang ke kamar bayi dan membantu anak-anak yang perilakunya
terlihat terganggu.
Dalam beberapa kasus, anak-anak ini dapat dikirim ke program pengasuhan khusus. Pada usia 5 - 6 tahun, anak-anak ini bisa ditempatkan di unit rujukan untuk
mendapat perawatan dari spesialis. Menurut Taylor, banyak anak-anak bandel yang dibuang ke unit rujukan yang rendah kualitasnya. Anak-anak ini menerima
sedikit pendidikan formal dan diperlakukan layaknya liburan.
Taylor menegaskan, perilaku buruk anak-anak akan jauh lebih mudah diatasi pada tahap awal sebelum menjadi kebiasaan. Sebab, mengatasi gangguan
perilaku ketika anak-anak beranjak dewasa akan lebih sulit.
"Jika orang tua, guru atau pengasuh dapat melihat adanya perilaku buruk ketika anak-anak berusia 2 sampai 5 tahun, maka saat itulah spesialis bisa campur
tangan. Sebagian besar penanganan bekerja efektif pada anak berusia 3- 4 tahun," kata Taylor.
Semua penanganan dini ini bertujuan untuk melatih anak-anak bagaimana seharusnya bertindak di sekolah dan bagaimana berperilaku baik. Namun anak-
anak ini juga harus didukung kembali ke sekolah umum secepat mungkin dan tidak menghabiskan banyak waktu di unit rujukan.
"Seringkali anak-anak ini menunjukkan perilaku ekstrem di usia yang sangat dini, mereka sangat agresif melakukan kekerasan. Kebanyakan anak-anak
bermasalah ini juga sering mengalami kesulitan berbicara dan berbahasa, juga tidak dilatih menggunakan toilet," kata Taylor.
Pemerintah Inggris dikabarkan akan segera menyetujui usulan Taylor ini. Sebagai langkah awal dan persiapan, para guru yang ditempatkan di unit rujukan siswa
akan dilatih untuk mengelola perilaku yang bermasalah.
(pah/ir)
................
Anak Jadi Antisosial Jika Gunakan Smartphone Sejak Dini
Putro Agus Harnowo - detikHealth
img
(foto: Thinkstock)
Jakarta, Anak-anak sudah dibekali dengan gadget-gadget canggih seperti smartphone bahkan sejak usia dini. Kebiasaan ini membuat anak-anak menjadi
kurang mengembangkan kemampuan bersosialisasi dan menjadi antisosial.
Orangtua hanya memfokuskan agar anak-anak mendapat nilai bagus tetapi menomorduakan aspek-aspek lain seperti attitude dan nilai moral sehingga anak-
anak rentan stres.
Anak-anak pada usia balita sampai 13 tahun dan remaja sangat memerlukan bimbingan orangtua dalam menonton TV dan menggunakan jejaring sosial.
"Orangtua tidak boleh hanya memanjakan anak dengan peralatan-peralatan canggih tapi tidak memberikan pengarahan dan pengawasan kepada anak.
Bukan berarti overprotektif terhadap anak, tapi agar anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk," kata Dra. Ratih Ibrahim, MM.,
Psikolog, direktur Personal Growth, lembaga konseling dan pengembangan diri dalam diskusi bersama media di Plaza Bapindo, Jakarta, Selasa (20/3/2012).
Ratih menyayangkan apabila banyak anak-anak yang cerdas tapi tidak memiliki empati kepada sesama dan tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman
sebayanya.
Personal Growth mencatat bahwa 4 dari 5 anak yang datang berkonsultasi menunjukkan gejala stres berat. Anak-anak tersebut berusia dari 3 - 13 tahun.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kehadiran orangtua dan orangtua yang terobsesi dengan nilai-nilai akademis anaknya.
(pah/ir)
...............
Stres Kronis Bisa Berakibat Fatal Bagi Otak Remaja
Vera Farah Bararah - detikHealth
img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Stres bisa dialami oleh siapa saja termasuk kaum remaja yang diketahui masih memiliki emosi yang labil. Tapi sebaiknya waspada, karena stres yang
kronis pada remaja bisa berbahaya bagi otak.
Studi yang diterbitkan dalam Neuron dan dilakukan oleh peneliti dari University at Buffalo menemukan bahwa stres kronis yang dialami selama masa remaja bisa
memiliki efek yang sangat kuat pada otak.
"Kami telah mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara molekul dan perilaku yang terlibat dalam respons stres," ujar Zhen Yan, PhD, seorang profesor di
Department of Physiology and Biophysics, UB School of Medicine and Biomedical Sciences, seperti dikutip dari MedIndia, Selasa (12/3/2012).
Yan menuturkan studi ini menunjukkan hilangnya reseptor glutamat telah dikaitkan dengan efek negatif dari stres kronis atau stres yang berulang-ulang.
Glutamat merupakan pemain kunci dalam penyakit mental dan penting dalam mengobati gangguan seperti depresi, kecemasan dan skizofrenia.
Yan dan rekan-rekannya telah memahami mekanisme molekuler dari stres. Sebelumnya tim peneliti telah menemukan bahwa stres akut bisa membantu
mempertajam memori, tapi sekarang diketahui bahwa stres kronis justru memiliki efek sebaliknya.
Saat usia remaja maka otak menjadi sangat sensitif terhadap stres terutama di daerah korteks prefrontal yang mengendalikan memori kerja, pengambilan
keputusan dan perhatian.
Jika remaja mengalami stres berulang, maka ia akan kehilangan reseptor glutamat dan fungsi dari korteks prefrontal. Kondisi ini mengakibatkan penurunan yang
signifikan dalam kemampuannya mengingat dan mengenali obyek yang sebelumnya dikenali.
Disfungsi pada korteks prefrontal juga diketahui terlibat dalam stres yang berhubungan dengan penyakit mental. Hal ini karena peneliti berhasil mengidentifikasi
bagaimana stres mempengaruhi penyakit mental.
"Berdasarkan penelitian ini, kita bisa mulai menargetkan sistem glutamat dengan cara yang lebih spesifik dan efektif, sehingga ada kemungkinan
mengembangkan obat yang lebih baik untuk penyakit mental serius," ujar Yan.
Karena itu penting bagi remaja mencaritahu hal-hal apa saja yang bisa dilakukannya untuk mengurangi stres, sehingga mencegah terjadinya stres kronis dan
membantu melindungi otaknya.
(ver/ir)
................
Anak Rewel Itu Karena Orang Tuanya Pemarah
Putro Agus Harnowo - detikHealth
img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Mengurus balita memang bukan hal yang mudah dan cenderung menjengkelkan. Meskipun demikian, orangtua sebaiknya bersabar dan tidak mudah
terpancing emosinya. Sebab, balita cenderung menjadi mudah marah dan rewel jika orangtuanya juga gampang marah dan bereaksi berlebihan terhadap
perilaku anak-anaknya.
Dalam sebuah penelitian, peneliti melihat perilaku anak adopsi berusia 9 bulan, 18 bulan dan 27 bulan, juga orang tua angkatnya dari 361 keluarga di 10 negara.
Para peneliti juga menganalisis data genetik anak-anak dan orang tua yang melahirkannya.
Penelitian ini menemukan bahwa orang tua angkat yang memiliki kecenderungan bereaksi berlebihan akan lebih cepat marah saat balita membuat kesalahan.
Anak-anak dari orang tua ini sering berulah dan lebih sering marah dibandingkan anak-anak normal seusianya. Anak-anak yang memiliki peningkatan emosi
negatif terbesar saat bayi hingga balita (usia 9 - 27 bulan) juga memiliki gangguan perilaku yang paling besar pada usia 24 bulan.
"Ini menunjukkan bahwa emosi negatif dapat terbentuk dengan sendirinya dan mempengaruhi perilaku anak-anak di kemudian hari," kata peneliti, Shannon
Lipscomb, asisten profesor perkembangan manusia dan ilmu keluarga di Oregon State University seperti dilansir HealthDay, Kamis (23/2/2012).
Para peneliti juga menemukan bahwa faktor genetika ikut memainkan peran, terutama pada anak yang mewarisi gen emosi negatif dari ibu yang
melahirkannya namun dibesarkan dalam lingkungan yang tidak memicu stres atau keluarga yang kurang reaktif.
Menurut para peneliti, temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Development and Psychopathology ini membantu meningkatkan pemahaman mengenai
hubungan yang kompleks antara genetika dan lingkungan rumah.
"Kemampuan orang tua untuk mengatur diri sendiri, tetap sabar, percaya diri dan tidak bereaksi berlebihan adalah cara yang paling penting untuk membantu
anak-anaknya mengubah perilaku. Orang tua harus memberi contoh sebagai orang tua yang dapat menunjukkan emosi dan bereaksi terhadap lingkungannya
sendiri," kata Lipscomb.
(pah/ir)
...............
Sering Pindah Alamat Bikin Anak Gampang Sakit-sakitan
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
img
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
Jakarta, Tuntutan pekerjaan seringkali membuat orang harus berpindah alamat, dalam arti pindah rumah ke kota lain. Meski memberikan pengalaman baru,
efeknya tidak baik bagi anak-anak karena saat tumbuh dewasa jadi lebih gampang sakit-sakitan.
Setidaknya fakta itulah yang terungkap sebuah penelitian di Journal of Epidemiology and Community Health. Makin sering diajak orangtuanya pindah rumah,
makin besar risikonya anak-anak tersebut menjadi gampang terkena penyakit ketika tumbuh dewasa.
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia itu melibatkan 850 orang berusia 15, 35 dan 55 tahun pada periode 1987-1988. Rekam medis para partisipan diamati
selama lebih dari 20 tahun, sedangkan riwayat pindah rumah dipantau berdasarkan kode pos yang terdaftar.
Dari hasil pengamatan, 21 persen partisipan pernah berpindah alamat sebanyak 3 kali atau lebih sedangkan 59 persen partisipan pernah pindah alamat
sebanyak 1-2 kali. Dari seluruh partisipan, hanya 20 persen yang tidak pernah pindah alamat selama 20 tahun masa pengamatan.
Pada orang dewasa, peneliti tidak menemukan hubungan antara frekuensi pindah alamat dengan status kesehatan seseroang. Namun pada anak-anak, efek
dari sering pindah alamat muncul saat tumbuh dewasa yakni menjadi lebih sering terkena penyakit.
Para peneliti menduga, pindah alamat pada kebanyakan anak-anak secara psikologis bisa memicu distres atau stres yang sifatnya negatif. Faktor stres secara
psikologis ini lama kelamaan berdampak pula pada kesehatan fisik, yakni daya tahan menurun.
Menurut para peneliti, efek yang sama juga dialami oleh anak-anak yang sering pindah sekolah. Namun seperti dikutip dari Medicalnewstoday, Selasa (7/2/2012),
efek pindah rumah tidak terkait dengan risiko penyalahgunaan obat terlarang seperti halnya pada anak yang sering pindah sekolah.
(up/ir)
..............
Konsumsi Zat Besi Remaja Pengaruhi Kondisi Otak Saat Tua
Vera Farah Bararah - detikHealth
img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Zat besi memainkan peran yang penting untuk nutrisi setiap orang. Jika remaja mengonsumsi zat besi dengan baik maka hal ini akan berdampak positif
untuk kesehatan otaknya kelak.
Saat ini peneliti dari UCLA telah menemukan terlalu sedikit zat besi yang dikonsumsi tidak hanya menyebabkan masalah kognitif, tapi juga mempengaruhi
struktur fisik dari otak.
Dalam studi ini ahli saraf UCLA, Profesor Paul Thompson dan rekan mengukur kadar transferin, yaitu protein yang mengangkut zat besi ke seluruh tubuh dan otak.
Peneliti menemukan kadar transferin ini terkait dengan ukuran dari struktur otak makro dan mikro.
Tim peneliti menemukan subyek yang memiliki peningkatan kadar transferin merupakan tanda umum dari kadar zar besi yang rendah mengalami perubahan
struktural di daerah otak yang rentan terhadap neurodegeneration.
Para peneliti juga mengidentifikasi seperangkat gen yang mempengaruhi kadar transferin dan struktur otak. Hasil temuan yang dilaporkan dalam jurnal
Proceedings of the National Academy of Sciences ini menjelaskan mekanisme saraf yang mana zat besi mempengaruhi kognisi, perkembangan saraf dan
neurodegeneration.
"Kami menemukan otak yang sehat saat dewasa tergantung dari zat besi yang dimiliki atau dikonsumsinya pada tahun-tahun remaja," ujar Prof Thompson,
seperti dikutip dari MedicalnewsToday, Selasa (24/1/2012).
Prof Thompson menuturkan koneksi yang ada di otak jauh lebih kuat dari yang diharapkan, terutama terlihat pada orang-orang yang masih muda dan sehat
serta tidak kekurangan zat besi ketika masih remaja.
"Anda tidak berpikir zat besi akan mempengaruhi otak begitu besar, karena zat besi sangat penting dalam pembuatan mielin. Kadar zat besi yang buruk di
masa remaja akan mengikis cadangan otak di kemudian hari," ujar Prof Thompson.
Sumber makanan yang mengandung zat besi adalah daging merah, sereal, buah kering, roti dan sayuran berdaun hijau. Sementara yang non-daging
membutuhkan asupan nutrisi lain untuk meningkatkan penyerapannya seperti makanan kaya vitamin C (jeruk, blackcurrant dan sayuran berdaun hijau),
sedangkan zat tanin dalam teh bisa mengurangi penyerapan zat besi.
(ver/ir)
..................
..............
@gray_side @tobleron @Ambigu @Irawan01 @bondi @ghaniprijatna @blueguy86 @bintang5 @Agustde99 @createsometrouble @zimad @seek_you @gray_side @maiky_bsx @be_biant @alabatan @happylanderz @hottie_chaser @alex1982 @har_in @Boyzt @erf_rey22 @Boyorg @mllowboy @awi_77 @Adhrii @tommywebby @lain @alex1982 @dilemma_man @dilemma_man @
@yusef_chang @mllowboy @awi_77 @tommywebby @lain @alabatan @samme @hottie_chaser @devano_mahiswara @boljugg @BBB @tyo_g @carpediem1977 @ben_salvador @shinshin @ @ @ @ @
..................
..................
nyoba trit baru gagal mulu;
tumpuk di sini aja yh...
Comments
gw komen yang sesuai judul aja ya.
jujur gw dimanja, berhubung gw anak bungsu (terakhir)
gw setuju kalo cerdas. lol
tapi kalo empati gak deh. gw justru cenderung egois.
(tapi bukan berarti gw ga sensitif ama perasaan orang, gw cuma ga bisa nunjukkin rasa empati gw. gw orangnya kaku jadi kesannya cuek banget ama derita orang)
yang pasti gw benci kekerasan, vandalisme, dll. ga tau ada hubungannya ama manja ato ga...
tapi biasanya yg dimanja, apalagi bungsu, suka ga mau ribet dalam berbagi hal...tapi, untuk sesuatu yang dia sukai, dia pasti totalitas.