BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Last New Year

135678

Comments

  • @renlyRain enggak terlalu tinggi gak terlalu rendah lah bahasanya :p hahah segala resiko sudah diketahui lah :p eh buruan dong ceritanya -_-
  • Hari-hari ku lewati dengan kehampaan. Bagai kehilangan pijakan aku hidup menahan luka hati yang meradang. Tak ku sangka ia bisa setega ini, aku bahkan tak tahu apa salahku hingga ia berubah seperti ini. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa lalu, saat-saat awal kebersamaan kita dulu, aku ingin mulai lagi dari awal dan belajar mencintainya lebih baik lagi, mungkin dulu aku sering membuat kesalahan yang bahkan tak ku sadari, andai aku tahu kesalahan itu apa, pasti akan jauh lebih mudah aku memperbaikinya. Tapi kini semua sudah terlambat, betul-betul tak ada kesempatan lagi untuk itu.

    +++

    “yan, kita udah lama nggak fight kan, sparing yuk !” tantang kak igo.

    “hmm... yang terakhir lu kalah, yakin udah bisa menang sekarang ?”

    “wah, ngentengin gua lu yah ! hayo !”

    “oke siapa takut ! di sini aja , sekarang !”

    “wah sinting lu ! jangan di sini ! masa di rumah !”

    “trus lu maunya di mana ?”

    “ikut gua !”

    Ia membawaku sebuah gedung bertingkat yang belum selesai di buat. Memang cocok untuk tempat bertarung. Setelah memarkir mobil, kak igo mengajakku ke lantai tertinggi dari gedung ini, dari sini dengan jelas kami bisa dengan jelas melihat hiruk pikuk kota manado yang masih padat di sore hari.

    “oke siap !?”

    “siapa takut !”


    +++
    +++
    +++


    Setelah pergulatan sengit itu, kak igo terkapar duluan. Sekali lagi aku menang. Kini kami tergeletak letih di lantai beton yang dingin, memandang ke langit senja yang kian temaram, matahari sebentar lagi masuk ke peraduannya, rona merah muda menghiasi gumpalan-gumpalan awan di langit yang terlihat begitu lembut. Ku lirik kak igo yang tergeletak di sampingku, masih berusaha mengatur nafasnya.

    “haha, lu kalah lagi kan, lian di lawan !”

    “hufth, sialan lu, lu makan apaan sih kuat banget !”

    “makan hati, hahahaha” tawaku berubah pahit, kak igo memandangiku dengan pandangan aneh.

    “hehe, tapi gua seneng, lu bisa ketawa sekarang, nggak nyangka gua, si lio bisa bikin llu se ancur ini”

    Aku terdiam, benar kata kak igo, kehilangan dia betul-betul menghancurkanku. Rasanya aku betul-betul di pecundangi kali ini. Wajahku tiba-tiba panas memanas meratapi semuanya. Susah payah aku tahan mata ini untuk tak menangis tapi tetap tak bisa, nelangsa hatiku meratapi semuanya. Hati ini sudah lebih dulu manangis begitu ia meninggalkanku, kini mataku pun ikut meratapi semuanya. Wajahku perlahan memanas, perlahan cairan hangat itu mulai menetes di kedua sudut mataku, tangisku pecah dan semakin menjadi.

    “aku nggak bisa tanpa dia kak, nggak bisa kak” ku peluk tubuh kak igo erat-erat, ku benamkan wajahku di dadanya, menangis sepuas-puasnya.

    “...” kak igo diam sejenak, balas mendekapku sembaru mengelus-elus punggungku.

    “menangislah dek, tangisi semuanya hari ini, usaikan semuanya hari ini, setelah itu lupakan dia, terlalu banyak hati di luar sana yang menginginkan cinta dari mu” kak igo mengelus punggungku pelan, berusaha menenangkanku.

    +++

    November 2009
    Tiga bulan sudah ia menghilang, tak pernah muncul di kampus, tak pernah terlihat di rumahnya. Rumah mereka juga tiga bulan terakhir tak berpenghuni. Aku bingung apa yag sebenarnya terjadi. Namun yang membuatku geram adalah ia menghilang bersamaan dengan alvent. Alvent juga hampir tiga bulan ini tak terlihat, ada yang bilang lio pindah fakultas ke sastra bersama alvent, kata mama, keluarga om richard berencana pindah rumah. Tapi kenapa lio tak pernah mengabariku ? walau untuk memberi salam perpisahan mereka akan pindah saja tidak. Hatiku miris meratapi semua itu.

    +++
  • kayanya pernah baca cerita ini deh tapi dimana yaa :-/
  • Aku duduk termenung di tepi danau, menatapi permukaan air danau yang terlihat mengkilat oleh biasan cahaya mentari senja yang indah, air danau ini bagaikan cermin yang memproyeksikan dengan jelas semua yang terlihat di langit, mulai dari gumpalan-gumpalan awan yang merona merah muda oleh biasan sinar matahari, hingga gerombolan burung gereja yang terbang malang melintang di angkasa pun terlihat dengan jelas di permukaan air danau yang tenang ini. Ku rogoh saku celanaku mengambil sebungkus rokok juga pemantiknya, ku nyalakan satu lalu ku hisap asapnya dalam-dalam, menikmati detik demi detik kenikmatan sesaat yang di berikan asap ini. Entah kenapa aku sangat suka suasana senja di danau ini.

    “masih rajin habisin senja di sini ?” sebuah suara menghempaskanku dari lamunan, suara yang sangat ku kenal.

    “...” aku diam, suara itu bagai mengorek-ngorek luka lamaku hingga kembali menganga. Terdengar ia melangkah mendekatiku, lalu duduk bersama di batang kayu yang kududuki ini.

    “masih belum berhenti rokok juga ?” tanyanya pelan, tak menatapku, pandangannya menerawang ke langit.

    “...” tanpa suara, aku menoleh memandangi wajahnya di sampingku, rasa geram tiba-tiba muncul begitu melihatnya.

    “apa aku mengenalmu ?” ujarku singkat seraya bangkit meninggalkannya.
    Sepuluh langkah aku berjalan, ia mendapatkan tanganku, menghentikan langkahku.

    “lian !...” teriaknya tertahan, dadaku sesak mendengar ia memanggil namaku, suara itu.. sudah sekian lama ku rindukan, kini aku mendengarnya kembali, tapi rasa benci ini masih menguasaiku.

    “lian.. tolong jangan pergi, lio... lio kangen sama lian..” ujarnya bergetar.
    Aku menoleh, ku pandangi lekat-lekat wajahnya yang terlihat semakin tirus itu. Dengan geram ku dekati dia, ku tarik kedua tangannya hingga tubuhnya hampir menempel denganku, kutatap lurus wajahnya tanpa ekspresi.

    “kangen ? haha.. kamu bilang kangen padaku ?”aku tertawa pahit, ia diam, menatapku dengan tatapan sendu.

    “kamu.. pernah tahu rasanya sakit hati.. pernah tahu rasanya hidup tanpa semangat.. pernah tahu rasanya menangis setiap malam.. pernah tahu rasanya di khianati seseorang yang ia sangat cintai !!! kamu pernah tahu rasanya semua itu !” cecarku bertubi-tubi, lepas sudah amarahku, namun hati ini masih perih menahan luka yang meradang, ia masih saja diam.

    “kamu nggak pernah tahu itu yo ! aku nggak nyangka aku mencintai seorang pengkhianat sepertimu ! apa salahku sampai tega kau khianati seperti ini hah ! kamu pergi tanpa sepatah katapun padaku, sekarang kamu balik lagi dan bilang kangen sama aku !? gampang sekali hatimu berubah ! mau kamu kemanakan alvent sekarang hah ?” matanya berkaca-kaca, gurat penyesalan terlihat jelas di sana.

    “semua sudah berakhir yo ! aku.. aku sudah melupakanmu.. semoga kamu bahagia dengan alvent sekarang” ujarku lebih tenang, seraya melepaskan rengkuhanku padanya, mulai melangkah meninggalkannya.

    Aku melangkah pelan meninggalkan lio yang masih termenung di pinggir danau. Hatiku sudah menangis sejak tadi namun mataku tidak, aku tak akan menangis di hadapannya, rasanya tak pantas dia ku tangisi kini. Aku akan mulai hidupku dengan lembaran baru, tanpa dirinya dan tanpa bayang-bayang masa lalu bersamanya.

    +++

    “lio sakit yan !” teriaknya menghentikan langkahku.

    “lio sekarat yan... sebentar lagi lio mati” suaranya bergetar.

    Dunia serasa berhenti saat ia mengatakan itu. Aku masih mencerna kata-kata yang barusan ia ucapkan. Pikiranku terus membawaku pada mindset kalau yang ku dengar ini salah, pasti salah.

    “lio meninggalkan lian, bukan karena alvent.. alvent sudah lio anggap sebagai kakak sejak lio masih smp, dia satu-satunya sahabat yang selalu ada buat lio saat lio susah, lian tahu itu kan ?..”

    “...” aku terpana, sudut-sudut mataku mulai mengeluarkan cairan yang sejak tadi mendesak.

    “lio meninggalkan lian agar lian bisa kuat, bisa cepat melupakan lio.. lio tak mau nantinya lian akan jauh lebih sakit lagi saat lio pergi, jika saat ini lian sudah melupakan lio itu lebih baik, semua akan jadi lebih muda ke depannya”

    “biarlah lian pergi sekarang, tak perlu mengharapkan cinta dari hati yang sebentar lagi meninggalkanmu” ujarnya getir, aku masih terpaku, ku lihat ia tertunduk, tangis pun tak lepas dari matanya.

    Runtuh sudah keangkuhanku, dengan cepat aku berbalik merengkuhnya, mendapatkan tubuhnya dan memeluknya seerat-eratnya. Tangisku pecah dalam dekapannya. Hatiku betul-betul hancur kini. Kekasih macam apa aku ini ? bahkan tak pernah tahu kekasihnya sudah di ambang maut ?

    “kamu jahat yo ! kamu jahat ! aku... aku... maafin aku yo, aku minta maaf yo, aku memang bodoh yo ! aku nggak pantes dapat kasih sayang dari kamu.. maafin aku yo... maafin aku”

    ”maafin lio yan, lio cuman nggak mau nyakitin lian, lian terlalu baik ke lio, maafin lio..”

    ###########################################################################################################################
  • @kurokuro : ayo tebak baca dimanaaa^^
  • renlyRain wrote:
    @kurokuro : ayo tebak baca dimanaaa^^

    kalo gak salah di blognya tommy gila nyesek gw bacanya saking kerennya

  • +++
    Senja yang indah. Di tepi pantai, mentari selalu terlihat indah di sini, bias cahayanya membuat permukaan air laut mengkilat keemasan, dari sini terlihat beberapa kapal nelayan yang terparkir di bibir pantai, terombang-ambing oleh terjangan ombak-ombak yang mengayun pelan. Beberapa anak kecil berlarian kesana-kemari saling berkejaran sambil tertawa lepas. Ingin rasanya aku kembali menikmati masa-masa kecil seperti mereka dulu.

    Langit kian temaram, matahari kini hampir tertelan sepenuhnya ke peraduannya. Ku pandangi lio di sampingku. Wajah teduhnya itu dari tadi terus tersenyum. Memandangi detil demi detil keindahan di pantai ini. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku, sembari kedua tangannya menggengam lembut tanganku. ‘Oh tuhan.. aku tak bisa bayangkan hidupku tanpa dia, kenapa Kau tak menjawab doaku, sudah ku bilang aku rela kehilangan semuanya dalam hidupku, kecuali dia.. hanya dia alasan hidupku kini, dia semangat hidupku, dia cinta yang sudah tertanam di hatiku. Mengapa kau pertemukan kami kalau pada akhirnya harus kau pisahkan juga’ aku membatin. Terus saja aku menyalahkan tuhan atas semua ini. Aku kalut, aku merasa begitu lemah saat ini, tak bisa berbuat apa-apa, kini aku sadar kalau sejak awal aku jarang membahagiakannya, dialah yang terus berusaha membahagiakanku, membuatku nyaman berada di dekatnya. Nelangsa hatiku meratapi semua itu. Wajahku memanas saat ia menatapku, tak tertahankan airmata menetes dari pelupuk mataku, namun berusaha tetap tersenyum di hadapannya.

    “lian jangan nangis, lio mohon jangan nangis lagi, tolong bantu lio supaya kuat menjalani semua ini” ujarnya seraya menatap sendu mataku, kedua tangannya menyeka airmataku, ku dekap tubuhnya erat-erat, ku resapi hangat tubuhnya, sungguh.. aku tak sanggup kehilangannya.

    +++
  • sumpah dalem banget nih cerita sampe gak bosen kalo di baca berkali kali
  • @kurokuro : waduh, thanks a lot ^^ jadi semangat aq
  • lanjut-lanjuttt^^ siapkan tisue minimal sebungkus yaaa^^
  • *******Romansa yang masih sempat terajut dan sedikit keinginannya yang bisa ku penuhI******

    “ya rio, gua nggak usah deh... masa naik ini, apapun selain ini yo, gua mohooonn...” rengek miranda yang terus saja di tarik rio naik roller coaster.

    “udah naik aja mir ! nggak apa apa kok... hahaha” timbrung lio di sampingku, aku dan dia sudah naik lebih dulu, tinggal menunggu miranda naik dan giliran kami berangkat, penumpang yag lain sudah mulai protes dengan tingkahnya.

    “ayo dong mbak ! yang naik nggak Cuma kalian nih ! gimana sih !” teriak salah satu penumpang dari deretan depan.

    “nah lu liat kan, di marahin kita, ayo naiiikk !” paksa rio, miranda masih saja takut.

    “udah naik aja mir, kan ada rio yang jagain” kataku.

    “tuh kan, ayo sayaaanggg, rio jagain kok, hehe..”

    “haduuuhhh...” walau terpaksa akhirnya ia naik juga.

    Roller coaster mulai bergerak, perlahan kami mendekati puncak luncuran yang cukup tinggi. Lio menggenggam erat tanganku, wajahnya menatap lurus ke depan. Miranda dan rio duduk tepat di balakang kami, sejak tadi miranda terus saja meracau ketakutan, bahkan kita belum meluncur ia sudah histeris luar biasa. Gerbong terdepan sudah mencapai ujung luncuran dan...

    “HWAAAAAAAA....!!!!” teriak seluruh penumpang bersamaan, coaster meluncur dengan cepatnya.

    Kami berpacu menerjang angin, adrenalin kami menggila menahan hentakan-hentakan yang kami rasakan saat coaster meliak liuk di rel, naik, turun, berputar, menikung, dan entah apa lagi bentuk alurnya. Tubuh kami serasa diguncang-guncang oleh badai yang dahsyat. Ini bukan kali pertama aku naik wahana ini, tapi sensasinya tetap saja menegangkan tiap mencobanya.

    Ku pandangi lio di sampingku, tak henti hentinya ia berteriak, ada sejumlah raut terkandung dalam ekspresi wajahnya, senang, takut, cemas, gugup, bercampur jadi satu. Tak pernah ku melihatnya selepas ini, kedua belah tangannya di rentangkan ke atas seolah ingin betul-betul meresapi terpaan angin ditubuhnya. Sesekali ia menatapku sambil tersenyum.

    Tak ada yang lebih bahagia kini selain melihatnya tersenyum, senyum itu, semangat hidupku. Andai bisa, biarlah waktu berhenti saat ini, detik ini juga, asal dalam posisi ini, ia tersenyum dan aku bisa terus menikmati senyuman itu. kini airmata selalu berusaha keluar setiap aku mamandang wajahnya, namun berulang kali lio mengingatkanku, jangan pernah menangis untuknya, buat ia kuat untuk menjalani semuanya. Maafkan aku sayang, aku bukan kekasih yang baik untukmu.

    +++

    “hohhh... ihhh.... rio nyebeliiinnn... errggghhh...” kami tertawa terbahak-bahak melihat miranda mendera rio dengan pukulan-pukulan dari tangan mungilnya, rio sepertinya malah menikmatinya, kami sama-sama tahu rio sudah lama tergila-gila pada sosok miranda.

    “pukulah abang sayang, abang rela... asal cinta eneng bisa buat abang hahaha” cetus rio dengan logat jawanya, miranda jadi salah tingkah melihatnya, ku pandangi lio di sampingku, ia terus tertawa mlihat aksi mereka.

    “tembak aja yo, kapan lagi !!!” seruku asal, tapi sepertinya ia memang nekat.

    Tanpa babibu lagi rio menggenggam tangan miranda lalu membawanya ke tengah taman kota. Kami awalnya tengah berada di sebuah gazebo berukuran sedang di salah satu sudut taman kota. Rio membawa miranda berdiri di samping sebuah kolam ikan bundar yang di tengahnya ada air mancur. Rio terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Miranda semakin salah tingkah di buatnya. Tiba-tiba rio berlutut dengan salah satu tangannya memegang tangan miranda. Bahkan aku dan lio jadi gugup melihatnya.

    “miranda, aku nggak punya apapun untuk aku berikan padamu, aku nggak punya harta, aku nggak punya kekuasaan, aku nggak punya apapun... tapi aku cuman punya ketulusan untuk mencintai kamu... mir, maukah kamu jadi pacar aku” keluar juga kata-kata puitis itu dari mulut rio,muka miranda memerah bak kepiting rebus, aku bisa bayangkan perasaannya.

    Keadaan hening beberapa saat, semakin banyak massa yang mengerubungi kegilaan rio ini, aku dan lio pun harus mendekat untuk melihat mereka.....

    “udah ah rio , nggak usah berlutut gitu, norak !... aku juga sayang sama kamu !” miranda beringsut mengangkat rio sejurus kemudian memeluk erat tubuhnya, rio masih terpaku tak percaya.

    “YEEEEEEEE !!!” sorak-sorai massa yang menonton menggema, semua bertepuk tangan melihat aksi mereka.

    “WUHUUUU !!! GUA DI TERIMAAAA !!! HAHAHA MAKASIH MIRANDA SAYANG, I LOVE YOU” seru rio kegirangan seraya tanpa permisi mengecup pipi miranda sekilas.

    “ihh.. rio apaan sih..” sergah miranda tersipu.

    “hehehe.. heh ! apa lu liat-liat ! bubar udah ! gua mau ngereyen cewek baru nih !” usir rio ke gerombolan yang mengerubungi mereka, langsung di jawab dengan ‘HUU’ panjang dari para penonton.

    +++

    “cieicieee... asik nih yang baru jadian, hmm... jadi nih kita di traktir” aku dan lio menghampiri mereka.

    “hehe.. sip dah yan, ni malem gua traktir lu pada” sahut rio dengan bangga.

    Malam itu kami di traktir makan oleh rio di sebuah caffe dekat taman kota. Tempatnya cozzy dan di desain simple tapi elegan, sangat cocok untuk tempat kumpul anak muda. Makan malam kami di iringi musik jazz dari home band caffe ini, alunan musik yang lembut berpadu dengan lantunan suara indah si penyanyi sukses menghadirkan suasana romantis di tempat ini. Selesai makan kami masih mengobrol dengan seru, rio terus menyerang miranda dengan rayuan-rayuan gombalnya, miranda semakin salah tingkah, aku dan lio malah terpingkal-pingkal di buatnya. Tiba-tiba lio beranjak dari tempat duduknya, ia tersenyum padaku lalu melangkah menuju tempat homeband, ia sepertinya ingin bernyanyi.

    Setelah berbincang-bincang singkat dengan anggota homeband yang lain, lio menggantungkan gitar akustik di punggungnya, dengan stand mike ia mulai bernyanyi...

    ###

    Saat ku pejamkan kedua mataku...
    dan kubayangkan disampingmu...
    kurasakan slalu hangtanya pelukmu itu...
    dan ku genggam lembut kedua tanganmu...
    seakan takut kehilanganmu...
    ku ingin selalu hatimu untukku...
    Tak ada yang bisa menggantikan dirimu...
    tak ada yang bisa membuat diriku jauh darimu...

    “ciecieee...” goda rio dan miranda bersamaan.

    “halah lu bedua apaan sih ! ganggu aja hehe..” sergahku.

    “ciee... romantis juga lio ya, hahaha, pantes seorang lian sampe klepek-klepek ” cecar miranda.

    “hehe, sialan lu bedua..”

    Lio masih menyanyikan beberapa lagu bersama iringan musik homeband itu. ia terlihat begitu lepas menyanyikan lagu-lagu itu, lantunan suaranya, petikan gitarnya, juga penjiwaannya menyanyikan setiap lagu membuat para tamu terpukau dengan penampilannya, tak terkecuali aku, semakin menambah rasa kagumku padanya.

    Puas bernyanyi, lio akhirnya turun dari panggung, kembali bergabung dengan kamu.

    “cieee.... lio romantis banget siiihhh...” goda miranda gemas, seraya mencubit pipi lio.

    “ih miranda apaan sih, biasa aja juga.. hehe” sahut lio tersipu.
    Tiba-tiba ia meringis kesakitan, memegangi dada dan perutnya, wajahnya berubah pucat, terus mengerang kesakitan.

    “yo ! kamu kenapa yo ! lio !” sontak aku panik luar biasa, rio dan miranda juga.

    Tiba-tiba ia mimisan, darah merembes sangat banyak dari hidungnya, ia terus menggeliat kesakitan, ku dekap tubuhnya, ia semakin pucat.

    “haaaaaaa... sakit yan, sakittt...” ia berteriak kesakitan, sontak tamu-tamu caffe mengerubungi kami.

    “minggir minggir semua ! lian cepet bawa ke mobil kita bawa dia ke rumah sakit sekarang” sergah rio membubarkan kerumunan. Gelagapan aku memapah lio ke mobil rio, kami ngebut ke rumah sakit.
  • +++

    “lio dimana ? dimana dia ? dia nggak apa-apa kan yan?” tante rosi datang dengan paniknya menemui aku, rio dan miranda yang tengah menunggu di depan ugd.

    “tante, tante tenang dulu.. lio sekarang di dalam, sedang di tangani sama dokter, kita Cuma bisa berdoa tan..” ujarku menenangkan tante rosi, terbersit pula rasa bersalah padanya.

    “ya tuhan lio, kenapa sampai begini lagi sih, dia pasti lupa minum obat lagi..” tante rosi semakin cemas. Aku pun menceritakan semuanya sampai lio colapse tadi, rio dan miranda juga sesekali menimbrung, kami semakin tak enak hati dengan tante rosi.

    “maafin lian tante, lian salah sampe buat lio kayak gini”
    “udah nggak usah salahin diri kamu yan, ini semua musibah, sudah gairs yang kuasa” ujar tante rosi berusaha sabar dan tenang, aku tahu hatinya sedang pilu, tapi masih berusaha baik padaku, tak bisa ku bayangkan bagaimana kalau dia tau semua tentangku dan lio nanti, akankah ia masih bisa sebaik ini.
    +++
    Sejam berlalu, lampu di atas pintu ruang ugd akhirnya padam, sejurus kemudian para dokter dan suster yang menangani lio keluar dari ruang ugd, kami langsung berhamburan mencegat dokter. Menghujaninya dengan pertanyaan dan rasa kuatir.

    “bagaimana lio dok ? dia baik-baik saja kan ?” tanya tante rosita panik.
    “iya dok, lio baik-baik aja kan ?” sambungku, si dokter membuka masker dan sarung tangan lateksnya.

    “lio sudah tertangani bu rosi, dia nggak sampai kritis tadi, tapi...” ujar pak dokter tertahan, ia sepertinya sudah akrab dengan tante rosi, pasti dia dokter yang menangani lio selama ini.

    “tapi apa dok ? dia baik-baik aja kan ?” tanya tante rosi gusar.
    “tolong ikut saya sebentar, ada yang mau saya bicarakan” ajak si dokter, sejurus kemudian mereka meninggalkan kami, ingin sekali aku mendengar pembicaraan mereka, tapi itu tak mungkin sekarang.

    Limabelas menit berlalu, tante rosi kembali bersama pak dokter. Wajahnya kosong tanpa ekspresi, matanya membengkak karena tangis, ia masih saja terisak tangis namun airmatanya tak keluar lagi. Aku semakin kalut melihat tante rosita, entah apa yang di bicarakan mereka tadi.

    “sekarang kalian sudah bisa menjenguknya, tapi saya mohon tenang, jangan terbawa emosi saat menemuinya, ia belum pulih benar” ujar si dokter.

    “baik dok” jawab bu rosi.

    “kalian masuklah bergantian, 2 orang saja sekali masuk, agar bisa lebih tenang”

    Akhirnya kami masuk berdua, aku dan tante rosita masuk duluan. Dengan gontai aku menggiring tante rosita masuk ruang ugd. Ku putar handle pintu, lalu membukanya perlahan, kami masuk kemudian perlahan pula kututup pintu ini, hawanya dingin sekali. Lio sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjang pasien, selang infus dan darah terpasang di kedua belah tangannya, wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi.Tante rosi mendekati lio, ia duduk di kursi samping ranjang lio, perlahan di genggamnya tangan kiri lio, mendekapnya begitu erat, di kecupnya tangan itu penuh kasih. Susah payah ku lihat ia menahan tangis, ia tak ingin mengganggu lio.

    “lio.. bangun nak.. kamu jangan begini” ucap tante rosi lirih, isakannya perlahan mulai terdengar.

    “...” aku diam, memandangi drama tersedih yang pernah ku tonton seumur hidupku, hatiku pilu melihatnya.

    “lio, lio anak mama satu-satunya sekarang, lio harapan mama, lio semangat hidup mama, jangan begini nak, tolong jangan tinggalkan mama” ujarnya semakin pilu, isakannya semakin terdengar, sesengukan ia menangis sembari menggenggam erat tangan anaknya itu.

    Sesaat kemudian ia bangkit, melepas genggaman tangannya dari lio.

    “tante nggak kuat liat dia yan” ucapnya singkat seraya bergegas keluar dari sini, terdengar kemudian tangisan tante rosi yang menggema di luar.

    Aku menoleh kembali ke lio. Perlahan aku duduk di samping lio. Ku tatap wajah tirusnya yang pucat pasi, wajah yang dulu sempat berubah ceria dan terus menyemangati hari-hariku, wajah yang selalu riang walau hatinya sedang sedih. Wajah yang terus berusaha membuatku tersenyum melihatnya, kini wajah itu sembab, terlihat muram, tertidur lesu di atas kasur sempit ini. Ku rapikan selimutnya yang agak tersingkap ke bawah, ku sentuh tangannya perlahan, ku genggam dan ku dekap seerat yang ku bisa, ku belai wajahnya, dingin.. bergidik aku merasakannya. Tak terelakan airmataku kembali menetes saat itu, miris rasanya membayangkan tadi ia begitu kesakitan, menderita melawan penyakit jahanam yang menggerogoti tubuhnya itu.

    “lio..” bisikku.

    “...” hanya deru nafasnya yang menyahutiku.

    “lio bangun yo.. jangan begini.. kamu.. kamu selalu bilang ke aku jangan nangis, aku nggak akan nangis lagi yo, agar aku bisa nguatin kamu, tapi gimana aku bisa nguatin kamu kalau kamunya lemah gini, bangun yo.. jangan siksa aku kayak gini, jangan tinggalin aku yo” tanpa sadar tangisku pecah saat itu, sesengukan aku menangis di samping lio, aku bahkan lupa janjiku untuk tidak menangis di hadapan lio.

    “nggak konsisten banget sih..” sebuah suara parau menyela tangisanku, aku mendongak.

    “lio, sayang... ya tuhan trima kasih kamu udah sadar yo” ku peluk tubuhnya erat-erat.

    “aw..aw..aw.. sakit kali yan..”

    “hah, oh.. aduh.. maaf sayang, maafin aku, kamu bikin aku takut, jangan pernah tinggalin aku” ku dekap tubuhnya perlahan, tangisku kembali pecah dalam dekapannya.

    “hmm.... lian tuh nggak konsisten banget sih sama janjinya, katanya nggak bakal nangis lagi..” katanya pelan sembari membelai rambutku, suaranya masih lemah.

    “aku takut yo, aku takut kehilangan kamu.. aku takut yo..” tangisku semakin menjadi.

    “lio nggak akan kamana-mana yan, lio akan selalu ada buat lian” aku beringsut menatap wajahnya, ku kecup pelan keningnya, ia tersenyum seraya menyeka airmataku.

    “jangan nangis lagi, lian pasti nggak pernah sadar gimana jeleknya lian kalo nangis, hihi, udah ah nangisnya” ia menarik tenggukku mendekatkan wajahnya ke wajahku, mencium lembut bibirku, sesaat kemudian kembali ia menatapku.

    “jangan nangis lagi yah..” ujarnya pelan, aku tersenyum dan sekali lagi mengecup keningnya.

    “aku panggil tante rosi dulu yah, dia sangat kuatir sama kamu” aku tersenyum sejenak lalu melangkah keluar.

    +++

    “lio sudah sadar tan, dia pengen ketemu tante”
    “bener yan, puji tuhan, tante masuk dulu yah” aku tersenyum lalu membiarkan tante rosita masuk, rio dan miranda juga nampaknya tak sabar ingin melihat lio.

    +++

    Jam sudah menunjukan pukul duabelas malam, rio dan miranda baru saja ijin pulang karena orang tua miranda sempat nelpon karena panik, mereka berjanji datang lagi besok pagi. Aku masih enggan pulang, saat-saat seperti ini rasanya sangat bodoh bagiku untuk berpikir pulang, aku ingin terus memastikan keadaan lio.

    “nak lian, nggak capek nak, pulang dulu lah, istirahatkan badan kamu, pasti capek seharian temani lio di sini”

    “nggak apa-apa tan, lio sahabat lian, lian udah anggap dia kayak adek sendiri” ujarku pelan, tante rosi sejenak terdiam.

    “lio sudah punya penyakit ini sejak kecil nak, jantungnya punya kelainan, sejak kecil hidup lio harus bergantung pada obat-obatan, tante nggak nyangka perkembangan penyakitnya sudah sampai separah ini saat ini” ujarnya getir.

    “...” aku diam, terus menyimak ujaran-ujaran tante rosi.

    “kamu pasti bingung kenapa tiga bulan yang lalu lio menghilang, bahkan seluruh keluarga kami pun menghilang...” tante rosi mulai bercerita, aku terdiam menyimak kata-katanya.

    “kami ke singapur yan, membawa lio berobat kesana...” aku terhenyak, lio belum pernah cerita apapun soal ini.

    “awalnya lio menolak, karena ia sendiri merasa penyakitnya ini memang tak bisa di sembuhkan lagi, namun ada satu sahabatnya yang menyemangatinya...” ujarnya tertahan.

    “alvent tante ?” tanyaku pelan.

    “iya nak, dialah yang meyakinkan lio untuk berobat ke singapur, tante tahu alvent bersahabat dengan lio sejak smp, tante juga tak menyangka kalau mereka satu universitas kini”

    “...” aku terdiam, ternyata lio sama sekali tak meninggalkanku untuk alvent, bukan untuk memilih alvent tetapi untuk memenuhi keinginannya berobat ke luar negeri, terbersit rasa bersalah karena ku sudah menuduhnya yang bukan-bukan.

    “yah.. walau akhirnya kami harus pulang tak sepenuhnya dengan senyuman, lio tak sepenuhnya sembuh dari penyakit ini, yang di lakukan dokter di sana hanyalah serangkaian terapi-terapi untuk memperlambat perkembangan penyakitnya” ujar tante rosi menahan tangis, aku bisa bayangkan perasaannya kini. Ibu mana yang tak hancur membayangkan anaknya satu-satunya kini di ambang kematian, pilu hatiku meratapinya.
  • +++

    Keadaan kembali hening, malam semakin larut, namun mata kami berdua masih juga enggan terpejam. Kami kini sibuk dengan pikiran kami masing-masing.

    “lio pasti sangat spesial buat kamu yah yan ?” tanya tante rosi memecah keheningan.

    “hah ? i..iya tante, lio sahabat terbaik lian” ujarku tiba-tiba gugup.

    “lio juga gitu, tante rasa kamu begitu spesial buatnya, sangat spesial sampai-sampai terbawa dalam setiap igauan mimpinya”

    “...” aku terhenyak, jantungku berdegup begitu cepat, desiran darahku sampai ke ubun-ubun, membuat tubuhku sedikit bergetar.

    “tante tau lio sangat menyayangimu nak, kamu juga kan ?” tanyanya dengan segurat senyum di pipinya.

    “hmm... mm.. makssud tante ?” masih saja lidahku berkilah.

    “sudahlah nak, tante sudah tau semuanya, tak perlu lagi kalian rahasiakan semuanya dari tante, tante tidak akan marah” nafasku tertahan mendengar perkataan tante rosi, aku langsung beringsut ke pangkuannya.

    “maafin lian tante, maafin lian.. lian tahu ini salah tan, tapi.. tapi lian mencintai lio tan, lian sangat mencintainya melebihi diri lian sendiri, lian nggak bisa hidup tanpa dia, maafin lian tan” tangisku pecah di pangkuannya, terasa ia membelai rambutku.

    “nggak ada yang perlu di maafin nak, tante iklas kalau memang ini jalan kebahagiaan anak tante, tante bisa apa, tante hanya minta kamu janji untuk terus buat dia bahagia nak, semangat hidup tante kini hanya lah senyuman dia nak, anak tante satu-satunya”

    “pasti tante, lian janji, lian akan terus buat lio bahagia, selamanya” ujarku berbalut tangisan.

    +++

    Haru tak tertahan mendapati sikap tante rosi yang seperti ini padaku, aku begitu beruntung dikelilingi orang-orang berhati mulia, orang-orang yang mau menerima keadaanku dengan lapang dada. Aku semakin sadar aku jarang sekali mensyukuri apapun yang ku dapat, seringnya aku menganggap hidupku sudah yang terberat tanpa tahu banyak insan di luar sana yang mengalami kehidupan yang jauh lebih miris dariku.
  • kayaknya lio punya penyakit deh ya?

    dan gak mau ngasih tahu, mending dibilang gak mencintai daripada nanti kalau mati yang ditinggalin bunuh diri
  • @pokemon : yup, udah di jelasin kan...
Sign In or Register to comment.