Lelaki yang berdiri di hadapannya memandang Erga dengan tajam. Sepasang matanya yang kelam seolah menusuk ke dalam hatinya yang paling dalam. Erga membuang pandangannya jauh-jauh. Ah, ingin rasanya dia berteriak keras-keras, mengeluarkan semua sakit dan kesedihan hatinya
" Jangan meminta aku memilih antara ibu dan kamu, Dit..." desahnya perlahan. Rasa-rasanya dia ingin menangis. Betapa dia sangat mencintai sosok yang berdiri di hadapannya. Betapa dia sangat ingin memiliki dan tidak ingin melepaskannya. Tetapi wajah ibu yang membesarkannya sejak kecil menari-nari dalam bayangan pikirannya.
"Tapi memang sekarang kamu memilih ibumu ketimbang aku..." suara itu pelan, penuh dengan kesedihan. Galau. Penuh dengan keputusasaan.
Erga tidak ingin menjawab. Digigitnya bibirnya yang bawah sambil menahan rasa pilu di hati. Desir angin dingin yang terbawa dari lembah gunung Salak menyerpa wajahnya sejenak. Hatinya begitu miris mendengar ucapan orang yang sangat dicintainya itu.
Tiga tahun kebersamaan mereka. Bukan waktu yang singkat. Semua begitu indah. Biduk yang mereka bangun bersama-sama harus porak poranda sekarang. Ah, seandainya mereka tidak bertemu. Seandainya dia tidak ingin memulainya..... Tapi semua sudah terjadi. Mereka sudah mengarungi banyak hal dalam rentang waktu yang cukup lama. Dan sekarang.... dia yang harus mengakhirinya.
"Aku anak laki-laki tunggal, Dit. Ibu dan Bapak sakit-sakitan. Aku tidak tega menyakiti hati mereka, " ujar Erga perlahan. " Seperti yang aku tawarkan kemarin... kita masih bisa... bersama-sama..." ujarnya ragu dengan lidah kelu.
"Tidak akan pernah! Tidak akan pernah kita berhubungan lagi kalau mas Erga sudah menikah. Itu adalah prinsip. Aku tidak mau menyakiti istri mas Erga..." Kalimat itu sangat tegas, meskipun suaranya bergetar.
Erga menghempaskan napas . Dadanya sesak oleh keperihan. Hatinya pilu. Lidahnya kelu. Ah, apakah menjadi orang seperti dia adalah benar-benar pilihan? Apakah pertemuan mereka dulu secara tidak sengaja di social networking adalah pilihan? Kalau benar semua itu adalah pilihan, dari sejak dilahirkan dia ingin memilih jadi lelaki normal seperti teman lelaki yang lain. Pacaran, fool around dengan gadis-gadis cantik dan kemudian menikah. Punya cucu untuk kedua orang tuanya. Buat apa habis waktu menjalani semua ini dan sekarang harus menyakiti orang yang begitu dicintainya.
Ah, kalau saja bisa memilih. Erga menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Rasa-rasanya dia tidak pernah diberikan pilihan sejak dilahirkan dulu. Dari kecil, seingat dia, sejak sekolah SD, dia sudah merasa dia berbeda dengan teman-teman yang lain. Dia lebih suka memperhatikan teman sesama lelakinya daripada teman wanitanya. Dulu, dia belum mengerti perasaan aneh seperti itu. Hingga suatu hari dalam acara camping, di dalam tenda, salah seorang kakak kelas pembimbingnya melakukan sesuatu terhadapnya. Dalam gelap pekatnya malam, saat itu dia sendiri heran, alih alih dia berteriak, tapi justru malah menikmatinya.
Mungkinkah kedua orang tuanya salah mengasuhnya? Mungkinkah dia mengalami kelainan di otaknya? Erga tidak punya jawabannya. Yang dia tahu adalah dia salah seorang siswa sangat berprestasi di sekolah. Dan kedua orang tuanya selalu bangga apabila bercerita tentang anak laki satu-satunya itu kepada saudara orang tuanya.
Kalau saja Mama menyadari dia berbeda.. Kalau saja Papa tahu... Tidak. Erga tidak pernah memiliki keberanian untuk menceritakannya. Dia tidak tega menyakiti orang yang melahirkan dan membesarkannya sampai sekarang. Sampai sukses duduk sebagai pucuk pimpinan suatu perusahaan asing. Bukan begitu cara membalas budi kedua orang tuanya.
"Mas.... " Lamunannya buyar oleh suara tangis tertahan itu. Adit mendekati dan menghamburkan diri ke dalam pelukannya. Dipeluknya sosok yang atletis itu. Diraihnya ke dalam pelukannya. Dibiarkannya tangisan pemuda itu pecah dalam rangkulannya.
"Aku bisa mengerti, Mas. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku dihadapkan pada kondisi seperti mas Erga seperti sekarang..." ucap Adit perlahan sambil terisak. "Aku rela, Mas. Mas Erga harus tahu, bersama dengan mas Erga adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku.."
Erga ikut terisak. Oh, kenapa harus ada dua pilihan? Kenapa tidak bisa meraih kedua-duanya? Ah, kalau saja dia dulu tega meninggalkan Indonesia dan kerja di Eropa seperti salah seorang kakaknya, dia tentunya tidak perlu mengalami semua kegalauan ini. Mungkin juga tidak pernah bertemu Adit, dan tentu saja tidak perlu melukai hatinya.
Kalau saja dia bisa memilih...... batinnya sedih dan galau. Tetapi hidup seringkali tidak bisa memilih. Seringkali hidup hanya diberikan pilihan untuk dijalanin. Meski harus mengorbankan kebahagiaan diri sendiri...
Desir angin dingin dari lembah gunung Salak menerpa wajahnya yang basah. Dipeluknya pemuda dalam rangkulan tubuhnya erat-erat, seolah-olah tidak ingin dilepaskannya. Biarlah saat-saat terakhir ini menjadi milik mereka berdua.
Sepulang dari gunung Salak ini suatu perjalanan hidup yang lain telah menantinya. Dalam hati Erga berjanji, biarlah lelaki yang jauh lebih muda darinya ini adalah yang terakhir dalam hatinya. Dia tidak sanggup menyakiti hati orang lain lagi. Biarlah hanya Adit yang pernah merasakan kasih sayang dan juga sakit hati karna dirinya. Biarlah ini menjadi perjalananan cinta dengan sesamanya yang terakhir kali. Biarlah cinta harus memilih demi kebahagiaan kedua orang tuanya, meskipun dengan hati penuh kegalauan dan kesedihan yang mendalam......
Memo 08/12/2011