BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Ciuman Sahabat

edited February 2012 in BoyzStories
Ini adalah cerpen fiksi. Silakan dinikmati guys, dan khusus hanya untuk penikmat cerita cinta, bukan cerita seks! Okey!

Hai, namaku Tio. Umurku saat ini boleh dibilang gak terlalu, well, tua.. Masih kepala dua, dua puluh satu tahun. Boleh dibilang aku adalah tipe orang yang mungkin terlalu santai untuk mengerjakan segala macam hal. Lihat saja, setumpuk kertas berupa tugas-tugas kuliah bercampur dengan dokumen atau pun kertas-kertas entah darimana asalnya, menjadi bergunung-gunung tidak karuan. Mungkin benar, tata ruang yang buruk dapat menyebabkan intensitas kemalasan lebih tinggi, terbukti sekarang aku melenggok di kasur sambil memegang handphone. Berharap ada telpon atau sms masuk.

Ya, sekarang aku adalah mahasiswa semester tujuh di sebuah perguruan tinggi ternama. Mungkin semester ini merupakan semester paling kritis buatku, segala macam tugas muncul dan aku yang memang tipe orang "penunda" menjadi sering mengabaikan deadline pengumpulan tugas. Jadilah semakin hari aku semakin tidak peduli dengan lingkungan. Kamar hunianku berasa kapal pecah yang jika kalian masuk tentunya langsung memilih keluar. Nanti sajalah membereskannya.

Kumainkan hape itu sambil masuk ke menu internet. Mungkin itu satu-satunya menu yang paling sering aku buka. Dan ayolah, siapa saja pasti juga melakukan hal ini setelah masuk ke menu ini—pergi ke halaman Facebook! Di situ tertera banyak sekali kabar dari teman-teman yang padahal kalau boleh jujur saja aku baru saja membukanya lima menit yang lalu. Betapa hedonnya saya!

Sambil asyik menyusuri halaman Facebook Mobile, aku membalikkan badan. Agak lama aku membolak-balik halaman penelusuran. Merasa bosan, hape kemudian kuletakkan sembarangan. Melamun. Itu adalah pekerjaan favoritku yang kedua. Apalagi cuaca siang yang terik tapi angin berhembus dari jendela kamar, sungguh suasana yang cocok untuk.. melamun!

Titit titit..

Suara dering hape berbunyi. Tadinya aku akan bersemangat untuk membuka dering pertanda sms masuk itu, tapi alih-alih, dengan ogah-ogahan kuraih hape dan sebelum layar hape menatap mukaku, aku sudah lebih dulu menekan tombol baca pesan sehingga aku tidak sempat memperhatikan siapa pengirim sms itu dan langsung kubaca smsnya: "Maafin aku". Tak perlu aku tahu siapa pengirimnya, tombol nonaktifkan hape langsung kutekan. Kubuyarkan pandanganku dan aku melanjutkan lamunanku lalu tidur.

***

Aku terbangun sekitar pukul 16.00. Pemandangan gunung-kertas masih menghias kamarku. Dengan cuek aku ambil handuk untuk mandi sore. Di hunianku ini memang sepi. Orang-orangnya super sibuk, mahasiswa di sini hanya aku dan dua orang lagi. Mereka pun boleh dibilang tipikal aktivis, banyak acara di fakultas mereka. Pada sibuk berorganisasi. Sementara aku? Hahaha, ikut pramuka saja waktu SMA aku bolos selalu, apalagi untuk organisasi? Makanya hunian ini selalu sepi dan tenang. Kamar mandi pun aku tak perlu repot antre--karena jam antre dimulai jam 18.30 sampai 20.00, sementara aku si mahasiswa KuPu-KuPu akan dengan eloknya mandi 'kecantikan' setiap sore berlama-lama sambil bernyanyi-nyanyi. Yah, kututup pintu kamar mandi dan mulai mandi. Airnya sejuk. Tiap butir airnya serasa membangunkanku dari kantuk, melengkapi ritualku 'mengumpulkan nyawa' setelah tidur siang tadi.

Selesai mandi, aku langsung menuju ke kamar. Posisi kamarku memang paling dekat dengan kamar mandi. Ada teras di depannya, cukup lurus mengikuti lorong saja, pintu bercat kuning ceria itu adalah kamarku. Tapi tunggu! Siapa yang tengah duduk di teras itu? Posisinya membelakangi arah datangku, aku pun bergegas menuju ke sana untuk mengetahui siapa tamu yang datang sore-sore begini. Makin dekat rasanya makin ragu aku untuk menyapa. Langkah kaki tergesaku mungkin terdengar keras, sehingga sebelum aku sempat memanggilnya dia sudah menoleh dulu, dan keraguanku tadi benar saja..

"Hai, Yo.."

Suaranya parau. Kupalingkan mukaku, dengan sedikit menjaga-image (ingat, saat ini aku sedang setengah telanjang dengan berbalut handuk saja!) aku mundur sedikit.

"Kamu kenapa, sih, Yo? Smsku gak kamu bales. Aku telpon hapemu tak aktif.." nadanya meninggi. Nada yang benar-benar tak aku suka!

"Bicara sedikit saja sama aku, Yo. Setidaknya kamu jelaskan diammu ke aku.." suaranya kembali parau. Untuk pertama kali setelah satu minggu aku berusaha tidak menatapnya, aku melihat mukanya sekarang. Wajahnya pucat, ada kantung di kedua matanya. Bekas menangiskah?

"Tio, sampai kapan aku harus kamu diemin gini tanpa aku tahu sebabnya!" nadanya meninggi lagi. Aku tak suka cara dia bicara. Ada celah! Kuterobos dia lalu aku merangsek masuk ke kamar hunianku. Hups! Untung saja tidak kukunci kamarku! Langsung kututup pintu kamar, slaaassh, handukku melayang jatuh tepat ketika menutup pintu. Hups! Selamat lagi! Kalau sampai jatuhnya tadi, bisa-bisa aku mati gaya!

Kuintip dari jendela kamar dia terpaku di depan pintu. Dia terbelalak tidak percaya dengan apa yang barusan kulakukan, memang sangat tidak sopan perbuatanku barusan. Dia menunduk kemudian melangkah pergi dari depan kamarku. Tidak kuacuhkan langsung aku berganti pakaian. Hah, sore yang cerah... Lihat matahari di sana, sinarnya menerobos sampai masuk ke dalam kamar. Menyadarkan padaku aku harus berberes, jadi sore itu aku beres-beres kamar.

Lumayan beres juga setelah beberapa jam kurapikan tumpukan buku, dokumen dan kertas-kertas itu. Tinggal kurapikan sprei yang ada di atas tempat tidur. Yak, tarik ke sini, masukkan, selesai.. rapi sudah kamarku! Kutuangkan air minum lalu aku mulai menenggaknya, dahaga dari tadi sirna sudah! Hmm.. Sekarang mau ngapain ya.. Kamar sudah rapi, bersih.. Tugas? Tidak, kayaknya mending itu buat ntar malam aja. Nyalakan hape saja ah.

Titit titit.. titit titit..

Dering sms berulang kali. Deretan teratas sms baru itu aku hapus, ga penting. Oh, ini ada yang terakhir dari si Cindy. Cindy adalah cewekku. Kita udah jadian sejak tiga bulan yang lalu. Aduh, maapin aku yang, smsmu ga kubales. Sms Cindy cuma ada satu dan isinya "sayang lagi ngapain". Cewek pada umumnya akan sms lebih dari sekali kalo pacarnya ga bales smsnya, tapi Cindy enggak, dia adalah tipe cewek yang pengertian. Ga pernah sms berulang-ulang seandainya smsnya ga aku balas, dan sebagai gantinya, aku selalu akan menelponnya begitu aku tahu belum menjawab smsnya. Langsung ku-dial aja nomornya.

"Hai, sayang..", suara dari seberang sana. Suara manis dari Cindy.

"Hai, Cindyku. Maap ya tadi hapeku aku matiin", sahutku.

"Engga pa-pa, sekarang lagi ngapain kamu?"

"Baru aja beres-beres kamar, sayang"

"Udah makan?"

"Belum"

"Ya udah, ayo makan"

"Ga tanggung, Cin? Udah mau magrib gini"

"Habis magrib ya"

"Oke deh, ntar aku jemput kamu. Enaknya makan dimana?"

"Terserah kamu aja, Yo.."

"Oke. See you later, honey"

"See you"

Simpel kan? Perbincangan kami rasanya ga penting. Tapi dari hal-hal ga penting itulah perhatian antara aku dan Cindy selalu terbentuk. Dia mau mengerti dan selalu percaya terhadapku. Begitu juga aku ke dia, aku selalu balas pengertiannya dengan perhatian lebihku. Sampai banyak teman-teman yang melihat kami iri karena kami layaknya pasangan sempurna yang tinggal kawin aja.

Suara adzan magrib sudah terdengar. Aku bergegas untuk sholat magrib. Usai sholat dan mengaji sebentar, aku berdandan untuk bertemu dengan Cindy. Kusiapkan penampilan terbaikku. Setelah bernarsis ria di depan cermin, aku ambil kunci kontak motorku dan mulai meluncur ke kosnya Cindy. Benar kan? Jam sibuk hunian ini memang antara jam 18.30-20.00, lihat saja, parkiran penuh, sampai bingung aku mau ngeluarin motornya gimana. "Lewat sini aja, Bang!" suara Didik, tetangga kamarku menginstruksikan aku mengeluarkan motorku.

Dan kutuju kosnya Cindy. Sesampainya di sana, rupanya Cindy sudah ada di teras depan. Kita tahu kita sama-sama ontime, jadi Cindy akan selalu siap lima belas menit sebelum aku datang. Kalau janjian jam 18.45, ya berarti apa pun yang terjadi aku harus datang jam segitu. Tanpa paksaan dari siapapun, tapi kami mengerti bahwa waktu itu sangat berharga. Kesempatan untuk berlama-lama bersama tidak boleh kami sia-siakan begitu saja, itu yang jadi alasan kenapa kita kompak dalam hal datang-tepat-waktu. Seandainya ada halangan yang sangat menghalang, baru kita saling berkabar untuk memberitahu bahwa kita akan terlambat.

"Cakep banget, kamu, Yo!", ujar Cindy begitu aku membuka penutup helm. Mukaku memerah dan tersenyum.

"Ayo, sayang!", kulambaikan tangan dan Cindy menghampiriku sambil mengenakan helmnya. Kita pun meluncur menuju tempat makan favorit kita. Sesampainya di sana, kita cari posisi favorit juga untuk bercengkrama. Malam itu cerah sekali, bintang dan bulan nampak menghiasi langit. Kencan romantis yang tak direncanakan sebelumnya!

"So..", Cindy membuka percakapan.

"Hari ini ngapain aja?" aku dan Cindy hampir berbarengan mengatakan itu. Khas pembuka obrolan kami kalau hari sudah mau memasuki malam. Kami akan berlomba untuk lebih cepat mengatakan 'hari ini ngapain aja?' dan yang tercepat mengatakan itu berarti berhak mendapatkan jawaban terlebih dahulu. Sial buat Cindy, karena dengan dia membuka percakapan tadi, aku yang menyodorkan pertanyaan lebih cepat. Kita ketawa bareng.

"Hahaha.. Kalah cepet aku. Sebel deh.. Yah, nothing special, yo. Presentasi hari ini sukses. Dosen suka dan penelitianku mau dikaji ulang, katanya kalau menarik bakal direkomendasiin. Seneng banget! Terus tadi si Maria kena apes! Dompetnya kecopetan waktu nemenin aku belanja. Untung aja ada Aji, iya, tadi aku, Maria sama Aji belanja. Aji ngejar pencopet itu, dan berhasil. Wah, seru tadi lho! Kamu sih aku ajak gak mau", Cindy bercerita penuh semangat. Yakin deh, siapa pun yang melihatnya cerita pasti akan ikutan semangat. Ah, iya, siang tadi hapeku kumatikan, ajakan Cindy tidak aku ketahui. Aku ikut tersenyum senang mendengarkan detil ceritanya saking memperhatikannya, layaknya motor yang ngerem mendadak, aku hampir-hampir tersedak ketika dia bertanya,"Tadi siang kenapa sayang matikan hapenya?".

"Oh..", aku ber-ooh sambil berharap ada alasan bagus yang bisa aku utarakan. Sebelum sempat mengelak, Cindy sudah berkata terlebih dahulu.

"Masih masalah itu?", Cindy mengaduk jus apukat yang entah sejak kapan sudah ada di meja tempat kami mengobrol.

Jawaban yang rasanya tidak perlu aku jawab.

"Yo? Maaf ya, aku ga bermaksud", Cindy tahu betul moodku akan rusak kalau membahas hal ini, dia seakan berkelit. Keadaan kikuk itu kemudian aku coba cairkan.

"Haha.. Engga papa, dia tadi siang datang ke kosan", kataku.

"Wah! You meant it! Akhirnya kamu mau ngomong tentang dia", Cindy entah kenapa terbelalak dan matanya berbinar ketika aku selesai ngomong barusan.

"Biasa aja deh. Well, hari ini aku seharian di kosan doang, suntuk. Tugas belum kelar."

"HA! Dia ngapain ke kamu, Yo? Kalian baikan??", Cindy seolah tidak mendengarkan apa yang barusan aku katakan.

Aku terdiam.

"Sebenarnya kamu ada masalah apa sih, Yo. Aku cewekmu, aku tempat kamu buat berbagi."

"Aku juga ga tahu harus memulai darimana, Cin.."

"Kalau aku sekarang juga marah sama kamu, aku pergi gitu aja, kamu mau?"

"Loh! Kok tiba-tiba gitu sih, Cin!"

"Itu yang dia rasain sekarang, Yo! Kamu marah sama dia, tapi kamu ga pernah mau ngejelasin alasan kamu marah sama dia. Sakit Yo digituin. Aku tahu dia pasti ga bisa fokus buat ngelakuin hal lain"

"Udahlah, Cin. Biarin aja! Toh ga ada yang rugi!"

"Tio sayang.. Dia yang rugi, Yo.. Kamu udah denger kalau dia harus mengulang ujian praktiknya minggu depan? Cuma dia yang ga lolos, Yo."

"Kamu mau bilang itu gara-gara aku, gitu? Hah! Bagus deh, sekarang semua orang bela dia!"

"Husss... Sayang, jangan gitu. Cindy gak bermaksud gitu. Cindy cuma ngasih kamu kabar aja..", air muka Cindy berubah kelu.

"Maafin aku, aku ga bermaksud kasar, Cin.."

Cindy tersenyum. Aku menghela napas dan melanjutkan,"Besok Tio ketemu sama dia deh."

Cindy mengangguk, sorot matanya bangga. Kami pun melanjutkan obrolan hingga larut, sampai piring kami habis pun kami masih di situ. Malam dengan bulan dan bintang yang cerah.

***

Suara alarm yang berisik itu betul-betul sukses membangunkanku tepat pukul 04.30! Sebetulnya aku paling tidak suka jika tidurku diganggu. Tapi jika alarm itu tidak kuaktifkan, bisa-bisa aku bangun nanti jam 8.00 pagi! Semalam aku dan Cindy pulang sekitar jam 21.30, cukup lama kita mengobrol, dan tentu saja ada perasaan nyaman yang aku bawa sepulang kencan semalam.

“Good morning, sayang! Semangat buat hari ini”. Kuketik sms itud an kukirimkan ke Cindy. Cindy tidak membalas. Aku kemudian melangkah untuk ke kamar mandi, cuci muka dan mengambil air wudlu kemudian kembali ke kamar untuk sholat subuh. Hunian ini masih sepi, jam sibuk untuk pagi hari biasanya jam 6.00 – 07.30, jadi aku selalu berusaha bangun pagi-pagi cuma biar bisa mandi lebih dulu daripada yang lain. Sebab sekali bangun kesiangan, bisa-bisa antre kamar mandi. Hal yang paling tidak aku suka.

Selesai melakukan segala macam ritual pagi hari, aku keluar ke warung Mbok Ijah di depan kos. Warung itu selalu lengkap dan standby pagi hari. Kulihat cukup ramai juga pagi ini, hah, untunglah ada satu bangku yang masih tersisa. Dengan segera aku langsung duduk di situ.

“Mbok, nasi ayam satu sama teh anget ya!” pesanku pada pemilik warung yang sederhana itu. Mbok Ijah hanya mengacungkan jempolnya pertanda pesanan sudah dimengerti. Sengaja pagi itu aku tidak lari pagi—kebiasaanku, karena moodku entah kenapa sedang ingin bermalas-malasan. Rasanya ada sesuatu yang harus aku lakukan hari ini, tapi apa ya?

Titit titit..

Ada sms masuk, dari pratinjau sms yang muncul, cuma dua huruf di situ: “Yo”

Satu teks nama yang terlihat di layar hape membuat seketika itu aku ingat kalau aku harus menemui seseorang yang rasanya kalau tidak salah seminggu yang lalu aku sudah bersumpah seumur hidupku aku tidak akan mau melihat mukanya lagi! Hmm.. Tapi aku sudah kelewat janji dengan Cindy untuk menemuinya. Iya! Aku ingat, ternyata itu yang harus kulakukan hari ini. Huh... Dan sangat pantang bagiku untuk mengingkar janji. Kusedot teh anget Mbok Ijah dan lekas-lekas kuhabiskan makanan di piring. Sambil berusaha mengusik pikiran yang mengganggu—dan menghapus sms tadi, aku melangkah pergi untuk kembali ke kos mengambil motor dan bergegas berangkat kuliah. “Ini mbok, masakan pagi ini.. mantaap!!”, sahutku sembari membayarkan uang untuk sarapan tadi ke mbok Ijah.


Kukendarai motorku itu dengan kecepatan cukup lambat—100 km/jam ketika aku tengok speedometer (lambatkah?). Sebenarnya aku tidak harus terlalu kalut begini, tapi entah kenapa perasaanku benar-benar sedang tidak nyaman!


“Pagi banget, sayang!” Cindy menyapaku di lorong dekat taman kampus. Dia rupanya sudah datang.


“Haha, harusnya aku yang bilang gitu ke kamu”


“Ayo masuk”


Kita melangkah bersama masuk ke ruang kuliah. Sebetulnya kita tidak satu kelas, jadi dia membelok ke arah kiri setelah pertigaan lorong sementara aku membelok ke arah kanan. Sepanjang lorong itu penuh dengan kursi. Rupanya benar, aku dan Cindy berangkat terlalu pagi. Belum ada spesies lain yang berkeliaran di situ. Tapi tunggu, di ujung lorong terlihat kayak ada sosok yang sedang duduk. Siapa itu? Kupercepat langkahku.


Sekitar satu meter ketika aku mendekat, dia berdiri. Rupanya..


“Hai, Yo?”, suara parau itu terdengar kembali. Lebih parau dari yang bisa kuingat saat kemarin dia datang di hunianku.


“Ya”, untuk pertama kali aku membalas sapaannya. Rasanya seperti gelas pecah sewaktu mengucapkan itu. Hatiku berkecamuk, berniat untuk segera pergi. Kupalingkan mukaku, sekilas kulihat kembali matanya yang lesu. Siapa peduli!


“Kamu kenapa sih? Selalu saja begini! Aku mohon banget, Yo! Aku butuh penjelasan!” suaranya meninggi lagi. Ingin kutampar rasanya muka itu, suara itu!


“Udah deh! Lo ga usah berisik! Budeg kuping gue dengerin bacot lo itu!”


Aku bergegas pergi. Kasar.


Yeah, aku berpikir aku terlalu kasar. Tapi sungguh, demi apa saja! Aku benar-benar tidak ingin bicara lebih banyak lagi! Siapa peduli! Sudahlah! Kulihat ruang kuliah itu,serasa sudah menunggu untuk dimasuki. Kulangkahkan kakiku dan duduk di kursi sambil menata apa-apa yang perlu kusiapkan untuk kuliah pagi ini. Pikiranku berusaha melupakan apa yang baru saja terjadi.


Pukul 09.30, waktunya istirahat. Dosen yang masuk tadi menyenangkan juga, hanya saja aku masih belum fokus sepenuhnya mengikuti perkuliahannya. Cindy tadi sms aku untuk bertemu di taman, jadi aku bergegas menuju ke taman. Kebetulan juga kuliah selanjutnya baru dimulai pukul 13.00, jadi aku berniat berlama-lama dengan Cindy, rupanya hari ini jadwalnya banyak yang kosong.


“Oi, cakeeep!” dari kejauhan Cindy berkoar, menyembulkan kepala di antara rombongan cewek-cewek kampus yang uhui semua..


“Oi!” kulambaikan tanganku, Cindy mendekat.


“Ayo langsung ke taman aja!” Cindy menarik tanganku pergi. Bersemangat sekali dia!


Sesampainya di taman, Cindy menggumam-gumam tidak jelas. Aku sibuk menyalakan laptop.


“Gimana, sayang, udah ketemu?” nada pertanyaan yang disampaikan Cindy ragu-ragu.


“Sudah”


“Kalian baikan?”


“Tidak”


“Kenapa”


“...”


“Maaf, ya Yo. Kita ganti topik aja”


“Dia udah nggak aku anggap hidup! Udah kucoba kayak gimana juga aku tetep ga bisa buat ngejelasin alasan marahnya aku ke dia!” entah kenapa beberapa luncuran kata-kata muncul begitu saja. Seolah otakku meletup-letupkan emosi yang selama ini ingin aku sampaikan. Sial, kenapa harus di depan Cindy? Sehingga cewek manis yang selalu ngasih perhatian ke aku itu seakan sedang aku marahin.


“Ehm..” Cindy berdeham dan menghela napas, kemudian dia melanjutkan..


“Jadi gini aja, Yo. Mungkin emang masalahmu terlalu rumit. Aku tahu rasanya, kamu sebetulnya pengen ngomongin sesuatu tapi kamu ga tahu caranya. Aku juga yakin, sebetulnya kamu ga ada masalah dengan dia. Masalah itu ada di sini”


Cindy menyentuhkan tangannya ke bagian dada bawahku, di bagian hati. Aku terhenyak, dia benar. Sebenarnya apa masalahku dengan makhluk satu itu?


“Didiamkan seperti itu jelas satu hal yang penuh dengan tanda tanya, Yo. Memukul, berkelahi kayaknya justru lebih bagus ketimbang diam mendiam seperti itu. Setelah kelahi, pasti akan ada penyelesaian dengan permintaan maaf dan masalahnya jelas. Tapi ketika kamu diam tanpa memberikan alasan pada seseorang, itu jelas menyakitkan dia Yo. Dia ingin minta maaf juga bingung karena dia tidak tahu kesalahan apa yang diperbuat olehnya.”


Aku semakin terhenyak. Kecamuk di hatiku lumayan mereda mendengar apa yang dikatakan Cindy, otak kananku mulai bekerja, mendoktrin diriku bahwa ternyata memang apa yang aku lakukan selama ini salah.


“Redam egomu, Yo. Bukan saatnya untuk bertingkah seperti anak kecil yang mempertahankan alasannya padahal alasan itu salah. Bicaralah barang satu dua kata padanya.”


Laptop yang semula aku nyalakan, ketika aku bersiap membuka berkas, langsung kumatikan. Aku merenung sebentar.


“Makasih ya Cin..” entah kenapa hanya tiga kata itu yang keluar dari mulutku. Tanpa banyak berkata-kata lagi, aku menyimpan laptopku kembali ke tas kemudian diam.


Cukup lama aku dan Cindy berdiam-diaman seperti itu, ada sekitar 15 menit. Suasana yang kikuk itu kemudian pecah ketika Cindy tiba-tiba menepuk bahuku.


“Semangat, ya, sayang!”


Aku terhenyak. Cindy tanpa aba-aba berlalu begitu saja. Khas dia ketika memang membiarkan aku untuk memikirkan sesuatu. Dan memang aku sedang ingin sendiri. Jadi sepanjang waktu itu sampai pukul 13.00 aku berdiam saja di taman. Merenungkan apa yang harus aku lakukan.


Saat ini juga, aku merasa menjadi manusia yang paling bersalah di dunia. Kata-kata dari Cindy tadi benar-benar serasa tamparan buatku. Perutku rasanya mual, serasa ingin menghilang dari dunia ini. Kau tentu tahu rasanya kan ketika kamu kepergok mencontek saat ujian? Rasanya hampir-hampir seperti itu.


Cukup lama rupanya aku melamun, hingga tidak terasa jam sudah menunjuk pukul 13.00. Aku pun bergegas kembali ke ruang kuliah.


***


Kalut. Lagi-lagi itu yang aku rasakan begitu membuka kamar kosku. Kulemparkan tasku kemudian merebah ke kasur. Aku sedang berpikir. Sebenarnya ada apa sih denganku? Gila! Bahkan aku tidak mampu mengerti diriku sendiri! Kulihat dari jendela angin sore itu bertiup cukup kencang. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela, semakin membuat kamarku panas dan kecamuk dalam hati serasa semakin terbakar.


Sebenarnya kamu ga ada masalah, masalahmu ada di sini... Kata-kata Cindy siang tadi benar-benar masih bisa kuingat sepenuhnya, sentuhan tangan dia di bawah dadaku juga masih terasa nyata. Iya, aku cukup kaget ketika tersadar bahwa aku bingung sebenarnya masalahku pada orang itu apa ya! Hanya saja.. Ketika aku berhadapan dengan orang itu, entah ada sesuatu apa sehingga aku rasanya ingin jauh-jauh dari dia.


Tok tok tok!


Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat bangun, “Sebentar!!”. Dengan segera aku bangkit, dan tanpa kusadari aku sudah setengah telanjang. Rupanya suasana sore itu memang cukup membuatku kegerahan. Tanpa basa-basi segera kubuka pintu, toh tetangga kamar yang biasa mengetuk seperti itu. Baru saja aku berpikir demikian, rupanya dugaanku salah lagi.


“Yo..”


OH! Ayolah.. Bahkan aku yakin kau juga bosan kan mendengar rengekannya? Suara yang tidak perlu kusebutkan lagi kalau.. terlalu parau?


Wajah yang semakin lesu itu kulihat kelu. Tanpa aba-aba, tiba-tiba saja dia mendorongku masuk. Menyudutkanku di tembok itu. Dan untuk pertama kalinya—setelah berminggu-minggu tidak pernah bersapa kembali, aku bertatapan dengan dia. Lekat sekali mata kita berdua bertatapan, seolah ada kekuatan hebat di antara mataku dan matanya, membuat kita tidak saling lepas pandang. Seketika itu segala ingatanku tentang dia berputar begitu saja di otakku. Seakan film yang sangat indah. Rupanya aku merasakan kehangatan itu.


***


Masa-masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Setidaknya itu kata kebanyakan orang, dan aku, Mario Tio, juga beranggapan sama dengan kebanyakan orang: masa SMA terlalu indah! Selama aku mengenyam pendidikan di SMA, aku selalu menjadi tipikal anak badung. Kabur di jam pelajaran menjadi makanan favoritku setiap hari. Tentu hal ini tidak aku lakukan sendiri, ada partner setiaku yang juga mengikuti kebiasaan burukku, “Boring, nih, Yo! Makan yuk!”, atau, “Main PS yuk!” selalu diluncurkan oleh sahabat karibku itu.


“Andy, kayaknya kita perlu tobat, deh!” ujarku pada Andy, sobat yang kumaksud itu.


“Betul.. betul.. betul.. Ujian udah deket, saatnya tobat,” dengan cuek dan sekenanya ia menjawab. Segelas teh yang ada di mejanya kemudian diaduknya cepat. Gayanya yang benar-benar khas. Suasana kantin siang itu cukup lengang.


“Menurut lo sebaiknya kita ngapain ya buat ujian ntar”


“Belajar?”


“Ya iyalah! Maksud gue lo ada rencana enggak biar kita fokus gitu buat ujian?”


“Kamu salah Yo, kalau nanya kayak gitu ke aku. Well, mungkin kita bisa nambah jam ekstra belajar kita” Andy menaikkan kacamataku. Menunjukkan seolah aku terlalu kutu buku.


“Huh, apaan sih lu! Kayak homo aja lu!” sergahku ke tangannya yang usil itu.


“Hahaha.. Terus mau kamu apa, sayang?”


“Najis lo!”


Kita tertawa bareng. Andy memang tipikal anak dengan otak miring yang selalu cuek dengan segala sesuatunya. Kita berteman sejak kita kelas sepuluh. Waktu itu kalau tidak salah awal perkenalan kita gara-gara kita dapat satu hukuman bareng waktu Masa Orientasi Siswa (kau tahu? Membersihkan toilet!).


“Kayaknya kita bisa ikutan les tambahan deh!” kulanjutkan obrolan kita.


“Huaks!?” hampir-hampir ucapanku tadi membuat Andy tersedak.


“Les tambahan..” ulangku menandaskan ucapanku.


“LES TAMBAHAN? Aku? Kamu? Huakakakak!”


“Ah, lo gitu banget sih!”


“Oke, oke, mungkin itu bisa jadi satu langkah awal untuk rencana tobat kita. Les tambahan? Hahahaha”


“Oke, ntar gue cari info kira-kira dimana ya. Pokoknya kalo nemu lu langsung gue daftarin”


“Oke deh”


Kita melanjutkan obrolan siang itu sampai jam istirahat habis di kantin—tentu saja kita menambahkan lima menit ekstra untuk jam istirahat kita. Ya, saat ini kelas dua belas memang sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan Ujian nasional. Tidak seperti kebanyakan anak-anak yang lain, aku dan Andy jelas bukan tipe orang yang kemudian ‘sepaneng’ untuk menghadapi UN. Kita terbiasa santai, dan nyatanya, dari kita kelas sepuluh sampai sekarang kita tetap bisa berprestasi. Di sela-sela kebadungan kita, kita tetep mengerjakan kewajiban kita untuk belajar. Aku dan Andy terbiasa belajar bersama dengan cara dan gaya kita sendiri. Sebetulnya nilai-nilai ulangan kami bagus-bagus, tapi dasar para guru, mereka kadang juga menilai kita dari tingkah laku yang kita lakukan. Kalau aku boleh berburuk sangka, kayaknya nilai kita emang selalu berkurang gara-gara kebadungan kita itu. Salah kita juga sih.


Jadi sore itu seusai sekolah, aku mencari tempat les-lesan privat yang enak untuk belajar persiapan UN. Cukup mudah untuk mencari tempat semacam itu di kotaku yang lumayan gede ini.


***


“Hoaaahmm.. Suntuk nih, Yo” si Andy berujar. Ya, saat ini kita sudah mulai mengikuti jam belajar ekstra—les privat!


“Hush! Ayo fokus lagi! Jangan ogah-ogahan gitu!”


“Hoaaahm...” Andy melenggokkan kepalanya ke bahuku, posisi duduk kita memang berada di belakang. Sifat manjanya bener-bener membuatku jijik, dan kau jujur saja padaku, kau menganggap kita terlihat kayak pasangan gay, bener kan?


“Najis lo! Jangan gitu deh Ndy!” kudorong kepalanya menjauh dari bahuku.


“Duuh mesranya!”, Fito yang duduk di sebelah Andy mengolok-olok kelakuan Andy tadi. Andy langsung menegakkan kepalanya kembali. Dan aku cuma tersenyum, kadang tingkahnya itu justru membuatku semakin nyaman berteman dengan dia. Soal perhatian, jangan ditanya lagi. Dengan orang lain, Andy mungkin akan antipasif, dia akan cuek bebek. Tapi denganku, dia akan jauh lebih cerewet dari yang orang lain kira.


“Akhirnya!!”, seru Andy begitu melangkah keluar dari tempat les-lesan. Jam sudah menunjuk pukul 16.30.


“Huh dasar lo si males!”


“Biarin aja! Eh, Yo! Aku beneran suntuk nih, makan dulu yok sebelum pulang?”


“Capek aku, Ndy!”


“Ayolaaah...”


“Pulang aja!” aku mengenakan helmku dan menyodorkan helm satunya untuk Andy.


“Ah kamu ga seru!” mimik muka Andy cemberut, kusuruh dia untuk segera naik ke motor membonceng.


“Ayo pulang!”


Andy tidak berkata banyak, dia segera naik. Sepanjang perjalanan itu aku tidak banyak cakap, begitu juga dengan Andy. Mungkin dia memang sedang suntuk. Mendung sore hari itu. Jadi aku bersegera untuk mengantar Andy pulang. Tapi dasar nasib, setelah tiga ratus meter kemudian, gerimis turun. Mau tak mau (karena aku takut akan kehujanan) kubelokkan motorku ke kios-kios yang ada di jalan. Karena aku ingat tadi Andy minta kita makan, jadi aku parkirkan motorku di depan warung mie ayam,”Asyiiik!!” si Andy kegirangan begitu aku menghentikan motorku di situ.


“Mie ayam dua es teh dua, ya!”, kata Andy tanpa basa-basi dan menanyakan aku mau makan atau tidak. Memang kebiasaan, dia akan selalu memaksaku untuk ikut makan kalau dia sedang makan, ”Biar gak kerempeng-kerempeng amat!”, katanya.


“Tuhan memang baik, dia mendengar doa orang kesusahan”


“Lebay lo! Hmm.. mana hujan malah tambah deres pula!”


“Hujan itu rezeki, Yo! Belajar bersyukur dong, kan cocok, suasana jadi dingin, makan mie ayam anget jadi enak bangeet.. Yummy!!” hidung Andy mengendus semangkuk mie ayam yang sudah terhidang di depannya.


“Eh, iya, Ndy. Ngomong-ngomong apa rencana lo setelah SMA ini?” tanyaku.


“Hueks!” dia hampir-hampir tersedak, ekspresinya kayaknya bakal sama ketika aku bilang: ‘elo gay?’ ke dia.


“Pasti belum dipikirin deh..”


“Kamu sendiri, Yo?”


“Sama kayak lo”


Kuaduk teh hangat sambil menyeruput mie ayam. Ternyata benar, makan lebih enak kalau cuaca dingin.


“Aku juga bingung, mau nerus kuliah tapi dimana ya”


“Gimana kalo kita kompakan?”


“Boleh aja sih, Yo. Tapi kamu tahu kan? Nerusin kuliah itu untung-untungan.”


“Siapa bilang? Kalo kita belajar lebih giat, kita pasti bisa kok”


“Hueks!”


Lagi-lagi dia menunjukkan ekspresi stop-jangan-katakan-sesuatu-yang-kutubuku.


“Tapi gue pengen kita tetep kompakan en bareng-bareng, Ndy” lirihku.


“Haha! Sekarang yang najis kamu! Kayak apaan aja!”


“Buset, enggak gitu. Lo tau kan gimana ketergantungannya gue tanpa elo!”


Andy terdiam. Yup, kuakui Andy adalah anak yang membuatku terlindung dari segala macam bencana. Aku ingat jaman kegelapan itu, sewaktu SMP. Di dorong di koridor kelas oleh anak-anak yang lebih badung dari aku ataupun Andy. Sewaktu itu aku menjadi boneka mainan para monster-monster SMP. Pernah satu hari aku dihajar oleh monster-monster itu karena aku tidak memberikan uang pada mereka. Masa kelam itu kemudian hilang begitu saja ketika aku masuk SMA. Aku menjadi pribadi yang tertutup di awal aku masuk—yang sebenarnya sama sekali bukan kepribadianku. Hingga akhirnya hukuman yang membawa berkah itu mempertemukan aku dengan Andy, dia waktu itu membuka mataku untuk meraih optimisme. Andy memang sudah tidak memiliki ayah, dan aku sangat salut dengan kerajinannya membantu mamanya untuk ‘bertahan hidup’. Bisa dibilang demikian karena Andy memiliki dua adik lainnya dan mereka semua bersekolah. Kalau seandainya dia bukan orang yang penuh optimisme, bagaimana mungkin dia bisa bersenang-senang sementara Ibu dan adiknya mati-matian mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagai hadiah dariku untuknya, aku mengenalkannya pada keluargaku. Keluargaku untunglah menyambutnya dengan sangat baik. Aku dan Andy untuk urusan ekonomi boleh dibilang antara langit dan bumi. Bukannya sombong, tapi memang demikian adanya. Atas dasar satu dua pertimbangan (termasuk bujuk-rengekanku), orang tuaku akhirnya membantu biaya pendidikan Andy. Meskipun tak jarang aku dan Andy selalu kena marah dan omelan karena tingkah kita yang kelewat badung. Badungnya aku mungkin tularan dari Andy. Tapi meski demikian, Andy selalu mau untuk mengingatkan dan diingatkan belajar selalu. Urusan agama pun Andy atau aku sangat tekun, kita sama-sama dari latar belakang keluarga yang baik-baik.


Andy cukup disegani kalau di sekolah. Banyak cewek-cewek yang kelepek-kelepek kalau melihatnya. Lihat aja, dengan tinggi 173 cm dan berat badan 64 kg membuat seragamnya yang sengaja dibuat jangkis terlihat ketat membalut otot-otot kekarnya. Dia memang terbiasa dengan pekerjaan berat dan terbiasa untuk latihan membentuk tubuh. Mukanya kotak, garis mukanya tajam dengan bibir merah tipis dan alis yang cukup tebal. Kulitnya—hampir-hampir aku tidak percaya, putih bersih meskipun dia sering cerita ke aku dia setiap Sabtu harus angkat-angkat barang di Enci Titi (juragan cina yang membuka toko kelontong di dekat rumah Andy). Belum lagi style jalannya. Mirip tokoh-tokoh kartun yang kalau aku melihatnya sih justru alay berat! Lho? Kenapa aku malah cerita gini! Hueks! Macem apaan aja aku nyeritain Andy! Hahaa.. Tapi memang sih, dibandingkan denganku, dia lebih keren (sedikit!). Aku? Lebih baik tidak usah aku ceritakan.


“Malah ngelamun!”


Lamunanku terbuyar. Rupanya mie ayam punya Andy sudah habis. Tinggal sendok dan garpu yang ada di situ. Hujan sudah mulai mereda, hanya gerimis sekarang.


“Kenyang lo?”


“Kurang niih..” katanya sambil menepuk perut.


“Tambah aja, toh sekarang giliran elo kan yang bayar?”


“Hais! APA?” matanya melotot kaget, aku menahan senyum.


“Iyalah.. Nih, tanggal berapa sekarang?”


“Demi kancut bolong! Aku lupa!”


Dengan misuh-misuh—ya, hari itu memang sudah menjadi kesepakatan kalau tiap bulannya kita gantian traktiran sekali sebulan—Andy membayar semua yang sudah kita lahap. Aku terkekeh puas, menambah satu centi garis cemberutnya. Kutepuk bahunya untuk segera naik ke motor.


Jalanan licin, aku berhati-hati mengendarai motorku. Tidak seperti tadi, Andy kini menjadi sangaat cerewet, serasa baterainya baru saja diisi ulang. Aku pun hanya menjawab sekenanya saja—jalanan waktu itu sudah petang, harus bisa konsen. Dan tepat sebelum masuk magrib, aku sudah tiba di depan rumah Andy.


“Duuh, sore sekali, anak-anakku!”, suara mama Andy terdengar. Aku dipersilakan untuk mampir dulu di rumah Andy. Dan sore itu aku bercengkrama lagi dengan si Andy.


“So?” kataku memecah keheningan ketika kita duduk di depan TV. Kebetulan adik-adik Andy dan mamanya sedang sibuk membantu Enci Titi menghitung stok barang-barang, jadi petang itu aku dan Andy disuruh menjaga rumah sebentar. Tentu saja mama Andy sudah menghubungi ibuku tentang keberadaanku, jadi aku tak perlu khawatir nanti setibanya di rumahku.


“Apanya? Bakso?” Andy memainkan remote di tangannya.


“Yang masalah tadi. Lu mau nerus kemana?”


“Pusing aku... Aku ragu bisa nerusin kuliah.”


Masalah duit, pikirku.


“Kan ada program beasiswa, Ndy?”


“Yang bener kamu, Yo?” tiba-tiba Andy menoleh ke aku dengan tatapan mata harap.


“Iyalah! Tuh aku lihat di papan pengumuman banyak kok”


“Wah, menarik! Aku harus coba!”


“Gitu dong! Gue jadi semangat lagi!”


“Kita bareng ya?”

***


‘Kita bareng ya?’


Kata-kata Andy itu yang benar-benar sampai saat ini masih terekam jelas di otakku. Di hadapanku, wajah Andy yang kotak dan bertepi tegas itu sekarang terlihat layu. Aku masih ingat bagaimana raut muka bahagianya dia—jauh lebih bahagia dibanding ketika melihat pengumuman kelulusan UN—saat menerima kabar dia diterima di PTN yang diikutinya melalui jalur beasiswa. Aku pun bangga mendengarnya, dan aku pun dimotivasi Andy untuk mendaftar jurusan yang sama, memang, aku dan Andy dari lama punya rencana besar untuk kuliah di jurusan yang sama (tentu kita melihat potensi dan minat kita). Dan sekarang ini, aku satu jurusan, satu kuliah lagi dengannya. Ceria wajahnya masih terasa jelas. Tapi sekarang? Wajahnya muram. Ini salahku, kataku dalam hati.


Tubuhku masih bertelanjang dada disudutkan di tembok kamar. Andy menekanku erat-erat, seakan tekanan itu menunjukkan amarah tertahannya. Keringat mulai mengalir dari keningnya. Mukanya semakin layu, matanya mulai berair, perlahan dia meneteskan air mata, bercampur dengan keringatnya.


“Seandainya aku salah.. Maafin aku, Yo. Kamu yang terbaik. Kamu yang selama ini jadi panutanku. Ingat ga waktu kita menghabiskan banyak waktu bareng? Itu momen yang hanya kita berdua milikku. Tidak orang lain...” suaranya getir, tertahan dan lirih. Rupanya dia benar-benar kalut. Perlahan, dia melanjutkan.


“... Aku nggak mau ngomong banyak. Selebihnya terserah kamu.”


Tatapanku semakin lekat dengannya. Andy, ya, sosok yang selama ini dengan baiknya selalu mewarnai hari-hariku, kenapa aku begitu tega mendiamkannya tanpa kejelasan? Aku benar-benar harus membayar kesalahanku. Kutatap dan kudekatkan wajahku ke wajah Andy, dan tidak ada sedetik kemudian..


Cuup..


Kukecup bibirnya lembut. Bibirnya yang merah dan tipis itu, aku tak sadar bahwa aku adalah seorang lelaki dan siapa yang kukecup sekarang.


Aku tak peduli!


Rupanya aku benar-benar merasa sangat bersalah dan hanya ini yang bisa kulakukan untuk membayar kesalahanku. Tapi aku merasa tidak ada yang salah dengan apa yang baru saja kulakukan. Ada sesuatu yang mendorongku untuk berbuat begitu.


Andy.


Benar-benar dia adalah sahabat terbaikku! Raut mukanya tiba-tiba berubah kaget, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Kecupanku belum kulepaskan, mukaku masih berusaha menempel di mukanya. Muka yang selama ini kubuat lesu, payah..


“Itulah alasan kenapa gue diem”


Kulepas kecupanku di bibirnya. Aku berkata lirih sambil menjauhkan mukaku dan memeluk Andy seerat mungkin.


Andy tidak berkata banyak. Air matanya terhenti. Raut wajahnya berubah syok, penuh dengan tanda tanya.


“Lo ga usah berpikir macem-macem, gue bukan orang macem itu. Gue masih normal. Cuma gue ga rela kalo lo harus pergi ke Amrik, ninggalin gue di sini, setelah banyak hari yang kita lewatin bareng-bareng! Lo ga pernah mikir sampai ke situ kan? Dengan enaknya lo ngambil beasiswa ke luar negeri tanpa bilang-bilang ke gue, terus dua minggu yang lalu dengan entengnya lo bilang mau ke luar negeri. Apa maksud lo!”


Kulepas pelukannya dan kutempeleng pipinya.


Tempelengku rupanya cukup keras. Andy sampai menolehkan kepalanya dan mengelus pipinya. Dan tanpa kusadari air mataku menetes begitu saja.


Andy menatapku kembali lekat-lekat, dia mundur selangkah.


“Jadi itu alasannya..”


Aku terdiam sejenak, dia menggumam.


“...maafin aku, Yo. Kukira kamu akan senang setelah kuberikan kejutan itu. Maafin aku, Yo. Sungguh aku cuma pengen ngasih kamu kabar gembira dengan caraku. Kukira kamu akan menerimanya karena aku melihat kamu sudah cukup dewasa untuk hidup mandiri. Terimakasih udah jadi sahabatku, Yo. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, aku berharap kamu bisa menerima semua itu..”


Kata-kata Andy benar-benar hatiku serasa permen kapas yang langsung meleleh.


“..maafin aku.”


Dia berujar pelan dan kepalanya tertunduk. Dan akhirnya... Hatiku terbuka. Rasa lega itu mengalir, mendesir-desir.


“Andy.. Sekarang gue sadar. Maafin gue terlalu kekanak-kanakan. Gue bangga sama lo, Ndy. Kemaren gue diem karena gue masih ga terima sama rencana lo ke Amrik. Sekarang lakuin yang terbaek buat lo aja, Ndy. Gue di sini ga papa.”


Kunaikkan dagunya. Dan aku tersenyum. Andy pun tersenyum.


“Perjuanganmu belum berakhir, Nak..” aku membanyol di depannya. Raut muka Andy kembali ceria. Kupeluk erat Andy sekencang-kencangnya. Andy, sahabat terpintarku akan segera pergi ke Amerika untuk mengambil program pasca sarjananya. Harusnya aku bangga dari awal dia mengabariku!


“Untunglah kita tinggal di peradaban yang sudah maju, kita bisa stay-in-touch tiap hari!” suara Andy sangat bersemangat. Kulihat sorot matanya sekarang semakin berbinar. Dia melepas pelukan.


“Busuk banget kamu, Yo! Belum mandi ya?”, ujar Andy.


“Sial lo!”


“Ciuman lo dahsyat juga by the way” Andy mengusap-usap bibirnya.


“Najis ah!”


Kita tertawa. Kelakuanku tadi mungkin satu dari sekian banyak kebadunganku yang khusus kutujukan pada si Raja Badung Andy. Dan sekaligus kejadian tadi membuatku semakin yakin, bahwa kasih sayang.. cinta.. tak hanya melulu dilakukan oleh sepasang kekasih. Kasih sayang sahabat, bahkan bisa melebihi semua itu. Ciuman sahabat, simbol ketulusan dan keabadian yang kutoreh di detik sebelum perpisahanku dengan Andy. Aku sekarang lega, kusuruh Andy untuk duduk dulu sementara aku izin ingin ke belakang sebentar.. sampai rasa-rasanya detak jantungku nyaris berhenti ketika kulihat di depan pintu sudah ada Cindy. Pintu yang sedari tadi kubiarkan terbuka.




* TAMAT *

Comments

Sign In or Register to comment.