BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ANTARA SPATULA DAN KUNCI INGGRIS

1686971737477

Comments

  • heu....masih inget ja statement w yang udah uzur itu.
    okeh, w akuin imajinasi w soal percintaan tuh agak aneh. sampai sekaran w udah 4 kali pacaran kontrak. n gak perlu w sebutin siapa2 ja kan mantan2 w itu. n tiap pcara w dulu pnya karakter y beda2. gasah dibahas la kalo hal itu.
    di abc disebutin kalo bay sama azam, buka sama eza. gatau kenapa w ngera selalu kena karma cita w, meskipun itu bukan sakle kayak d cerita.
    w palin gampang bikin love monkey, karena bersa bikin jurnal pribadi kehidupan stm w, dengan sedikt bgt penambahan imajnasi n tokoh.
    w nikmatin nyusun item karena alur romantisnya ( makasi banget buat nabil y mau share almost everything k w, juga kejadian2 nyata sama s item y ngasih w inspiasi bikin alur cerita.juga korespondensi sama isal by chat, tentang gimana perasaan dy)
    n how bout spatula. ngerasa kan kalo spatula tu paling molor? yaeyalah, karena spatula tuh kayak nulisin kehidupan real w. kerjaan w, orang2 ajaib di sekitar w ( di pabrik). dan..tokoh eza sendiri...semua scene y udah w aplod itu hanya imajnasi w. but...masi ingat scene bay kecelakaan? w alami kecelakaan beberapa bulan kemudian, tangan w ( d ceita punggung tangan w, realnya ujung jempol kanan w putus). lantas scene za ngajak bayu ke prj, n terkejut karena ada kembang api? yap, tgl 22 kemaren dia ngajak w k prj, tanpa w ta kalo malam itu ada kembang api. sumpah, w gatau kalo mala it jakarta ulang tahun. temen2 tongsen bahkan tau persis romantisme kecil apa yang tjadi antara w sama dia. n itu terjai beberapa bulan setelah w aplo ceita.

    lantas, ketika alur spatla itu...keluarga bay tau kalo bayu itu gay, ibunya sakit parah, bay pulang kampung, melihat ibnya meninggal dipangkuannya, kemudian dia diusir ayahnya, w mau aplot cerita??? sumpah, w takut kalo hal it terjadi d dunia nyata. w penegcut??? gada masalah w dengan anggaapan kayak gitu.

    eza lbi milih lari dar kenyataan, dan nikahin agnia. bay akhirnya nerima azam, sampai sat masa dimana bay eza gabisa bohongin hat mereka. mereka selinkuh, dan ketahuan sama agnia y tnyata udah hamil.azam ngasih pilihan ke bayu, tap agnia moon dengan sangat demi bayu yg dikandungnya agar bayu ngelepasin eza.eza dan agnia pun mulai hidup baru d jepang.
    lantas bayu? azam bkorban banayk hal buat bayu, sampa akhirnya, dalam usahanya meluluhkan bayu, azam kecelakaan denga cacat permanen.ketbasan fisik azam sekaran membua dy resign dr pabrik dan membuka rezto. sedan bayu, dia masi jalani hidupnya sebaga mekanik rempong, dan masi bisa nyalurn hobi masaknya dengan bant usaha azam jadi koki. mereka merawat beberapa anak tak berorangtua,, bahkan yang satunya keterbelakangan mental, dan bersama isal-wildan jadi donas tetap sebua pani asuhan yg ada d cikaang.
    kiranya sepert itu adanya ( bahasa w) kayak itu lah alurnya. so, gak usa penasaran la sama alur ceritanya.
    jujur, selama penyusunan cerita item yg katanya bikin mewek itu, perasaan w biasa ja. tapi selama penyusunan cene ibnya bay meninggal dan diusir abahnya, w nangis. dialognya bener2 bki w nyese berhari-hari. n kalo itu beneran terjadi, w ga sanggup.
    jadi...im so sorry for everything...maaf karena uda jadi penulis gak bertanggung jawab.....
  • sorry byk typo
  • sedih bngt critany.
    Sampe sgituny kang abi. Ya sudah ahirny tamat sampe dsini.
  • ini pict tanganku yang kecelakaan
  • gegera baca komen diatas, jadi pengen posting sedkit spatula. hoho.
  • Sesampainya di kostanku, aku langsung masuk. Azam mengikutiku dan kami berdua sama-sama terdiam.
    “Kamu masih punya cuti khusus. Hari ini istirahat aja ya. Kalo ada apa-apa kamu tinggal telpon aja” ucapnya sembari menyampirkan jaketku yang tadi memang tak kupakai di gantungan di balik pintu.
    Aku hanya mengangguk.
    “aku pulang dulu ya. “Dia tersenyum tipis ke arahku dan aku hanya memandangnya sampai dia menutup pintu kostanku.
    Hening. Sepi. Dan aku merasa sendiri. Aku memang masih punya orang-orang yang kusayangi. Nunu, abah, Eza,dan..Azam. Tapi entahlah. Kehilangan sosok seorang ibu rasanya masih sulit kuterima. Sosok yang begitu kuat, begitu hebat. Beliaulah guru keikhlasanku, guru kesabaranku.
    Dan cobaan yang datang bertubi-tubi ini membuatku yakin bahwa aku kuat hadapi ini semua. Aku yakin tuhan mengujiku karena Dia tahu bahwa aku kuat. Dan tuhan pun pasti telah menyiapkan jalan keluar untuk ini semua.
    ****
    Kamar Kost Hijau Muda, 16.10 wib
    Aku masih membuka album foto di hapeku dan sesekali aku tersenyum dan tertawa melihat aku dan Nunu serta ibu dan abah. Aku terdiam dan sesekali mengusap mataku. Terlalu banyak kenangan manis antara kami. Fato saat aku sedang tertawa lepas dengan Nunu saat membantu abah memanen jagung, juga saat aku yang kecolongan sedang membantu ibu memasak didapur. Dan Nunu yang tampak sedang menggendong anak kambing didepan abah yang sedang tertawa.
    Aku mendesah pelan. Abah, sekarang abah begitu membenciku gara-gara Ogi brengsek itu.
    Tapi tiba-tiba aku teringat pesan ibu saat aku membantu beliau memasak untuk buka puasa.
    “Ingat A, sabar teh gak ada batasnya. Sabar tak punya ujung seperti langit. Dan kita harus bisa memaafkan, seberapa besarpun kesalahan orang. Alloh saja lautan maaf, masa kita sebagai mahluk begitu angkuh. Memaafkan atau meminta maaf teh bukan berarti merendahkan diri, justru dengan begitu teh, menunjukkan seberapa derajat keimanan kita..” Itulah pesan ibu dari aku kecil. Pesan yang akan tetap kuingat sampai kapanpun.
    Dan disela-sela kenangannya, aku mendengar ada orang yang mengetuk pintu kostan ku. Aku lantas mencuci mukaku agar tak terlihat begitu sendu lantas membuka pintu dan tersentak kaget karena Azam sedang berdiri di balik pintu.
    “Azam?” aku bergumam menyebut namanya.
    Dia hanya tersenyum. Lalu tampak membaui badanku. Aku mengernyit melihat tingkahnya.
    “Kamu udah mandi?” tanya dia.
    Aku mengangguk pelan.
    “Bagus deh kalo gitu. Yaudah, sekarang kamu ikut aku ya”
    “Ikut kamu kemana Zam?”
    “Sore ini kita jalan-jalan” jawabnya singkat.
    “Jalan-jalan? Emang mau kemana..? “ tanyaku malas.
    Aku memang sedang malas untuk pergi kemanapun. Aku masih ingin mengenang kebersamaan kami dulu. Aku masih ingin menikmati kesendirianku bermain-main dengan indah dan hangatnya keluarga kami dulu.
    “Sekali ini aja jangan nolak ya.” katanya sambil menarik tanganku.
    Aku masih berdiri kaku. Dia terdiam dan menengok kearahku. Tatap matanya mengisyaratkan agar aku mengikuti apa yang dia minta. Tapi aku tak boleh larut terlalu lama. Aku tahu dia ingin agar aku segera tinggalkan masa duka ini berlama-lama. Masih ada kehidupan yang harus aku jalani.
    Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya.
    “Tunggu dulu, sweeterku masih di dalem”
    Tanpa mengeluarkan sebaris kata, dia lantas segera mengambil sweater yang tergantung di balik pintu kamar dan memakaikannya padaku. Aku seperti tersihir oleh apa yang telah dia lakukan, tapi tak mau banyak berkomentar. Setelah memakai sweater dan mengunci pintu, kami berdua langsung naik ke mobil dan segera memasang sabuk pengaman.
    Sekarang Azam melajukan mobilnya entah kemana. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan, tapi kuperhatikan dia terus saja mengulum senyum. Dan ketika mobil Azam berbelok, bentar, bukannya ini jalan menuju ke GINZA?
    “Zam, kita ke ..”
    “Yups, kita ke Ginza.”
    Aku memandangnya cukup lama. Mau ngapain ke Ginza? Lagipula Ginza baru saja terbakar dan aku belum sempat untuk merelokasi barang-barang yang masih tersisa. Tapi ketika aku sampai di depan tokoku, aku kaget sekali. Aku beberapa kali mengucek mataku tak percaya. Ginza yang beberapa hari ludes terbakar, kini telah kembali seperti semula bahkan dekorasinya pun tampak lebih apik. Dan ketika aku masuk, dalam toko pun telah penuh dengan barang jualan yang entah darimana. Aku menoleh ke arah Azam.
    “Azam, ini..” aku terbata karena tak memercayai penglihatanku.
    “Ini GINZA, toko kamu” jawabnya dengan senyum manisnya.
    “Tapi kemarin..”
    “Kemarin kebakar, dan harusnya semangat GINZA ikut kebakar juga kan?” sergah Azam sambil mengedipkan satu matanya ke arahku. Aku masih terdiam mencerna yang sedang kulihat.
    Aku berkeliling dan memegangi benda-benda yang lucu-lucu. Dindingnya telah diganti dengan yang baru. Di cat warna ungu juga, seperti semula. Dan di dinding pun tertempel beberapa buah fotoku dari berbagai sudut dan aku tak sadar bahwa Azam sering mengambil fotoku secara diam-diam.
    “Ini...” kataku sambil memegang frame fotoku yang sedang tertawa lepas ketika mengobrol dengan operator produksi.
    Dia hanya tersenyum. Aku baru tahu bahwa dia sering mencuri potoko saat aku lengah.
    Tak lama, tampak seseorang yang mengendarai motor berhenti di depan GINZA. Orang itu tampak menurunkan sebuah kantong kresek berukuran besar. Aku menoleh ke arah Azam.
    “Dio, semuanya udah siap?”
    “Siap uda. Es batunya juga sudah siap”
    Aku terdiam mengantisipasi, menilik apa saja yang dibawa oleh orang yang dipanggil Dio tadi.
    “Kita mulai dari nol ya Bay” kata Azam sambil merengkuh pundakku.
    Lalu kulihat orang yang dipanggil Dio itu menuangkan sesuatu ke dalam toples dan itu seperti cendol. Aku hanya memerhatikan saja sampai dia selesai menata barang dagangan. Dia terlihat telaten sekali ketika mulai mengalasi es cendol itu ke dalam plastik. Azam pun ikut membantunya mengikat cendol yang dibungkus ke dalam kantong plastik kecil dan dijejerkan didepan meja kecil yang sengaja di taruh di depan.
    Azam menoleh padaku. Gerakan kecil matanya membuatku mengernyit.
    “Mau ikut menawarkan dagangan?”
    Mataku berbinar. Ya, aku tak boleh terus larut dalam kesedihan. Aku harus survive, dan aku tersenyum pasti ke arah Azam.
    “es cendolnya pak..es cendolnya bu..” teriak azam ke tengah jalanan yang ramai oleh orang yang lalu lalang mencari makanan buat tajil.
    “Es cendolnya Pak..es cendolnya Bu..” aku ikut berteriak dan beberapa orang tampak berhenti di depan tokoku untuk membeli cendol.
    Dengan antusias dan senyum ramah Azam melayani pembeli. Mereka tampak berebut karena hari sudah mendekati jam buka. Aku juga ikut sibuk membantu Dio membungkus es cendol. Ternyata berdagang seperti ini mengasyikan juga. Apalagi melihat antusias orang yang membeli.
    “Berapa ini uda satunya?”
    “Tiga ribu saja Teh” jawab Azam sambil memasukan es cendol ke kantong kresek dan menerima uangnya.
    “Uda Azam, es cendolnya ampe yo” teriak uni yang sedang melayani orang yang makan nasi padang.
    “Dio, es cendol di gelas ampe yo”
    Lalu Dio menyajikan es cendol ke dalam empat gelas dan Azam mengantarkan ke rumah makan uni dengan senyum ceria. Ini kali pertama aku melihat Azam bahagia dengan lepas, dia tak henti-hentinya mengulum senyum. Dan sekembalinya dari rumah makan uni dia kembali berteriak-teriak ke arah jalan.
    “Es cendolnya Pak..es cendolnya Bu..ayo Bu...diborong cendolnya..”
    *****
    Aku masih mengulum senyum dan sesekali melihat ke arah Azam. Sungguh, aku tak menyangka bahwa Azam telah melakukan ini semua. Dia telah mengembalikan Ginza, bahkan kondisinya sekarang jauh lebih nyeni. Sekarang sudah jam delapan malam. Dan setelah es cendolnya habis, Azam menitipkan GINZA sama Dio. Dan sekarang entah kemana Azam mengajakku.
    “Kenapa diem aja Bay?” tanya Azam mengagetkanku disela-sela dia menyetir.
    Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum tipis kearahku.
    “Makasih ya Zam..kamu..”
    “Jangan bilang makasih terus..udah seharusnya kan manusia itu tolong menolong”
    Aku tersenyum rikuh. Sepertinya yang dilakukan Azam itu terlalu berlebihan untukku. Tapi jujur, aku merasa begitu senang dengan apa yang telah dia lakukan untukku. Tapi ada satu yang masih mengganjal pikiranku. Ginza. Dia pasti telah mengeluarkan banyak sekali uang untuk merenovasi dan juga mengadakan barang untuk Ginza. Terlebih dia sudah mempekerjakan satu orang. Dan aku tak tahan untuk segera membicarakan dengannya.
    “Soal biaya GINZA..”
    “Itu kita bicarakan nanti. Aku yakin kamu pasti minta perhitungan yang profesional kan? Tenang saja, bisnis is bisnis. Nanti aku kasih rinciannya, termasuk upah Dio”
    “Aku bingung mesti ngomong apa lagi. Aku...”
    “Kamu..pasti mikir macem-macem ya?” katanya lagi. “ Aku ngerti kok, ini pasti aneh buat kamu. Tapi ini juga aneh buat aku”
    Aneh buat kamu, kataku dalam hati. Aku hanya diam sambil menatap ke arahnya.
    “Tentu saja ini diluar mauku.”
    “Diluar maumu? Maksud kamu?” tanyaku bingung.
    “Aku sendiri gak tau kenapa aku sampai bisa melakukan ini semua, tapi ada rasa yang meluap-luap untuk balikin senyum kamu. Dulu aku suka sama Eza, dan kamu pasti tau itu. Dan ketika aku dirasuki rasa sayang ke kamu, aku tak tahu silogisme apa yang terjadi. Tapi ini maslaah hati. Masalah hati itu diluar kuasa manusia Bay”
    Dia suka Eza, benar,dulu dia suka sama Eza sampai-sampai memusuhiku yang dipikir olehnya sudah merebut Eza dari dia. Terus sekarang dia suka sama aku? Aneh, aneh sekali.
    “Boleh aku nanya Zam?”
    “Kamu mau nanya kenapa aku suka sama kamu?”
    Aku hanya diam tak mengiyakan. Pertanyaan klasik itu memang harus aku lontarkan, karena semuanya terasa rancu bagiku. Dia menyukai orang yang dulu dia benci? Bukankah itu rasanya aneh sekali. Walaupun ada pepatah benci jadi rindu, tapi tetap saja itu terasa aneh buatku. Terlebih aku yakin Azam itu suka sama Eza.
    Dia menghela nafas, lalu mengeluarkan hapenya dan menyerahkannya padaku. Apa maksudnya?
    “Maksud kamu apa?”
    “Gantungan itu” jawabnya singkat.
    Gantungan hape ini? Ini kan gantungan hape yang aku kasih ke dia. Terus hubungannya apa sama ini semua?
    “Kamu pasti bingung ya?! Sejak kamu kasih gantungan hape itu, aku makin bingung sama perasaanku sendiri. Disatu sisi aku benci sama kamu, tapi di sisi lain, aku suka kasian sama kamu. Kamu gak salah apa-apa, tapi aku terus aja nyakitin kamu.”
    Ya iyalah, aku gak salah apa-apa tapi kenapa aku jadi korban.
    “Dan aku makin bingung saat tangan kamu kena pipa, dan gak pake gelang dari aku. Kamu bilang lebih milih tangan kamu luka daripada gelang yang aku kasih kotor, apalagi rusak. Aku gak tau itu karena kesal ato karena kamu bener-bener gak mau gelang itu rusak. Tapi yang pasti, hatiku ambruk waktu kamu bilang gitu”
    Gelang itu? Apa itu gak terdengar terlalu klise?
    “Aku terus coba nyangkal perasaanku yang mulai sayang sama kamu, tapi aku gak bisa..dan saat kamu mutusin buat resign, aku sadar, aku gak mau kehilangan kamu”
    “Terus, Eza? Kamu udah gak cinta lagi sama dia?”
    “Aku? Ke Eza? Aku capek ngejar dia terus. Aku..”
    “Oh, jadi aku ini pelarian aja karena kamu gak bisa dapetin Eza?”
    “Bukan gitu Bay, aku...”
    “Udah lah Zam. Semua orang juga pasti ngerasa aneh sama ini. Kamu benci sama aku, dan sekarang kamu bilang suka sama aku? Aku hargain apa yang udah kamu lakuin ke aku. Tapi aku mohon ke kamu, jangan karena kamu iba ke aku, kamu jadi maenin perasaan aku..“
    Dia menghela nafas sebentar.
    “Bukankah hati manusia itu mudah banget dibolak-balikan?”
    “Tapi ini gak logis..”
    “Apakah logika dan hati ini pernah ketemu?”
    “Sekarang aku mau nanya lagi sama kamu, kalo ternyata Eza juga suka sama kamu, apa yang bakal kamu lakuin?”
    “...”
    “Kenapa diem? Udah lah Zam, stop kebohongan ini. Kamu jangan mainin perasaan aku. Kita bisa berteman kan…”
    “Okey. Aku, bingung Bay, jelasinnya gimana. Tapi kalo kamu nanya apa yang bakal aku lakuin, aku bakal lakuin apa yang bisa bikin kamu bahagia. Itu aja”
    “Terus sekarang mau kamu apa? Bentar, ini...” kataku sambil mengedarkan mataku.
  • “Telaga Seafood. Aku tahu kamu suka kesini sama Eza. Kamu nongkrong berdua dipinggiran danau, jalan di jogging track ini sebelum Telaga Seafood ini buka. Dan aku mau ngajakin kamu makan, disini. Kamu keberatan?”
    “....”
    Aku hanya diam. Aku tidak menyadari bahwa ternyata dia membawaku kesini. Aku dan Eza memang sering kesini hanya untuk sekedar jalan-jalan menyusuri jogging track di pinggiran restoran Telaga Seafood. Dan aku baru tahu bahwa dulu Azam sering mengikuti kemana aku pergi.
    Setelah dia memarkirkan mobilnya, dia keluar lalu membukakan pintu mobilku. Aneh, rasanya aneh sekali. Ini seperti adegan seseorang pada pacarnya yang hanya kulihat di film-film SCTV. Rasanya ganjil sekali. Lalu dia menungguku turun. Dengan ragu aku injakan kakiku ke tanah dan berjalan menuju resto itu.
    Dan ketika kakiku memasuki resto ini, aku mulai mengagumi dekorasinya. Terasa nyeni sekali. Lampu-lampu keemasan yang temaram, kursi-kursi kayu yang coklat elegan yang dipinggirnya pohon-pohon bambu cina yang imut-imut serta beberapa bunga karang yang disorot lampu halogen. Ku tengok ke dalam, dinding-dinding yang artistik, pilar-pilar kayu yang kokoh, dan lampion-lampion putih yang menggantung dengan cantiknya.
    “Selamat datang di Telaga seafood. Buat berapa orang?” tanya seoarang greater mengagetkanku dengan senyum close up-nya.
    “Dua orang aja” jawab Azam.
    “Di dalam ato diluar mas?”
    “Diluar aja” tukas Azam singkat
    “Oke...disebelah sini mas, biar keliatan view danaunya..dan juga live music-nya bisa dinikmati” tawar si greater.
    Kulihat Azam melirikku seakan meminta persetujuanku. Aku menimang sesaat. Kulihat ke arah kiri, view danaunya terlihat sempurna sekali, dengan lampu-lampu taman yang lucu, sebelah kanannya ada stage kecil dan tampak band, mmm..kusebut band juga kayaknya kurang pas, karena para personilnya sudah berumur cukup lawas. Alunan musik balada terdengar enak sekali di telinga.
    “Gimana Bay? Kamu keberatan kalo kita makan disebelah sini?”
    “Hah? Seterah kamu aja deh”
    “Disini aja gapapa?” Ulang Azam.
    “Sebenarnya disebelah sana lebih privasi, buat pasangan” kata si greater sambil menunjuk kursi di tempat paling ujung yang letaknya lebih menjorok ke danau. “tapi dari situ stagenya tidak keliatan”
    “Yaudah, disini aja. Lagian juga kalo disana ntar disangka pacaran lagi” kataku.
    Kulihat si greater menahan tawanya sambil memerhatikan Azam dan aku bergantian. Aku mengernyit, apanya yang lucu, pikirku.
    “Dan kalo mau request lagu, boleh kok” tawar si greater.” Ini daftar menunya”
    “Oke. Nanti kita panggil ya mas, kita mau pilih-pilih menu dulu.”
    “Oke. Silahkan mas” timpal greaternya dan langsung meninggalkan kami berdua.
    “Kamu mau makan apa Bay?” tanya Azam sambil membuka-buka daftar menu.
    Aku hanya diam. Kulihat daftar makanannya dan juga harganya lumayan. Tapi disini kebanyakan seafood. Dan jujur saja aku tak terlalu suka seafood. Paling ikan laut saja yang kusuka.
    “Kamu suka kepiting gak?”
    “Mmm...”
    Aku bingung harus jawab apa. Aku emang belum pernah makan kepiting. Tapi apa karena Azam juga tahu aku belum pernah makan kepiting? Tapi masa iya dia tahu segalanya bahkan sampai makanan yang belum pernah aku makan..
    “Yaudah, kepiting bakar satu, kamu suka cumi kan? Cumi asam manis atu ya. Minumnya jus jambu aja, kalo aku, iced cappuchino”
    Aku hanya bengong. Darimana dia tau kalo aku suka cumi sama jus jambu?
    “Kenapa Bay?”
    “Nggg..gak kok. Cuman bingung aja. kok kamu tau aku suka cumi sama jus jambu”
    “Boleh kan kalo aku gak jawab?”
    “Kok? Selama ini kamu suka ngikutin aku ya?”
    Dia hanya senyum. Apa jangan-jangan Eza pernah cerita ke Azam? Atau mungkin Azka kali ya? Au ah, gak usah dipikrin.
    “Bentar yah, aku cuci tangan dulu”
    Dia lantas segera menuju toilet. Mataku menyapu seluruh ruangan ini, dan aku dibuatnya terpesona. Dulu aku memang sering jalan malam-malam sama Eza menyusuri jogging track disekeliling resto ini. Padahal aku maunya makan disini sama Eza. Kulihat Azam tanpak berbicara dengan seorang pelayan. Lalu dia kembali ke kursi.
    “Baiklah, para pengunjung Telaga Seafood, kami akan memainkan sebuah lagu yang dipesan oleh seseorang yang tak mau disebutkan namanya. Dia hanya ingin bilang, everything I do, I do it for you”
    Aku diam. Mataku tertuju ke grup balada yang sedang berbaris di stage. Lalu intro sebuah musik terdengar mengalun dengan indah di telingaku. Lagu pop yang sedikit ngerock yang dibawakan oleh Brian Adam, kini dinyanyikan dengan sedikit balada, tapi serak suara vokalisnya terdengar enak sekali didengar.
    Kulihat Azam, dia hanya tersenyum kerahku. Apa dia yang memesankan lagu ini untukku? Lagu yang amat sangat kusuka, selain Michael Buble tentunya. Aku tertegun. Apa dia benar-benar suka sama aku atau..ini hanya salah satu triknya untuk semakin meyakinkan kepura-puraannya? Entahlah, tapi sejauh ini, sampai dia tau lagu kesukaanku, aku mulai diliputi rasa yang aneh. Aku sendiri tak mampu jabarkan rasa apa ini.
    Dan tak lama pelayannya pun datang membawa pesanan kami. Setelah menata makanan di atas meja, pelayan itupun meninggalkan kami.
    “Yuk dimakan” kata azam sambil mengambil sendok garpunya.
    Aku hanya bengong karena didepanku itu kepiting. Haduh..cara makan kepiting tuh gimana ya?
    “Kok gak dimakan?” tanya Azam sambil mengambil beberapa potong cumi dan menaruhnya diatas piringnya.
    “Mmm..hehe..gapapa kok” kataku kikuk sambil memegang sendok garpu.
    “Nih cuminya.” Katanya sambil mengambilkan beberapa potong cumi ke piringku.
    Aku masih diam saja. kuingat-ingat di acara kuliner, orang makan cumi tuh pake sendok ato pake apa ya?
    “Kamu...kok kayak bengong gitu Bay..” katanya sambil mengambil satu potong kepiting.
    Aku memerhatikan dia yang makan kepiting dengan tangan. Dia memisahkan kulit kerangnya lalu menggigit dan mencuil dengan tangan. Oh...gitu..hihihi, dasar aku yang udik. Aku lanatas mengambil potongan kepiting itu dan mengikuti apa yang azam lakuin. Azam tersenyum melihatku. Apa tadi dia mau ngajarin aku cara makan cumi? Hmmm..sejauh ini gelagatnya gak mencurigakan.
    Lagu..
    Lagu masih terdengar merdu dan liriknya mulai masuk ke adalam pikiranku. Sesekali kulihat Azam yang masih menggoyang-goyangkan pelan kepalanya mengikuti alunan lagu. Kadang dia tersenyum sambil melihatku yang sedang memerhatikannya. Kuakui, dia itu memesona. Wajah keparsiannya memang memikat. Tapi sejauh ini hanya eza yang ada di pikiranku. Tapi bukankah cinta mampu mengelabui mata?
    Setelah selesai makan dan cuci tangan, dan membayar billnya, azam mengajakku keliling dulu mengitari joging track lalu kami berdua duduk di bangku taman yang menghadap ke danau. Kami berdua terdiam. aku bingung dengan apa yang kurasa. Jujur, aku kecewa dengan pilihan eza yang telah mengikat janji kita tak mungkin bersama, dan ternyata pikiranku tentang azam yang akan melakukan banyak hal untukku sampai dia membawaku kesini dan memesankan apa yang kusuka.
    “Perasaan kamu sekarang gimana Bay?” tanya dia tiba-tiba.
    “Hhh?”
    “Kamu suka sama Eza?”
    Aku? Suka eza? iyalah. Tapi Eza telah mengikat janji yang tak memungkin kan aku dan dia hidup bersama.
    “Aku gak mau peduli kamu sayang ato enggak sama Eza, toh kalaupun kamu sayang sama dia, aku juga gak bisa larang. Tapi malam ini...aku mau ulangin kata-kataku tadi siang. Aku sayang kamu dan...mau menwarkan satu cinta sederhana buat kamu. Aku gak mau muluk-muluk, karena yang namanya masa depan itu bukan di tangan kita. Jadi…maukah kamu mencoba jalani hidup sama aku? Setidaknya sebelum kamu memutuskan untuk menikahi seorang gadis?”
    Deg. Nafasku tercekat, dan aku tak sanggup memandangnya. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Aku dan Eza memang telah mengikrarkan sumpah di kepala ayah untuk tidak pernah pacaran, seberapa besar pun rasa sayangku ke dia. Tapi sikap Azam sekarang yang membuatku bingung. Aku merasa tak enak kalo aku tak menyambu permintaan Azam. Terlalu banyak hal yang telah dia lakukan untukku sampai saat ini.
    “Bay, aku memaksa kamu untuk member jawaban disini…sepahit apapun jawaban kamu, aku terima. Tapi yang mesti kamu tahu, akan akan terus kejar cinta kamu, Bay..”
    Gak bisa. Ini gak bisa. Aku sayang sama Eza dan untuk apa aku menjalin hubungan dengan Azam. Tak mungkin aku menjalani hubungan tanpa didasari rasa sayang. Kasian Azam yang nanti terus aku bohongi. Tapi sejauh ini Azam telah melakukan banyak hal. Mengajakku ke pulau Tidung, menjemputku dari rumahku setelah aku diusir ayahku, dan..kejadian tadi di GINZA benar-benar diluar nalarku.
    “Bay,aku gak minta banyak sama kamu. Dan kamu jangan boongin hati kamu sendiri kalau kamu gak sayang sama aku. Tapi, sampai hati kamu luluh, aku akan terus berusaha”
    Aku memandangnya. Dia mencoba tersenyum.
    “Aku bingung Zam”
    “Bingung kenapa..?”
    “Bingung karena...Eza”
    “....”
    “Aku tahu, kamu sayang sama Eza. Dulu pun aku juga sama. Dan kalaupun kamu masih menaruh harapan sama Eza, aku gak marah kok. Tapi buat saat ini..aku gak bisa..”
    Cukup lama kami berdua terdiam. Aku menjadi sangat rikuh dan tak nyaman sekarang. Kupandangi lagi bintang yang bertaburan dengan indahnya. Harusnya ada perasaan yang mendesir saat Azam mengajakku ke tempat yang sangat romantis ini, tempat yang dulu sempat kuharapkan makan disini bersama orang yang kusayang, Eza. Tapi orang yang kuharapkan membawaku kesini itu Eza, bukan Azam.
    “Yaudah, yuk, kita pulang. Sekarang udah malem. Nanti sampai di kostan kamu aku kasih rincian untuk Ginzanya. Dan kamu gak mesti bayar-bayar sekarang kok, nyante aja”ucapnya seraya berdiri dan membayar billnya.
    Dia kembali dan member isyarat padaku untuk segera pulang.
    Aku terdiam. Apa aku begitu jahat kalau nolak dia yang dengan tulusnya melakukan banyak hal demi aku? Apa aku ini bodoh dengan tidak menyambut keinginannya? Aku harus survive. Aku gak boleh larut dalam kesedihan karena ibu, dan aku tak boleh terus-terusan mengharap Eza yang telah menutup rapat harapan itu. Aku harus berani mencoba membuka hati untuk Azam. Ya, aku harus mencobanya.
    “Zam...”
    Dia menoleh.
    “Aku mau Zam, aku mau nyoba buat sayang sama kamu”
    Dia menatapku dengan tatapan tak percaya. Dia lalu mendekat ke arahku dan berjongkok di depanku. Dia memegang kedua tanganku.
    “Coba ulangi lagi Bay”
    “Aku..aku mau kita mulai mencoba...hidup bahagia..”ulangku sambil menunduk.
    Dia tersenyum lalu memelukku.
    “Zam..jangan bikin aku malu..” bisikku pelan setelah menyadari beberapa orang memerhatikan kami. Diapun melepaskan pelukannya dan menarik tanganku keluar.
    Ya, aku harus mencoba membuka hati. Mungkin aku memang masih belum bahagia, tapi aku pasti akan bahagia, sama Azam.
    ******
  • “Udah sampe Bay” kata Azam mengagetkanku.
    “Hah? Oh, iya” kataku kikuk.
    Azam masih mengulum senyum sesekali memegang tanganku dan mengelusnya. Aku hanya tersenyum kikuk. Jujur, aku masih merasa risih diperlakukan seperti ini, oleh seseorang yang sekarang statusnya sebagai pacarku. Rasanya aneh sekali. Rasanya berbeda sekali ketika aku diperhatikan oleh Azka. Aku merasa begitu dewasa dan ingin melindunginya. Dan sekarang, dengan Azam, aku merasa begitu lemah. Aku merasa ingin dilindungi. Dan dia terlihat begitu menyayangiku.
    Sekarang mobil kami berhenti di depan kostanku. Dan aku sedikit kaget, karena kulihat ada seseorang yang sedang duduk di kursi kayu depan kostanku. Beberapa meter disampingnya, motor CBR merah terparkir dengan gagahnya.
    “Yuk, turun” ajak Azam.
    Kami berdua lantas turun dan kulihat Eza bangkit dari duduknya. Kulihat, rautnya sulit sekali kuartikan. Dan lantas menatap Azam.
    “La...lo..ngapain?” tanyaku bingung.
    Dia hanya diam tak menjawab. Kulihat ada kantong kresek yang sepertinya berisi tupperware. Dan tangannya sedang memegang sebuah benda. Origami? Ya, dia memegang sebuah origami kupu-kupu.
    “Ibu bikin puding. Dia nyuruh gua nganterin ke lo. Yadah, gua balik ya” katanya sambil berjalan ke meja di depan kostanku dan menaruh kantong kreseknya lalu berjalan ke arah motornya.
    Aku bingung, dia kenapa? Kulihat Azam, dia juga tampak aneh. Ada rasa bersalah dari matanya. Pasti Azam merasa tak enak.
    “Za, tunggu”
    Dia menoleh sebentar dan menoleh kea rah Azam.
    “bay.. aku balik dulu ya. Udah malem. Besok pagi aku jemput ya..” kata Azam tiba-tiba. Lalu dia mencium keningku secara tiba-tiba. Aku yang tak siap hanya diam tak bias mengelak.
    Dia tersenyum padaku dan juga pada Eza, dan berjalan menuju ke mobilnya. Kulihat azam, dia tersenyum kaku lalu menjalankan mobilnya.
    Kulihat eza hanya diam. Dia tampak begitu shock melihat aku dicium oleh Azam. Walaupun sekarang statusku sudah menjadi pacar Azam, tapi rasanya dia tak perlu menunjukkan itu di depan Eza. Apa azam ingin menunjukkan bahwa sekarang aku sudah jadi pacarnya?
    “Za..lo disini..dari tadi?” tanyaku ragu mencoba mengontrol diriku.
    Dia diam sebentar sambil melirik tajam ke arahku.
    “Kabar ibu gimana? Kangen gua sama ibu”
    “Ibu...kangen sama lo, makanya dia nyuruh gua nganterin puding ini ke elo. Udah, gua balik dulu ya, udah malem. Nih, buat lo” katanya sambil menyerahkan origami kupu-kupu itu lalu mengenakan helmnya dan langsung menancap motornya.
    Aku hanya bengong. Kutatap origami di tanganku yang tampak rumit ini. Kupandangi lagi jalanan dan Eza sudah tak nampak lagi.
    Aku menghela nafas lalu mengambil tupperware dan langusng masuk ke kamar kostku.
    Setelah masuk, kutaruh tupperware berisi puding dan juga origami kupu-kupunya lalu aku duduk sambil memandangi origami kupu-kupu itu. Kuperhatikan origami yang tampak indah karena bentuknya yang rumit.
    Eza..apa dia marah sama aku? Tapi...ahh..aku bingung. Sekarang Eza makin aneh. Apa dia juga sebenarnya suka sama aku? Tapi waktu aku jujur sama dia bahwa aku suka sama dia, dia bilang dia gak suka sama aku. Tapi kenapa juga dia gak ngejauhin aku? Apa karena kedewasaan sikapnya, atau karena aku aku dekat dengan ibunya? Atau mungkin sebenarnya dia suka sama Azam makanya dia tadi terlihat marah saat Azam mengantarku pulang? Tapi...
    Ah, ibu. Aku lupa. Ibu udah ngirimin puding ini. Aku mesti nelpon ibu dan bilang makasih sama ibu. Kuambil hapeku lalu kucari nomer ibu dan kutelpon. Agak lama tak diangkat, dan akhirnya telponnya diangkat juga.
    “Moshi-moshi?”
    “Moshi moshi, salam alaykum bu”
    “Alaykum salam. Ada apa Bay? Eh, kamu kemana aja, kok gak ada kabar? Genki desuka?”
    “Genki bu.”
    “Syukur deh. Maaf ya ibu gak bisa melayat waktu ibu kamu meninggal. Mudah-mudahan ibu kamu ditempatkan di sisi-Nya ya.”
    “Iya gak papa bu.”
    “Eh bay, eza kemana ya? Dari tadi sore kok belum keliatan.”
    “Eza? barusan baru pulang dari kostan Bayu bu. Eh Bu, arigatou yah buat pudingnya”
    (genki = sehat, arigatou = makasih)
    “Puding? Puding apa?”
    “Puding yang ibu bikin. Eza kan kesini karena ibu suruh buat nganterin puding buatan ibu kan?”
    “Hah? Enggak kok. Ibu gak bikini pudding buat kamu. Tapi..tadi siang Eza memang minta diajarin bikin puding. Gak tau buat apa atau buat siapa, yaudah, ibu temenin dia bikin puding. Emang kenapa Bay?”
    Jadi puding tadi bukan buatan ibu?
    “hah? Eng enggak kok bu. Hehe. Yaudah bu, maaf ya bu udah ganggu tidurnya...oyasuminasai..salam alaykum bu..”
    “Alaykum salam Bay. Nanti kalau ada kabar dari Eza, suruh dia pulang ya”
    “iya bu”
    Aku tertegun. Jadi tadi Eza kesini hanya untuk mengantarkan puding yang dia bikin, untukku? Perasaanku campur aduk. Aku bingung. Dan pikiranku tertuju sama Eza. Seorang Eza yang dulu selalu meledekku setiap membantu ibunya memasak, tadi belajar buat puding, untukku? Dan sekarang dia kemana? Aku harus mencarinya, sekarang. Ya, aku harus mencarinya.
    *****
  • 11.30 wib
    Aku parkirkan matic-ku dipinggir jalan ini. Kulihat seseorang sedang sedang berdiri di anjungan sambil melemparkan batu-batu kecil ke tengah danau. Aku yakin dia pasti dating kesini, ke tempat dulu kami selalu nongkrong selepas kerja.
    Dengan ragu aku berjalan ke arah anjungan itu.
    “Za...”
    Dia lalu berhenti melemparkan kerikil itu tanpa melihat kearahku.
    “Lo..ngapain disini?”
    Dia lantas berbalik dan tersenyum kaku ke arahku, lalu berbalik lagi dan melemparkan batu kecil itu.
    “Gua lagi ngitung hubungan masa benda, gaya lontar, dan jarak tempuh batu ini ke tengah danau”
    “...”
    “Gua coba buang jauh-jauh batu kecil ini. Tapi karena gua ngelemparnya dengan posisi miring, pecahan genting ini bukannya langsung tenggelam, tapi malah terpantul di permukaan air beberapa kali, dan lama sekali tenggelamnya”
    “...”
    “Gua lagi mikir, apa penyebabnya, apakah ada hubungannya sama massa benda? Atau karena..”
    “Za...lo kenapa?” tanyaku semakin mendekat padanya.
    Dia terdiam sejenak. Wajahnya tampak kuyu dibalik senyum dipaksakannya. Lantas dia mendongak kelangit, memerhatikan beberapa titik bintang. Cuaca memang cukup cerah tapi aku tak melihat ada bulan bertengger disana.
    “Eh, bulannya indah yah. Purnama.” Katanya tiba-tiba sambil melihat ke arah langit.
    Dan aku tak melihat bulan yang dia bilang purnama itu. Aku semakin bingung. Dia kenapa? Tadi dia bilang pecahan genting yang terpantul-pantul diatas permukaan air, sekarang bicara tentang bulan. Dia kenapa?
    “Aku sering dibuat bingung, kenapa bulan bisa tampak bercahaya. Katanya karena bulan memantulkan cahaya matahari. Tapi kenapa aku gak liat mataharinya?”
    Aku bingung apa maksudnya.
    “Katanya karena ukuran matahari jauh lebih besar, tapi..”
    “za... lo kenapa? Lo ngoceh soal batu yang terpantul, soal bulan, lo kenapa za?”
    Dia menunduk, tangannya kaku berpegangan ke pagar anjungan ini.
    “Selamat yah, lo sekarang gak jomblo lagi” katanya tiba-tiba.
    Aku hanya diam. Jujur, ada perasaan sesak saat dia mengatakannya. Aku ingin berteriak dan memukulnya, aku harusnya membuang status jomblo ini dengan berpacaran sama diam, tapi kenapa dia mengikat ikrar di depan ayah?
    “Gua ikut seneng karena lo akhirnya bisa bahagia””
    Aku, bahagia? Bodoh. Mana ada aku bahagia dengan orang selain kamu. aku mau kamu za, aku mau kamu, teriakku dalam hati.
    “Za...gua...” kataku dengan perasaan sesak.
    “Tenang aja Bay. Maaf kalo gua bersikap aneh hari ini. Gua cuman..”
    “Cuman apa?” tanyaku mulai tak bisa mengontrol diri.
    “Cuman..gua cuman perlu waktu biar sedikit terbiasa gak ada lo. Mungkin karena gua ngerasa ini sama seperti waktu kak Rafi pergi...”
    “...”
    “Lo sama kak Rafi itu...sama. Dan mungkin gua bakal jarang ngetawain lo lagi, gua jarang protes tiap lo ngoceh ini itu, gua..”
    Aku lantas mendekap tubuhnya dari belakang. Aku tak dapat mengendalikan diri. Mataku mulai terasa perih.
    “za..” kataku setengah berbisik dan memeluknya semakin erat.“lo tau perasaan gua yang sebenernya, dan...” kataku dan sekarang air mataku telah jatuh membasahi pundaknya.
    “Gua seneng Bay...lo akhirnya punya pacar juga“
    “Za..please..stop Za..jangan ngomong gitu. Gua..” kataku semakin merekatkan pelukanku.
    “Gua seneng karena kak Rafi pasti tersenyum”
    “Gua boleh nanya sama lo. Apa yang lo rasain sekarang Za..”
    “Itu udah gak penting lagi Bay”
    Kulepaskan pelukanku dan kubalikkan tubuh Eza. Kupegang pundaknya dan dia hanya menunduk.
    “Apa lo rela liat gua sama Azam?” tanyaku berusaha mencari matanya.
    “....”
    “Lo gak papa liat gua diantar jemput oleh Azam, gua sama azam makan di tempat romantis, dia dan gua berpegangan tangan sambil nikmatin sunset, dia meluk gua dari belakang sambil liat sunrise..dia nyuapin gua, dia nyium gua..”
    “Stop Bay, stop..” katanya dengan mulut bergetar.
    “Kenapa gua mesti berhenti..bukankah lo gak sayang sama gua?” tanyaku mulai tak bisa mengendalikan diri.
    “Gua ikut bahagia kalo lo bahagia..” katanya lirih.
    “Itu terdengar munafik Za”
    “Seenggaknya menjadi munafik itu lebih baik kan”
    “Plis za..jangan kayak gini..Kalo lo sayang sama gua, kenapa lo ambil keputusan ini? Kenapa lo kayak gini?” kataku sambil mengusap air mataku.
    “Udah malem Bay. Kita mesti pulang sekarang”
    Aku terdiam. Aku hanya memandang punggungnya yang berjalan meninggalkan anjungan ini.
    “Lo pulang dulu aja. gua masih mau disini” kataku dan kembali memegang pagar di anjungan ini.
    Lalu Eza meninggalkanku. Kulihat punggungnya yang meninggalkanku. Dia menoleh, pandangan kami bertemu lalu dia kembali melajukan motornya.
    ******
    Lagi-lagi aku kesini. Sebenarnya memang sudah cukup membosankan. Tapi harus kemana lagi, setelah dulu Eza mengajakku kesini, setiap aku merasa sedih, hanya tempat ini yang sedikit bisa menenangkanku di tengah cikarang yang gersang.
    Kenapa harus seprti ini? Sekarang aku yakin bahwa Eza juga sayang sama aku. Tapi kenapa dia dengan bodohnya berikrar di atas kepala ayah bahwa kami berdua tak akan pernah apacaran? Semuanya sudah terlanjur kadung bila aku bilang bahwa aku sekarang memutuskan untuk tidak membohongi hatiku dengan sayang sama Eza, tapi kenapa Eza harus bersikap seperti itu? Dan sekarang kondisiku sudah jadi pacar azam. Eza bodoh. Kenapa kamu lakuin ini?
    Aku sedang melemparkan batu kecil ke tangah danau, lalu kulihat ada seorang remaja yang kutaksir seperti anak sekolahan atau mungkin anak kuliahan sedang menerima telpon dan terlihat mengusap matanya. Sepertinya dia habis menangis. Lalu setelah dia menutup telpoonnya, dia masukan hapenya ke saku sweeter biru mudanya lalu memeluk lututnya.
    Rasa penasaranku mulai menyelimuti. Lalu aku mulai berjalan ke arahnya. Aku ikut duduk disampingnya.
    “Ehhmm..lagi..galaw?” tanyaku pelan.
    Dia mendongak dan tampak kaget menyadari kehadiranku. Dia lantas mengamatiku, mungkin berusaha mengingat apakah dia mengenalku atau tidak.
    “Maaf. Tadi aku liat kamu kayak lagi nangis”
    Dia terlihat bingung dan merasa malu. Dia mengusap matanya lalu menunduk.
    “Tenang, aku gak ada maksud apa-apa kok. Aku Cuma mau ngehibur kamu karena kamu tadi aku liat lagi nangis”
    “...”
    “Emang mukaku keliatan kayak penjahat ya. . Kenalin, aku Bayu. Aku tinggal di Kerawang, tapi kerja di pt xxx.”
    “Bayu...?” kata dia seperti sedang menyebut nama seseorang.
    Dia terlihat menimang dan seperti mengingat-ingat sesuatu.
    “Pt xxx? Itu kan...kamu kenal sama kang Isal?” tanya dia ragu-ragu.
    “Isal? Faisal Andi Jamaludin?”
    “Nama lengkapnya sih gatau. Tapi aku panggil dia Isal. Oiya, aku Ragil.” Katanya dan sekarang dia mengulurkan tanganku.
    Aku lantas menyambutnya dan kami berjabat tangan.
    “Iya, Isal yang kayak gimana ya, ya yang pake matik kan. Sama ada tai lalat di bawah bibirnya”
    “Iya. Kamu kenal?”
    “Ya iyalah, dia tuh temen aku juga kali. Sekarang udah percaya kan aku bukan orang jahat? Eh, kamu lagi sedih?”
    Dia terdiam. aku mengerti tak mudah menceritakan kesedihan kita pada orang yang baru kita kenal. Dan aku memang orang kepo, yang selalu disibukkan oleh rasa untuk berbagi beban orang lain.
    “Mau cerita? Tenang aja. kalo menurut aku sih, lebih baik kita cerita sama orang yang gak kita kenal. Toh gak ada resiko rahasia kita bocor kan?”
    Dia terlihat menimang, lalu diapun mulai menceritakan apa yang dia sedihkan. Kata dia, dia baru saja menelpon orang yang dulu dia cintai. Setelah setaun tak bertemu, dia rindu sekali sama orang itu.
    “Kamu sayang sama orang itu?”
    “Sangat. Aku sayang dia, tapi..”
    “Tapi kenapa?”
    “Apa aku salah kalau aku ingin dia bahagia dengan orang yang dia sayangi? Dan orang itu..adikku sendiri?”
    Kemudian dia menceritakan ihwal pacar dan adiknya yang menyebabkan dia pergi meninggalkan pacarnya itu. Sesekali aku memotong karena aku tak tahan untuk tidak mengomentari.
    “Kamu yakin pacar kamu itu selingkuh sama adik kamu?”
    “Buktinya dia ngajak adik aku makan ditempat itu, tempat yang dulu dijanjikan Boby, ups” kata dia dengan raut tegang karena kelepasan bicara
    “Boby? Pacar kamu itu..cowok?” tanyaku ragu.
    Dia keliatan gelagapan dan salah tingkah. Tapi aku mencoba bersikap biasa, agar dia merasa nyaman dan kembali mau menceritakan kisahnya. Toh aku juga sama seperti dia.
    “Gapapa kok. Cinta itu universal, gak masalah kalao kamu suka sama cowok atau sama cewek. Tapi kalo menurutku, kamu harus bersikap adil sama pacar kamu itu. Kamu harus ngasih kesempatan buat dia jelasin apa yang sebenarnya terjadi” kataku filosofis.
    “Tapi udah jelas-jelas dia itu kedapetan lagi makan berdua ditempat itu. Tempat makan yang dia janjiin waktu nembak adik aku itu”
    “Kalau ternyata dia kesitu hanya untuk menjelaskan kalo dia lebih milih kamu gimana?”
    “..” dia terdiam sambil menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca kembali.
    “Yadah, sekarang kamu telpon dia. Kasih kesempatan buat dia jelasin semuanya.”
    Lalu dengan ragu dia mangambil hapenya dan menekan nomer. Lalu mematikan kembali. Berkali-kali. Aku jadi sedikit gemas melihatnya bertingakah seperti itu lalu kuambil hapenya. Dia tampak kaget dan aku langsung menelponnya.
    Cukup lama tak ada jawaban
    “tut..tut...halo..” kataku sambil menekan load speaker.
    “Iya, ini siapa ya?” jawab seseorang dibalik telpon
    “Ini Boby kan?”
    “Iya. Ini siapa ya?”
    “Gak penting aku siapa. Sekarang ada yang mau ngomong sama kamu Bob.” Kataku sambil menyerahkan hapenya.
    Dia mengambilnya dan dengan ragu menempelkannya ke telinganya.
    “Halo...” kata boby.
    “...”
    Ragil hanya diam saja sambil melihat ke arahku.
    “Halooo? Ini siapa ya? Jawab atuh”
    “Ha..halo?” kata Ragil putus-putus.
    Boby tampak terdiam sebentar.
    “Gil..ini kamu Gil?” katanya dengan nada meninggi.
    “...”
    “Gil jawab Gil, ini kamu kan? Gil..aku kangen sama kamu...ngomong Gil, bilang kalo ini kamu...”
    Ragil hanya mendekap mulutnya. Dia hanya menangis tersedu-sedu. Lalu dia menyerahkan hapenya padaku.
    “Kamu sekarang diaman Gil? Bilang sama aku kamu dimana? Aku kangen sama kamu Gil..bilang kamu dimana. Aku pasti kesana sekarang…”
    “Maaf bob. Aku temennya Ragil . Maaf kalo aku ikut campur masalah kalian. Tadi dia udah nyeritain banyak hal ke aku. Aku Cuma mau dia bersikap adil sama kamu. Dia mau ngasih kesempatan ke kamu buat jelasin apa yang sebenarnya terjadi, kamu..selingkuh? Kama adiknya?”
    “Aku..selingkuh? Sama Bayu?”
    Bayu? Itukan namaku? Tapi rasa-rasanya aku pernah denger nama itu. Tapi dimana ya?
    “Aku bingung harus jelasin dari mana. Bla bla bla..”
    Orang yang bernama Boby itupun menceritakan ihwal duduk perkaranya. Tentang gimana perasaan dia ke Bayu pada awalnya, lalu perasaan dia ke Ragil yang lambat-laun mulai mengisi hatinya sampai dia memutuskan untuk memilih Ragil.
    “Aku ke tempat itu Cuma mau negesin ke Bayu, kalo aku milih kamu Gil. Dan bodohnya, waktu itu Bayu minta izin buat nyium aku untuk yang terakhir kali. Dan disaat bersamaan, Ragil dan temenku dateng”
    Hening. Ragil masih mendekap mulutnya dan memandang lemah ke arahku. Aku bingung dengan apa yang kurasa. Ada rasa sesak yang kurasakan.
    “Aku sayang kamu Gil..pulang Gil..pulang..aku kangen sama kamu. Sekarang gak ada yang motongin kuku aku, gak ada yang bergidik sambil liat kapas yang dipake buat bersihin muka aku yang dekil..gak ada yang ngelus rambutku...aku..kangen..” katanya dengan nada bergetar.
    Ada nada kerinduan yang sangat dari suaranya.
    “Kamu gak kangen sama aku Gil? Kamu gak pengen liat bunga kamboja punya kamu?” nafasnya memburu dan dia berusaha mengatur nafasnya.
    “Maaf Bob, aku masih belum bisa...” kata Ragil kemudian.
    “Kenapa Gil? Kamu gak mau liat pohon cinta kita yang di hutan kota? Kamu gak mau bersihin lagi wajah aku yang sekarang makin item? Aku masih sering nengokin pohon cinta kita Gil. Aku kangen kaktusku. Dan kamboja kamu udah berbunga lagi. Aku siram tiap hari...aku bersihin daunnya tiap sore..Aku kangen kamu meluk aku waktu kubonceng sama si bengbeng, aku kangen liat kamu berdiri nunggu aku pake jaket sweeter biru muda kamu..aku..aku..” katanya bergetar dan pasti dia sedang menangis sekarang.
    Mendengarnya membuatku merasa sesak. Entahlah, aku seperti merasakan apa yang mereka rasakan. Dan entah kenapa pikiranku langsung melayang pada Eza. Ya, suatu hari aku pasti akan rindu Eza. Rindu tawa dan rengek manjanya. Rindu dibonceng olehnya.
    “..” Ragil makin terisak mendengarnya.
    “Gil..aku kangen Gil..” katanya lirih.
    “Bob..kamu harus mulai lupain aku.”
    “Kenapa Gil? Kamu jangan minta aku ngelakuin hal yang gak mungkin buat aku lakuin.”
    “Boby..”
    “Please Gil..jangan minta hal itu. Kamu boleh minta apapun. Tapi plis, jangan minta aku lupain kamu..itu gak mungkin..”
    “....”
    “Please Gil..sampai sekarang aku masih nunggu kamu. Aku gak mau mencintai orang lain. Aku Cuma mau kamu...”
    “Bob..please..kamu jangan kayak gitu..kamu..”
    “Kenapa..? Kenapa aku gak boleh nunggu kamu?”
    “Karena...aku disini sudah punya pacar” katanya lirih
    “Kamu..” kata Koby dengan nada tak percaya.
    “Plis, kamu lupain aku. Aku gak bisa.”
    “Kamu...punya pacar?”
    “Boby..kamu mesti bahagia mesti tanpa aku Bob. Kamu mesti cari lagi. Dan ingat, kamu harus mencintai seorang cewek, bukan orang kayak aku”
    “Kamu gak adil Gil. Aku sayang sama kamu. Aku gak peduli kamu udah punya pacar lagi atau belum. Aku Cuma sayang sama kamu”
    “Bob..please..”
    “Buat apa aku jalanin hubungan kalau aku gak bisa lupain kamu..buat apa?”
    “Kamu mesti ngerti Bob. Cinta kita ini salah..kita..”
    “Aku gak peduli..aku Cuma sayang sama kamu. titik”
    “Bob, aku gak bakalan pulang sebelum kamu bilang kalau kamu udah punya pacar..”
    “Gil..kamu..kamu..kamu ngehukum aku? Maaf buat banyak hal, maaf karena aku pernah lakuin hal itu…aku sayang kamu Gil..”
    “Klik” Ragil menutup telponnya dan langsung memeluk lututnya dan menangis sesenggukan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Dan aku ikut merasakan sesak di dadaku. Apa Eza melakukan hal yang sama untukku? Apa dia mengikrarkan janji di depan ayah karena pikirannya sama dengan ragil? Entahlah.
    Kupandangi Ragil yang masih menangis sesenggukan. Aku bingung harus melakukan apa sekarang, yang bias kulakukan hanya mengelus punggungnya.
    “Apa aku salah?” tanya Ragil sambil mengusap pipinya.
    “Aku gak tau. Tapi..kamu..benar sudah punya pacar?”
    “Mana mungkin aku bisa lupain dia. aku Cuma bisa bilang itu biar dia lupain aku..”
    “Tapi itu artinya kamu nyiksa diri kamu sendiri dan ngehukum dia..”
    “Aku sayang sama dia..tapi aku gak mau dia sakit karena cinta seperti ini gak bisa berakhir bahagia..aku..”
    “Udah..udah..sekarang kamu tenangin dulu. Kamu..bentar..ada telpon..” kataku sambil merogoh saku celanaku yang bergetar karena ada panggilan masuk.
    Aku berdiri dan kulihat nama yang tertera di layar hapeku, Eza. Kenapa dia menghubungiku? Apa dia masih peduli sama aku? Aku permisi sebentar lalu berjalan meninggalkan Ragil. Aku segera mengangkatnya dan sebelum aku bicara, dia sudah menyemburku terlebih dahulu
    “Lo lagi dimana si? Ini udah malem tau gak”
    “Gua masih di Ellysium Za. Kenapa?”
    “Jam segini masih keluyuran. Lo kan besok pagi masih masuk. Lo gak saying apa sama diri lo sendiri? Gak tau bahaya di tempat itu sendiri. Lo balik sekarang. Eh tunggu, lo jangan kemana-mana. Gua kesitu sekarang. Klik”
    Ditutup? Idih, kebiasaan tuh anak. Marah-marah gak jelas. Aku lalu memasukkan hapeku dan kembali mendekati ragil. Dia masih memeluk lututnya dan sekarang tinggal isaknya.
    “Gil..udah. Gak usah sedih lagi. Aku yakin semuanya akan nemu jalan keluarnya..udah donk, jangan nangis lagi, aku kan jadi bingung mesti gimana..”
    “Aku emang egois. Aku emang jahat..”
    “Sssttt..udah..kamu tenangin diri dulu. Tapi menurutku, sebaiknya kamu temuin dia nanti, kalian mesti selesein ini dari hati ke hati..”
    “Iya..aku pasti temuin dia..nanti kalau dia udah bilang kalau dia udah punya pacar..”
    Aku hanya menarik nafas. Dia memang terkesan egois, tapi aku tau dia lakukan itu karena dia ingin pacarnya bahagia, dengan melupakan dia. Dan ketika aku sedang berbincang tentang bagaimana Boby itu, aku mendengar suara motor yang berhenti di belakang kami. Aku mendongak. Eza, dia terlihat sedang melepas helmnya.
    “Za..” kataku menyapanya.
    Kulihat Ragil sedikit mendongak dan terlihat kaget lalu kembali menunduk.
    “Ini udah malem tau, lo malah masih disini. Besok kan lo mesti masuk.”
    “Iya..gua Cuma nemenin dia, bentar lagi balik kok..lagian emang lo masih peduli sama gua?”
    Kataku sedikit ketus. Aku memang masih agak malas sama Eza. Dia terlihat mendongak memerhatikan Ragil yang sedang duduk menunuduk.
    “Sama siapa? Temen lo?”
    “Ya..iya sih, temen gua. Baru kenal barusan sih..”
    Ragil hanya diam saja dan masih menunduk. Eza mendongak dan terlihat agak kaget. Eza lantas menghampiri Ragil dan...
    “Agil..” kata Eza sambil memegang pundak Ragil dengan ekspresi ketakjuban.
    Ragil masih terlihat menunduk sambil melap pipinya.
    “Kalian..kenal?” tanyaku bingung.
    Ragil menoleh ke arahku dan dia menatap Eza dengan wajah kuyu.
    “A eza...”
    “Kamu..kemana aja Gil?” tanya Eza sambil mengguncang pundak Ragil.
    “Maaf a..Agil..”
    “Kamu gak tau mamah kamu nyariin kamu kemana aja? Kamu gak tau gimana bingungnya papah kamu, kami semua nyariin kamu Gil..” kata Eza.
    “Maaf a..Agil udah bikin semuanya bingung..”
    Aku masih mencerna apa yang sedang terjadi. Drama apalagi ini? Dan rasa penasaanku langsung kulontarkan pada mereka. Jangan-jangan Ragil itu..
    “Bentar..kamu itu..”
    “Dia sepupu aku itu Bay. Anak tante Bandung yang kabur..”
    “Ragilnya tante?” tanyaku kaget.
    Eza mengangguk dan aku merasakan dadaku bergemuruh. Pantas saja aku merasa seperti pernah mendengar namanya.
    “Gil..kamu mesti pulang. Keluarga kamu nyariin kamu kemana-mana..”
    “Aku gak bisa a..aku gak bisa..”
    “Kenapa?”
    “Apa karena..”
    Ragil menatap tajam kearahku mengisyaratkan agar aku tak meneruskan ucapanku. Aku mengerti, tak semua orang siap mendengar alasan dia meninggalkan rumah.
    “Yaudah Za, Ragil masih belum bisa pulang. Kita juga gak berhak buat maksa dia. Dia udah dewasa, udah bisa nentuin mana yang mesti dan gak boleh dia lakuin”
    “Tapi Bay..Gil, mamah kamu sekarang lagi sakit. Dia terus mikirin kamu, dia nyariin kamu kemana-mana..”
    Ragil menoleh ke arahku dan aku mengangguk mengiyakan dan sekarang wajahnya terlihat cemas sekali.
    “Percaya sama gua Za, Ragil pasti balik kok, iya kan Gil?”
    Ragil mengangguk pelan.
    “Aku juga kangen sama mamah, sama melky..aku kangen rumah. Tapi aku belum siap..”katanya lirih.
    “Yaudah, sekarang kamu mau pulang kemana?”
    “Aku...”
    “Kamu nginep di tempat aku aja ya Gil. Lagian aku juga ngekost sendiri kok. Gak ngorok juga, hehe” tawarku sambil berusaha mencairkan suasana.
    Eza mengangguk.
    “Tapi..”
    “Udah, sekarang udah malem, bahaya. Kamu pulang pagi aja. Tapi kamu besok pagi kerja gak?”
    “Aku kerja sore”
    “Yaudah, sekarang udah malem. Yuk”
    Lalu kami bertiga pun segera menuju ke kostanku.
    *****
  • edited July 2013
    hoho. ini sebenernya pas bikin masih bulan puasa tahun lalu. makanya agak rancu. dan ada beberapa part yang nyeritain kelanjutan hidup ragil tapi w skip dulu,
  • Angin itu mulai berhembus
    Aku tak tahu apa yang sekarang aku rasakan. Aku bingung menyebut rasa yang melandaku pada Azam. Apakah rasa ini adalah rasa sayang, iba, atau hanya untuk memanas-manasi Eza saja? Tapi bodoh sekali bila aku hanya memanfaatkan Azam, dia terlalu baik untuk kusakiti hatinya. Lagipula tak mungkin aku merebut Eza dari Agnia. Sudah cukup dia kehilangan Azam, Eza tak boleh meninggalkan luka di hatinya. Oke, aku akan menyayang Azam, dari hati.
    Selesai mandi kulihat ada SMS di hapeku. Eza.
    “Bay, ntar mlm w ma Agnia mo makan di tempat lo. Anniversary bulan pertama.”
    Begitu isi SMS-nya. Anniversary? Baru sebulan jadian? Lebay banget. Tapi apa maksudnya mengirim SMS itu, lengkap dengan kata anniversary, baru sebulan lagi. Apa itu untuk memanas-manasi aku? Bodo amat ah, lagipula sekarang aku sudah punya Azam.
    Selesai mematut diri, aku langsung meluncur ke kafe. Pekerjaku sudah stand by. Lalu si Dio menghampiriku,
    “Bang, tadi Bang Eza nelpon, dia booking tempat buat ntar malam. Menu paling spesial disini katanya. Udah konfirm ke Abang?” tanyanya.
    Aku anggukan kepalaku, “urus semuanya ya. Pokoknya semuanya mesti perfect. Oke?” kataku.
    Dia balas dengan senyuman, “oke Bang. Tapi aneh..” katanya ragu.
    Alisku mengerut, “aneh kenapa?”.
    Dia ragu menjawabnya, “anu..gak jadi deh..” katanya lalu pergi.
    ???
    Malamnya, jam delapan tepat Eza datang membonceng Agnia dengan RR-nya. Memang aku agak cemburu, tapi aku sembunyikan dan kupaksakan tersenyum, seperti saat menyambut gubernur. Eza menggandeng Agnia dengan mesra, tapi kulihat Agnia terlihat kikuk.
    “Onteng (on time) banget. Masuk, baru sebulan aja udah aniversary..” godaku, meski jujur hatiku sakit.
    Ku berkata seperti itu, Agnia malah melongo lalu melihat ke arah Eza, Eza hanya tersenyum.
    “Ayo masuk. Dio..” kataku memanggil Dio.” Everything’s perfect?” tanyaku memastikan.
    Dia mengacungkan jempolnya. Oke, aku takkan mengecewakan semua pelangganku, terlebih Eza. Lalu kulihat ke parkiran, Azam turun dari mobilnya. Azam ngapain kesini? Dia melambai ke arah kami dan lambaiannya dibalas oleh Eza. Dia masuk lalu menyapa Eza dan Agnia.
    “Gua telatnya lama?” katanya sambil memajang senyum.
    Aku memerhatikannya, Azam sangat sempurna. Celana Pantalon, dan blazzer yang dia pakai makin bikin dia keren. Tapi kuperhatikan dia agak kurus sekarang.
    “Eh, ngapain lo liatin gua kayak gitu? Gak pernah liat orang keren apa?” kata Azam membuyarkan pikiranku.
    Aku tersenyum, “Keren sih. Tapi kamu kok kurusan sih sekarang.” kataku to the point.
    “ehem..” kulirik, Eza ternyata yang berdehem. Ku tarik kursi untuk Azam dan Azam pun duduk.
    “Oke guys, sory dan ganggu schedule kalian. Malam ni gua mau ngerayain anniversary gua sama Agnia.” katanya sambil merangkul Agnia.
    Agnia sendiri malah bengong. Aku dan Azam tersenyum dan memberi ucapan selamat. Agnia melirik ke arah Azam dan terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan.
    “Terus meritnya kapan neh..?” tanya Azam dengan senyum merekah.
    Mungkin dia merasa tak ada saingan lagi. Tapi Agnia malah terlihat gusar. Dia hanya diam saja.
    “Dekat-dekat ini,” kata Eza pasti.
    Aku hanya tersenyum. Semakin cepat semakin baik, pikirku. Tapi jujur, aku masih belum siap kalau harus merelakan Eza jadi milik orang lain, meski perlahan-lahan Azam telah mengisi hatiku.
    “Kalian sendiri bagaimana?” tanya Eza.
    Aku dan Azam saling pandang.
    “Biarin aja ngalir kayak air. Biar waktu yang jawab,” kataku mencoba diplomatis.
    Azam memandangku syahdu lalu menggenggam tanganku, erat. Aku balas tersenyum.
    Makanan spesial pun sudah dihidangkan. Kami melahapnya, tanpa ada seorangpun yang memulai lagi percakapan.
    ”Makanannya gimana? Ada yang kurang?”kataku mencoba memecah kesunyian.
    Semua sepakat bilang mantap. Diam-diam kuperhatikan Eza, makannya sudah tak seperti dulu, dia seperti kehilangan nafsu makan. Apa dia benar-benar serius sama Agnia? Atau hanya sekedar memanas-manasiku? Biarlah.
    Kualihkan perhatianku pada Azam. Kini wajahnya tampak cerah sekali. Dia terus-terusan mengulum senyum. Kuambil jeruk lalu kukupasi dan ku kasihkan ke Azam. Dia tampak senang sekali, lalu memakannya. Aku gak mau merusak kebahagiaan Agnia dan Eza, dan aku mau Azam tiap hari tersenyum seperti hari ini. Eza pun ternyata mengambil jeruk lalu mengupasnya dan memberikannya sama Agnia. Tapi ekspresi Agnia tetap sama, dingin.

    !!
  • Malam ini, perasaanku galau. Aku telah menjalani kehidupan yang nyaris sempurna bersama Azam, tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku kangen sama Eza. Aku kangen candanya, aku kangen sikap dinginnya, sikap cueknya, marahnya kalau aku lagi nangis, aku rindu dia, rindu berat.
    Aku terus saja berjalan dan tanpa sadar aku sampai di Taman Rafflesia. Aku duduk di bangku taman. Dulu tempat ini adalah tempat aku menenangkan diri kalau aku sedang benci sama Azam yang dulu. Aku merasa tenang waktu melihat ikan-ikan, mendengar kecipak air. Aku mulai mengingat-ingat kejadian lalu antara aku dan Eza.
    Aku ingat di tempat ini aku nangis karena Azam menyuruhku bongkar valve di galeri yang seram itu, sendiri. Pekerjaan yang harusnya dikerjakan 3-4 orang harus kulakukan sendiri.
    Dan pikiranku melayang ke kejadian setahun yang lalu.
    Sore itu tubuhku terasa remuk, aku datang ke taman ini, dan tiba-tiba aku menangis. Lalu Eza datang membawa minuman kaleng. Duduk diam, tak berkata apa-apa. Dia tetap cuek, dan kulihat tak ada itikad baik menenangkanku. Aku jadi kesal dan menatap tajam ke arahnya.
    “Kok lo gak ngehibur gua?” kataku kesal.
    Dia masih saja dengan sikap cueknya.
    “Eza...” kataku setengah berteriak karena kesal.
    Lalu dia malah mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Aku makin kesal. Aku ambil rokoknya dan menginjaknya.
    “No smoking in front of me...” kataku berteriak.
    Dia malah bengong.
    “Siapa elo ngelarang gua ngerokok? Lagian napa lo gak ngerokok aja biar lo tenang?” katanya.
    Aku kesal. Dia tahu aku sangat anti rokok, dan malah menghasutku.
    “Lagian kakek-kakek 90-an juga masih ngerokok masih sehat-sehat aja. Elo, yang go green, anti rokok, melaksanakan Dasa Dharma Pramuka, kerja dikit langsung sakit..” katanya mencibirku.
    Aku makin kesal,” ini bukan hanya masalah gua sakit meski gak ngerokok. Tapi ini masalah komitmen. Gua udah berkomitmen sama diri gua sendiri. Gua mau sehat atau sakit kanker sekalipun, gua tetap gak bakal jadi perokok.” semburku.
    Dia bersungut-sungut. Lalu dia menawariku minum, langsung kusambar dan kutenggak habis. Langsung kulempar kaleng kosongnya jauh-jauh. Tapi sial, aku tak melihat ada orang. Dan ternyata kaleng yang kulempar mengenai tepat kepala orang itu. Orang itu menoleh dan memasang tampang sangar.
    Aku gemetar, lalu refleks memandang Eza.
    “Heh lo. Gak liat gua lagi duduk di depan?” katanya dengan tampang sangar.
    Dia lalu berjalan menghampiri. Aku semakin gemetar, dan memandang Eza mengharap dia menjadi pahlawan, dan membuat orang itu babak belur. Tapi membandingkan posturnya dengan orang itu ibarat angka sepuluh, aku menciut. Lali tiba-tiba Eza berdiri.
    “Aduh, maaf Bang, gak sengaja” kata Eza.
    Dia membelaku. Tapi orang itu tak terima, dia malah meminta ganti ruga. Ganti rugi? Wah, dia pasti mau malakin, pikirku.
    “Aduh maaf lagi nih Bang, kami gak megang duit. Minuman kaleng tadi aja dapet nyolong. Ni aja mau minjem duit, kalau Abang ada,” kata Eza santai.
    Hah, dia mau mati konyol? Malah nantangin. Orang itu semakin naik pitam. Dan mengeretakkan jari-jarinya sambil berjalan. Kesal sekali aku sama Eza. Lalu tiba-tiba dia menarik tanganku, kabur. Kami langsung berhamburan menuju Ninja milik Eza. Melihat kami hendak kabur, orang itu berteriak dan mencoba mengejar kami. Untung saja motornya langsung greng saat distarter. Kami melaju dengan kecepatan penuh, kulihat Eza tersenyum penuh kemenangan. Huh, konyol sekali.
    Aku tersenyum pahit mengingatnya.
    Kulihat ke bawah, ada dua puntung rokok, dan aku mengenalinya sebagai rokok favorit Eza. Apa Eza juga di sini? Aku mencoba mengedarkan mataku, dan menangkap sosok pria yang mengenakan jaket kulit sedang membeli dua kaleng minuman. Waktu dia berbalik, matanya menangkap mataku, pandangan kami bertemu, lalu dia menghampiriku.
    Kami duduk, tapi masih diam. Lalu dia menyalakan rokoknya. Aku diam memerhatikannya, tapi tak mengambil rokoknya seperti waktu itu. Aku malah mengambil sebatang rokoknya dan mencoba menyalakannya. Dia kaget lalu mengambl rokok yang ku pegang lalu menginjaknya.
    “Lo apa-apaan sih?” katanya agak gusar.
    Alisku mengerut.
    ” Mangnya napa, gak boleh gua ngerokok?” kataku balik menatap tajam wajahnya.
    Dia hanya diam. Lalu melanjutkan menghisap rokoknya. Aku memerhatikannya. Dia semakin kurus, Ezaku yang dulu gagah kini semakin kurus. Ternyata teori orang bahwa orang yang telah menikah akan menjadi gemuk, aku justru mendapati hal sebaliknya pada diri Eza. Aku biarkan saja dia, lalu tiba-tiba dia berhenti menghisap rokonya dan memandangku tajam.
    “Kenapa lo gak ambil rokok gua dan buang? Napa diem aja?” katanya cemberut.
    Aku bingung.
    Dia melanjutkan,”kenapa lo gak ngomong ‘ini bukan hanya masalah gua sakit meski gak ngeroko. Tapi ini masalah komitmen. Gua udah berkomitmen sama diri gua sendiri. Gua mau sehat atau sakit kanker sekalipun, gua tetap gak bakal jadi perokok’. Lo tau gak, gua kangen kata-kata itu. Gua kangen omelan lo. Gua kangen lo nangis, gua kangen..kangen.. gua kangen banget sama lo..” katanya sambil menunduk.
    Kulihat matanya berkaca-kaca.Eza...apa kamu..sayang sama aku? Tapi tiba-tiba aku teringat Agnia.
    “Keadaannya udah beda Za. Lo udah ada Agnia, gua ada Azam. Gua udah gak berhak ngelarang lo lagi,” kataku sambil memainkan ujung bajuku.
    Lalu dia berkata lirih,” tapi gua pengen lo ngomong gitu lagi...”.
    Eza? Kenapa kamu begitu egois? Kenapa kamu gak pernah jujur? Kenapa gak dari dulu kamu tunjukkan kalo kamu sayang sama aku? Aku sayang kamu, kamu sayang aku, tapi kenapa kita gak bisa bersama? Aku juga kangen Za, aku kangen kamu bonceng aku dengan kecepatan gilamu, aku kangen menguwel-uwel rambut kriting kamu, aku kangen kamu.
    Kuambil kaleng yang dia pegang. Kuedarkan mataku, dan aku merasa mataku menangkap sosok pria yang waktu itu. Ini kebetulankah? Lalu kulemparkan kaleng itu, belum kubuka, dan “trak”, mengenai kepala orang itu. Orang itu mengaduh keras lalu berbalik melihat ke arah kami. Kulihat Eza bengong, tapi aku malah tersenyum. Dia bingung tapi selang beberapa detik dia ikut tersenyum.
    “Bang, kami mau minjem duit...” kataku, memantang maut.
    Lalu aku menarik tangan Eza. Kami berlari melintasi bonsai, menerobos bunga-bunga dan berlarian sambil tertawa menuju motor Eza. Orang itu terus mengejar dan ternyata dia juga bawa motor. Mati gua, pikirku. Eza langsung men-kickstarter motornya. Gak mau hidup lagi, mampus kita. Aku mulai gemetaran dan menyesali kenapa aku main-main dengan maut tadi. Tapi akhirnya motornya nyala dan Eza langsung tancap gas, full. Kulihat ke belakang, orang itu masih mengejar. Aku masih gemetaran. Tangan kirinya memegang tanganku dan menaruhnya di pinggangnya.
    “Fast farious,” katanya.
    Aku mengerti maksudnya, kecepatan full seorang Ninja, meski jalanan padat. Aku makin memeluknya erat, erat sekali. Aku kangen memacu adrenalin seperti ini. Aku kangen bau tubuhnya, aku kangen memeluk erat tubuhnya. Aku tersenyum, mataku terpejam dan tak terasa air mataku menetes. Aku sudah tak peduli sama semuanya. Aku tak peduli sama Agnia, aku tak peduli sama Azam, bahkan aku tak peduli sama malaikat maut. Aku rela mati bersama Eza.
    Eza memang seorang raja jalanan. Dia begitu terobsesi oleh kecepatan, dan sering mengendarai Ninjanya seperti punya spare nyawa, seperti kesetanan. Dia tahu aku takut pada kecepatan tinggi, trauma masa kecil, dan sering memanfaatkannya untuk mengolok-olokku. Aku terkadang norak, ngomel-ngomel kalau dia melajukan motornya hingga seratus. Tapi semakin aku mengomel, dia semakin menjadi-jadi, dan aku semakin erat memeluknya, dan tak berani membuka mataku. Ku semakin ketar-ketir kalau dia sudah mngucapkan kata ‘fast farious’. Tapi aku ternyata aku menemukan diriku telah menjadi ketagihan. Aku selalu rindu diboncengnya dengan kata ‘fast farious’-nya.
    Aku tak tahu kemana dia membawaku. Setelah kubuka mataku, ternyata dia membawaku ke pasar malam. Aku digiringnya ke komidi putar, ombak banyu, tembak-target. Dia membelikanku aromanis dan terus memegang tanganku. Tak ada rasa risih. Kadang kami tertawa berdua. Kami terlihat seperti sepasang remaja yang baru mengalami malam minggu di pasar malam. dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak. Dan akhirnya dengan pemaksaan yang sangat, aku digiringnya ke Rumah Hantu. Baru masuk saja aku sudah memegang sangat erat tangan Eza. Aku memang takut pocong, sangat phobia. Aku bahkan secara refleks memeluk tubuhnya waktu seorang, atau lebih tepatnya seonggok benda yang dibentuk sseperti pocong tiba-tiba jatuh dan menghadang kami. Dia tertawa terbahak-bahak. Dan ketika melintasi kamar mayat, langkahnya terhenti. Aku masih menutup mataku. Aku bingung kenapa dia berhenti. Kupicingkan sebelah mataku, tak ada apa-apa yang menyeramkan,
    ”kenapa berhenti?” kataku heran.
    Dia diam saja. Kenapa orang ini? Apa dia kesurupan? Begidik aku membayangkan kalau dia benar-benar kesurupan. Takut-takut aku memandang wajahnya. Dia mendesah pelan. Lalu secepat kilat dia meraih daguku dan mengecup bibirku. Hangat, hangat sekali sampai terasa ke dadaku. Aku hanya melongo, menahan nafas. Aku memejamkan mataku. Dan aku mengharap waktu berjalan lambat atau bahkan berhenti sekalian. Tuhan...apa ini mimpi? Kalau ini mimpi, jadikan aku seperti puteri tidur, jangan biarkan aku bangun.
    ----
    Aku merasa menjadi mahluk paling bahagia di dunia. Segala sesuatu kini terlihat indah, bahkan aku bisa membuat puisi dengan melihat tong sampah. Aku memeluk erat tubuhnya, lalu mengancak-acak rambutnya. Dia ngomel-ngomel, tapi aku tertawa senang.
    Eza mengantarkanku sampai ke rumah. Tapi ketika motornya berhenti di depan rumahku, tawa kami terhenti ketika aku melihat Agnia dan Azam. Mereka tampak kisut dan begitu terpukul melihat kami berdua berboncengan, dengan kondisi tanganku memeluk erat tubuh Eza. Segera kulepaskan pelukanku. Azam segera masuk. Aku bingung, Eza juga terlihat salah tingkah. Dia lalu menghampiri Agnia, tapi Agnia menolaknya.
    “Ada yang mau aku omongin sama Bayu. Azam juga nunggu kamu di dalam.” Kata Agnia bergetar menahan tangis.
    Aku berdiri kaku. Agnia menghampiriku.
    “Aku gak mungkin nyalahin kamu Bay, karena kamu gak salah. Aku juga gak mungkin nyalahin Eza, karena itu adalah masalah hati. Aku gak bisa maksa Eza buat sayang sama aku. Tapi please Bay, demi bayi yang sekarang aku kandung, kamu ngerti keadaan dan perasaanku, please...” katanya memohon.
    Aku tak mampu berkata-kata. Aku tak tega melihat air matanya berderai terus. Aku sayang sama Eza, tapi aku akan menjadi sangat jahat kalau rasa itu terus ku simpan. Aku sudah merebut Azam, Eza tak boleh kuambil lagi. Terlebih sekarang Agnia telah mengandung anak Eza, anak Eza. Tak terasa air mataku jatuh. Aku memaksakan tersenyum.
    “Maafin aku, aku gak tau mesti gimana. Aku memang sayang sama Eza, jauh sebelum aku sayang sama Azam. Kamu pasti tau susahnya ngebunuh rasa sayang. Sekarang, please, kamu bawa Eza jauh dari aku. Aku gak mungkin ngelupain dia kalau aku tiap hari melihatnya.” Kataku berusaha meyakinkannya sambil mataku terus meneteskan air mata.
    Dia menghapus air matanya, lalu memaksakan tersenyum.
    ”Maafin aku Bay. Aku jahat karena misahin kalian yang saling sayang. Tapi aku bingung, aku gak mau anakku lahir tanpa ayah. Baiklah, aku akan bawa Eza ke Bandung. Aku mau mulai hidup baru,” katanya lirih.
    Aku genggam tangannya,
    “titip Eza, Ni..” pintaku.
    Lalu Eza pun keluar dengan raut sendu. Dia menatapku, tapi aku mengacuhkannya. Merekapun pamit pulang. Aku masih berdiri terpaku, lalu duduk dan menangis sejadi-jadinya.
    Aku masuk rumah dan mendapati Azam sedang duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Aku waswas memikirkan apa yang akan terjadi. Aku menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. Aku coba genggam tangan Azam, tak ada reaksi. Lalu dia memandang wajahku, sendu. Lalu tersenyum.
    “Agnia hamil,” katanya membuka pembicaraan.
    Aku hanya mengangguk.
    “dia mengandung bayi yang diharapkan bisa kasih dia kebahagiaan..” katanya resah.
    Kebahagiaan yang aku renggut, kataku dalam hati. Aku telah merenggut kebahagiaannya, aku merebut Eza.
    “Zam, maafin aku..aku..” kataku mencoba menjelaskan, tapi dia mengisaratkan aku untuk diam.
    “Kebahagiaanku adalah melihat kamu bahagia..” katanya lirih.
    Sakit, sakit sekali aku mendengarnya. Aku mulai meneteskan lagi air mata.
    “kamu itu mesti bahagia, sama orang yang kamu sayangi. Aku besok ada dinas ke Thailand, dan..” katanya mencoba menjelaskan tapi segera ku potong dengan memeluk tubuhnya sambil terisak.
    “Please Zam, kamu boleh ngehukum aku kayak apa, tapi please, kamu jangan tinggalin aku” pintaku.
    Aku sudah kehilangan Eza, aku gak mau kehilangan Azam. Aku masih menangis sejadi-jadinya di pelukan Azam. Kutumpahkan rasa sedihku kehilangan Eza di dadanya. Aku melepas pelukanku dan menatap matanya.
    “Teruslah disisiku. aku emang belum bisa lupain Eza. Tapi please, bantu aku. Bantu Agnia. Bantu aku agar aku gak ngerusak kebahagiaan Agnia...” kataku lirih.
    Aku harus jujur padanya bahwa aku masih belum bisa lupain Eza sepenuhmya. Dia tersenyum, lalu mengusap air mataku.
    “Ya udah,sekarang tidur. Udah malem banget.” Katanya tenang.
    Kedewasaannya membuat aku begitu malu telah menyakitinya.
    Aku merengut,” aku gak mau tidur sebelum kamu janji gak bakal ninggalin aku” kataku.
    Dia tersenyum, lalu mengangguk. Aku peluk lagi dia, erat sekali.
    “Gendong...” kataku manja.
    Dia lalu memangku tubuhku. Aku sandarkan kepalaku didadanya. Tuhan, bantu aku tumbuhkan rasa sayang sama Azam.
  • wih sekalinya apdet panjang bgtt
  • Ezaaaaaa.. T.T
    Ini udah tamat bang?
  • hiks..hiks..hiks..hiks..
    Abis dah air mata ku. Kang abi sumpah dah berlinang air mata.
    @tamagokill temenin aq nangisss... Sedih bangt....
Sign In or Register to comment.